*Bram POV*
Tepat pukul tujuh Bram sampai ke rumah. Setelah memasukan mobilnya pada garasi, aku langsung ke kamar dan mendapati istri pilihan ibunda sedang bersolek.
Dina adalah istri pilihan bunda, perjanjian perjodohan antara bundaku dengan tante Ririn, mama dari Dina, mengharuskan aku menikahi gadis yang tidak aku cintai. Walaupun dia seorang gadis yang cantik, sexy dan berkulit putih mulus. Tetapi rasa cintaku pada Ajeng, tidak memberikan tepat untuknya.
Dina juga seorang gadis yang sangat terbuka dengan segala hal. Dia tidak pernah menutupi apapun. Hanya saja, kasih sayangnya, pada tante Ririn membuat ia mengikuti apa yang menjadi ketentuan atas diri dan masa lalunya, ketika ia menempuh pendidikan di negeri australia.
Aku ingat, pada malam pertama, Dina bercerita tentang masa lalunya. Karena hal itu, aku katakan padanya, kalau aku tidak akan menyentuhnya. Aku juga bercerita padanya, tentang Ajeng. Dan Dina menerima hal itu, seperti aku menerima masa lalunya.
Kami berjanji untuk bisa menghormati privasi masing-masing. Dina selalu tahu ketika Ajeng datang ke kota. Karena aku selalu menceritakan tentang Ajeng kedatangan Ajeng, padanya.
"Dina, aku akan bicara padamu tentang Ajeng," ucapku padanya, untuk membuka kebisuan kami di dalam kamar.
Dina hanya menoleh ke arahku dan tersenyum, lalu dina menyambangi ucapan ku," Bagaimana dengan bulan madunya?"
Aku hanya bisa tersenyum menjawab pertanyaannya. Lalu aku berkata padanya, "Dina, ada hal yang harus aku katakan padamu, dan aku membutuhkan pemdapatmu."
Dina yang mendengar ucapanku, memandang penuh tanya. Lalu kembali aku mengatakan hal yang ia tidak duga sama sekali.
"Dina, apa sebaiknya kita katakan saja pada ibunda, mengenai apa yang sebenarnya telah kita lakoni selama ini sebagai suami istri?"
Mendengar hal itu, Dina menghampiri ku. Dan saat ini kami saling berhadapan dan ia dengan wajah memohon.
"Tidak Bram, aku belum siap untuk hal itu, apalagi bunda sedang sakit dan bagaimana mungkin aku harus melukai hatinya yang selama ini baik padaku?" Dina menjawab dan memohon padaku.
Aku terdiam mendengar ucapan yang tidak aku sangka dari Dina. Selama ini aku yang sangat berhati-hati jika harus berurusan dengan bundaku. Hanya aku putra tunggalnya, karena bunda harus bercerai atas perintah eyang kakungku.
Ayah adalah lelaki tampan dan baik hati. Hanya dia satu-satunya dari keluargaku yang tahu dan saksi dari pernikahanku dengan Ajeng, dikampung halaman Ajeng. Sedangkan bunda tidak tahu tentang hubunganku dengan Ayah.
Aku tahu dari ayah tentang perceraian yang terjadi antara bunda dan ayah. Dan semua itu karena status sosial Ayah yang berada dibawah bunda.
Akhirnya ayah harus menyerah untuk mempertahankan cintanya. Oleh karena itu, aku akan bertekad mempertahankan cintaku pada Ajeng yang berbeda status denganku.
Aku ingat, dulu perceraian antara bunda dan ayah dilakukan oleh eyang kakungku. Kala itu aku baru kelas tiga sekolah dasar. Aku yang waktu itu tidak tahu menahu tentang eyang kakungku, akhirnya aku melihat dan mengenalnya.
Keributan di rumah kecil kami saat itu, membuat bundaku menanggis dan memohon maaf pada eyang kakungku. Sedangkan ayahku waktu itu hanya bisa tertunduk lesu, bersimpuh dikaki eyang kakungku bersama bundaku.
Yang ku ingat saat itu, eyang sangat marah dan menyalahkan bunda serta ayahku sebagai penyebab dari wafatnya eyang putri. Akhirnya ayah menebus rasa bersalah dan penyesalnya dengan melepaskan bunda pergi bersama ku dan eyang kakung.
Ketika itu aku tidak tahu permasalahan yang terjadi sebenarnya. Hanya saja, setiap hari ayah selalu menyempatkan diri kesekolah untuk bisa berbicara dan mengajak aku bermain serta membelikan beberapa kue kesukaanku, ketika jam istirahat sekolah.
Setiap hari aku di antar dan di jemput oleh sopir eyang kakungku. Hingga akhirnya dimasa sekolah menengah pertama, ketika eyang kakungku sakit. Aku baru tahu cerita yang sebenarnya, tentang bunda dan ayahku.
