Nonik benar-benar sudah keterlaluan, ia jual mobil secara diam-diam, itu artinya BPKB pun sudah dia intai selama ini. Aku tidak mengetahui perubahan istriku selama enam bulan ke belakang, ternyata Nonik berubah drastis."Nonik, kita obrolin lagi di rumah ya, kamu pulang ke rumah, aku juga pulang sekarang," suruhku, kemudian telepon pun sengaja aku putus.Aku menghela napas di hadapan mama. Ia mengikuti langkahku yang meraih kunci sepeda motor milik adikku yang sedang tidur."Kenapa sih? Nonik jual mobil? Atau gimana?" tanya mama.Aku terhenti sejenak, lalu menjelaskan semuanya pada mama. Dari tabungan dan akhirnya sekarang mobil dijual oleh Nonik. Mama terkejut dengan ulah istriku yang tadinya pendiam dan tidak melawan, kini berubah jadi pembangkang."Apa karena Nonik sudah punya penghasilan, makanya dia songong seperti ini? Tapi kok kamu nggak bilang punya tabungan segitu banyak sama Mama?" tanya mama membuat waktuku semakin sempit. Kulihat jarum jam terus bergulir memutar waktu. Aka
"Saya pengacara, ingin bertemu dengan Bu Nonik, apa ada orangnya?" tanyanya sekali lagi sambil mengedarkan pandangannya ke arah sekeliling rumah."Untuk apa? Kenapa Nonik memanggil Anda ke sini?" tanyaku menyelidik. Ya, jika benar ia pengacara, sangat kebetulan, aku akan menggugat cerai Nonik saja jika memang ia keberatan atas nafkah yang kuberikan, tentu tabungan yang Nonik kuras pasti dikembalikan. Sebab, aku tidak terima diperlakukan seperti ini olehnya.Namun, belum sempat aku bicara dengan pengacara, Nonik sudah muncul dari kamarnya."Ada apa ini, Mas?" tanya Nonik ketika memunculkan batang hidungnya. Rupanya wanita yang sudah mengetahui semua yang kumiliki pun tidak mengenal lelaki berdasi yang berkunjung.Lelaki itu bangkit, aku belum sempat berkenalan, ia berdiri ketika Nonik datang selayaknya menghormati tuan rumah."Bu Nonik ya?" tanyanya sambil menyodorkan tangannya.Kemudian Nonik bersalaman dengannya dengan mata terlihat menyipit."Maaf, Anda siapa?" tanya Nonik sama sep
Aku masih diam sambil mencerna ucapan Nonik. Tidur pun tidak nyenyak sebab sekarang hidupku benar-benar terpuruk dalam uang yang sisa empat ratus delapan puluh ribu rupiah. Sedangkan gajian masih menunggu 29 hari lagi.Besok masih libur, jadi aku masak pun masih tidak terlalu capek, bagaimana nanti jika sudah bekerja. Astaga, punya istri kok tega pada suaminya begini.Jam dinding telah menunjukkan pukul dua belas malam. Namun, mataku belum juga terkantuk, sedangkan Nonik sudah menganga mulutnya. Aku coba ambil ponsel yang berada di dekatnya. Siapa tahu bisa cari tahu ada rahasia atau tidak yang bisa aku kuliti.Setelah ponsel genggam milik Nonik berada di tangan, aku usap dan coba lihat dari layar jendela depan lebih dulu. Tidak ada pesan masuk, itu artinya aman aku masuk ke chat WhatsApp miliknya. Namun, tiba-tiba saja kulihat ada aplikasi yang sangat asing kulihatnya. Warnanya hijau dan ada gambar pena, apa itu platform menulis tempat Nonik mendapatkan uang?Iseng-iseng jari ini mem
