Share

3. Melamar Gadis yang Dicintai Abangku

"Bu Ana! Ibu ikut main?"

 

Ana yang sedang duduk di meja guru, menggeleng sambil tersenyum ke arah muridnya yang baru keluar kelas dengan karet-karet di tangan.

 

Muridnya itu pun mengangguk ceria, lalu keluar dari kelas bersama teman-temannya. Jika sudah jam istirahat seperti ini, Ana hanya akan beristirahat di dalam kelas. Ia tidak tertarik sama sekali berlama-lama di kantor. Bukan, bukan karena memiliki masalah dengan sepuluh guru lain, hanya saja mereka semua telah menikah termasuk guru yang satu tahun lebih muda darinya. Sehingga, obrolan mereka seputar suami, anak, dan hal-hal intim yang dihindari Ana.

 

"Woi! Zeana!" seru seorang gadis yang baru masuk ke kelas, menghampiri Ana yang terlihat terkejut. Gadis itu langsung duduk di atas meja, di dekat Ana.

 

"Mending kamu ikut main sama murid-muridmu. Tingkahmu itu kan sama kayak mereka, bocah kelas lima Sekolah Dasar," ejeknya.

 

Ana menyipitkan mata menatap sahabat bobroknya yang satu ini, dan juga sahabat dekat satu-satunya. "Kamu ngapain ke sini? Tokomu bangkrut?"

 

Gadis itu melemparkan buku di atas meja hingga mengenai kepala Ana. "Astaghfirulloh, amit-amit!" serunya tak terima. "Kamu kalau ngomong sembarangan!"

 

Ana mengambil buku itu dengan kesal, lalu meletakkannya baik-baik di atas mejanya yang besar. "Eh, Inka! Ini buku murid, main lempar aja. Untung gak rusak!"

 

Gadis yang dipanggil Inka itu, tertawa kencang. Ia terlihat semberono sekali, tidak cocok dengan tampilan rapi dan parasnya yang terlihat cantik dan kalem.

 

"Ibumu tadi mampir ke toko, ingin membeli baju sambil menggerutu. Jadi, setelah itu, aku langsung ke sini."

 

 "Ibu kenapa?" tanyanya takut-takut karena sudah tahu perkara apa yang akan dikatakan Inka.

 

Inka mengulum senyum. Ia menatap sahabatnya itu, turut prihatin. "Kamu, sih, harusnya jelasin ke ibu baik-baik, supaya beliau juga paham."

 

"Percuma," ungkapnya pasrah. "Bagi ibu, wanita itu setelah wisuda, ya, bekerja, dan setelah itu harus menikah. Padahal, aku ingin melanjutkan kuliah S2."

 

 "Terus kenapa, kamu menolak semua pria yang ingin bertemu denganmu? Ibu menggerutu tentang itu tadi." Inka tertawa kecil, berusaha mencairkan suasana. "Apa kamu masih teringat cinta pertamamu itu?"

 

Ana terdiam sebentar, ia sedikit tersentak. "Ravi? Kami tidak pernah berkomunikasi sedari enam tahun yang lalu. Jadi, semua tidak ada hubungan dengannya. Aku menolak, karena ingin mengejar karier."

 

"Setidaknya berteman saja dengan lelaki ...," Inka turun dari meja, mendekat pada Ana lalu berbisik, "supaya ibu tak menuduhmu tidak normal lagi."

 

Ana memukul kepala sahabatnya dengan kesal, hingga membuatnya meringis. "Kalau sampai hal itu masih berlangsung, kamu tersangka utamanya, karena aku hanya dekat denganmu!"

 

Inka mendecih. "Cih! Aku punya calon suami. Jadi, kamu bakal sendirian kesulitan di sini," katanya merdeka sambil memeletkan lidah. "Makanya, jangan terlalu menutup diri."

 

Ana mengambil rol kayu panjang di atas mejanya, lalu memukul Inka dengan itu. Ia sangat kesal sekali, karena sahabatnya ini hanya menambah beban pikirannya. Inka berlari keluar kelas, Ana masih setia mengejar sambil mengangkat rolnya. 

 

Ia pun terdiam ketika murid-muridnya yang berseragam putih-merah itu, menghentikan aktivitas bermainnya sejenak untuk memandangnya. Ana tidak bisa berbuat apa-apa, karena ia seorang guru sekarang. Lihat saja ketika ia telah melepas seragam di luar sekolah nanti, ia akan membalas Inka.

 

Inka tertawa, lalu berjalan cepat ke arah Ana. "Aku harap kamu segera dilamar pangeran berkuda putih," ungkapnya, sambil tetap waspada dengan rol di tangan Ana. "Aku pergi dulu, sampai jumpa sahabatku yang mengenaskan," ujarnya. Ia kemudian berlari pergi karena Ana kembali mengangkat rolnya.

 

Melihat Inka yang memelesat pergi seperti itu, membuat Ana tertawa sambil menggeleng. Sahabatnya itu padahal lebih bocah darinya, tetapi selalu mengejeknya seperti anak-anak. Ya, walau sebenarnya mereka berdua sama saja.

 

"Anak-anak ibu, lanjut saja mainnya," suruh Ana ramah dengan senyuman mengembang. 

