Beranda / Romansa / Istriku, Kekasih Abangku / 6. Dua Wanita yang Berbeda

Share

6. Dua Wanita yang Berbeda

Penulis: Setiga
last update Terakhir Diperbarui: 2021-12-09 12:22:09

"Berhenti Ravi!" teriak Risa marah dengan napas naik-turun. Ia menatap nyalang kekasihnya itu, lalu mendorong tubuhnya untuk menyingkir dari si bos. "Maaf, Mas," katanya cemas sambil membantunya berdiri, dan membawanya duduk di sofa.

 

"Dia siapa!? Orang gila mana yang kamu sembunyikan di apartemenmu!?" bentaknya kepada Risa. "Aku akan melaporkannya kepada polisi!"

 

"Lapor saja!" seru Ravi yang masih dikuasai amarah. "Apa Anda tidak punya istri!? Biar keluarga Anda tahu perbuatan Anda!" ancamnya.

 

Risa berdiri. "Ravi! Itu sama saja kamu menyeretku!" serunya tak percaya. Ia menatap bosnya. "Aku benar-benar minta—"

 

"Sudah! Biar aku menghubungi asisten untuk menjemput!" Ia lalu berdiri dengan kesal, dan berlalu pergi. Risa segera mengikuti langkahnya, sambil memohon-mohon untuk dimaafkan.

 

Sinar mata Ravi meredup melihat Risa. Apa dia seperti itu demi kariernya? Namun, haruskah dengan mengorbankan harga dirinya? Hati Ravi hancur sebagai seorang pria yang mencintai dan dicintai olehnya.

 

Suara langkah kaki Risa terdengar dihentak-hentakan dengan kesal. Ia berjalan ke arah Ravi. "Kamu gila! Bukankah sudah kukatakan jangan keluar?" Ia melipat kedua tangan di depan dada. "Apa susahnya bersembunyi!?"

 

"Apa susahnya?" tanya Ravi tak percaya. "Apa kamu bisa sabar, jika seandainya aku bermesraan dengan gadis lain? Bahkan, diluar batas wajar seperti itu!?" Ia menatap gadis di depannya dengan lekat, menuntut jawaban. Namun, gadis itu hanya terdiam.

 

Tangan Ravi memegang kedua bahu Risa, ia berkata tulus, "Aku mencintaimu, Sa. Aku memang terluka, tetapi aku akan mendengar semua penjelasanmu," ungkapnya lembut.

 

Risa menurunkan tangan Ravi dari bahunya. Pikirannya berat. "Jangan menghalangiku lagi, Vi, jika kamu memang mencintaiku."

 

"Menghalangi?"

 

Mata Risa menatap kesal pria di depannya. Ia juga mengernyit dengan tangan menggenggam. "Ajakan dadakan untuk menikah, dan sekarang ... kamu hampir membunuh bosku!?" Ia benar-benar dalam keadaan yang emosional. "Aku hanya ingin karierku bagus! Apa salahnya kamu tidak mengganggu kalau tidak bisa membantu!" sergahnya.

 

Ravi tersentak mendengarnya. "Sayang ... aku minta maaf soal nikah dadakan itu." Ia menatap teduh. "Tetapi perbuatan kamu sama pria tua itu tidak bisa dibenarkan," nasihatnya hati-hati.

 

"Aku tekankan sekali lagi, jangan mengganggu jika tidak bisa membantu," ujarnya penuh penekanan. Ia menatap Ravi dengan mata yang berkaca-kaca. "Aku semakin tua, sedangkan orang-orang semakin banyak menjadi model dengan usia relatif muda." Ia maju selangkah, lebih mendekat pada kekasihnya itu, lalu menatapnya dengan ekspresi menantang walau menahan tangis. "Apa kamu bisa bantu, mewujudkan impianku? Apa yang bisa kamu lakukan, sebagai kekasihku!?"

 

Ravi tertunduk, ia tidak sanggup melihat gadis yang dicintainya harus seperti itu. Ia pun merutuki diri sendiri karena tidak bisa membantu banyak dalam mewujudkan impian gadis itu. "Aku akan lakukan apa pun, Sa," ungkapnya penuh penyesalan. "Tolong kasih tahu, apa yang bisa aku lakukan?"

 

"Cukup jangan halangi aku!" serunya tegas. Ia kemudian menunjuk ke arah pintu. "Sekarang kamu pergi."