Hatiku mencelos mendengar penuturan Pak Lukman barusan. Setega itukah Nonik terhadapku hingga menguras semua yang aku miliki."Terima kasih banyak, Pak informasinya," ucapku mengakhiri pembicaraan. Telepon pun terputus.Tidak mungkin aku izin dari pekerjaan hanya untuk mengurusi hal seperti ini. Alasan apa untuk keluar dan pulang? Yang ada penilaian kinerja nanti jadi buruk dan mengganggu kenaikan gaji tiap tahunnya.Menghubungi Nonik pun tidak aktif nomor teleponnya. Rasanya ingin marah saja pada wanita yang sudah menguras semuanya.Aku menutup tempat makan catering, lalu menghampiri Leman lagi yang sedang ngobrol bersama Santo."Man, gue mau ngobrol bentar," bisikku tepat di telinganya."Mau ngapain? Minjem duit lo ya?" celetuk Leman sengaja mempermalukan aku."Nggak lah, duit gue banyak. Nggak pernah gue minjem-minjem duit," timpalku agak keras. Leman memang terkenal sombong di pabrik. Mentang-mentang istrinya adalah seorang pengajar di sebuah sekolah dasar swasta. Namun, ia terken
"Maaf, Pak. Kami tidak mau ikut campur. Maaf ya," ucap Pak Lukman sambil merangkul istrinya seraya memberikan kode untuk diam saja. Akhirnya aku kembali ke rumah. Lalu coba menghubungi Nonik kembali. Namun, belum juga mendapatkan jawaban dari Nonik. Akhirnya aku beranikan diri untuk menghubungi mertuaku, Papa Irsyad.Lama dering nada sambung berbunyi. Aku menunggunya sekitar empat kali nada sambung, barulah mertuaku mengangkat teleponnya."Assalamualaikum, Yud. Ada apa?" Mertuaku langsung menanyakan tujuan menghubunginya padahal aku belum menjawab salam darinya."Waalaikumsalam, Pah. Boleh tanya sesuatu nggak?" tanyaku balik."Ya, silakan tapi jangan lama-lama, Papa dan Mama mau berangkat ke Bogor, mau ke rumah neneknya Nonik," ujarnya. Apa Nonik ikut dengannya? "Nonik ikut, Pah?" tanyaku lagi."Emang Nonik mau ikut? Mana sini coba orangnya Papa mau bicara," jawabnya. Berati dugaanku salah. Nonik tidak sedang bersama papanya."Oh nggak, Pah. Aku cuma tanya, Nonik lagi beli gula di w
"Papa, Mama, bukankah mau ke Bogor?" tanyaku sambil mengusap mata, berharap salah penglihatan ini. Namun, harapanku sia-sia ketika mereka berdua menyodorkan tangannya."Ya, tadi kami kepikiran ingin ngajak Nonik ke Bogor, atau barangkali kamu mau ikut juga?" Aku tercengang mendengar ucapan mertua."Emm, anu Pah, Nonik belum pulang," jawabku sambil mengusap leher."Loh, dari tadi belum pulang beli gula?" tanya papa penasaran. Ia masih ingat alasanku ketika ia tadi menghubunginya. "Iya, nih. Aku juga heran, kok tumben Nonik beli gula lama, apa sekalian beli bahan yang lain kali, Pah, Mah. Ayo masuk dulu," ajakku.Kulihat wajah mama mertua sedari tadi tidak bicara sedikit pun. Mukanya seperti tidak sudi menatapku, ada apa dengannya? Namanya Nuri, ia jarang ke rumah, yang sering menyambangi kami di sini memang hanya papa. Dari awal kami menikah, mama kurang sreg padaku. Katanya kami tidak akan cocok, mungkin dari perbedaan suku. Biasanya orang tua zaman dulu mempermasalahkan itu.Seben
"Pak, haruskah sekarang saya pergi dari sini?" tanyaku padanya. "Iya, Pak. Maaf ya, tidak diberikan waktu lagi oleh Pak Satya," sahutnya membuat napasku terasa sesak.Nonik benar-benar tega padaku, ia jual semua yang aku punya. Ini tidak bisa dibiarkan, sebaiknya aku susul Nonik ke Bogor. Aku raih ponsel lalu menghubungi atasan lebih dulu, untuk mengajukan cuti satu hari supaya bisa menyelesaikan masalah ini.Setelah berhasil mengajukan cuti, aku segera berangkat tanpa membawa sehelai baju, hanya baju yang kukenakan yaitu pakaian kerja.Jarak antar Jakarta dengan Bogor lumayan jauh. Kalau tidak macet bisa tiba di sana sekitar pukul 20.00 WIB. Aku ke Bogor dengan menggunakan kereta api.***Lebih cepat dari yang kuperkirakan, aku tiba di depan rumah neneknya Nonik pukul 19:40 WIB. Rumahnya sudah sepi, tapi masih banyak anak-anak yang bermain. Aku ketuk pintunya lalu menunggu Nonik keluar. Namun, yang keluar hanya mertuaku, Mama Nuri. "Ngapain kamu ke sini?" tanyanya sambil berkacak
