Untuk beberapa detik, Ravi terdiam, berusaha menahan rasa keterkejutannya atas pertanyaan Ana tersebut. Gadis itu masih setia menatapnya, menunggu jawaban. Terlihat juga dari matanya jika dia takut kecewa dengan jawaban yang akan didengar. "Aku melamarmu, karena aku membutuhkanmu, Zeana." Jawaban itu diutarakan dengan sungguh-sungguh tanpa maksud berbohong. Ya, memang karena butuh, dan ia tidak mau terlalu berbohong dengan kata-katanya. "Mari kita melanjutkan kisah di masa lalu, yang sempat tertunda," pintanya pelan. Kening Ana sedikit berkerut. "Waktu itu di sudut belakang kelas, kamu menyuruhku agar melupakanmu untuk selamanya." Jari-jarinya mengetuk pelan meja, pikirannya menerawang ke masa silam. "Aku tahu agak bodoh tiba-tiba membahas hal itu, tetapi aku pikir kamu tidak pernah mencintaiku?" "Aku mencintaimu," ujar Ravi cepat, membua
Baik Ana maupun Inka sama-sama terdiam. Jika memang semuanya terlalu tidak masuk akal, maka beruntungnya Ana seperti dihampiri keajaiban ... ia bahagia dengan ketidakmasukakalan ini. Bisakah hal baik ini menjadi miliknya? "Bisa saja di video itu mereka putus karena Ravi mau menikahiku?" Dari nada suaranya, Ana berharap Inka menyetujui dugaannya, tanpa ada sanggahan atau fakta mengejutkan yang membuatnya kecewa. "Bisa jadi, 'kan?" Ia masih berusaha meyakinkan bahwa apa yang diinginkannya benar menjadi kenyataan. Sebelah tangan Inka mengusap dagu dengan pelan sambil memandang datar sahabatnya itu. Ia berusaha membaca dari ekspresi dan tatapan mata, apakah akal sehat masih berfungsi pada wanita itu. Tidak. Ana sudah dibutakan oleh cinta. "Aku ...," ia menggantungkan ucapan, "berkata apa pun juga tidak akan berpengaruh padamu, 'kan? Karena kamu memilih untuk mempertahankan keyakinanmu d
Ana menangkap ekspresi wajah Ravi ketika melirik ponselnya. Wajah pria itu tidak biasa, membuat perasaannya gelisah. Ia yakin ada yang disembunyikan oleh pria itu.“Sebelum memeriksa persiapan pernikahan, bagaimana kalau kita makan dulu?” tawar Ana, ia menatap lekat pria itu yang terlihat kehilangan fokus.Pandangan Ravi beralih, ia mengangguk semangat dengan senyuman lebar. “Baiklah.” Jari-jarinya mengetuk setir. “Makan di tempat biasa?” usulnya.Senyuman terukir di wajah Ana, ia menggeleng. “Jalan saja dulu, nanti aku beri tahu di mana kita berhenti.”Kedua alis Ravi terangkat, ia terlihat heran. Namun, ia mengangguk kemudian sambil melajukan mobil. “Bagaimana tadi di sekolah?” tanyanya basa-basi, daripada canggung karena hanya diam.“Seperti biasa, selalu berwarna.” Ana bersandar nyaman, ia melipat kedua tangan di depan dada. “Kali ini lebih ekstrem ….”Sesekali Ravi memandang wanita di sebelahnya yang terlihat menyimpan banyak beban pikiran. Ia bersiap mendengarkan, karena seperti
“Penyesalan atas pernikahan kita,” koreksi Ana, membuat wajah pria di depannya berubah. Pria itu tersentak dengan sebelah alis terangkat. “Aku akan berusaha menjadi pendamping yang baik.” Ia tersenyum.Ravi tidak mampu menjawab. Matanya melirik ke bawah, melihat vas bunga kecil yang berada di tengah meja. Tatapan wanita di depannya terlihat tulus dan polos, ia merasa bersalah telah banyak membohongi wanita itu. Namun, ia tidak punya pilihan lain. Baginya hanya satu hal yang penting, yaitu wanita di depannya ini mau menikah dengannya. Itu saja. Perihal bagaimana perasaan dan lainnya, tidak penting sekarang.“Aku ke toilet sebentar,” pamit Ravi, bersamaan dengan pelayan yang menyajikan pesanan mereka. Tanpa menunggu jawaban dari Ana, ia sudah pergi begitu saja menuruni tangga.Saat menapaki anak tangga terakhir, kedua mata Ravi terbuka lebar karena berpas-pasan dengan Risa. Ia sangat terkejut.“Kenapa, Sayang?” tanya Risa dengan senyuman menggoda. “Aku tahu kamu dan wanita itu di sini,