 

Diusir seperti ini menambah hancur perasaannya. Namun, apalah daya saat rasa cintanya lebih besar dari kekecewaannya. Ia sudah telanjur jatuh cinta sangat dalam pada gadis ini. "Kamu usir aku?"

 

Risa memalingkan wajah, bahkan memunggunginya. "Pergi, tenangkan pikiranmu. Setelah itu putuskan apakah kamu masih tetap mau mencintaiku atau tidak."

 

"Sa ...," panggil Ravi lembut. Ia terdiam ketika gadis itu beranjak pergi memasuki kamarnya, dan menutup pintu.

 

Ravi mematung sebentar sambil memandang sedih pintu itu. Ia pun memutuskan untuk pergi. Sementara itu, Risa menangis sejadi-jadinya di balik pintu. Ia menyesali jalan hidupnya yang tak pernah beruntung sedari kecil. Ditinggal kedua orang tua sedari bangku Sekolah Dasar karena sakit, lalu hidup sebatang kara dan ditampung oleh tante yang menjadikannya pembantu di rumahnya selama masa sekolah. Ketika sudah dewasa pun, ia juga harus mengalami banyak kesulitan. 

 

Memang, Ravi menjadi satu-satunya hal terbaik yang ia dapatkan, dan ia sangat mencintai pria itu. Namun, ambisinya untuk menjadi orang sukses dan terkenal agar tak direndahkan lagi oleh tante dan sanak saudara orang tuanya, membuatnya menginginkan lebih. 

 

"Maaf, Vi ...," lirihnya.

 

***

Ravi keluar dari gedung itu dengan perasaan yang sudah tak berbentuk. Ia tak hanya kecewa pada Risa, tetapi juga pada dirinya sendiri. Mengapa ia tidak mampu membantu gadis yang dicintainya?

 

Langkah kakinya berhenti ketika melihat Ana sedang menjinjing keranjang yang cukup besar. Gadis itu tampak terkejut saat mata mereka tak sengaja saling bertatapan.

 

"Kamu ngapain? Gak sekolah?" tanya Ravi—walau gadis itu sudah terlihat mengenakan seragam gurunya. "Roti?" Ia mengernyit melihat banyaknya roti di dalam keranjang itu. 

 

Ana berdeham, jantungnya mulai berdegup kencang. "Aku baru memasarkan secara daring roti-roti ini, dan ada pelanggan yang memesan di apartemen lantai dua." Ia tersenyum malu-malu. "Alhamdulillah dia memesan banyak. Rencanaku setelah ini baru ke sekolah."

 

"Ya, udah, aku temani," tawarnya, lalu kembali masuk ke gedung tersebut.

 

Langkah kaki Ana bergegas mengejarnya. "Eh, gak usah repot-repot." Ia terus mengikuti langkah Ravi, yang hanya terdiam tak membalas ucapannya.

 

Mereka memasuki lift. Terjadi sedikit kecanggungan. Ana grogi setengah mati karena saat ini pria yang selama ini ia cintai berdiri di sebelahnya, berbeda dengan Ravi yang berwajah datar ditambah harinya yang sudah suram sebelumnya. 

 

"Kamu membuat roti?" tanyanya datar.

 

"Enggak. Aku beli dari tempat produksi untuk dijual kembali," jawab Ana seadanya.

 

"Kenapa pakai keranjang?" Ravi melirik keranjang tua dari anyaman itu, yang bahkan sudah ada beberapa anyaman yang terlepas. "Perasaan sudah banyak kotak roti zaman sekarang."

 

Perkataan pria itu membuat Ana tertunduk. Mereka keluar dari lift ketika pintunya terbuka.

 

"Aku ada rencana membelinya, ketika punya uang yang berlebih nanti." Ia tertawa kecil ke arah pria itu, dan terus berjalan hingga berhenti di depan pintu sebuah kamar. Ia mengambil kertas dari dalam saku, mengecek alamat. "Benar di sini."

 

Ravi turut berhenti, dan berdiri di sebelahnya. Ia menoleh ke samping ketika gadis itu belum melakukan apa pun. Ia melihat Ana tersenyum senang, dan bersemangat.

 

"Ini pelanggan pertamaku untuk layanan pesan-antar." Ia menoleh ke arah Ravi. "Biasanya hanya kujajakan di sekolah atau di sekitar sana." 