Bunda bercerita padaku, 'Ayah adalah sopir keluarganya. Dia berasal dari dusun yang jauh dari kota. Karena keuletan dan kejujurannya, ayah disenangi keluarga bunda. Walaupun ia hanya seorang sopir, tetapi ayah melanjutkan kuliah, demi tujuan hidup yang lebih baik.
Sebenarnya hal utama ia kuliah, karena ia ingin dirinya bisa sejajar dengan keluarga bunda. Sampai akhirnya, ayah di wisuda dan mendapatkan pekerjaan yang layak untuk dirinya dan pujaan hatinya, bunda.
Ayah jatuh cinta pada bunda, ketika bunda masih sekolah lanjutan atas. Diam-diam mereka saling jatuh cinta dan berjanji akan menikah ketika ayah sudah bisa mencapai gelar sarjana dan bisa mendapatkan pekerjaan yang layak serta punya penghasilan yang layak.
Karena kecerdasaan ayah, perusahaan mempromosikan ayah menjadi kepala pada salah satu cabang pada perusahaan tempat ayah bekerja. Karena ayah merasa penghasilan dan jabatannya telah pantas untuk menyunting bunda, maka ayah memberanikan diri untuk mengemukakan keinginannya pada eyang.
Ketika hal itu diutakan, eyang tidak menyetujui dan merestuinya. Eyang lalu mengusir dan menghina ayah dengan kata-kata yang kasar. Seketika harapan ayah untuk mempersunting bunda kandas. Hanya saja mereka masih menjalin kasih tanpa sepengetahuan eyang kakung.
Akhirnya, atas dasar cinta kasih pada ayah, bunda memberanikan diri untuk pergi dari rumah untuk menikah dengan ayah. Setelah kejadian itu, bunda dan ayah pindah dari kota itu dan memulai hidup mandiri demi cinta mereka.
Sampai akhirnya, mereka dipisahkan oleh eyang kakungku dengan tuduhan penyebab dari wafatnya eyang putriku. Sebagai rasa bersalah, maka bunda pun rela meninggalkan ayahku, walaupun bunda masih mencintai ayah.
Karena bunda pun tidak ingin kehilangan eyang kakung seperti ia kehilangan eyang putri.
'Hmmm lamunan ku sangat jauh, ketika harus mendengar penolakan dari dina.'
Lalu Dina pamit padaku untuk bertemu dengan teman-temannya. Tetapi baru saja Dina melangkah menuju pintu keluar kamar kami. Aku menarik tangannya.
Aku berkata padanya," Din, kita sudahi saja, sandiwara kita yang sudah sepuluh tahun ini, kamu tahu, saat ini Ajeng sedang hamil!"
Sekita dina terdiam dan mundur memasuki kamar kami. Dina terduduk lesu di pinggir tempat tidurnya, karena selama ini aku selalu tidur di sofa yang ada di kamar itu.
"Sekarang apa yang harus kita lakukan, Bram?" tanya Dina padaku.
Kini kami saling berhadapan, dan aku lihat Dina memandangku dengan tatapan tajam. Dan untuk pertama kalinya aku melihat, alis tebal Dina mengerut ikut memikirkan jalan keluar dari masalah rahasia kami.
"Kita harus mengatakan yang sejujurnya pada bunda dan mama Ririn," ucapku pada Dina.
Seketika dina menangis mendengar apa yang menjadi pendapatku. Dan ia menutup wajahnya dengan kedua tangannya.
"Kamu tahu kan Bram, selama ini aku menutup semua rapat tentang masa laluku, Bagaimana mungkin aku membuka aib diriku yang selama ini aku tutupi?" Isak tangis Dina yang tertahan hanya terlihat dari air matanya yang terus mengalir.
Kesunyian kamar yang biasanya kami tempati selama sepuluh tahun akhirnya diisi dengan tangisan Dina. Dan aku yang tidak bisa melihat seorang wanita menangis. Hanya mampu terdiam. Seketika pikiranku kacau.
Tidak ada yang bisa aku lakukan. Aku hanya berdiri menghadap kaca hias di kamar kami. Dan Dina masih terlihat menangis di pinggir tempat tidur kamar kami. Ada sebersit rasa kasihan dihatiku pada Dina. Hanya rasa kasihan bukan cinta, seperti yang aku rasakan pada Ajeng.
Bukan karena dia pernah bersama orang lain dan mempunyai seorang anak di negeri orang. Tapi karena memang aku hanya mencintai Ajengku. Dilema bagi diriku saat ini adalah, harus mengatakan yang sesungguh telah terjadi sepuluh tahun yang lalu, baik masalah aku dan Ajeng, serta masa lalu Dina pada masa lampau.
Kesunyian itu aku lewati dengan melihat photo-photo Ajeng dan diriku ketika kami menikah. Teringat beberapa tahun yang silam. Ketika kami sama-sama memakai baju abu-abu. Dimana ajeng dari kelas biologi melintas ke laboratorium yang harus melewati kelas kami.
