Home / Romansa / Istriku, Kekasih Abangku / 2. Kekasihku Menolak

Share

2. Kekasihku Menolak

Author: Setiga
last update Last Updated: 2021-11-02 19:07:43

 "Apa?!"

 

Seorang gadis berparas cantik dengan rambut hitam panjang bergelombangnya, hampir saja menyemburkan jus jeruk yang diteguknya. Untung saja ia bisa menahan keterkejutannya, kalau tidak, gaun biru muda selututnya tentu akan bermandikan air jeruk. 

 

 "Aku sudah mapan ... Risa. Umur pun lumayan, 'kan?" Ravi terus berusaha membujuk kekasihnya itu untuk mengabulkan permintaan ibunya. Ia berharap sekali kekasihnya itu mau dinikahi. Lagian, usianya sekarang 25 tahun, dan kekasihnya 24 tahun. Bukankah usia mereka cukup dewasa? Masalah pekerjaan pun, juga cukup mapan.

 

 

"Tapi aku baru mau bilang, Vi. Aku akan pergi ke Milan." Gadis yang dipanggil Risa itu, menatap pria yang duduk di seberangnya dengan serius. 

 

Ravi sontak terdiam mendengar jawaban pacarnya, Risa. Ia berpikir sejenak, sambil berusaha untuk menenangkan diri.

 

 "Oke. Kita menikah, dan aku akan ikut kamu ke Milan," ungkap Ravi pelan sambil berusaha tersenyum. Ia benar-benar berharap sekali, karena tidak ingin mengecewakan ibunya. Lagian, ia juga tulus mencintai gadis ini, dan tidak ingin kehilangannya.

 

Ia pun tersenyum yakin. Ia terus berdoa di dalam hati agar kekasihnya ini setuju untuk segera menikah dengannya.

 

 "Ibumu?"

 

 "Ibu ikut, Sa."

 

Risa memutar bola matanya malas. Ia mengurut kening, seketika kepalanya sangat pusing. Lelucon macam apa itu? Ia harus menikah, mengurus seorang laki-laki dan juga beserta ibunya? Bukankah tadi sudah jelas, jika ia harus jauh-jauh ke sana untuk mengejar karier? 

 

 

"Begini ya, Vi. Ini debut internasional pertamaku." Risa berusaha menjelaskan sambil menahan emosinya. "Tidak, tidak! Aku tidak mau menikah," tolaknya mentah-mentah.

 

Ravi kecewa mendengar penolakan Risa, air wajahnya sedikit berubah. Namun, ia tetap berusaha mengontrolnya. 

 

 "Kamu tidak cinta sama aku, Sa?"

 

Risa menatap lekat-lekat wajah kekasihnya. Ia sedikit kesal dengan ajakan menikah dadakan dari kekasihnya itu. "Jangan bawa-bawa perasaan, deh. Lagian, kamu yang tiba-tiba ngajakin nikah," katanya cuek.

 

Ravi menggenggam lembut tangan kekasihnya. Ia berusaha untuk meyakinkan kekasihnya itu. "Ibu meminta aku untuk segera menikah. Karena aku punya kamu, jadi--"

 

 

 "Ya, gak dadakan juga, lah!" Ia menarik tangannya yang digenggam oleh Ravi.

 

 "Kamu itu tahu, kalau aku seorang model profesional, dan sangat ingin go internasional. Kesempatan gak datang dua kali, Vi. Ini kesempatan emas buat aku!"

 

Ravi memandang sendu wajah Risa yang tampak marah. Bahkan, kulit putih gadis itu memerah. Jelas sekali jika ia sedang dikuasai amarah. Ravi tertunduk, ia sadar jika tidak pantas juga baginya untuk memaksa gadis seperti ini.

 

Sebagai seseorang yang mencintai Risa, harusnya ia memahami dan mengerti dengan posisi gadis ini yang ingin terus mengejar masa emas kariernya. "Maaf, Risa ...," ungkapnya lemah. "Tetapi aku juga tidak bisa mengabaikan permintaan ibu begitu saja ...." Ravi terlihat sedih. Ia sungguh dilema.