 

Ia tersenyum lebar, auranya positif sekali sampai-sampai Ravi terpana melihatnya. Bagaimana bisa ada orang dewasa yang masih bisa tersenyum dan bahagia seperti itu, untuk hal-hal yang sesederhana ini? Apakah di hidupnya tidak ada masalah?

 

Mungkin Ravi salah, karena ia membandingkannya dengan hidupnya.

 

"Bismillah," ucap Ana, lalu menekan bel dengan penuh harap.

 

Pintu pun terbuka. Terlihat seorang ibu-ibu dengan anak dua tahun digendongan. Suasana apartemennya cukup ramai dengan banyak balon, dan dekorasi sederhana khas perayaan ulang tahun.

 

"Eh, Ibu sudah datang," katanya ramah. "Masuk dulu, Bu?" tawarnya sambil membuka pintu lebar-lebar.

 

Ana tersenyum sambil menggeleng. "Terima kasih, Bu. Saya harus ke sekolah," tolaknya tak enak.

 

Ibu tersebut mengambil uang dari dompet lalu memberikannya pada Ana. "Oh, iya, maaf lupa." Ia tertawa kecil. "Ibu ini dulu gurunya anak saya sewaktu kelas lima. Ingat tidak?"

 

"Iya, Bu, saya masih ingat." Ia menerima uang tersebut. Tidak menyangka juga kalau ternyata pelanggannya salah satu orang tua siswa yang dulu pernah ia didik. "Terima kasih banyak, Bu. Kami pergi dulu."

 

"Oya, keranjangnya, Bu?"

 

"Gak apa-apa, untuk Ibu saja." Ia pun melihat jika jumlah uang yang diberikan oleh ibu itu berlebih. "Aduh, uangnya berlebih, Bu."

 

Ia hendak mengembalikannya, tetapi ibu itu menolak. "Udah, Bu, sama guru anak saya, saya gak hitung-hitungan."

 

"Wah, terima kasih banyak, Bu," ucapnya senang. "Semoga rezeki Ibu selalu melimpah." Mereka saling bertukar senyum, lalu pamit pergi.

 

Ana dan Ravi pun menuju lift kembali. Sepanjang perjalanan, Ana terlihat sangat bahagia. Ia bahkan masih menggenggam uangnya. Ketika memasuki lift, ia menyimpan uang itu dengan hati-hati.

 

"Baru pertama kali melihat uang?" tanya Ravi tak tahan. Pasalnya, gadis itu adalah manusia yang pertama kali dilihatnya yang memiliki reaksi terlalu berlebihan seperti itu ketika mendapatkan uang. Padahal, uang yang didapatkannya tidak seberapa.

 

"Alhamdulillah, bisa beli makanan enak untuk kucing-kucingku," ungkapnya. 

 

Ravi memandangnya heran, lalu mengangguk paham ketika teringat pekerjaan gadis itu sebagai guru yang mungkin tidak memiliki pendapatan banyak. "Dan bisa membeli kotak kue?"

 

Mereka keluar dari lift menuju halaman. "Ya ... nanti pakai plastik saja," jawabnya enteng. Ia lalu terdiam sebentar, membuat Ravi juga refleks terdiam, dan memandangnya datar. "Oya, Vi, kamu tinggal di sini?" tanyanya pelan, takut jika pria itu tidak suka dengan pertanyaannya.

 

"Enggak," jawab Ravi singkat. Seketika perasaannya kembali rusak dan hancur karena teringat peristiwa di apartemen Risa tadi. "Aku hanya numpang menginap."

 

Ana tidak bisa mengontrol perasaan ingin tahunya. Lagian, pria itu melamarnya, bukan? Harusnya wajar saja jika mereka mencoba saling mengenal sekarang. "Menginap di tempat siapa?"

 

Alis Ravi bertaut. Ia kesal sekali. Apakah gadis ini sudah merasa harus perlu tahu segalanya hanya karena ia melamarnya?

 

"Pacarku," jawabnya tanpa ragu.

Bab terkait

  • Istriku, Kekasih Abangku   7. Jangan Menghinanya!