Sejak aku melihat wajahnya yang ayu aku langsung jatuh cinta. Aku adalah seorang playboy tampan dan tajir. Banyak wanita tergila-gila padaku. Tetapi menurut pandanganku saat itu. Ajeng yang tidak pernah merespon ketika diriku menyapa dan tidak menganggap aku ada, membuat aku penasaran pada sosok kepribadiannya yang bersahaja.
Ia tidak genit seperti wanita lainya. Dan hal itu yang membuat aku sangat kepicut dengan Ajeng yang mempunyai wajah ayu dan menyejukkan bagi yang melihatnya.
Aku sangat ingat sekali, kejadian ketika aku dan ajeng jadian untuk pertama kalinya.
Ajeng berkata," Kita jalani saja dulu, karena ia ingin mengenal kepribadianku."
Aku tersenyum kecut, ketika Ajeng mengatakan hal itu, Tetapi karena rasa penasaranku dan rasa hormatku padanya maka aku pun menyetujuinya.
Seiring berjalannya waktu, aku semakin mencintai ajeng dengan kepribadian dan keluwesannya sebagai seorang remaja putri yang waktu itu di titipkan dirumah pamannya.
Ajeng berasal dari desa kecil yang melanjutkan sekolah di kota dan ikut bersama pamannya. Karena ayahnya telah wafat ketika dirinya masih kecil. Aku ingat sekali, bagaimana Ajeng melakukan tugas rumah tangga di rumah pamannya.
Seketika aku tertekun melihat dirinya melakukan banyak hal dirumah itu. Waktu itu sore hari, ketika aku berkunjung kerumah pamannya.
Aku berniat minta izin pada pamannya, untuk mengajak Ajeng keluar untuk pergi ke bioskop. Sewaktu aku kesana, Ajeng sedang menyapu. Setelah itu aku lihat ia menyiram tanaman yang ada di kebun pamannya. Setelah itu ajeng menemui aku .
"Maaf yaa Bram harus lama menunggu, aku mandi dulu yaa," ucap Ajeng menghampiriku di ruang tamu.
Aku hanya menganggukkan kepala, seraya tersenyum manis. Sekitar lebih dari tiga puluh menit, aku ditemani oleh pamannya. Dari pamannya aku baru tahu, kalau Ajeng sudah tidak punya ayah.
Setelah ajeng selesai berhias, kami pun pamit. Dalam perjalanan Ajeng terlihat canggung. Dia hanya terdiam dan sesekali mencuri pandang melihatku.
Aku memecahkan kesunyian dengan bertanya segala sesuatu yang berhubungan dengan ha-hal yang waktu itu sedang tranding. Sampai ke persoalan teman-teman kami di sekolah.
Hingga akhirnya kami sampai di bioskop. Aku pun membeli tiket untuk menonton dan membeli beberapa camilan untuk kami bawa ke dalam bioskop.
Awalnya aku ragu untuk mengandeng tangannya. Tapi karena aku sudah merasa yakin kalau dia pun mencintai aku, maka aku beranikan diri umtuk mengandeng tangannya, ketika kami akan memasuki ruangan bioskop yamg agak gelap itu.
Kalau saja saat itu di bioskop terang benderang, mungkin saja akan terlihat warna dari wajahku yang merah karena malu dan nervous.
Kami duduk dibagian tengah. Dan aku memberanikan diri untuk tetap mengengam tangan Ajeng. Sedangkan Ajeng hanya terdiam. Tidak ada kata-kata yang di ucapkan.
Ketika bioskop memutarkan film , pikiran ku melayang entah kemana sampai sampai aku tidak tahu jalan ceritanya. Aku tersenyum simpul ketika mengingat kencan pertamaku dengan Ajeng.
'Ya, dia wanita ku. Kekasih hatiku. Belahan jiwaku. Terlalu sulit melihat celah salah dari seorang ajeng,' bisik hatiku.
Tapi mengapa bunda tidak bisa melihat sisi baik dan santunnya Ajeng, ketika aku katakan kalau aku sudah punya calon.
Dilema yang ku alami ini mau tidak mau , harus aku atasi, karena aku tidak ingin Ajeng terluka untuk kedua kalinya. Setelah Dina menangis dan aku terdiam di kamar kami. Tidak ada yang bisa kami ucapkan, selain kebisuan diantara kami. Sampai akhirnya kami tidur di tempat tidur masing-masing.
Pagi ini aku bangun dengan semangat dan keyakinan atas pembicaraan yang aku katakan pada Dina.
Aku tidak ingin mengorbankan Ajeng atas ketakutanku, atau atas rasa kasihku pada bundaku. Ajeng saat ini sudah banyak berkorban dan berusaha memahami atas apa yang sudah terjadi dalam keluargaku. Jadi aku putuskan, kalau anak kami tidak boleh mengalami penderitaan seperti yang diderita oleh kami.