 

Risa tertawa mengejek. Ia menatap Ravi dengan marah. "Kalau begitu, kamu nikahi saja wanita lain!" suruhnya, lalu berdiri. Ravi terkejut mendengar penuturan gadis itu. Sebelum pergi, ia berkata, "Aku memang mencintaimu, tetapi karierku lebih penting sekarang. Jika kamu tidak bisa memahamiku, pergi saja sana!" bentaknya, membuat seluruh pengunjung kafe mengalihkan atensi kepada mereka.

 

Ravi menatap kepergian Risa dengan mata yang berkaca-kaca. Ia tidak menduga akan mendapatkan penolakan sekasar ini. Walaupun ia telah mengenal Risa selama tiga tahun, dan tahu jika gadis ini keras, dan penuh ambisi, tetapi ia tidak menyangka gadis yang selama ini ia cintai akan memperlakukannya seperti ini--meninggalkannya kesulitan sendirian dengan hujatan tatapan orang lain yang melihatnya iba.

 

***

 

Sepanjang perjalanan, Ravi terus memikirkan bagaimana caranya memenuhi permintaan ibunya itu. Ditambah Bu Ati terus menelepon hanya untuk memastikan apakah kekasihnya mau untuk dinikahi, karena keadaan ibunya yang memburuk. Bahkan, Bu Ati berkata bagaimana jika hal ini permintaan terakhir dari ibunya, sama seperti ayahnya dulu?

 

Ia memukul kuat setir mobil sambil mengusap wajah kasar. Jika bukan Risa orangnya, ia tidak tahu lagi siapa. Tidak mungkin ia menikahi sembarang gadis, bukan? Lagian selama tiga tahun belakangan ini, ia hanya memandang Risa sebagai gadis satu-satunya yang paling ia cintai, dan ingin dinikahi di masa depan.

 

Ia memutukan untuk kembali ke rumah, menghentikan semua pekerjaannya pada hari ini karena sedikit pun ia tak bisa berkonsentrasi menjalani hari-harinya.

 

Ketika menghentikan mobil di depan rumah, Ravi berusaha sepelan mungkin agar kedatangannya tidak diketahui ibu dan Bu Ati yang saat ini menjaga ibunya di kamar. Ia membuka pintu perlahan, lalu berjalan pelan ke lantai dua menuju kamarnya. Ia ingin menenangkan diri di sana sambil berpikir meski yang ada sekarang hanyalah jalan buntu. 

 

Ravi menghamburkan badan ke ranjang single bed sambil mengembuskan napas sesak. Ia berbalik, memandang langit-langit kamar dengan desain langit gelap penuh bintang yang ia lukis sendiri.

 

 "Nikah kontrak dosa, menikahi gadis yang menyukaiku begitu saja gak mungkin." Ia terus berpikir. Banyak gadis yang menyukai dan mengejarnya selama ini, bahkan dari bangku perkuliahan. Selain baik dan berbakat, ia juga tampan. Ia mendapatkan gen bule dari kakeknya yang merupakan orang Belanda. Entah betul atau tidak, tetapi itulah yang dikatakan orangtuanya dulu. Lagian, masuk akal saja, karena mata cokelat, rambut pirang, dan kulit putihnya--yang tidak mau berubah gelap, sekeras apa pun ia mencoba menjemurnya di bawah sinar matahari--, cukup membuktikan kebenaran ucapan orang tuanya itu.

 

 "Meski dadakan, aku gak mau menikahi gadis yang salah." Ia terus berpikir. "Tetapi benar-benar gak ada harapan lagi."

 

Ia lalu teringat sesuatu. Walau agak ragu, ia bangkit dengan semangat keluar dari kamar menuju kamar di sebelahnya. 