    "Ha?" Hanya satu kata itu yang terlintas dalam benak Ana. Pacarku? Apa ia tidak salah dengar. Sebelah alis Ravi terangkat ke arah Ana yang memandangnya bingung. Ia pun berkata, "Ya, pacar temanku," ujarnya tanpa ragu. "Kenapa? pacarnya itu lelaki, kok," bohongnya dengan ekspresi yang meyakinkan. Ana berpikir sejenak, lalu tertawa kecil. Ah, berarti ia salah dengar tadi. Lagian mana mungkin pria itu ingin melamarnya jika sudah memiliki pacar? Ia lalu mengangguk. "Aku ke sekolah dulu." Ia menuju ke sepeda merah jambu yang terparkir di sana. Di depan sepeda itu ada keranjang yang muat menampung tas sekolahnya. Ravi terlebih dahulu memegang sepeda itu. "Biar aku antarkan dengan mobil, supay

    Terakhir Diperbarui : 2021-12-11
  • Istriku, Kekasih Abangku   8. MENCURI?

    "Mengapa menatapku seperti itu, Sayang?" Nada suaranya terdengar mengejek. Ia pun melangkah mendekati Ravi. "Aku tidak mengira jika kamu akan memutuskan pilihan secepat ini." Sebelah tangannya meraih pipi pria itu, mengusapnya pelan. Seketika tatapan Ravi berubah sendu. Sikap kekasihnya yang seperti itu--bahkan juga menyakitinya--itu memang benar. Namun, kenyataan bahwa ia sangat-sangat mencintai kekasihnya, adalah hal yang tidak bisa dimungkiri. Ia meraih tangan Risa yang masih menempel di pipinya, lalu menggenggamnya lembut. "Perihal apakah aku masih mau terus mencintaimu atau tidak, jawabannya ada padamu." Ia tersenyum kecil. "Ayo, kita bicarakan hal ini di dalam." Di dalam maksudnya, yaitu di apartemen Risa. Tidak enak juga membahas hal penting di halaman gedung seperti ini.

    Terakhir Diperbarui : 2021-12-12
  • Istriku, Kekasih Abangku   9. BERBOHONG

    "Tidak, Bu, mengapa Ibu bisa berpikiran seperti itu?" Ravi menatap lembut ibunya. Ia tersenyum kecil. "Ibu boleh bertanya langsung kepada Zeana," ungkapnya meyakinkan. Mampus, entah hal apa yang membuatnya sepercaya diri ini. Namun, ia harus berhasil meyakinkan ibunya. Lagian tadi ia bisa melihat betapa bahagianya gadis itu. Besar kemungkinan, jika mungkin gadis itu masih mencintainya sampai sekarang. Entahlah. Hanya berharap saja, demi kelancaran rencananya. "Baiklah, besok kalian akan pergi jalan-jalan untuk pendekatan, 'kan?" Ibunya mengusap lembut lengan Ravi sambil tersenyum. "Nanti beri ibu sedikit waktu untuk berbicara berdua dengan calon istrimu." Ravi terdiam sebentar, ia sedikit kaget. Tidak ... ia harus terus maju dengan rencana ini, walau sudah terbayang berbagai kekacauan nantinya. Satu hal yang paling penting, ia bisa memenu

    Terakhir Diperbarui : 2021-12-17
  • Istriku, Kekasih Abangku   10. Yakin (?)

    Ana terdiam sebentar, memikirkan pertanyaan itu. Sebuah pertanyaan yang sebenarnya juga menghantuinya setelah Ravi meminta ia untuk menikah dengannya. Kepalanya tertunduk, kemudian menelan ludah. Responsnya yang seperti itu membuat Ibu Ravi sedikit cemas. "Aku ...," ia mengangkat wajah, menatap sendu, "pernah mencintainya, Tante." "Pernah?" Kedua alis Ibu Ravi terangkat, ia heran dengan jawaban itu. "Bagaimana dengan sekarang, Nak?" Kedua bibir Ana mengatup kuat, ia juga tidak tahu. Setelah berpikir sejenak, ia berujar yakin, "Tidak ada alasan untuk berhenti mencintainya." Senyuman kecil--walau terlihat sedikit ragu--terlukis di wajahnya. "Ana senang bisa bertemu dengannya di masa depan seperti ini. Di saat kami telah dewasa, bukan mengenakan seragam sekolah lagi." Tawa kecil lolos dari bibirnya.