Aku menyambangi kamar bundaku. Aku melihat dirinya, seorang wanita paruh baya yang cantik dan bersahaja. Ketika ibunda melihatku, Diapun melambaikan tangannya. Memerintahkan aku masuk kekamarnya.
"Kapan kamu datang dari luar kota Bram?" tanya bunda pada diriku.
"Kemarin bunda, hanya saja ketika Bram pulang, bunda sudah terlelap maka, Bram tidak ingin menggangu, langsung ke kamar," jawabku.
Mari kita makan bareng Bram, kita sudah lama tidak makan bersama. Aku mendorong kursi roda bunda hingga sampai ke meja makan. Bunda mengalami stroke beberapa tahun yang silam. Dan saat ini sedang dalam taraf therapi pemulihan.
Kami sampai di meja makan, tetapi aku tidak melihat Dina ada di meja makan.
"Bram, apa Dina terlalu lelah semalam hingga belum bangun tidur?" tanya bunda.
Bunda mencoba bercanda padaku, karena ia pikir, kami melakukan hubungan intim, sehingga ia meyangka, Dina terlambat bangun tidur karena hal itu. Aku hanya tersenyum kecil mendengar celoteh bunda.
Aku mencari dina ke kamarnya. Lalu kami pun, sama-sama pergi ke meja makan. Selesai makan, bunda berbicara padaku perihal keinginannya melihat cucu yang selama sepuluh tahun ini dia harapkan. Dan bunda berharap Dina bisa cepat hamil.
Dengan sisa keberanian, aku minta waktu pada bunda untuk membicarakan sesuatu hal yang penting. Maka ketika aku, bunda, dan Dina duduk di ruang keluarga. Aku mulai mengatakan pada bunda, kalau saat ini, aku akan menjadi seorang ayah.
Seketika bunda terlihat sangat bahagia dan terharu mendengarnya. Sampai-sampai dia minta Dina mendekat kearahnya karena ia ingin memeluk Dina.
Lalu kembali aku menyambung kataku," Tapi bunda...," ucapanku terbata-bata.
"Calon ibu dari anakku bukan dari Dina," ujarku pada bunda dan merasa lidahku terasa kelu.
Mendengar ucapanku seperti itu, membuat bunda terkejut, dan berkata dengan dahi berkenyit.
"Apa maksudmu Bram?" Aku lihat keryitan dahi bundaku mempertanyakan ucapanku.
Lalu aku menceritakan perihal ajeng pada bunda. Dari kami berpacaran sewaktu sekolah menengah atas hingga Ajeng menunggu sampai aku selesai kuliah. Dan akupun bercerita pada ibunda perihal sewaktu aku bercerita padanya tentang calon istriku dan bunda menentangnya.
Sampai akhirnya aku pergi dari rumah dan ketika kembali kerumah, segala persiapan pernikahan sudah disiapkan tanpa seizin diriku. Namun aku melakukan keinginan bunda karena menghormati dan mengasihinya.
Bahkan aku pun mengatakan pada bunda, kalau ayahlah yang menjadi saksi pernikahan antara aku dan Ajeng.
Belum selesai aku menceritakan apa yang terjadi antara aku dan Dina, seketika bunda histeris menangis dan jatuh pingsan. Aku tidak tahu harus bagaimana dengan hal ini. Tapi aku sudah tidak dapat menarik semua perkataan yang tadi aku katakan pada bunda.
Tidak ada jalan yang lebih baik, selain membicarakan segala kebohongan yang telah sepuluh tahu aku dan Dina tutupi. Tetapi aku sama sekali belum sempat mengatakan apapun tentang yang terjadi antara aku dan Dina selama ini.
Aku membawa ibunda ke rumah sakit dengan perasaan yang tidak menentu. Ada penyesalan, ada kesedihan, ada pula perasaan lega ketika semua kebohongan yang selama sepuluh tahun, aku tutupi dengan rapi terbuka.
Sesampai di Rumah Sakit, bunda di periksa dengan dokter spesialis. Dan bunda dinyatakan harus menginap beberapa hari di Rumah Sakit. Karena dokter harus memantau penyakit strokenya, yang sudah dalam penyembuhan tapi sekarang mengalami kemunduran lagi.
Dokter menanyakan kepadaku beberapa pertanyaan perihal yang menyebabkan bunda pingsan. Akupun mengatakan apa yang harusnya aku katakan. Perihal keterkejutan bunda atas tindakanku yang mengatakan segala kebohonganku selama ini.
Terlebih perihal ayah yang tidak pernah aku sampaikan ke bunda. Kalau selama ini kami sering bertemu, makan bareng, memancing ikan dan nonton bola selayaknya seorang anak lelaki dan ayahnya.
Aku melihat bundaku tertidur lelap di ruang rawat inap Rumah Sakit dengan perasaan menyesal. Ketika aku ingin meninggalkan bundaku untuk istirahat, aku baru menyadari kalau bunda sudah terlihat semakin tua, ditambah dengan penyakit stroke yang telah dideritanya selama tiga tahun ini.