 

Ia terdiam di pintu kamar itu, yang berada tepat di sebelah kamarnya. Pintu bercat putih dengan kunci yang selalu tergantung di sana karena Bu Ati selalu membersihkannya. Ya, kamar Rava. Kamar yang sudah satu tahun ditinggalkan pemiliknya.

 

Ia membuka pintu tersebut, lalu kembali menutupnya. Matanya memandang sekitar, kamar abangnya itu terlihat sangat rapi dan bersih walau banyak foto menghiasi dindingnya.

 

Ia mendekat ke sebuah foto yang menampilkan gambarnya dan Rava ketika masih kecil. Walau hanya terpaut usia satu tahun, tetapi sedari kecil mereka sudah tidak cukup akrab. Padahal, Rava itu tipe manusia yang mudah bergaul dan akrab dengan semua orang kecuali adiknya sendiri. Ravi pun tak tahu alasannya apa. Namun, seingatnya dulu, sewaktu ia dihadiahi video game baru karena berhasil juara kelas saat hendak naik ke kelas lima Sekolah Dasar, Rava merebut hadiahnya, lalu mengatakan jika ia selalu merebut apa pun yang Rava mau. Ya, merebut semua kebahagiaannya.

 Padahal, Rava sendiri yang menyia-nyiakan hidup, dengan sibuk bermain sehingga tinggal kelas, dan akhirnya mereka satu angkatan di sekolah.

 

 "Selain ibu, cuman kamu yang aku punya, Bang," ungkapnya lirih. Ia ingin sekali memiliki hubungan yang baik dengan saudaranya itu, tetapi abangnya tak pernah berhenti bersikap cuek. "Tolong aku, Bang. Demi ibu kita."

 

Ravi sontak terkejut ketika mendengar suara pigura foto yang jatuh di atas nakas. Ia segera mendekat, dan mendapati jendela kamar yang terbuka. Ia segera menutupnya, sepertinya Bu Ati lupa menutupnya kembali.

 

Ia pun berjalan mendekati nakas tersebut untuk menegakkan kembali fotonya. Untuk beberapa saat, ia terdiam melihat foto itu. Ia mengangkat pigura, seketika kedua aslinya terangkat. Benar saja, ia mengenal gadis yang sedang tersenyum di dalam pigura ini.

 

 "Dia ... gadis yang dicintai Rava sedari kelas sepuluh SMA." Ia mengernyit, mengingat-ingat. Padahal dulu, gadis ini lebih dahulu menyatakan cinta padanya. Ya, gadis ini menyukainya. Namun, karena ia tahu betapa Rava menggilai gadis ini, ia memilih untuk mengabaikannya. Waktu itu ia ingat, jika Rava berhasil berpacaran dengannya walau tidak lama. "Kalau Rava sebegitu mencintainya sampai saat ini ..." ia tampak berpikir, "bukankah itu artinya gadis ini merupakan gadis yang sangat baik?"

 

Senyuman pun terukir di wajah Ravi. Ia terlihat mendapatkan harapannya kembali.

 

 

***

 

Wah, bagaimana ini?😱🧘

Terima kasih telah membaca....😊

Related chapters

  • Istriku, Kekasih Abangku   3. Melamar Gadis yang Dicintai Abangku

    "Bu Ana! Ibu ikut main?" Ana yang sedang duduk di meja guru, menggeleng sambil tersenyum ke arah muridnya yang baru keluar kelas dengan karet-karet di tangan. Muridnya itu pun mengangguk ceria, lalu keluar dari kelas bersama teman-temannya. Jika sudah jam istirahat seperti ini, Ana hanya akan beristirahat di dalam kelas. Ia tidak tertarik sama sekali berlama-lama di kantor. Bukan, bukan karena memiliki masalah dengan sepuluh guru lain, hanya saja mereka semua telah menikah termasuk guru yang satu tahun lebih muda darinya. Sehingga, obrolan mereka seputar suami, anak, dan hal-hal intim yang dihindari Ana. "Woi! Zeana!" seru seorang gadis yang baru masuk ke kelas, menghampiri Ana yang terlihat terkejut. Gadis itu langsung duduk di atas meja, di dekat Ana. "Mending kamu ikut main sama murid-muridm