    Terakhir Diperbarui : 2022-01-04
  • Istriku, Kekasih Abangku   11. Ayo, Menikah!

    Untuk beberapa detik, Ravi terdiam, berusaha menahan rasa keterkejutannya atas pertanyaan Ana tersebut. Gadis itu masih setia menatapnya, menunggu jawaban. Terlihat juga dari matanya jika dia takut kecewa dengan jawaban yang akan didengar. "Aku melamarmu, karena aku membutuhkanmu, Zeana." Jawaban itu diutarakan dengan sungguh-sungguh tanpa maksud berbohong. Ya, memang karena butuh, dan ia tidak mau terlalu berbohong dengan kata-katanya. "Mari kita melanjutkan kisah di masa lalu, yang sempat tertunda," pintanya pelan. Kening Ana sedikit berkerut. "Waktu itu di sudut belakang kelas, kamu menyuruhku agar melupakanmu untuk selamanya." Jari-jarinya mengetuk pelan meja, pikirannya menerawang ke masa silam. "Aku tahu agak bodoh tiba-tiba membahas hal itu, tetapi aku pikir kamu tidak pernah mencintaiku?" "Aku mencintaimu," ujar Ravi cepat, membua

    Terakhir Diperbarui : 2022-01-06
  • Istriku, Kekasih Abangku   12. Menghilang Begitu Saja?

    Baik Ana maupun Inka sama-sama terdiam. Jika memang semuanya terlalu tidak masuk akal, maka beruntungnya Ana seperti dihampiri keajaiban ... ia bahagia dengan ketidakmasukakalan ini. Bisakah hal baik ini menjadi miliknya? "Bisa saja di video itu mereka putus karena Ravi mau menikahiku?" Dari nada suaranya, Ana berharap Inka menyetujui dugaannya, tanpa ada sanggahan atau fakta mengejutkan yang membuatnya kecewa. "Bisa jadi, 'kan?" Ia masih berusaha meyakinkan bahwa apa yang diinginkannya benar menjadi kenyataan. Sebelah tangan Inka mengusap dagu dengan pelan sambil memandang datar sahabatnya itu. Ia berusaha membaca dari ekspresi dan tatapan mata, apakah akal sehat masih berfungsi pada wanita itu. Tidak. Ana sudah dibutakan oleh cinta. "Aku ...," ia menggantungkan ucapan, "berkata apa pun juga tidak akan berpengaruh padamu, 'kan? Karena kamu memilih untuk mempertahankan keyakinanmu d

    Terakhir Diperbarui : 2022-01-08
  • Istriku, Kekasih Abangku   13. Perjanjian Pranikah

    Ana menangkap ekspresi wajah Ravi ketika melirik ponselnya. Wajah pria itu tidak biasa, membuat perasaannya gelisah. Ia yakin ada yang disembunyikan oleh pria itu.“Sebelum memeriksa persiapan pernikahan, bagaimana kalau kita makan dulu?” tawar Ana, ia menatap lekat pria itu yang terlihat kehilangan fokus.Pandangan Ravi beralih, ia mengangguk semangat dengan senyuman lebar. “Baiklah.” Jari-jarinya mengetuk setir. “Makan di tempat biasa?” usulnya.Senyuman terukir di wajah Ana, ia menggeleng. “Jalan saja dulu, nanti aku beri tahu di mana kita berhenti.”Kedua alis Ravi terangkat, ia terlihat heran. Namun, ia mengangguk kemudian sambil melajukan mobil. “Bagaimana tadi di sekolah?” tanyanya basa-basi, daripada canggung karena hanya diam.“Seperti biasa, selalu berwarna.” Ana bersandar nyaman, ia melipat kedua tangan di depan dada. “Kali ini lebih ekstrem ….”Sesekali Ravi memandang wanita di sebelahnya yang terlihat menyimpan banyak beban pikiran. Ia bersiap mendengarkan, karena seperti

    Terakhir Diperbarui : 2022-07-13
  • Istriku, Kekasih Abangku   14. Pengantin yang Ditukar (?)

