Ada yang penasaran dengan masa lalu Ravi dan Ana sewaktu dulu? Sampai-sampai Ravi nekat mengambil pilihan untuk menikahinya, dan Ana pun masih mencintai Ravi? Terima kasih telah membaca. :))
"Mengapa menatapku seperti itu, Sayang?" Nada suaranya terdengar mengejek. Ia pun melangkah mendekati Ravi. "Aku tidak mengira jika kamu akan memutuskan pilihan secepat ini." Sebelah tangannya meraih pipi pria itu, mengusapnya pelan. Seketika tatapan Ravi berubah sendu. Sikap kekasihnya yang seperti itu--bahkan juga menyakitinya--itu memang benar. Namun, kenyataan bahwa ia sangat-sangat mencintai kekasihnya, adalah hal yang tidak bisa dimungkiri. Ia meraih tangan Risa yang masih menempel di pipinya, lalu menggenggamnya lembut. "Perihal apakah aku masih mau terus mencintaimu atau tidak, jawabannya ada padamu." Ia tersenyum kecil. "Ayo, kita bicarakan hal ini di dalam." Di dalam maksudnya, yaitu di apartemen Risa. Tidak enak juga membahas hal penting di halaman gedung seperti ini.
"Tidak, Bu, mengapa Ibu bisa berpikiran seperti itu?" Ravi menatap lembut ibunya. Ia tersenyum kecil. "Ibu boleh bertanya langsung kepada Zeana," ungkapnya meyakinkan. Mampus, entah hal apa yang membuatnya sepercaya diri ini. Namun, ia harus berhasil meyakinkan ibunya. Lagian tadi ia bisa melihat betapa bahagianya gadis itu. Besar kemungkinan, jika mungkin gadis itu masih mencintainya sampai sekarang. Entahlah. Hanya berharap saja, demi kelancaran rencananya. "Baiklah, besok kalian akan pergi jalan-jalan untuk pendekatan, 'kan?" Ibunya mengusap lembut lengan Ravi sambil tersenyum. "Nanti beri ibu sedikit waktu untuk berbicara berdua dengan calon istrimu." Ravi terdiam sebentar, ia sedikit kaget. Tidak ... ia harus terus maju dengan rencana ini, walau sudah terbayang berbagai kekacauan nantinya. Satu hal yang paling penting, ia bisa memenu
Ana terdiam sebentar, memikirkan pertanyaan itu. Sebuah pertanyaan yang sebenarnya juga menghantuinya setelah Ravi meminta ia untuk menikah dengannya. Kepalanya tertunduk, kemudian menelan ludah. Responsnya yang seperti itu membuat Ibu Ravi sedikit cemas. "Aku ...," ia mengangkat wajah, menatap sendu, "pernah mencintainya, Tante." "Pernah?" Kedua alis Ibu Ravi terangkat, ia heran dengan jawaban itu. "Bagaimana dengan sekarang, Nak?" Kedua bibir Ana mengatup kuat, ia juga tidak tahu. Setelah berpikir sejenak, ia berujar yakin, "Tidak ada alasan untuk berhenti mencintainya." Senyuman kecil--walau terlihat sedikit ragu--terlukis di wajahnya. "Ana senang bisa bertemu dengannya di masa depan seperti ini. Di saat kami telah dewasa, bukan mengenakan seragam sekolah lagi." Tawa kecil lolos dari bibirnya.