Satu menit kemudian, pintu mobilnya dibuka olehnya. Kulihat wajah lelaki yang turun dari mobil. Pak Tommy, ia datang rumah ini. Mungkin ada perlu dengan Pak Irsyad. Namun, kali ini pakaian yang ia kenakan biasa saja, tidak berdasi dan tanpa jas, ia hanya mengenakan celana jeans dan sepatu layaknya pemuda. Ia mulai melangkah ke arah kami, kemudian setelah tiba di hadapan kami persis, ia meraih punggung tangan Papa Irsyad dan Mama Nuri."Apa kabar, Tom?" tanya papa mertuaku. "Baik, Om," jawabnya disertai punggung yang tertunduk seraya menunjukkan sopan santun. "Tumben ke sini, ada apa nih? Papamu sehat, kan?" tanya mertuaku lagi membuatku tiba-tiba mengernyitkan dahi.Bukankah Tommy adalah pengacara mertuaku yang ditugaskan olehnya untuk memberikan informasi tanah yang senilai dua milyar itu? Hingga akhirnya aku keceplosan bahwa memiliki uang dari gadai. Ah ini seperti teka-teki yang harus kuungkap. "Maaf, Pak Tommy bukankah pengacara ya?" tanyaku penasaran. Mertuaku dua-duanya ter
Aku dan Rasid mendekat, ada perasaan cemas saat ini. Kalau terjadi sesuatu dengan Mama Yuli, aku tidak bisa memaafkan diri sendiri. Tangan ini mengepal, meremas-remas seraya mengkhawatirkan. Begitu juga dengan Rasid, ia menyandarkan bahunya ke pundakku."Mas, apa karena kita tidak buru-buru operasi Mama?" tanya Rasid."Nggak juga, kita harus tunggu dokter keluar," jawabku menenangkan. Kemudian, salah seorang suster keluar dari ruangan untuk bicara dengan kami."Pak, barusan Bu Yuli kondisinya menurun lagi. Jadi operasi patah tulang ditunda dulu, justru Bu Yuli akan dipindahkan ke ruangan ICU," jelasnya. Itu artinya mama dalam keadaan tidak sadar? Astaga, aku mengelus dada, menahan tangis. Sedangkan Rasid, ia sudah menyeka sudut matanya. "Sus, Mama saya tidak sadarkan diri?" tanyaku sedikit panik."Iya, Pak. Bu Yuli koma," jawabnya. Aku dan Rasid menghela napas panjang. Tidak ada lagi yang bisa kami lakukan."Sus, kami akan urus administrasi untuk ke ruangan ICU. Tolong berikan pel
"Maaf, Pak, ada apa ya kalau boleh tahu?" tanyaku. Ada perasaan takut dan cemas bercampur aduk."Iya, saya mau mengabarkan bahwa Bu Yuli Karmila mengalami kecelakaan lalu lintas, sekarang ada di Rumah Sakit Grafika," ucapnya membuatku lemas seketika. Lututku bergetar seraya tak kuat menopang kedua kaki untuk berdiri tegak. Seandainya ada Nonik di sampingku, pasti takkan seperti ini. "Bagaimana kronologis nya, Pak?" tanyaku balik."Bu Yuli hendak menyeberang jalan, lalu ada motor melintas, pengendara sudah kami amankan," ucapnya membuatku bertambah linu. Tidak kebayang bagaimana kondisi mama saat ini.Aku tutup teleponnya setelah polisi menceritakan secara detail kronologis nya, dan setelah mengucapkan terima kasih atas informasinya. Kemudian, ambil segelas air putih untuk menenangkan diri sendiri. Setelah itu barulah bergegas ke rumah sakit untuk mengunjungi mama yang sedang membutuhkanku. Di perjalanan, aku terus memikirkan kondisi mama. Sekarang yang di pikiranku hanya mama, masal