    “Penyesalan atas pernikahan kita,” koreksi Ana, membuat wajah pria di depannya berubah. Pria itu tersentak dengan sebelah alis terangkat. “Aku akan berusaha menjadi pendamping yang baik.” Ia tersenyum.Ravi tidak mampu menjawab. Matanya melirik ke bawah, melihat vas bunga kecil yang berada di tengah meja. Tatapan wanita di depannya terlihat tulus dan polos, ia merasa bersalah telah banyak membohongi wanita itu. Namun, ia tidak punya pilihan lain. Baginya hanya satu hal yang penting, yaitu wanita di depannya ini mau menikah dengannya. Itu saja. Perihal bagaimana perasaan dan lainnya, tidak penting sekarang.“Aku ke toilet sebentar,” pamit Ravi, bersamaan dengan pelayan yang menyajikan pesanan mereka. Tanpa menunggu jawaban dari Ana, ia sudah pergi begitu saja menuruni tangga.Saat menapaki anak tangga terakhir, kedua mata Ravi terbuka lebar karena berpas-pasan dengan Risa. Ia sangat terkejut.“Kenapa, Sayang?” tanya Risa dengan senyuman menggoda. “Aku tahu kamu dan wanita itu di sini,

    Terakhir Diperbarui : 2022-07-16

Bab terbaru

  • Istriku, Kekasih Abangku   27. Pergi dari Rumah Ini!!!

    Ana berdeham kecil, ia merasa ada sesuatu yang mengganggu kerongkongannya. Matanya menyipit saat melihat ke sudut kanan bawah layar laptop yang menunjukkan pukul dua pagi.Ia menarik napas panjang sambil menyandarkan punggung di sandaran sofa. Rasanya sudah cukup untuk hari ini. Tiba-tiba, ia tercenung.Entah berapa lama ia seperti itu, sebuah suara dari arah dapur menyadarkannya. “Kamu, Vi?” tanyanya untuk memastikan.Tidak ada jawaban.Ia berinisiatif untuk melihatnya sambil membawa salah satu buku yang paling tebal di atas meja. Langkah kakinya terkesan pelan dan hati-hati, sebelah tangannya terangkat sambil menggenggam buku tersebut.Walau dari belakang, ia tahu jika seseorang yang saat ini berdiri memunggunginya di dekat kompor adalah sang suami. Ide jail untuk mengganggu pria itu pun muncul, ia berjalan mengendap-ngendap.“Dor!” seru Ana setengah berteriak sambil memukulkan pelan buku itu ke punggung Ravi.Ravi terlihat terkejut, sampai-sampai hampir menyemburkan air yang diminu

  • Istriku, Kekasih Abangku   26. Bertengkar Hebat

    “Tolong sapuan kuasnya … lebih halus lagi. Di bagian ini …,” komentar Ravi yang berhenti di sebelah salah satu muridnya. “Secara keseluruhan harus seimbang dengan paduan warna yang tipis.” Ia menoleh sebentar ke arah remaja perempuan enam belas tahun itu sambil tersenyum ramah. “Ya, kamu bisa.” Muridnya tersebut tersenyum lalu mengangguk. Dia melemparkan tatapan kagum ke arah Ravi yang berjalan meninggalkannya menuju murid lain. “Hm … poin dari teknik aquarel ini adalah sapuan yang tipis, transparan, dan tembus pandang.” Ia membungkuk, menyejajarkan tubuh dengan kanvas yang sedang dilukis oleh murid lelaki tujuh belas tahun. “Ini masih terlihat sebaliknya, bahkan di bagian ini menutup penuh latar belakang objek. Sepertinya kamu masih terpaku dengan teknik plakat yang terakhir kali kita pelajari.” “Ah, iya, Pak.” Remaja lelaki itu cengengesan. “Maaf, Pak. Padahal aku bertekad lulus tes universitas tanpa halangan,” keluhnya. “Aku akan banyak latihan lagi.” “Kamu pasti bisa.” Ravi ter