    Last Updated : 2021-11-02
  • Istriku, Kekasih Abangku   4. Kami Saling Mencintai

    "Aku mohon, menikahlah denganku." Mata Ana mengerjap beberapa kali. Ia tidak paham dengan situasinya sekarang. Apakah ia sedang dikerjai? Pria itu bahkan tidak mengubah ekspresi dan nada bicaranya sama sekali meskipun sedang memohon. Ia pun menoleh sekitar, terlihat sepi. Tidak ada kamera, tidak ada tanda-tanda orang bersembunyi untuk menyorakinya nanti jika seandainya ia termakan dengan keadaan ini. Lantas, ini apa? Namun, jujur, jauh di dalam hati Ana, ada perasaan bahagia yang muncul. Bagaimana tidak? Pria yang tiba-tiba muncul di hadapannya saat ini, dan melamarnya, adalah cinta pertama yang selalu ia cintai dan jaga--ia menjaga perasaannya untuk terus mencintai pria itu sedari dulu walau tak berbalas. Mungkin terdengar konyol, karena Ana b

    Last Updated : 2021-11-03
  • Istriku, Kekasih Abangku   5. Dia Tetap Kekasihku

    Selepas subuh pun, Ravi tetap tak bisa tidur. Ia hanya berbaring lesu di sofa sambil menonton televisi yang entah menayangkan acara apa, karena ia terhanyut dalam pikirannya. Matanya menatap nanar ke arah ponsel Risa yang ditaruhnya di atas meja. Rencananya ia ingin menghubungi dan mendatangi orang yang mengirim pesan tiga buah foto itu. Namun, jangankan menghubungi, teringat saja tentang hal itu sudah membuat tubuhnya menggigil, bukan karena dingin, tetapi kesakitan yang dirasakan membuat tubuhnya itu bergetar hebat. "Risa pasti punya alasan ...." Hanya kata-kata itu yang terus diulanginya untuk meyakinkan diri, jika gadis yang selama ini ia cintai, tidak seburuk itu. Ketiga foto itu .

    Last Updated : 2021-12-08
  • Istriku, Kekasih Abangku   6. Dua Wanita yang Berbeda

    "Berhenti Ravi!" teriak Risa marah dengan napas naik-turun. Ia menatap nyalang kekasihnya itu, lalu mendorong tubuhnya untuk menyingkir dari si bos. "Maaf, Mas," katanya cemas sambil membantunya berdiri, dan membawanya duduk di sofa. "Dia siapa!? Orang gila mana yang kamu sembunyikan di apartemenmu!?" bentaknya kepada Risa. "Aku akan melaporkannya kepada polisi!" "Lapor saja!" seru Ravi yang masih dikuasai amarah. "Apa Anda tidak punya istri!? Biar keluarga Anda tahu perbuatan Anda!" ancamnya. Risa berdiri. "Ravi! Itu sama saja kamu menyeretku!" serunya tak percaya. Ia menatap bosnya. "Aku benar-benar minta—" "Sudah! Biar aku menghubungi asisten untuk menjemput!" Ia lalu berdiri dengan kesal, dan berlalu pergi. Risa segera mengikuti langkahnya, sambil memohon-mohon untuk dimaafkan.

    Last Updated : 2021-12-09
  • Istriku, Kekasih Abangku   7. Jangan Menghinanya!

    "Ha?" Hanya satu kata itu yang terlintas dalam benak Ana. Pacarku? Apa ia tidak salah dengar. Sebelah alis Ravi terangkat ke arah Ana yang memandangnya bingung. Ia pun berkata, "Ya, pacar temanku," ujarnya tanpa ragu. "Kenapa? pacarnya itu lelaki, kok," bohongnya dengan ekspresi yang meyakinkan. Ana berpikir sejenak, lalu tertawa kecil. Ah, berarti ia salah dengar tadi. Lagian mana mungkin pria itu ingin melamarnya jika sudah memiliki pacar? Ia lalu mengangguk. "Aku ke sekolah dulu." Ia menuju ke sepeda merah jambu yang terparkir di sana. Di depan sepeda itu ada keranjang yang muat menampung tas sekolahnya. Ravi terlebih dahulu memegang sepeda itu. "Biar aku antarkan dengan mobil, supay

    Last Updated : 2021-12-11
  • Istriku, Kekasih Abangku   8. MENCURI?