Dalam hati aku berucap, "Bunda maafkan aku, aku katakan semua ini, karena aku merasa inilah jalan kebenaran yang harus aku putuskan demi kita semua."
Setelah berkata pada bunda yang masih dalam keadaan tertidur lelap, aku pun meninggalkannya untuk pulang ke rumah.
*BRAM POV* Keesokan harinya, aku lihat bunda telah siuman. Dan aku melihat kondisi bunda dari jendela yang ada di ruang tamu pasien. Karena saat ini aku berada di ruang tamu, yang ada di ruang perawatan bunda. Untuk saat ini, aku belum berani untuk bertemu bunda. Aku tidak ingin bunda mengingat kejadian kemarin. Oleh karena itu aku tidak ingin mengganggu ketenangan bunda. Hanya dina yang menunggu bunda di dalam kamar perawatannya. Dan saat ini, aku melihat dina sedang menyuapi bunda. Tetapi aku sama sekali tidak bisa mendengarkan pembicaraan diantara mereka. Aku masih menunggu di ruang tamu, ketika seorang perawat memasuki ruang perawatan, untuk memberikan obat yang harus di minum oleh bunda. Setelah itu, aku lihat bunda meminum obat yan diberikan obat pada perawat tadi. Lalu Dina terlihat, berpamitan pada bunda dan meminta bunda untuk beristirahat. Dina akhirnya keluar dari kamar bunda. Dan melihat aku yang sedang duduk di se
*Bram POV* Aku masuk ke kamar mandi dan mulai membersihkan diri. Dimulai dengan membersihkan bagian bulu-bulu halus pada wajahku, dengan foam wajah. Lalu aku membersihkan seluruh tubuhku. Setelah itu, aku mulai menyiram seluruh bagian tubuhku. Terasa sangat segar sekali setelah beraktifitas di pagi ini. Ketika hampir selesai aku meminta Ajeng untuk mengambilkan handuk, yang memang dengan sengaja tidak aku bawa, karena aku ingin mengajaknya mandi bersama. "Ajeng sayang, tolong ambilkan aku handuk, Aku lupa membawanya." Terdengar sayup-sayup Ajeng menjawab panggilanku padanya" Yaa Mas." Hanya beberapa menit kemudian, Ajeng telah membawakan handuk dan masuk ke dalam kamar mandi. Lalu dengan sengaja aku menyiram tubuhnya dengan shower. "Aduh...mas ini, basah bajuku, dan lihat handuknya juga basah," ujarnya dengan kedua bola mata yang mendelik kearahku. Aku lalu memeluk dan mencium dirinya yang telah basah kuyup. Melihat seranga
*Ajeng POV* Sekitar jam lima sore aku baru terbangun dari tidur siang. Kalau saja perutku tidak berteriak minta diisi mungkin saja, aku masih bermalas-malasan di tempat tidur. Aku raih ponselku yang berada di dekat meja kecil samping tempat tidurku. 'Hmmmm, kenapa mas Bram tidak menghubungi ku yaaa?' gumamku dalam hati. Aku membuka panggilan masuk, karena aku pikir, bisa jadi mas Bram menghubungiku, karena aku tertidur, bisa jadi aku tidak mendengar panggilannya. Tetapi, setelah aku cek, ternyata mas Bram tidak menghubungiku. Kemudian aku menghubungi Bram, tetapi sudah sampai beberapa kali, tidak satu pun panggilanku di jawab oleh Bram, dan itu membuat diriku kesal dibuatnya. 'Koq bisa sih....mas Bram tidak menjawab panggilanku, hmmmm lagi dimana dia sekarang?' gumamku dalam hati. Aku lalu beranjak dari tempat tidur menuju kulkas, untuk melihat, makanan atau camilan apa yang masih tersisa. Karena aku sudah sangat lapar sekali. Te