  • Istriku, Kekasih Abangku   25. Saran 'Kotor' dari Inka

    “Aduh!” Ana melompat-lompat agar mencapai bagian kaca jendela paling atas. Sudah banyak yang dikerjakannya--tentu saja dibantu sang suami--sebelumnya, dan kini tenaganya cukup terkuras. Tubuhnya sedikit tersentak ke belakang karena ada tangan lain yang berhasil mencapai bagian itu. Ia bisa merasakan seseorang berdiri tepat di belakangnya. “Lain kali kalau gak mampu, minta bantuan sama yang lebih mampu.” Suara berat itu membuat Ana merinding, jantungnya juga berdebar sekarang. “Sudah jelas tidak akan sampai, Pendek!” Baiklah, suara itu mulai terdengar menyebalkan. Ana pun berbalik, ia bisa melihat wajah suaminya walau harus mendongak karena ia hanya sebahu sang suami. “Berniat menolong, atau ngata-ngatain?” tanyanya menantang dengan mata menyipit. “Emosimu mudah terpancing,” kata Ravi dengan tawa kecil yang mengejek. “Tidak berubah.” Seketika Ana terdiam. Tidak berubah? Apa artinya Ravi masih mengingat sikapnya sedari masa sekolah dulu? Ia jadi merasa senang. “Kenapa?” Sebela

  • Istriku, Kekasih Abangku   24. Untuk Pertama Kalinya

    “Kamu mengejekku?” Mata Ravi menyipit memandangnya.Ana menggeleng. “Mengapa kamu selalu berprasangka buruk seperti itu?” tanyanya menantang. “Aku bersungguh-sungguh mengatakannya … suamiku seperti tokoh di dalam film.” Suaranya terdengar meyakinkan.“Film apa?” tanya Ravi hati-hati, masih memandang curiga.“Azab, enggak, ini … film Korea,” koreksi Ana cepat sebelum pria itu mengamuk. “Film Korea, tentu saja! Tidak perlu dipertanyakan lagi.”“Teruslah mengejekku.”“Aku tidak mengejek.” Ana menggosok telapak tangan dengan cepat, membersihkan permukaannya. Ia lalu menengadahkan tangan ke arah sang suami. “Seorang suami yang tampan dan kaya raya.” Senyumannya pun mengembang. “Bukankah selalu menjadi tokoh utama yang diidamkan semua penonton?”“Aih, selain hobi mengejek, kamu juga pandai menyanjung orang lain.” Ravi pun berdiri, ia telah menyelesaikan makannya. “Karena kemarin aku sudah membersihkan sampah camilan dan mempersiapkan sarapan, jadi kamu yang membersihkan semua ini. Aku mau m

  • Istriku, Kekasih Abangku   23. Tokoh-Tokoh di Dalam Film

    Suara keyboard beradu cepat dengan jari-jari tangan memenuhi ruangan yang sepi ini. Televisi menyala, tetapi tanpa suara. Gelas kosong dan sampah camilan hampir memenuhi meja, berantakan sekali.Ana meraih gelas di dekat laptopnya tanpa menoleh, ia masih fokus bekerja. Di rumah ia memiliki pekerjaan sebagai pekerja lepas, seperti menulis artikel untuk website dan menulis novel online. Memang banyak cara yang dilakukannya untuk mendapatkan uang.“Eh, kosong.” Ana menyadari gelasnya kosong, bahkan air di teko juga sudah habis. Ia pun memandang ke arah jam dinding yang berada di atas televisi. “Sudah pukul dua belas malam?!” Matanya melotot kaget, lantas segera mengecek ponsel. “Ravi tidak ada mengabari sama sekali. Ah, menyebalkan.”Kedua tangannya terangkat tinggi-tinggi untuk merenggangkan badan. Ketika sudah berada di depan laptop, ia bisa menghabiskan banyak waktu tanpa terasa. “Karena sudah malam, lebih baik berhenti. Besok pagi sekolah.”Ia beralih mematikan laptop, kemudian terli

  • Istriku, Kekasih Abangku   22. Senang Berbisnis Dengan Anda, Pak!

    Ana langsung berbalik pergi setelah mengatakan hal itu. Sedangkan Ravi terdiam, ia sedikit terkejut karena sikap dan perkataan istrinya meski ia tahu bahwa istrinya itu bukan tipe orang yang akan menerima saja jika merasa diperlakukan tidak baik. Bagaimanapun dulu mereka satu sekolah dan sempat dekat, sehingga ia cukup mengenalnya. Sama seperti surat perjanjian pra-nikah yang dulu mereka tanda tangani, itu untuk melindungi dirinya. Sekali lagi, dia bukan wanita yang mau tertindas.Baru lima langkah, Ana terdiam. Ia teringat nasihat ibunya--sebelum acara ijab kabul waktu itu--agar menjadi istri yang sholeha. Bukan hanya sang ibu, kakak, bahkan Inka--yang tadi malah menyuruhnya bertindak sebaliknya--juga memiliki nasihat yang sama. Seakan-akan mereka semua khawatir dan memiliki firasat jika ia tidak bisa menjadi istri yang baik. Meski diakui, ya, hal itu memang mungkin.Terdengar embusan napas berat yang cukup kuat dari Ana, hal itu menarik perhatian Ravi untuk memandang ke arahnya.“Ba