    "Mengapa menatapku seperti itu, Sayang?" Nada suaranya terdengar mengejek. Ia pun melangkah mendekati Ravi. "Aku tidak mengira jika kamu akan memutuskan pilihan secepat ini." Sebelah tangannya meraih pipi pria itu, mengusapnya pelan. Seketika tatapan Ravi berubah sendu. Sikap kekasihnya yang seperti itu--bahkan juga menyakitinya--itu memang benar. Namun, kenyataan bahwa ia sangat-sangat mencintai kekasihnya, adalah hal yang tidak bisa dimungkiri. Ia meraih tangan Risa yang masih menempel di pipinya, lalu menggenggamnya lembut. "Perihal apakah aku masih mau terus mencintaimu atau tidak, jawabannya ada padamu." Ia tersenyum kecil. "Ayo, kita bicarakan hal ini di dalam." Di dalam maksudnya, yaitu di apartemen Risa. Tidak enak juga membahas hal penting di halaman gedung seperti ini.

    Last Updated : 2021-12-12
  • Istriku, Kekasih Abangku   9. BERBOHONG

    "Tidak, Bu, mengapa Ibu bisa berpikiran seperti itu?" Ravi menatap lembut ibunya. Ia tersenyum kecil. "Ibu boleh bertanya langsung kepada Zeana," ungkapnya meyakinkan. Mampus, entah hal apa yang membuatnya sepercaya diri ini. Namun, ia harus berhasil meyakinkan ibunya. Lagian tadi ia bisa melihat betapa bahagianya gadis itu. Besar kemungkinan, jika mungkin gadis itu masih mencintainya sampai sekarang. Entahlah. Hanya berharap saja, demi kelancaran rencananya. "Baiklah, besok kalian akan pergi jalan-jalan untuk pendekatan, 'kan?" Ibunya mengusap lembut lengan Ravi sambil tersenyum. "Nanti beri ibu sedikit waktu untuk berbicara berdua dengan calon istrimu." Ravi terdiam sebentar, ia sedikit kaget. Tidak ... ia harus terus maju dengan rencana ini, walau sudah terbayang berbagai kekacauan nantinya. Satu hal yang paling penting, ia bisa memenu

    Last Updated : 2021-12-17
  • Istriku, Kekasih Abangku   10. Yakin (?)

    Ana terdiam sebentar, memikirkan pertanyaan itu. Sebuah pertanyaan yang sebenarnya juga menghantuinya setelah Ravi meminta ia untuk menikah dengannya. Kepalanya tertunduk, kemudian menelan ludah. Responsnya yang seperti itu membuat Ibu Ravi sedikit cemas. "Aku ...," ia mengangkat wajah, menatap sendu, "pernah mencintainya, Tante." "Pernah?" Kedua alis Ibu Ravi terangkat, ia heran dengan jawaban itu. "Bagaimana dengan sekarang, Nak?" Kedua bibir Ana mengatup kuat, ia juga tidak tahu. Setelah berpikir sejenak, ia berujar yakin, "Tidak ada alasan untuk berhenti mencintainya." Senyuman kecil--walau terlihat sedikit ragu--terlukis di wajahnya. "Ana senang bisa bertemu dengannya di masa depan seperti ini. Di saat kami telah dewasa, bukan mengenakan seragam sekolah lagi." Tawa kecil lolos dari bibirnya.

    Last Updated : 2022-01-04

Latest chapter

  • Istriku, Kekasih Abangku   27. Pergi dari Rumah Ini!!!