*Ajeng POV* Suara dering ponselku, terdengar keras ketika waktu menunjukan pukul lima pagi. Terhentak Aku terbangun, sekilas aku melihat Bram masih tertidur pulas ketika aku mengambil ponsel yang berada persis disamping meja sisi kanan tubuh mas Bram yang masih tertidur nyenyak. "Hallo Ajeng, ini bibi," terdengar suara bibiku ada di sambungan telpon dengan suara paraunya menangis. Ia memberitahukan kalau pamanku sakit, di kampung halaman. Bibi meminta aku untuk bisa pulang ke kampung halaman karena pamanku sedang sakit parah. "Baik bi, Ajeng akan segera pulang dengan mas Bram," Jawabku menahan isak tanggisku yang tertahan. Setelah aku menutup pembicaraanku dengan bibi lewat Sambungan telepon. Tanggisku pun meledak, hingga membuat Bram terbangun. Dalam keadaan bingung dan kaget Bram menghampiri diriku. "Ajeng, kenapa kamu menangis?" tanya Bram menghampiriku dan memeluk erat tubuhku.Bram sengaja membiarkan aku men
*Ajeng POV* Bram sampai di rumah tepat pukul sembilan malam setelah dia pamit pada bundanya di Rumah sakit serta pada Dina di rumah ibunda. Setelah berkemas membawa masing-masing satu koper, mereka pun memesan taxi untuk membawa mereka pergi Ke Bandara. Aku merasa gelisah, ketika menuju ke Bandara. Aku sangat kuatir dengan kondisi kesehatan paman yang telah menjadi Ayah bagi diriku. Ketika aku berpamitan kepada paman satu bulan lalu, kondisi paman baik-baik saja, tidak terlihat ada suatu penyakti yang diderita oleh paman. Tak terasa bulir air mataku jatuh membasahi pipi. Sesekali aku menyeka air mata yang jatuh membasahi pipiku. "Ajeng sayang, sudah tenangkan dirimu," Bram mencoba menghiburku, dengan mengenggam tanganku, lalu merebahkan kepalaku pada bahu bram. "Aku sangat takut terjadi sesuatu hal dengan paman mas,"sahutku dengan isak tanggis yang tertahan. "Semua akan baik-baik saja, saat ini kita hanya bisa mendoaka
*Ajeng POV* Setelah kami selesai sarapan pagi, saudara lelaki sepupu ku menyiapkan mobil yg akan digunakan ke Rumah Sakit untuk menjenguk Paman. Kami masuk ke dalam mobil, perjalanan menuju Rumah Sakit pun di mulai. Sekitar satu jam dalam perjalanan, kami sampai di Rumah sakit. Pada umumnya Rumah Sakit, bentuk dan struktur bangunannya hampir sama antara Rumah Sakit yang satu dengan Rumah Sakiy yang lain. Bagian depan dari rumah sakit tersebut ada sebuah taman. Di samping sisi kiri dan kanan adalah tempat parkir kendaraan roda empat dan kendaraan roda dua. Ada pula supermarket mini, dan beberapa tempat Anjungan tunai mandiri. Di bagian depan Rumah sakit, ada bangunan besar yang di gunakan untuk bagian Unit Gawat Darurat, dimana setiap pertolongan pertama yang bersifat darurat akan merujuk pada bagian gedung ini. Lalu sisi gedung dari UGD ada sebuah bangunan lain, yang digunakan sebagai poliklinik, dari beberapa Do
*Bram POV* Setelah keluar dari kamar itu perasaan ku sungguh sangat kacau. Jantung ku masih berdetak sangat kencang. Bagaimana tidak, untuk kedua kali, aku melihat Dina keluar dari kamar mandi hanya dengan mengunakan selembar handuk yang melingkari ditubuhnya. Memang tidak ada yang salah dengan semua itu apalagi kami adalah pasangan suami istri. Hanya saja selama ini, komitmen yang sudah kamk ikrarkan menjadi penyebab jantung ku berdetak kencang. Ditambah kejadian tempo hari yang sungguh menyita sebagian pikiranku, tentang rasa bersalah ku pada Dina. Sampai-sampai aku berpikir, apa rasa bersalah ku pada Dina, yang membuat perubahan pada hati dan pikiranku. Sedangkan hasrat yang aku rasakan saat ini, menurut ku, hanyalah dari rasa kasian ku pada diri Dina, yang melampiaskan kebutuhan batinnya dengan caranya sendiri.M "Mas Bram sudah kembali dari kampung halaman Ajeng?" tanya Dina yang tiba-tiba sudah berada di belakang ku.