Kedua tangan Ana terangkat tinggi. Ia merenggangkan tubuh sambil menguap. Selama perjalanan ia tertidur karena tempat yang mereka tuju cukup jauh. Ia mengusap mata perlahan, kemudian melihat ke luar jendela.“Sudah sampai, ya?” Ia sadar jika mobil telah terparkir di depan sebuah gedung percetakan undangan yang besar dengan halaman depan yang cukup luas dan dijadikan tempat parkir. “Maaf, jika aku tidur.” Ia menoleh ke arah pria di sebelahnya yang sudah bersiap-siap hendak turun.Langit perlahan mulai gelap, tidak disangka mereka akan selambat ini karena terjebak macet cukup lama ditambah tempat yang jauh.“Syukurlah kamu bisa beristirahat,” balas Ravi singkat.Mereka turun, kemudian memasuki gedung tersebut bersama. Seorang karyawan langsung menyambut dan menuntun mereka ke satu set sofa tidak jauh dari sana. Ravi terlihat santai, sepertinya ia cukup akrab dengan t
Setelah kejadian waktu itu, Ravi memilih untuk mengabaikan Risa untuk sesaat. Ia takut jika wanita itu akan bertindak jauh dan mengacaukan semuanya. Meski merindukannya, kali ini ia harus bersikap tegas.Ravi melihat pantulan diri sendiri di cermin. Saat ini ia telah mengenakan pakaian pernikahan berupa setelan jas putih untuk acara ijab kabul yang diadakan satu jam lagi. Dari kemarin malam keadaan di sini selalu ramai orang-orang yang dipekerjakannya untuk mendekorasi karena pesta pernikahan akan berlangsung di rumahnya.Ia melamun sesaat, lalu mengedarkan pandangan ke sekeliling. Kamarnya sudah dihias bernuansa putih-putih ala kamar pengantin baru. Suasana hatinya terasa bercampur aduk, ada perasaan tidak enak juga.Ponsel di tangan semakin digenggamnya erat. Ia mulai mencemaskan kekasihnya, Risa. Akankah wanita itu hadir untuk sekadar memberinya semangat? Karena pernikahan ini sesuai kesepakatan mereka.Dering ponsel membuatnya penuh harap. Ia segera menatap ke layar, terlihat keka
Saat ini dari pelaminan Ana bisa melihat seluruh kegiatan di acara pesta pernikahannya. Para tamu mulai banyak berdatangan, keluarganya menyambut ramah di depan, serta sahabat baiknya, Inka, yang duduk sambil terus tersenyum ramah dari balik meja buku tamu. Sesekali sahabatnya itu melirik ke arahnya, melemparkan senyuman kecil untuk menutupi kecemasan.Ana mengerti kecemasan sahabatnya itu, bahkan ia jauh lebih cemas dan rasanya ingin menangis. Namun, semua perasaan itu ditahan sehingga hanya memasang ekspresi bahagia, tersenyum mengembang ke arah para tamu yang menatapnya dari jauh.Ia terus berpikir, di mana suaminya? Ya, katanya tadi Ravi harus pergi duluan karena ibunya mendadak sakit. Sesampainya ia di sini--karena pesta diadakan di rumah suaminya dengan tenda dan pelaminan di halaman--, ternyata pria itu tidak mengantarkan ibunya sama sekali, bahkan tidak di rumah.Tidak ada yang tahu keberadaan pria itu, ponselnya juga tidak bisa dihubungi. Mulanya tadi ia enggan naik ke pelami
Geno terkejut saat sampai di lokasi pesta pernikahan Ana. Ia melihat ke layar ponsel sekali lagi untuk memastikan jika ia tidak salah alamat. Namun, mendengar obrolan ibu-ibu yang berselisih dengannya seketika menjawab pertanyaannya.Bukan hanya ia, beberapa tamu yang baru datang turut terdiam di dekatnya. Mereka ragu untuk masuk karena telanjur memakai pakaian pesta. Suara orang-orang membaca surah Yasin terdengar dari dalam rumah. Tenda besar dan megah di hadapannya terlihat muram.“Tidak ada yang menduga ini, bahkan si pengantin pria baru beberapa menit di pelaminan.”Kepala Geno tertunduk mendengar banyak omongan orang--antara benar-benar merasa peduli atau sebatas mengasihani-- yang berlalu pergi. Tangannya mengepal kuat, ia sengaja kembali ke negara ini untuk menghadiri pernikahan Ana, teman sekaligus cinta terpendamnya sedari dulu.Meski langkah para tamu lain urung, ia lebih memilih untuk tetap hadir. Ia ingin melihat Ana dan harus memeriksa keadaan wanita itu. Kekhawatiran mu