    Ana berdeham kecil, ia merasa ada sesuatu yang mengganggu kerongkongannya. Matanya menyipit saat melihat ke sudut kanan bawah layar laptop yang menunjukkan pukul dua pagi.Ia menarik napas panjang sambil menyandarkan punggung di sandaran sofa. Rasanya sudah cukup untuk hari ini. Tiba-tiba, ia tercenung.Entah berapa lama ia seperti itu, sebuah suara dari arah dapur menyadarkannya. “Kamu, Vi?” tanyanya untuk memastikan.Tidak ada jawaban.Ia berinisiatif untuk melihatnya sambil membawa salah satu buku yang paling tebal di atas meja. Langkah kakinya terkesan pelan dan hati-hati, sebelah tangannya terangkat sambil menggenggam buku tersebut.Walau dari belakang, ia tahu jika seseorang yang saat ini berdiri memunggunginya di dekat kompor adalah sang suami. Ide jail untuk mengganggu pria itu pun muncul, ia berjalan mengendap-ngendap.“Dor!” seru Ana setengah berteriak sambil memukulkan pelan buku itu ke punggung Ravi.Ravi terlihat terkejut, sampai-sampai hampir menyemburkan air yang diminu

  • Istriku, Kekasih Abangku   26. Bertengkar Hebat

    “Tolong sapuan kuasnya … lebih halus lagi. Di bagian ini …,” komentar Ravi yang berhenti di sebelah salah satu muridnya. “Secara keseluruhan harus seimbang dengan paduan warna yang tipis.” Ia menoleh sebentar ke arah remaja perempuan enam belas tahun itu sambil tersenyum ramah. “Ya, kamu bisa.” Muridnya tersebut tersenyum lalu mengangguk. Dia melemparkan tatapan kagum ke arah Ravi yang berjalan meninggalkannya menuju murid lain. “Hm … poin dari teknik aquarel ini adalah sapuan yang tipis, transparan, dan tembus pandang.” Ia membungkuk, menyejajarkan tubuh dengan kanvas yang sedang dilukis oleh murid lelaki tujuh belas tahun. “Ini masih terlihat sebaliknya, bahkan di bagian ini menutup penuh latar belakang objek. Sepertinya kamu masih terpaku dengan teknik plakat yang terakhir kali kita pelajari.” “Ah, iya, Pak.” Remaja lelaki itu cengengesan. “Maaf, Pak. Padahal aku bertekad lulus tes universitas tanpa halangan,” keluhnya. “Aku akan banyak latihan lagi.” “Kamu pasti bisa.” Ravi ter

  • Istriku, Kekasih Abangku   25. Saran 'Kotor' dari Inka

    “Aduh!” Ana melompat-lompat agar mencapai bagian kaca jendela paling atas. Sudah banyak yang dikerjakannya--tentu saja dibantu sang suami--sebelumnya, dan kini tenaganya cukup terkuras. Tubuhnya sedikit tersentak ke belakang karena ada tangan lain yang berhasil mencapai bagian itu. Ia bisa merasakan seseorang berdiri tepat di belakangnya. “Lain kali kalau gak mampu, minta bantuan sama yang lebih mampu.” Suara berat itu membuat Ana merinding, jantungnya juga berdebar sekarang. “Sudah jelas tidak akan sampai, Pendek!” Baiklah, suara itu mulai terdengar menyebalkan. Ana pun berbalik, ia bisa melihat wajah suaminya walau harus mendongak karena ia hanya sebahu sang suami. “Berniat menolong, atau ngata-ngatain?” tanyanya menantang dengan mata menyipit. “Emosimu mudah terpancing,” kata Ravi dengan tawa kecil yang mengejek. “Tidak berubah.” Seketika Ana terdiam. Tidak berubah? Apa artinya Ravi masih mengingat sikapnya sedari masa sekolah dulu? Ia jadi merasa senang. “Kenapa?” Sebela

