Kedua tangan Ana terangkat tinggi. Ia merenggangkan tubuh sambil menguap. Selama perjalanan ia tertidur karena tempat yang mereka tuju cukup jauh. Ia mengusap mata perlahan, kemudian melihat ke luar jendela.“Sudah sampai, ya?” Ia sadar jika mobil telah terparkir di depan sebuah gedung percetakan undangan yang besar dengan halaman depan yang cukup luas dan dijadikan tempat parkir. “Maaf, jika aku tidur.” Ia menoleh ke arah pria di sebelahnya yang sudah bersiap-siap hendak turun.Langit perlahan mulai gelap, tidak disangka mereka akan selambat ini karena terjebak macet cukup lama ditambah tempat yang jauh.“Syukurlah kamu bisa beristirahat,” balas Ravi singkat.Mereka turun, kemudian memasuki gedung tersebut bersama. Seorang karyawan langsung menyambut dan menuntun mereka ke satu set sofa tidak jauh dari sana. Ravi terlihat santai, sepertinya ia cukup akrab dengan t
Setelah kejadian waktu itu, Ravi memilih untuk mengabaikan Risa untuk sesaat. Ia takut jika wanita itu akan bertindak jauh dan mengacaukan semuanya. Meski merindukannya, kali ini ia harus bersikap tegas.Ravi melihat pantulan diri sendiri di cermin. Saat ini ia telah mengenakan pakaian pernikahan berupa setelan jas putih untuk acara ijab kabul yang diadakan satu jam lagi. Dari kemarin malam keadaan di sini selalu ramai orang-orang yang dipekerjakannya untuk mendekorasi karena pesta pernikahan akan berlangsung di rumahnya.Ia melamun sesaat, lalu mengedarkan pandangan ke sekeliling. Kamarnya sudah dihias bernuansa putih-putih ala kamar pengantin baru. Suasana hatinya terasa bercampur aduk, ada perasaan tidak enak juga.Ponsel di tangan semakin digenggamnya erat. Ia mulai mencemaskan kekasihnya, Risa. Akankah wanita itu hadir untuk sekadar memberinya semangat? Karena pernikahan ini sesuai kesepakatan mereka.Dering ponsel membuatnya penuh harap. Ia segera menatap ke layar, terlihat keka
Saat ini dari pelaminan Ana bisa melihat seluruh kegiatan di acara pesta pernikahannya. Para tamu mulai banyak berdatangan, keluarganya menyambut ramah di depan, serta sahabat baiknya, Inka, yang duduk sambil terus tersenyum ramah dari balik meja buku tamu. Sesekali sahabatnya itu melirik ke arahnya, melemparkan senyuman kecil untuk menutupi kecemasan.Ana mengerti kecemasan sahabatnya itu, bahkan ia jauh lebih cemas dan rasanya ingin menangis. Namun, semua perasaan itu ditahan sehingga hanya memasang ekspresi bahagia, tersenyum mengembang ke arah para tamu yang menatapnya dari jauh.Ia terus berpikir, di mana suaminya? Ya, katanya tadi Ravi harus pergi duluan karena ibunya mendadak sakit. Sesampainya ia di sini--karena pesta diadakan di rumah suaminya dengan tenda dan pelaminan di halaman--, ternyata pria itu tidak mengantarkan ibunya sama sekali, bahkan tidak di rumah.Tidak ada yang tahu keberadaan pria itu, ponselnya juga tidak bisa dihubungi. Mulanya tadi ia enggan naik ke pelami
Geno terkejut saat sampai di lokasi pesta pernikahan Ana. Ia melihat ke layar ponsel sekali lagi untuk memastikan jika ia tidak salah alamat. Namun, mendengar obrolan ibu-ibu yang berselisih dengannya seketika menjawab pertanyaannya.Bukan hanya ia, beberapa tamu yang baru datang turut terdiam di dekatnya. Mereka ragu untuk masuk karena telanjur memakai pakaian pesta. Suara orang-orang membaca surah Yasin terdengar dari dalam rumah. Tenda besar dan megah di hadapannya terlihat muram.“Tidak ada yang menduga ini, bahkan si pengantin pria baru beberapa menit di pelaminan.”Kepala Geno tertunduk mendengar banyak omongan orang--antara benar-benar merasa peduli atau sebatas mengasihani-- yang berlalu pergi. Tangannya mengepal kuat, ia sengaja kembali ke negara ini untuk menghadiri pernikahan Ana, teman sekaligus cinta terpendamnya sedari dulu.Meski langkah para tamu lain urung, ia lebih memilih untuk tetap hadir. Ia ingin melihat Ana dan harus memeriksa keadaan wanita itu. Kekhawatiran mu