"Itu mobil kamu, Mas, aku nggak ngejualnya," terang Nonik membuatku terperangah. Jadi, selama ini ia ambil kartu ATM, lalu menjual semuanya yang kumiliki hanya sandiwara?"Nonik, jujur aku nggak paham dengan semua ini," timpalku.Kemudian, papa mertuaku berdiri. Wajahnya terlihat garang seperti orang kesetanan."Papa rasa kamu sudah paham dan mengerti maksud Nonik. Jadi lebih baik kau pergi dari sini!" tekan papa sambil membentangkan tangannya ke arah luar.Tidak lama kemudian, orang yang membawa mobilku datang bersama Tari, istrinya Leman. Mereka berdua masuk dan menyodorkan tangannya untuk bersalaman.Tari duduk di sebelah Leman, ia tampak menyunggingkan senyuman di hadapanku. Sedangkan Papa Irsyad kini sudah kembali duduk di antara kami semua.Aku segera bersujud di kaki mertua yang sudah terlanjur kecewa padaku."Pah, aku minta maaf atas semua yang kulakukan, mungkin caraku salah telah menyiksa Nonik dengan jatah yang kuberikan," lirihku membuat semuanya hening. Sorotan mata tertu
"Leman, ngapain dia ke sini? Apa jangan-jangan ...." Aku bergumam sendirian, sebab terkejut melihat kedatangan Leman dan salah satu orang yang tidak kukenal.Mereka berdua melangkah ke arah kami, lalu segera menghampiri dan aku pun sontak menyapa Leman yang sedari tadi menyorotku penuh."Hai, Yud. Gimana kabar lo?" tanyanya membuatku sedikit terkekeh."Nggak usah pura-pura tanya kabar, ini apa maksudnya?" tanyaku balik.Kemudian, Nonik mempersilakan mereka untuk duduk, dan yang mengejutkan, Nonik memanggil Leman dengan sebutan Mas. Satu hal lagi yang membuatku tercengang, nama laki-laki yang bersama Leman adalah Satya. Aku menggelengkan kepala sambil tertawa kecil. Lelucon yang sangat membuatku tidak dapat berkata-kata lagi."Oh jadi kalian ini saling kenal, dan komplotan, gitu kan?" tanyaku ketika semua sudah duduk."Papa tidak tahu menahu maksud kalian, tolong jangan buat kegaduhan di rumah Nenek, kasihan Nenek masih harus istirahat," tutur papa mertuaku.Kebohongan Nonik juga suda
Satu menit kemudian, pintu mobilnya dibuka olehnya. Kulihat wajah lelaki yang turun dari mobil. Pak Tommy, ia datang rumah ini. Mungkin ada perlu dengan Pak Irsyad. Namun, kali ini pakaian yang ia kenakan biasa saja, tidak berdasi dan tanpa jas, ia hanya mengenakan celana jeans dan sepatu layaknya pemuda. Ia mulai melangkah ke arah kami, kemudian setelah tiba di hadapan kami persis, ia meraih punggung tangan Papa Irsyad dan Mama Nuri."Apa kabar, Tom?" tanya papa mertuaku. "Baik, Om," jawabnya disertai punggung yang tertunduk seraya menunjukkan sopan santun. "Tumben ke sini, ada apa nih? Papamu sehat, kan?" tanya mertuaku lagi membuatku tiba-tiba mengernyitkan dahi.Bukankah Tommy adalah pengacara mertuaku yang ditugaskan olehnya untuk memberikan informasi tanah yang senilai dua milyar itu? Hingga akhirnya aku keceplosan bahwa memiliki uang dari gadai. Ah ini seperti teka-teki yang harus kuungkap. "Maaf, Pak Tommy bukankah pengacara ya?" tanyaku penasaran. Mertuaku dua-duanya ter
"Pak, haruskah sekarang saya pergi dari sini?" tanyaku padanya. "Iya, Pak. Maaf ya, tidak diberikan waktu lagi oleh Pak Satya," sahutnya membuat napasku terasa sesak.Nonik benar-benar tega padaku, ia jual semua yang aku punya. Ini tidak bisa dibiarkan, sebaiknya aku susul Nonik ke Bogor. Aku raih ponsel lalu menghubungi atasan lebih dulu, untuk mengajukan cuti satu hari supaya bisa menyelesaikan masalah ini.Setelah berhasil mengajukan cuti, aku segera berangkat tanpa membawa sehelai baju, hanya baju yang kukenakan yaitu pakaian kerja.Jarak antar Jakarta dengan Bogor lumayan jauh. Kalau tidak macet bisa tiba di sana sekitar pukul 20.00 WIB. Aku ke Bogor dengan menggunakan kereta api.***Lebih cepat dari yang kuperkirakan, aku tiba di depan rumah neneknya Nonik pukul 19:40 WIB. Rumahnya sudah sepi, tapi masih banyak anak-anak yang bermain. Aku ketuk pintunya lalu menunggu Nonik keluar. Namun, yang keluar hanya mertuaku, Mama Nuri. "Ngapain kamu ke sini?" tanyanya sambil berkacak