Beberapa saat mereka kembali pada tempat tidur masing-masing. Disofa itu Bram masih saja tidak bisa memejamkan matanya walaupun dirinya telah berupaya untuk memejamkan matanya tetapi bayangan kemolekan tubuh Dina membuat jantungnya masih saja berdetak kencang. Sedangkan Dina yang berada ditempat tidurnya juga merasakan hal yang sama. Dirinya tidak bisa memejamkan matanya, dirinya tidak menyangka sama sekali Bram melakukan hal ini kepadanya. Dalam sepuluh tahun ini Bram sangat dingin dan selalu menghindari dirinya. Dina sangat terkejut dengan perubahan yang terjadi pada Bram dan Dina masih merasakan saat-saat bibir Bram melumat bibirnya, karena Bram tidak pernah sekalipun melakukan hal itu padanya selama masa pernikahan mereka. Dina juga masih memikirkan, kira-kira hal apakah yang membuat perubahan drastis pada diri Bram. Ketika Dina masih terus memikirkan hal itu, tiba-tiba Bram telah duduk di pinggir tempat tidurnya dan Dina terkejut den
*AJENG POV* Pagi hari ini aku terbangun lebih awal karena aku akan melakukan pengecekan pada beberapa barang bawaan kami yang telah kami cek semalam, hanya saja aku ingin memastikan semuanya telah masuk dalam cek list ku. keberangkatan kami ke kota dengan menggunakan pesawat pada keberangkatan pertama membuat aku sangat sibuk di pagi ini. Saat ini kehamilanku telah memasuki usia lima bulan, dan itu dapat terlihat dari perut buncitku. Begitu pun dengan putri kami Angel telah mulai bisa memanggil kami dengan sebutan mama dan papa. Oleh karena itu, sekarang aku memanggil Teguh dengan sebutan papa begitu pun dengan Teguh memanggilku dengan sebutan mama. Semua itu atas nasehat dari bibiku, yang biasanya aku memanggil dengan sebutan namanya pada Teguh, kini kami membiasakan diri dengan sebutan mama, papa, agar Angel biasa lebih mengetahui keberadaan kami sebagai orang tuanya. Dan syukurnya setelah kehamilan kedua sejak pertama kali aku hamil dulu, membuat d
*BRAM POV* Kondisi Dina yang telah melakukan pengobatan selama tiga bulan ini tidak membuahkan hasil seperti yang di harapkan. Dan hal ini semakin membuat keputusasaanku berakhir dengan sikapku yang mudah emosional. Seperti pagi ini ketika aku mendapatkan hubungan telepon dari suami Ajeng, yang menanyakan kepindahanku dari rumahnya, semakin membuat suasanya tidak menyenangkan bagi seluruh pihak. Aku seharusnya tidak berkata kasar padanya, karena mereka memang tidak mengetahui kondisiku saat ini. Saat ini aku sedang menunggu Dina yang sedang menjalani kemoterapi untuk ke sekian kalinya. Dina kini bukanlah seperti yang dulu, ia kini kurus kering, tidak ada lagi keseksian dalam tubuhnya. Pada bagian rambutnya pun telah habis berjatuhan, sehingga ia sudah tidak ingin melihat wajahnya. Cermin di dalam kamar, telah aku singkirkan. Aku sangat terharu ketika ia mengatakan dirinya telah berubah menjadi seorang yang sangat jelek dan menakutkan, dan ia mer
*AJENG POV* Sesampai di rumah kami langsung beristirahat karena terlalu lelah liburan yang kami lakukan dua hari ini. Aku lihat Teguh telah tertidur sangat nyenyak. Kulihat dirinya yang begitu menyayangiku, membuat diriku merasa, dialah seseorang lelaki pilihan yang memang dipersiapkan untuk diriku. Setelah segala kehancuran yang telah aku jalani, dalam berumah tangga bersama Bram. Tuhan menggantikannya dengan seorang lelaki yang membahagiakan diriku lahir dan batin. Suara ketukan pintu membuat rasa kantukku hilang, aku lalu beranjak ke ruang tamu untuk melihat siapa yang datang. “Permisi ibu Teguh, perkenalkan saya bapak Paimin, yang mengurusi tambak bapak,” sapa bapak itu dengan memperkenalkan dirinya. “Silakan masuk pak, bisa saya bantu ya pak, karena pak Teguh baru saja beristirahat,” jawabku untuk memberitahukannya kalau suamiku sedang tidur. “Ibu, kapan hari bapak berbicara pada saya, kalau dirinya mau mengambil cucu saya yang tidak memp
*BRAM POV* Hari ini aku ke Rumah Sakit bersama Dina, untuk mengambil hasil dari biopsi. Kami menunggu dengan cemas begitu pun dengan Dina. Ia sangat gelisah sekali atas hasil yang akan diterimanya. Sekitar setengah jam kemudian nama Dina di panggil oleh perawat. Aku menggandeng tangan Dina yang terasa Dingin. Aku mengusapnya agar ia merasa tenang. Sesampai di meja, Dokter membuka hasilnya lalu mengatakan pada kami, “Ibu Dina, hasil yang didapat dari hasil biopsi, “menyatakan kalau ibu positif kanker serviks.” Seketika aku melihat Dina yang lunglai seperti tak berdaya, langsung menangis dengan pilu, ia menutupi mulutnya untuk menahan ledakan tangisnya. Melihat hal itu, hatiku serasa hancur, dan tidak ada kata yang bisa aku ucapkan. Aku hanya memeluk bahunya. “Din, kita pasti bisa melalui ini, kita harus yakin, aku mohon kuatkan diri mu,” ucapku dengan menahan isak tangisku. Aku melihat Dokter memberikan waktu bagi Dina untuk meluapkan seg