Untuk beberapa detik, Ravi terdiam, berusaha menahan rasa keterkejutannya atas pertanyaan Ana tersebut. Gadis itu masih setia menatapnya, menunggu jawaban. Terlihat juga dari matanya jika dia takut kecewa dengan jawaban yang akan didengar. "Aku melamarmu, karena aku membutuhkanmu, Zeana." Jawaban itu diutarakan dengan sungguh-sungguh tanpa maksud berbohong. Ya, memang karena butuh, dan ia tidak mau terlalu berbohong dengan kata-katanya. "Mari kita melanjutkan kisah di masa lalu, yang sempat tertunda," pintanya pelan. Kening Ana sedikit berkerut. "Waktu itu di sudut belakang kelas, kamu menyuruhku agar melupakanmu untuk selamanya." Jari-jarinya mengetuk pelan meja, pikirannya menerawang ke masa silam. "Aku tahu agak bodoh tiba-tiba membahas hal itu, tetapi aku pikir kamu tidak pernah mencintaiku?" "Aku mencintaimu," ujar Ravi cepat, membua
Baik Ana maupun Inka sama-sama terdiam. Jika memang semuanya terlalu tidak masuk akal, maka beruntungnya Ana seperti dihampiri keajaiban ... ia bahagia dengan ketidakmasukakalan ini. Bisakah hal baik ini menjadi miliknya? "Bisa saja di video itu mereka putus karena Ravi mau menikahiku?" Dari nada suaranya, Ana berharap Inka menyetujui dugaannya, tanpa ada sanggahan atau fakta mengejutkan yang membuatnya kecewa. "Bisa jadi, 'kan?" Ia masih berusaha meyakinkan bahwa apa yang diinginkannya benar menjadi kenyataan. Sebelah tangan Inka mengusap dagu dengan pelan sambil memandang datar sahabatnya itu. Ia berusaha membaca dari ekspresi dan tatapan mata, apakah akal sehat masih berfungsi pada wanita itu. Tidak. Ana sudah dibutakan oleh cinta. "Aku ...," ia menggantungkan ucapan, "berkata apa pun juga tidak akan berpengaruh padamu, 'kan? Karena kamu memilih untuk mempertahankan keyakinanmu d
Ana menangkap ekspresi wajah Ravi ketika melirik ponselnya. Wajah pria itu tidak biasa, membuat perasaannya gelisah. Ia yakin ada yang disembunyikan oleh pria itu.“Sebelum memeriksa persiapan pernikahan, bagaimana kalau kita makan dulu?” tawar Ana, ia menatap lekat pria itu yang terlihat kehilangan fokus.Pandangan Ravi beralih, ia mengangguk semangat dengan senyuman lebar. “Baiklah.” Jari-jarinya mengetuk setir. “Makan di tempat biasa?” usulnya.Senyuman terukir di wajah Ana, ia menggeleng. “Jalan saja dulu, nanti aku beri tahu di mana kita berhenti.”Kedua alis Ravi terangkat, ia terlihat heran. Namun, ia mengangguk kemudian sambil melajukan mobil. “Bagaimana tadi di sekolah?” tanyanya basa-basi, daripada canggung karena hanya diam.“Seperti biasa, selalu berwarna.” Ana bersandar nyaman, ia melipat kedua tangan di depan dada. “Kali ini lebih ekstrem ….”Sesekali Ravi memandang wanita di sebelahnya yang terlihat menyimpan banyak beban pikiran. Ia bersiap mendengarkan, karena seperti
“Penyesalan atas pernikahan kita,” koreksi Ana, membuat wajah pria di depannya berubah. Pria itu tersentak dengan sebelah alis terangkat. “Aku akan berusaha menjadi pendamping yang baik.” Ia tersenyum.Ravi tidak mampu menjawab. Matanya melirik ke bawah, melihat vas bunga kecil yang berada di tengah meja. Tatapan wanita di depannya terlihat tulus dan polos, ia merasa bersalah telah banyak membohongi wanita itu. Namun, ia tidak punya pilihan lain. Baginya hanya satu hal yang penting, yaitu wanita di depannya ini mau menikah dengannya. Itu saja. Perihal bagaimana perasaan dan lainnya, tidak penting sekarang.“Aku ke toilet sebentar,” pamit Ravi, bersamaan dengan pelayan yang menyajikan pesanan mereka. Tanpa menunggu jawaban dari Ana, ia sudah pergi begitu saja menuruni tangga.Saat menapaki anak tangga terakhir, kedua mata Ravi terbuka lebar karena berpas-pasan dengan Risa. Ia sangat terkejut.“Kenapa, Sayang?” tanya Risa dengan senyuman menggoda. “Aku tahu kamu dan wanita itu di sini,
Kedua tangan Ana terangkat tinggi. Ia merenggangkan tubuh sambil menguap. Selama perjalanan ia tertidur karena tempat yang mereka tuju cukup jauh. Ia mengusap mata perlahan, kemudian melihat ke luar jendela.“Sudah sampai, ya?” Ia sadar jika mobil telah terparkir di depan sebuah gedung percetakan undangan yang besar dengan halaman depan yang cukup luas dan dijadikan tempat parkir. “Maaf, jika aku tidur.” Ia menoleh ke arah pria di sebelahnya yang sudah bersiap-siap hendak turun.Langit perlahan mulai gelap, tidak disangka mereka akan selambat ini karena terjebak macet cukup lama ditambah tempat yang jauh.“Syukurlah kamu bisa beristirahat,” balas Ravi singkat.Mereka turun, kemudian memasuki gedung tersebut bersama. Seorang karyawan langsung menyambut dan menuntun mereka ke satu set sofa tidak jauh dari sana. Ravi terlihat santai, sepertinya ia cukup akrab dengan t