  • Istriku, Kekasih Abangku   24. Untuk Pertama Kalinya

    “Kamu mengejekku?” Mata Ravi menyipit memandangnya.Ana menggeleng. “Mengapa kamu selalu berprasangka buruk seperti itu?” tanyanya menantang. “Aku bersungguh-sungguh mengatakannya … suamiku seperti tokoh di dalam film.” Suaranya terdengar meyakinkan.“Film apa?” tanya Ravi hati-hati, masih memandang curiga.“Azab, enggak, ini … film Korea,” koreksi Ana cepat sebelum pria itu mengamuk. “Film Korea, tentu saja! Tidak perlu dipertanyakan lagi.”“Teruslah mengejekku.”“Aku tidak mengejek.” Ana menggosok telapak tangan dengan cepat, membersihkan permukaannya. Ia lalu menengadahkan tangan ke arah sang suami. “Seorang suami yang tampan dan kaya raya.” Senyumannya pun mengembang. “Bukankah selalu menjadi tokoh utama yang diidamkan semua penonton?”“Aih, selain hobi mengejek, kamu juga pandai menyanjung orang lain.” Ravi pun berdiri, ia telah menyelesaikan makannya. “Karena kemarin aku sudah membersihkan sampah camilan dan mempersiapkan sarapan, jadi kamu yang membersihkan semua ini. Aku mau m

  • Istriku, Kekasih Abangku   23. Tokoh-Tokoh di Dalam Film

    Suara keyboard beradu cepat dengan jari-jari tangan memenuhi ruangan yang sepi ini. Televisi menyala, tetapi tanpa suara. Gelas kosong dan sampah camilan hampir memenuhi meja, berantakan sekali.Ana meraih gelas di dekat laptopnya tanpa menoleh, ia masih fokus bekerja. Di rumah ia memiliki pekerjaan sebagai pekerja lepas, seperti menulis artikel untuk website dan menulis novel online. Memang banyak cara yang dilakukannya untuk mendapatkan uang.“Eh, kosong.” Ana menyadari gelasnya kosong, bahkan air di teko juga sudah habis. Ia pun memandang ke arah jam dinding yang berada di atas televisi. “Sudah pukul dua belas malam?!” Matanya melotot kaget, lantas segera mengecek ponsel. “Ravi tidak ada mengabari sama sekali. Ah, menyebalkan.”Kedua tangannya terangkat tinggi-tinggi untuk merenggangkan badan. Ketika sudah berada di depan laptop, ia bisa menghabiskan banyak waktu tanpa terasa. “Karena sudah malam, lebih baik berhenti. Besok pagi sekolah.”Ia beralih mematikan laptop, kemudian terli

  • Istriku, Kekasih Abangku   22. Senang Berbisnis Dengan Anda, Pak!

    Ana langsung berbalik pergi setelah mengatakan hal itu. Sedangkan Ravi terdiam, ia sedikit terkejut karena sikap dan perkataan istrinya meski ia tahu bahwa istrinya itu bukan tipe orang yang akan menerima saja jika merasa diperlakukan tidak baik. Bagaimanapun dulu mereka satu sekolah dan sempat dekat, sehingga ia cukup mengenalnya. Sama seperti surat perjanjian pra-nikah yang dulu mereka tanda tangani, itu untuk melindungi dirinya. Sekali lagi, dia bukan wanita yang mau tertindas.Baru lima langkah, Ana terdiam. Ia teringat nasihat ibunya--sebelum acara ijab kabul waktu itu--agar menjadi istri yang sholeha. Bukan hanya sang ibu, kakak, bahkan Inka--yang tadi malah menyuruhnya bertindak sebaliknya--juga memiliki nasihat yang sama. Seakan-akan mereka semua khawatir dan memiliki firasat jika ia tidak bisa menjadi istri yang baik. Meski diakui, ya, hal itu memang mungkin.Terdengar embusan napas berat yang cukup kuat dari Ana, hal itu menarik perhatian Ravi untuk memandang ke arahnya.“Ba

