"Nak ... ibu ada permintaan ...." Ravi yang tengah menyuapi ibunya bubur ayam, mendadak menghentikan pergerakannya. "Ada apa, Bu?" tanya Ravi dengan senyuman lembut kepada ibunya. "Nak ... ibu ingin melihat kamu atau abangmu menikah," pintanya dengan suara lemah. Ia terbatuk-batuk sebentar, lalu berusaha kembali berbaring dengan nyaman. Saking terkejutnya, Ravi tak menyadari ibunya yang sedang kesusahan dan terbatuk-batuk tersebut. Ia benar-benar terkejut, hingga terdiam, berusaha mencerna kata-kata ibunya. "Nak ... ibu mohon ...." Ravi pun hanya tersenyum membalas permintaan ibunya. "Ibu ... Ibu sedang demam. Ibu ja
"Apa?!" Seorang gadis berparas cantik dengan rambut hitam panjang bergelombangnya, hampir saja menyemburkan jus jeruk yang diteguknya. Untung saja ia bisa menahan keterkejutannya, kalau tidak, gaun biru muda selututnya tentu akan bermandikan air jeruk. "Aku sudah mapan ... Risa. Umur pun lumayan, 'kan?" Ravi terus berusaha membujuk kekasihnya itu untuk mengabulkan permintaan ibunya. Ia berharap sekali kekasihnya itu mau dinikahi. Lagian, usianya sekarang 25 tahun, dan kekasihnya 24 tahun. Bukankah usia mereka cukup dewasa? Masalah pekerjaan pun, juga cukup mapan. "Tapi aku baru mau bilang, Vi. Aku akan pergi ke Milan." Gadis yang dipanggil Risa itu, menatap pria yang duduk di seberangnya dengan serius. Ravi sontak terdiam mendengar jawaban pacar
"Bu Ana! Ibu ikut main?" Ana yang sedang duduk di meja guru, menggeleng sambil tersenyum ke arah muridnya yang baru keluar kelas dengan karet-karet di tangan. Muridnya itu pun mengangguk ceria, lalu keluar dari kelas bersama teman-temannya. Jika sudah jam istirahat seperti ini, Ana hanya akan beristirahat di dalam kelas. Ia tidak tertarik sama sekali berlama-lama di kantor. Bukan, bukan karena memiliki masalah dengan sepuluh guru lain, hanya saja mereka semua telah menikah termasuk guru yang satu tahun lebih muda darinya. Sehingga, obrolan mereka seputar suami, anak, dan hal-hal intim yang dihindari Ana. "Woi! Zeana!" seru seorang gadis yang baru masuk ke kelas, menghampiri Ana yang terlihat terkejut. Gadis itu langsung duduk di atas meja, di dekat Ana. "Mending kamu ikut main sama murid-muridm
"Aku mohon, menikahlah denganku." Mata Ana mengerjap beberapa kali. Ia tidak paham dengan situasinya sekarang. Apakah ia sedang dikerjai? Pria itu bahkan tidak mengubah ekspresi dan nada bicaranya sama sekali meskipun sedang memohon. Ia pun menoleh sekitar, terlihat sepi. Tidak ada kamera, tidak ada tanda-tanda orang bersembunyi untuk menyorakinya nanti jika seandainya ia termakan dengan keadaan ini. Lantas, ini apa? Namun, jujur, jauh di dalam hati Ana, ada perasaan bahagia yang muncul. Bagaimana tidak? Pria yang tiba-tiba muncul di hadapannya saat ini, dan melamarnya, adalah cinta pertama yang selalu ia cintai dan jaga--ia menjaga perasaannya untuk terus mencintai pria itu sedari dulu walau tak berbalas. Mungkin terdengar konyol, karena Ana b
Selepas subuh pun, Ravi tetap tak bisa tidur. Ia hanya berbaring lesu di sofa sambil menonton televisi yang entah menayangkan acara apa, karena ia terhanyut dalam pikirannya. Matanya menatap nanar ke arah ponsel Risa yang ditaruhnya di atas meja. Rencananya ia ingin menghubungi dan mendatangi orang yang mengirim pesan tiga buah foto itu. Namun, jangankan menghubungi, teringat saja tentang hal itu sudah membuat tubuhnya menggigil, bukan karena dingin, tetapi kesakitan yang dirasakan membuat tubuhnya itu bergetar hebat. "Risa pasti punya alasan ...." Hanya kata-kata itu yang terus diulanginya untuk meyakinkan diri, jika gadis yang selama ini ia cintai, tidak seburuk itu. Ketiga foto itu .
"Berhenti Ravi!" teriak Risa marah dengan napas naik-turun. Ia menatap nyalang kekasihnya itu, lalu mendorong tubuhnya untuk menyingkir dari si bos. "Maaf, Mas," katanya cemas sambil membantunya berdiri, dan membawanya duduk di sofa. "Dia siapa!? Orang gila mana yang kamu sembunyikan di apartemenmu!?" bentaknya kepada Risa. "Aku akan melaporkannya kepada polisi!" "Lapor saja!" seru Ravi yang masih dikuasai amarah. "Apa Anda tidak punya istri!? Biar keluarga Anda tahu perbuatan Anda!" ancamnya. Risa berdiri. "Ravi! Itu sama saja kamu menyeretku!" serunya tak percaya. Ia menatap bosnya. "Aku benar-benar minta—" "Sudah! Biar aku menghubungi asisten untuk menjemput!" Ia lalu berdiri dengan kesal, dan berlalu pergi. Risa segera mengikuti langkahnya, sambil memohon-mohon untuk dimaafkan.
"Ha?" Hanya satu kata itu yang terlintas dalam benak Ana. Pacarku? Apa ia tidak salah dengar. Sebelah alis Ravi terangkat ke arah Ana yang memandangnya bingung. Ia pun berkata, "Ya, pacar temanku," ujarnya tanpa ragu. "Kenapa? pacarnya itu lelaki, kok," bohongnya dengan ekspresi yang meyakinkan. Ana berpikir sejenak, lalu tertawa kecil. Ah, berarti ia salah dengar tadi. Lagian mana mungkin pria itu ingin melamarnya jika sudah memiliki pacar? Ia lalu mengangguk. "Aku ke sekolah dulu." Ia menuju ke sepeda merah jambu yang terparkir di sana. Di depan sepeda itu ada keranjang yang muat menampung tas sekolahnya. Ravi terlebih dahulu memegang sepeda itu. "Biar aku antarkan dengan mobil, supay
"Mengapa menatapku seperti itu, Sayang?" Nada suaranya terdengar mengejek. Ia pun melangkah mendekati Ravi. "Aku tidak mengira jika kamu akan memutuskan pilihan secepat ini." Sebelah tangannya meraih pipi pria itu, mengusapnya pelan. Seketika tatapan Ravi berubah sendu. Sikap kekasihnya yang seperti itu--bahkan juga menyakitinya--itu memang benar. Namun, kenyataan bahwa ia sangat-sangat mencintai kekasihnya, adalah hal yang tidak bisa dimungkiri. Ia meraih tangan Risa yang masih menempel di pipinya, lalu menggenggamnya lembut. "Perihal apakah aku masih mau terus mencintaimu atau tidak, jawabannya ada padamu." Ia tersenyum kecil. "Ayo, kita bicarakan hal ini di dalam." Di dalam maksudnya, yaitu di apartemen Risa. Tidak enak juga membahas hal penting di halaman gedung seperti ini.