Share

2. Kekasihku Menolak

 "Apa?!"

 

Seorang gadis berparas cantik dengan rambut hitam panjang bergelombangnya, hampir saja menyemburkan jus jeruk yang diteguknya. Untung saja ia bisa menahan keterkejutannya, kalau tidak, gaun biru muda selututnya tentu akan bermandikan air jeruk. 

 

 "Aku sudah mapan ... Risa. Umur pun lumayan, 'kan?" Ravi terus berusaha membujuk kekasihnya itu untuk mengabulkan permintaan ibunya. Ia berharap sekali kekasihnya itu mau dinikahi. Lagian, usianya sekarang 25 tahun, dan kekasihnya 24 tahun. Bukankah usia mereka cukup dewasa? Masalah pekerjaan pun, juga cukup mapan.

 

 

"Tapi aku baru mau bilang, Vi. Aku akan pergi ke Milan." Gadis yang dipanggil Risa itu, menatap pria yang duduk di seberangnya dengan serius. 

 

Ravi sontak terdiam mendengar jawaban pacarnya, Risa. Ia berpikir sejenak, sambil berusaha untuk menenangkan diri.

 

 "Oke. Kita menikah, dan aku akan ikut kamu ke Milan," ungkap Ravi pelan sambil berusaha tersenyum. Ia benar-benar berharap sekali, karena tidak ingin mengecewakan ibunya. Lagian, ia juga tulus mencintai gadis ini, dan tidak ingin kehilangannya.

 

Ia pun tersenyum yakin. Ia terus berdoa di dalam hati agar kekasihnya ini setuju untuk segera menikah dengannya.

 

 "Ibumu?"

 

 "Ibu ikut, Sa."

 

Risa memutar bola matanya malas. Ia mengurut kening, seketika kepalanya sangat pusing. Lelucon macam apa itu? Ia harus menikah, mengurus seorang laki-laki dan juga beserta ibunya? Bukankah tadi sudah jelas, jika ia harus jauh-jauh ke sana untuk mengejar karier? 

 

 

"Begini ya, Vi. Ini debut internasional pertamaku." Risa berusaha menjelaskan sambil menahan emosinya. "Tidak, tidak! Aku tidak mau menikah," tolaknya mentah-mentah.

 

Ravi kecewa mendengar penolakan Risa, air wajahnya sedikit berubah. Namun, ia tetap berusaha mengontrolnya. 

 

 "Kamu tidak cinta sama aku, Sa?"

 

Risa menatap lekat-lekat wajah kekasihnya. Ia sedikit kesal dengan ajakan menikah dadakan dari kekasihnya itu. "Jangan bawa-bawa perasaan, deh. Lagian, kamu yang tiba-tiba ngajakin nikah," katanya cuek.

 

Ravi menggenggam lembut tangan kekasihnya. Ia berusaha untuk meyakinkan kekasihnya itu. "Ibu meminta aku untuk segera menikah. Karena aku punya kamu, jadi--"

 

 

 "Ya, gak dadakan juga, lah!" Ia menarik tangannya yang digenggam oleh Ravi.

 

 "Kamu itu tahu, kalau aku seorang model profesional, dan sangat ingin go internasional. Kesempatan gak datang dua kali, Vi. Ini kesempatan emas buat aku!"

 

Ravi memandang sendu wajah Risa yang tampak marah. Bahkan, kulit putih gadis itu memerah. Jelas sekali jika ia sedang dikuasai amarah. Ravi tertunduk, ia sadar jika tidak pantas juga baginya untuk memaksa gadis seperti ini.

 

Sebagai seseorang yang mencintai Risa, harusnya ia memahami dan mengerti dengan posisi gadis ini yang ingin terus mengejar masa emas kariernya. "Maaf, Risa ...," ungkapnya lemah. "Tetapi aku juga tidak bisa mengabaikan permintaan ibu begitu saja ...." Ravi terlihat sedih. Ia sungguh dilema.

 

Risa tertawa mengejek. Ia menatap Ravi dengan marah. "Kalau begitu, kamu nikahi saja wanita lain!" suruhnya, lalu berdiri. Ravi terkejut mendengar penuturan gadis itu. Sebelum pergi, ia berkata, "Aku memang mencintaimu, tetapi karierku lebih penting sekarang. Jika kamu tidak bisa memahamiku, pergi saja sana!" bentaknya, membuat seluruh pengunjung kafe mengalihkan atensi kepada mereka.

 

Ravi menatap kepergian Risa dengan mata yang berkaca-kaca. Ia tidak menduga akan mendapatkan penolakan sekasar ini. Walaupun ia telah mengenal Risa selama tiga tahun, dan tahu jika gadis ini keras, dan penuh ambisi, tetapi ia tidak menyangka gadis yang selama ini ia cintai akan memperlakukannya seperti ini--meninggalkannya kesulitan sendirian dengan hujatan tatapan orang lain yang melihatnya iba.

 

***

 

Sepanjang perjalanan, Ravi terus memikirkan bagaimana caranya memenuhi permintaan ibunya itu. Ditambah Bu Ati terus menelepon hanya untuk memastikan apakah kekasihnya mau untuk dinikahi, karena keadaan ibunya yang memburuk. Bahkan, Bu Ati berkata bagaimana jika hal ini permintaan terakhir dari ibunya, sama seperti ayahnya dulu?