  • Istriku, Kekasih Abangku   21. Tidak Seperti Kekasihmu

    “Jadi, tidak ada malam pertama sama sekali?”Mata Ana langsung melotot dengan dahi berkerut mendengar pertanyaan dari sahabatnya itu, Inka. Setelah obrolan singkat mereka, dan hanya pertanyaan itu yang tercetus di dalam pikiran wanita itu.Jari-jari tangan Inka mengembang, ia terlihat menghitung. “Kalian sudah seminggu menikah, ‘kan?”“Jangan membahas hal yang tidak penting, bukan itu masalahnya sekarang,” ketus Ana sambil memukul telapak tangan Inka. “Lebih baik kamu pergi, aku harus bekerja dan silakan pergi bekerja juga!”Inka tertawa garing, ia merangkul cepat lengan Ana yang duduk di sebelahnya. “Jangan marah, dong. Kamu juga bukannya duduk di kantor guru malah kabur ke kelas.”Ya, saat ini mereka sedang berada di sekolah tempat Ana mengajar karena Ana maupun Ravi sama-sama sudah kembali bekerja. Hal ini tidak disia-siakan oleh Inka untuk langsung menghampiri sahabatnya itu.“Guru-guru lain sangat mengesalkan, aku benci ditanya-tanya,” jawab Ana seadanya.“Terus, kenapa kamu ke s

  • Istriku, Kekasih Abangku   20. Pernikahan Istimewa (?)

    Sebelah tangan Ravi bersarang di saku jaket, sedangkan yang satu lagi sibuk memutar-mutar ponsel. Pikirannya tidak keruan. Sampai detik ini Risa masih belum menghubunginya, padahal wanita itu pernah berjanji bahwa ia akan menjadi orang pertama yang dihubungi setelah dia mendapatkan kartu ponsel baru.“Sudahlah … ini baru beberapa hari.” Ravi melihat layar ponsel, lalu menyimpannya ke dalam saku. “Padahal aku sedang sangat-sangat membutuhkannya. Aku juga menyesal tidak memberikan kesan perpisahan dengan baik.”“Ravi!”Kepala Ravi menoleh ke sumber suara. Terlihat Ana melambaikan tangan dengan semangat di rak paling ujung dengan troli di depan.Sedari tadi mereka berada di super market, hanya saja Ravi tidak mau beranjak dari rak awal di dekat kasir. Ia tidak mau berada di dekat Ana, sehingga membiarkan istrinya itu berbelanja sendiri.Sebelah alis Ravi sedikit mengernyit, istrinya itu setengah berlari dengan wajah ceria mendekat kepadanya. Ia pun membuang wajah.“Kamu yakin tidak ingin

  • Istriku, Kekasih Abangku   19. Pernikahan yang Berkabung

    “Vi … jika sangat sesakit itu … tolong curahkan segalanya kepadaku.” Suara Ana terdengar pelan sekali, sebelah tangannya terulur menyentuh samar rambut Ravi karena takut akan membangunkan pria itu. “Jangan memperlakukanku seperti ini.”Bibir Ana tersenyum sendu. Ia iba dengan suaminya dan juga pada dirinya sendiri. Semula ia bersimpuh di dekat sofa untuk menatap wajah suaminya yang terlihat lelah. Setelah puas mengatakan isi hati, ia pun berdiri untuk kembali melanjutkan aktivitas paginya.Sudah dua hari berlalu semenjak hari pernikahan mereka, dan sampai sekarang pernikahan mereka masih berkabung. Ravi diam seribu bahasa, bahkan tidak mau tidur di kamar dengan Ana. Ia memilih menghabiskan malam dengan minum di hadapan televisi sampai tertidur di sofa. Ketika Ana berniat menemani, ia menolaknya sambil melemparkan tatapan tajam yang dingin. Hal itu membuat nyali Ana ciut.Walau masih mau memakan masakan Ana, Ravi tidak mau menatap wanita itu apalagi berbicara dengannya. Jika pada umu

DMCA.com Protection Status