“Vi … jika sangat sesakit itu … tolong curahkan segalanya kepadaku.” Suara Ana terdengar pelan sekali, sebelah tangannya terulur menyentuh samar rambut Ravi karena takut akan membangunkan pria itu. “Jangan memperlakukanku seperti ini.”Bibir Ana tersenyum sendu. Ia iba dengan suaminya dan juga pada dirinya sendiri. Semula ia bersimpuh di dekat sofa untuk menatap wajah suaminya yang terlihat lelah. Setelah puas mengatakan isi hati, ia pun berdiri untuk kembali melanjutkan aktivitas paginya.Sudah dua hari berlalu semenjak hari pernikahan mereka, dan sampai sekarang pernikahan mereka masih berkabung. Ravi diam seribu bahasa, bahkan tidak mau tidur di kamar dengan Ana. Ia memilih menghabiskan malam dengan minum di hadapan televisi sampai tertidur di sofa. Ketika Ana berniat menemani, ia menolaknya sambil melemparkan tatapan tajam yang dingin. Hal itu membuat nyali Ana ciut.Walau masih mau memakan masakan Ana, Ravi tidak mau menatap wanita itu apalagi berbicara dengannya. Jika pada umu
Sebelah tangan Ravi bersarang di saku jaket, sedangkan yang satu lagi sibuk memutar-mutar ponsel. Pikirannya tidak keruan. Sampai detik ini Risa masih belum menghubunginya, padahal wanita itu pernah berjanji bahwa ia akan menjadi orang pertama yang dihubungi setelah dia mendapatkan kartu ponsel baru.“Sudahlah … ini baru beberapa hari.” Ravi melihat layar ponsel, lalu menyimpannya ke dalam saku. “Padahal aku sedang sangat-sangat membutuhkannya. Aku juga menyesal tidak memberikan kesan perpisahan dengan baik.”“Ravi!”Kepala Ravi menoleh ke sumber suara. Terlihat Ana melambaikan tangan dengan semangat di rak paling ujung dengan troli di depan.Sedari tadi mereka berada di super market, hanya saja Ravi tidak mau beranjak dari rak awal di dekat kasir. Ia tidak mau berada di dekat Ana, sehingga membiarkan istrinya itu berbelanja sendiri.Sebelah alis Ravi sedikit mengernyit, istrinya itu setengah berlari dengan wajah ceria mendekat kepadanya. Ia pun membuang wajah.“Kamu yakin tidak ingin
“Jadi, tidak ada malam pertama sama sekali?”Mata Ana langsung melotot dengan dahi berkerut mendengar pertanyaan dari sahabatnya itu, Inka. Setelah obrolan singkat mereka, dan hanya pertanyaan itu yang tercetus di dalam pikiran wanita itu.Jari-jari tangan Inka mengembang, ia terlihat menghitung. “Kalian sudah seminggu menikah, ‘kan?”“Jangan membahas hal yang tidak penting, bukan itu masalahnya sekarang,” ketus Ana sambil memukul telapak tangan Inka. “Lebih baik kamu pergi, aku harus bekerja dan silakan pergi bekerja juga!”Inka tertawa garing, ia merangkul cepat lengan Ana yang duduk di sebelahnya. “Jangan marah, dong. Kamu juga bukannya duduk di kantor guru malah kabur ke kelas.”Ya, saat ini mereka sedang berada di sekolah tempat Ana mengajar karena Ana maupun Ravi sama-sama sudah kembali bekerja. Hal ini tidak disia-siakan oleh Inka untuk langsung menghampiri sahabatnya itu.“Guru-guru lain sangat mengesalkan, aku benci ditanya-tanya,” jawab Ana seadanya.“Terus, kenapa kamu ke s
Ana langsung berbalik pergi setelah mengatakan hal itu. Sedangkan Ravi terdiam, ia sedikit terkejut karena sikap dan perkataan istrinya meski ia tahu bahwa istrinya itu bukan tipe orang yang akan menerima saja jika merasa diperlakukan tidak baik. Bagaimanapun dulu mereka satu sekolah dan sempat dekat, sehingga ia cukup mengenalnya. Sama seperti surat perjanjian pra-nikah yang dulu mereka tanda tangani, itu untuk melindungi dirinya. Sekali lagi, dia bukan wanita yang mau tertindas.Baru lima langkah, Ana terdiam. Ia teringat nasihat ibunya--sebelum acara ijab kabul waktu itu--agar menjadi istri yang sholeha. Bukan hanya sang ibu, kakak, bahkan Inka--yang tadi malah menyuruhnya bertindak sebaliknya--juga memiliki nasihat yang sama. Seakan-akan mereka semua khawatir dan memiliki firasat jika ia tidak bisa menjadi istri yang baik. Meski diakui, ya, hal itu memang mungkin.Terdengar embusan napas berat yang cukup kuat dari Ana, hal itu menarik perhatian Ravi untuk memandang ke arahnya.“Ba