"Papa, Mama, bukankah mau ke Bogor?" tanyaku sambil mengusap mata, berharap salah penglihatan ini. Namun, harapanku sia-sia ketika mereka berdua menyodorkan tangannya."Ya, tadi kami kepikiran ingin ngajak Nonik ke Bogor, atau barangkali kamu mau ikut juga?" Aku tercengang mendengar ucapan mertua."Emm, anu Pah, Nonik belum pulang," jawabku sambil mengusap leher."Loh, dari tadi belum pulang beli gula?" tanya papa penasaran. Ia masih ingat alasanku ketika ia tadi menghubunginya. "Iya, nih. Aku juga heran, kok tumben Nonik beli gula lama, apa sekalian beli bahan yang lain kali, Pah, Mah. Ayo masuk dulu," ajakku.Kulihat wajah mama mertua sedari tadi tidak bicara sedikit pun. Mukanya seperti tidak sudi menatapku, ada apa dengannya? Namanya Nuri, ia jarang ke rumah, yang sering menyambangi kami di sini memang hanya papa. Dari awal kami menikah, mama kurang sreg padaku. Katanya kami tidak akan cocok, mungkin dari perbedaan suku. Biasanya orang tua zaman dulu mempermasalahkan itu.Seben
"Maaf, Pak. Kami tidak mau ikut campur. Maaf ya," ucap Pak Lukman sambil merangkul istrinya seraya memberikan kode untuk diam saja. Akhirnya aku kembali ke rumah. Lalu coba menghubungi Nonik kembali. Namun, belum juga mendapatkan jawaban dari Nonik. Akhirnya aku beranikan diri untuk menghubungi mertuaku, Papa Irsyad.Lama dering nada sambung berbunyi. Aku menunggunya sekitar empat kali nada sambung, barulah mertuaku mengangkat teleponnya."Assalamualaikum, Yud. Ada apa?" Mertuaku langsung menanyakan tujuan menghubunginya padahal aku belum menjawab salam darinya."Waalaikumsalam, Pah. Boleh tanya sesuatu nggak?" tanyaku balik."Ya, silakan tapi jangan lama-lama, Papa dan Mama mau berangkat ke Bogor, mau ke rumah neneknya Nonik," ujarnya. Apa Nonik ikut dengannya? "Nonik ikut, Pah?" tanyaku lagi."Emang Nonik mau ikut? Mana sini coba orangnya Papa mau bicara," jawabnya. Berati dugaanku salah. Nonik tidak sedang bersama papanya."Oh nggak, Pah. Aku cuma tanya, Nonik lagi beli gula di w
Hatiku mencelos mendengar penuturan Pak Lukman barusan. Setega itukah Nonik terhadapku hingga menguras semua yang aku miliki."Terima kasih banyak, Pak informasinya," ucapku mengakhiri pembicaraan. Telepon pun terputus.Tidak mungkin aku izin dari pekerjaan hanya untuk mengurusi hal seperti ini. Alasan apa untuk keluar dan pulang? Yang ada penilaian kinerja nanti jadi buruk dan mengganggu kenaikan gaji tiap tahunnya.Menghubungi Nonik pun tidak aktif nomor teleponnya. Rasanya ingin marah saja pada wanita yang sudah menguras semuanya.Aku menutup tempat makan catering, lalu menghampiri Leman lagi yang sedang ngobrol bersama Santo."Man, gue mau ngobrol bentar," bisikku tepat di telinganya."Mau ngapain? Minjem duit lo ya?" celetuk Leman sengaja mempermalukan aku."Nggak lah, duit gue banyak. Nggak pernah gue minjem-minjem duit," timpalku agak keras. Leman memang terkenal sombong di pabrik. Mentang-mentang istrinya adalah seorang pengajar di sebuah sekolah dasar swasta. Namun, ia terken