  • Istriku, Kekasih Abangku   21. Tidak Seperti Kekasihmu

    “Jadi, tidak ada malam pertama sama sekali?”Mata Ana langsung melotot dengan dahi berkerut mendengar pertanyaan dari sahabatnya itu, Inka. Setelah obrolan singkat mereka, dan hanya pertanyaan itu yang tercetus di dalam pikiran wanita itu.Jari-jari tangan Inka mengembang, ia terlihat menghitung. “Kalian sudah seminggu menikah, ‘kan?”“Jangan membahas hal yang tidak penting, bukan itu masalahnya sekarang,” ketus Ana sambil memukul telapak tangan Inka. “Lebih baik kamu pergi, aku harus bekerja dan silakan pergi bekerja juga!”Inka tertawa garing, ia merangkul cepat lengan Ana yang duduk di sebelahnya. “Jangan marah, dong. Kamu juga bukannya duduk di kantor guru malah kabur ke kelas.”Ya, saat ini mereka sedang berada di sekolah tempat Ana mengajar karena Ana maupun Ravi sama-sama sudah kembali bekerja. Hal ini tidak disia-siakan oleh Inka untuk langsung menghampiri sahabatnya itu.“Guru-guru lain sangat mengesalkan, aku benci ditanya-tanya,” jawab Ana seadanya.“Terus, kenapa kamu ke s

  • Istriku, Kekasih Abangku   20. Pernikahan Istimewa (?)

    Sebelah tangan Ravi bersarang di saku jaket, sedangkan yang satu lagi sibuk memutar-mutar ponsel. Pikirannya tidak keruan. Sampai detik ini Risa masih belum menghubunginya, padahal wanita itu pernah berjanji bahwa ia akan menjadi orang pertama yang dihubungi setelah dia mendapatkan kartu ponsel baru.“Sudahlah … ini baru beberapa hari.” Ravi melihat layar ponsel, lalu menyimpannya ke dalam saku. “Padahal aku sedang sangat-sangat membutuhkannya. Aku juga menyesal tidak memberikan kesan perpisahan dengan baik.”“Ravi!”Kepala Ravi menoleh ke sumber suara. Terlihat Ana melambaikan tangan dengan semangat di rak paling ujung dengan troli di depan.Sedari tadi mereka berada di super market, hanya saja Ravi tidak mau beranjak dari rak awal di dekat kasir. Ia tidak mau berada di dekat Ana, sehingga membiarkan istrinya itu berbelanja sendiri.Sebelah alis Ravi sedikit mengernyit, istrinya itu setengah berlari dengan wajah ceria mendekat kepadanya. Ia pun membuang wajah.“Kamu yakin tidak ingin

  • Istriku, Kekasih Abangku   19. Pernikahan yang Berkabung

    “Vi … jika sangat sesakit itu … tolong curahkan segalanya kepadaku.” Suara Ana terdengar pelan sekali, sebelah tangannya terulur menyentuh samar rambut Ravi karena takut akan membangunkan pria itu. “Jangan memperlakukanku seperti ini.”Bibir Ana tersenyum sendu. Ia iba dengan suaminya dan juga pada dirinya sendiri. Semula ia bersimpuh di dekat sofa untuk menatap wajah suaminya yang terlihat lelah. Setelah puas mengatakan isi hati, ia pun berdiri untuk kembali melanjutkan aktivitas paginya.Sudah dua hari berlalu semenjak hari pernikahan mereka, dan sampai sekarang pernikahan mereka masih berkabung. Ravi diam seribu bahasa, bahkan tidak mau tidur di kamar dengan Ana. Ia memilih menghabiskan malam dengan minum di hadapan televisi sampai tertidur di sofa. Ketika Ana berniat menemani, ia menolaknya sambil melemparkan tatapan tajam yang dingin. Hal itu membuat nyali Ana ciut.Walau masih mau memakan masakan Ana, Ravi tidak mau menatap wanita itu apalagi berbicara dengannya. Jika pada umu

Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status