 

Murid-muridnya mengangguk senang, dan lanjut bermain dengan semangat.

 

 

***

 

Bel pulang telah berbunyi dari setengah jam yang lalu. Namun, Ana masih sibuk mengoreksi kertas ulangan murid-muridnya, dan menuliskannya ke dalam buku nilai. Ia menarik tangan tinggi-tinggi ke atas, untuk merenggangkan badan.

 

Ia pun tersenyum senang ketika pekerjaannya hari ini sudah selesai. Dengan cepat, ia mengambil tas, lalu berjalan keluar menuju kantor guru. Saat tiba di kantor, ia langsung disambut tatapan dan senyuman penuh arti dari guru-guru lain yang bersemangat menghampirinya.

 

"Ana ...," kata Bu Novi si kepala sekolah dengan antusias. "Pantes Ana betah menunggu, yang ditunggu pangeran tampan," godanya.

 

Ana mengernyit, tidak mengerti dengan maksud ucapan ibu ini. Oya, jangan heran, karena guru-guru di sini memegang teguh prinsip kekeluargaan yang erat, sehingga mereka terbiasa berbagi suka-duka dan akrab sekali.

 

"Kalau aku, Bu, gak apa-apa menunggu seribu tahun," tambah Bu Heni--guru olahraga--yang melebih-lebihkan.

 

 "Maksudnya, Bu?" tanya Ana mengernyit heran.

 

 "Akhirnya, adikku si Ana," ucap Kak Tata--guru kelas tiga yang sudah dianggap Ana seperti kakak sendiri--senang. "Jangan ditolak, ya, Na!"

 

Ana benar-benar tidak mengerti. Ia hanya kebingungan berdiri di ambang pintu seperti orang bodoh. Melihat Ana yang seperti itu, Bu Novi pun menjelaskan, "Tadi si ... eh, siapa namanya, Bu?"

 

 "Ravi, Bu," jawab guru-guru yang lain serentak.

 

 "Nah, iya. Pangerannya Ana datang, katanya ada perlu."

 

Ana terdiam dengan mulut menganga. Apakah Ravi yang mereka maksud sama dengan Ravi yang ada dalam pikirannya saat ini? Karena seumur hidupnya, ia hanya mengenal satu orang Ravi.

 

 "Udah, mending Ana sekarang temui dia di taman, tuh!" Bu Heni menunjuk ke arah taman di depan sekolah. Terlihat seorang pria sedang duduk di sana. "Dia sudah menunggu selama dua jam."

 

Ana terdiam, ia menelan ludah. Dari belakang, sepertinya pria itu adalah Ravi yang ada di pikirannya saat ini. Walau dari belakang, ia masih mengingat detil pria itu, bahkan, jantungnya masih berdegup kencang sekarang. Rambut pirang dan kulit putih pucatnya yang berbeda dari orang kebanyakan, masih teringat jelas dalam otaknya.

 

Ia pun memberanikan diri untuk melangkah mendekati pria itu, sebelum guru-guru di kantor berteriak lebih heboh dan mendorongnya hingga ke taman. Ana melangkah pelan, sedikit takut-takut. Ia belum siap jika harus melihat pria itu lagi.

 

 "Maaf," kata Ana pelan.

 

Pria yang sedang menunduk sambil melukis di sebuah buku itu, lalu mendongak, menatap Ana.

 

Tatapan mereka bertemu, Ana refleks menahan napas seakan-akan dunia berhenti berputar sebentar. Ternyata benar, pria itu adalah Ravi, cinta pertamanya yang kandas dulu. Ia ingat, bagaimana Ravi selalu berusaha menghindarinya tanpa alasan yang ia ketahui.

 

 "Ravi?" Ana berusaha terlihat biasa saja. Ia bahkan tersenyum kecil, bersikap seakan sedang menyapa teman lama.

 

 "Ada apa?" tanyanya langsung sambil duduk di seberang pria itu.

 

Ravi tak menjawab ucapan Ana. Ia diam dengan ekspresi dingin. Hening tercipta, tak ada lagi dari mereka yang mau berbicara. Ravi pun menutup buku itu, yang berisi lukisan sekolah ini yang ia lukis selama menunggu Ana. Ia menoleh, memandang Ana yang tampak tegang.

 

 "Maukah kamu menikah denganku?" tanyanya datar.

 

Ana tak merespons, otaknya seperti membeku, tak bisa memproses ucapan Ravi dengan cepat. Satu menit kemudian, ia berkata, "Ha?" Ya, hanya itu yang bisa diungkapkannya. Lagian, siapa pun yang sedang berada di posisinya sekarang, pasti akan merespons hal yang sama.

 

Ravi terus memandang Ana, dengan tatapan dingin. "Maukah kamu menikah denganku?" ulangnya dengan nada bicara yang masih datar.

 

Kedua alis Ana terangkat, lalu berubah kernyitan.

 

Apa yang sedang dilakukan oleh pria di hadapannya saat ini? Melamarnya? Bahkan, dengan ekspresi dingin, dan nada ajakan yang terdengar datar seperti itu?

 

 

 

 

***

 

Terima kasih telah membaca. :))

 

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status