*AJENG POV* Kami terbangun pada pukul sepuluh pagi, Aku melihat di sampingku, seorang suami yang penuh tanggung jawab. Bukan hanya tetapi bertanggung jawab pada kehidupanku saja, ia selalu berupaya untuk kebahagiaan ku dalam segala hal. Teguh tidak melihat sedikit pun celah cacat pada dirinya. Pendidikannya, bidang pekerjaannya, jiwa sosialnya, tutur, hubungan sosialnya, dan secara fisik Teguh adalah lelaki dengan postur tubuh yang tinggi, dengan bentuk dada yang, berkulit coklat muda, wajah yang manis, walaupun tidak setampan Bram, dan yang pasti memiliki keistimewaan pada alat vitalnya yang mampu membuat wanita mana p
*AJENG POV* Masa-masa bahagia yang dilalui oleh Aku dan Teguh, membuat kehidupan di lingkungan desa kami terasa lebih bahagia. Aku yang kini telah menjadi seorang istri dari seorang Teguh Pratama, sering ikut membantu suamiku dalam penyuluhan yang dilakukan di desa-desa. Aku juga sangat aktif di dalam pemberdayaan wanita di desa kami. Selain itu karena suamiku seorang ASN maka aku juga aktif dalam kegiatan Dharma wanita, yang biasanya kami lakukan setiap satu bulan sekali mewakili dari dinas pertanian tempat dari Teguh bekerja. Aku sungguh sangat beruntung bertemu dengan Teguh, banyak sekali pembelajaran yang aku dapatkan dari dirinya tentang hidup ini. “Sayang... lihat, aku bawakan bunga anggrek dari kota,” ucap Teguh yang telah dua hari mengikuti seminar kedinasan di kantor pusat. “Aah...cantiknya, tetapi aku kangen sama yang bawa anggreknya,” ucapku bahagia melihat dirinya sudah di rumah dengan memeluk erat tubuhnya. Melihat kerindu
*BRAM POV* Kepulangan Dina dan Bayi perempuanku yang cantik membawa kebahagiaan bagiku dan Dina. Walaupun saat ini keadaan ekonomi ku tidak dalam keadaan membaik, aku berharap bayi perempuanku yang cantik ini kelak dapat mendatangkan Rizky bagi keluarga kami. Hanya saja beberapa tetangga di lingkungan kami yang memang tidak menyukai Dina, tidak ada yang menjenguk atau sekedar menanyakan tentang Dina sudah melahirkan atau belum. Stigma pandangan pada masyarakat yang selalu melekat pada diri Dina, yang di anggap sebagai penghancur dari hubungan rumah tangga orang lain membuat dirinya tidak disukai dalam masyarakat. Dan itu sudah risiko dari hidup bermasyarakat yang harus di tanggung oleh kita semua termasuk Dina. “Sayang, anak cantik...tante dini akan pulang dulu ya, sehat-sehat ya..,” ujar Dini ketika melihat putriku di kamar kami. “Kak Dina, aku akan balik ke kost, karena besok ada jadwal ke kampus,” Dini izin pada Dina untuk kembali ke kost n
*BRAM POV* Kelahiran seorang bayi cantik yang selama ini telah aku tunggu telah membawa kebahagiaan yang tiada taranya. Aku merasa sangat berbahagia melihat persalinan Dina, yang aku lihat secara langsung. Aku melihat bagaimana Dina berjuang antara hidup dan mati, ketika melahirkan bayi berjenis kelamin perempuan dengan panjang 49centimeter dan berat 3kilogram. Aku berterima kasih pada Dina yang sudah tetap menemani diriku disaat aku terpuruk. Malah dirinya memberikan kebahagiaan dengan melengkapi statusku dari hanya sebagai seorang suami kini menjadi seorang ayah. Aku berjanji akan menjadi seorang Ayah yang baik dan bertanggung jawab serta sangat mencintai dirinya melebihi aku mencintai diriku sendiri. “Terima kasih sayang, untuk perjuangan dirimu bagi kebahagiaan kita,” ujarku sambil mengelus-ngelus kepala Dina. “Bagaimana kondisi anak kita, mas?” tanya Dina dengan suara yang lemah. “Apakah mas sudah menghubungi Dini, unt
*AJENG POV* Sidang gugatan perceraian yang seharusnya di hadiri oleh Bram, sudah kedua kalinya tidak di hadiri oleh Bram. Dan saat ini adalah sidang yang ketiga untuk mendengarkan keputusan hakim atas gugatan perceraian antara aku dan Bram. Aku yang selalu di dampingi oleh Teguh, dan berharap Bram secara jantan menghadiri sidang gugatan atas perceraian ini. Tetapi tidak sekali pun Bram menghadiri persidangan tersebut. Dan pada kali ini Bram justru mengirimkan sebuah surat pernyataan yang ditujukan pada majelis hakim, pada lanjutan sidang gugatan perceraian ketiga. Dimana hari ini rencananya akan diputuskan gugatan perceraian ini dengan membacakan surat yang diterima oleh majelis hakim dari Bram. Pada surat ini, Bram menerima semua keputusan dari hakim sidang dan mengabulkan seluruh gugatan perceraian dariku, termasuk gugatan tambahan atas kepemilikan sebuah rumah yang memang sudah atas nama diriku sendiri. Dan semua itu telah diputuskan oleh hak