 

Ia memukul kuat setir mobil sambil mengusap wajah kasar. Jika bukan Risa orangnya, ia tidak tahu lagi siapa. Tidak mungkin ia menikahi sembarang gadis, bukan? Lagian selama tiga tahun belakangan ini, ia hanya memandang Risa sebagai gadis satu-satunya yang paling ia cintai, dan ingin dinikahi di masa depan.

 

Ia memutukan untuk kembali ke rumah, menghentikan semua pekerjaannya pada hari ini karena sedikit pun ia tak bisa berkonsentrasi menjalani hari-harinya.

 

Ketika menghentikan mobil di depan rumah, Ravi berusaha sepelan mungkin agar kedatangannya tidak diketahui ibu dan Bu Ati yang saat ini menjaga ibunya di kamar. Ia membuka pintu perlahan, lalu berjalan pelan ke lantai dua menuju kamarnya. Ia ingin menenangkan diri di sana sambil berpikir meski yang ada sekarang hanyalah jalan buntu. 

 

Ravi menghamburkan badan ke ranjang single bed sambil mengembuskan napas sesak. Ia berbalik, memandang langit-langit kamar dengan desain langit gelap penuh bintang yang ia lukis sendiri.

 

 "Nikah kontrak dosa, menikahi gadis yang menyukaiku begitu saja gak mungkin." Ia terus berpikir. Banyak gadis yang menyukai dan mengejarnya selama ini, bahkan dari bangku perkuliahan. Selain baik dan berbakat, ia juga tampan. Ia mendapatkan gen bule dari kakeknya yang merupakan orang Belanda. Entah betul atau tidak, tetapi itulah yang dikatakan orangtuanya dulu. Lagian, masuk akal saja, karena mata cokelat, rambut pirang, dan kulit putihnya--yang tidak mau berubah gelap, sekeras apa pun ia mencoba menjemurnya di bawah sinar matahari--, cukup membuktikan kebenaran ucapan orang tuanya itu.

 

 "Meski dadakan, aku gak mau menikahi gadis yang salah." Ia terus berpikir. "Tetapi benar-benar gak ada harapan lagi."

 

Ia lalu teringat sesuatu. Walau agak ragu, ia bangkit dengan semangat keluar dari kamar menuju kamar di sebelahnya. 

 

Ia terdiam di pintu kamar itu, yang berada tepat di sebelah kamarnya. Pintu bercat putih dengan kunci yang selalu tergantung di sana karena Bu Ati selalu membersihkannya. Ya, kamar Rava. Kamar yang sudah satu tahun ditinggalkan pemiliknya.

 

Ia membuka pintu tersebut, lalu kembali menutupnya. Matanya memandang sekitar, kamar abangnya itu terlihat sangat rapi dan bersih walau banyak foto menghiasi dindingnya.

 

Ia mendekat ke sebuah foto yang menampilkan gambarnya dan Rava ketika masih kecil. Walau hanya terpaut usia satu tahun, tetapi sedari kecil mereka sudah tidak cukup akrab. Padahal, Rava itu tipe manusia yang mudah bergaul dan akrab dengan semua orang kecuali adiknya sendiri. Ravi pun tak tahu alasannya apa. Namun, seingatnya dulu, sewaktu ia dihadiahi video game baru karena berhasil juara kelas saat hendak naik ke kelas lima Sekolah Dasar, Rava merebut hadiahnya, lalu mengatakan jika ia selalu merebut apa pun yang Rava mau. Ya, merebut semua kebahagiaannya.

 Padahal, Rava sendiri yang menyia-nyiakan hidup, dengan sibuk bermain sehingga tinggal kelas, dan akhirnya mereka satu angkatan di sekolah.

 

 "Selain ibu, cuman kamu yang aku punya, Bang," ungkapnya lirih. Ia ingin sekali memiliki hubungan yang baik dengan saudaranya itu, tetapi abangnya tak pernah berhenti bersikap cuek. "Tolong aku, Bang. Demi ibu kita."

 

Ravi sontak terkejut ketika mendengar suara pigura foto yang jatuh di atas nakas. Ia segera mendekat, dan mendapati jendela kamar yang terbuka. Ia segera menutupnya, sepertinya Bu Ati lupa menutupnya kembali.

 

Ia pun berjalan mendekati nakas tersebut untuk menegakkan kembali fotonya. Untuk beberapa saat, ia terdiam melihat foto itu. Ia mengangkat pigura, seketika kedua aslinya terangkat. Benar saja, ia mengenal gadis yang sedang tersenyum di dalam pigura ini.

 

 "Dia ... gadis yang dicintai Rava sedari kelas sepuluh SMA." Ia mengernyit, mengingat-ingat. Padahal dulu, gadis ini lebih dahulu menyatakan cinta padanya. Ya, gadis ini menyukainya. Namun, karena ia tahu betapa Rava menggilai gadis ini, ia memilih untuk mengabaikannya. Waktu itu ia ingat, jika Rava berhasil berpacaran dengannya walau tidak lama. "Kalau Rava sebegitu mencintainya sampai saat ini ..." ia tampak berpikir, "bukankah itu artinya gadis ini merupakan gadis yang sangat baik?"

 

Senyuman pun terukir di wajah Ravi. Ia terlihat mendapatkan harapannya kembali.

 

 

***

 

Wah, bagaimana ini?šŸ˜±šŸ§˜

Terima kasih telah membaca....šŸ˜Š

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status