*Ajeng POV*
Setelah kami selesai sarapan pagi, saudara lelaki sepupu ku menyiapkan mobil yg akan digunakan ke Rumah Sakit untuk menjenguk Paman.
Kami masuk ke dalam mobil, perjalanan menuju Rumah Sakit pun di mulai. Sekitar satu jam dalam perjalanan, kami sampai di Rumah sakit.
Pada umumnya Rumah Sakit, bentuk dan struktur bangunannya hampir sama antara Rumah Sakit yang satu dengan Rumah Sakiy yang lain. Bagian depan dari rumah sakit tersebut ada sebuah taman.
Di samping sisi kiri dan kanan adalah tempat parkir kendaraan roda empat dan kendaraan roda dua. Ada pula supermarket mini, dan beberapa tempat Anjungan tunai mandiri.
Di bagian depan Rumah sakit, ada bangunan besar yang di gunakan untuk bagian Unit Gawat Darurat, dimana setiap pertolongan pertama yang bersifat darurat akan merujuk pada bagian gedung ini.
Lalu sisi gedung dari UGD ada sebuah bangunan lain, yang digunakan sebagai poliklinik, dari beberapa Dokter spesialis yang melakukan tugas kanusiaannya disana.
Sedangkan pada bagian lain dari kedua gedung ini, tepatnya berada di seberang gedung ada sebuah apotik besar. Jadi seluruh resep obat yang di berikan Dokter akan dibawa ke apotik itu.
Saat ini kami sedang menyusuri lorong-lorong panjang menuju ruang rawat inap kelas dua. Disana pamanku di rawat. Untuk ruang perawatan kelas dua, dalam satu kamar di isi oleh dua orang.
Akhirnya kami sampai pada ruang rawat inap di ruangan kelas dua, aku mendapati paman terbaring lemah dengan dua infus di bagian tangannya. Melihat hal itu, membuat hatiku menangis.
"Paman, ini Ajeng sudah disini.” Sambil memegang tangan paman, aku berkata.
Paman yang terbaring lemah, hanya tersenyum menyambut kedatanganku. Terlihat tersenyumnya dengan kondisi wajah yang masih tampak pucat pasi.
"Kapan kamu sampai, Nak?" tanya paman dengan suara yang nyaris tidak terdengar.
Aku menjelaskan kedatangan ku dini hari. Dan aku juga mengatakan kalau Bram bersama ikut ke kampung untuk menjenguk dirinya, lalu Bram memberikan salam dengan memegang tangan pamanku.
Disana aku menangis, karena selama merasa tidak memperhatikan kondisi pamanku. Dan aku menyalahkan diriku yang tidak mengetahui penyakit yang di deritanya selama ini.
Namun paman mengatakan padaku, kalau dirinya tidak ingin membuat kuatir seluruh keluarga. Jadi paman merahasiakan perihal sakitnya ini. Walaupun akhirnya, keluarga tahu perihal penyakti yang dideritanya.
"Ajeng, memang paman yang tidak ingin memberitahukan penyakit ini, karena paman tidak ingin, semua orang kuatir dengan kondisi paman."
"Tapi...seharusnya paman tidak boleh seperti itu, penyakit itu harus segera diobati, karena semakin lama tidak diobati, akan semakin berat kondisinya," ucapku dengan menahan kesedihan di hati.
Lalu aku mengatakan pada paman, perihal kehamilan-ku. Mendengar kondisi aku yang sedang hamil muda, membuat paman, bibi dan saudara sepupuku tersenyum bahagia.
"Ajeng, putriku...bibi dan paman sangat berbahagia mendengarkan berita bahagia ini, walaupun paman masih di rawat, tetapi bibi yakin, berita bahagia ini bisa membuat kesehatan paman-mu pulih kembali," ucap bibiku dengan tangis bahagis.
"Pa...cepet sehat yaa...ini putri mu, akan punya anak...kita akan mengurus cucu kita, pa," kembali bibiku berkata dengan memegang tangan suaminya dengan berlinangan air mata.
Disana, terpikir oleh ku, bisa merawat pamanku, sebagai wujud cinta kasih dan balas budi ku, atas jasa dari paman yang telah membesarkan ku selama ini. Lalu pada kesempatan ini, aku utarakan maksudku.
"Paman dan bibi, aku berpikir untuk bisa merawat paman di sini," ujar ku pada mereka, dan membuat mereka terkejut dengan keinginanku.
"Ajeng, sebaiknya...kamu tinggal bersama suamimu," suara lirih paman kudengar ketika aku menyampaikan keinginanku.
Tetapi keinginan aku dan kekerasan hatiku melihat kondisi sakitnya paman, membuat aku ingin menjaga paman, sebagai perwujudan kasih sayang yang telah ia limpahkan padaku.
Dan aku merasa lebih nyaman tinggal di kampung halaman, karena setidaknya, aku punya seorang bibi yang bisa memberikan wejangan atas kehamilan muda yang aku jalani saat ini.
Itu pula yang membuat aku mengambil keputusan untuk tetap berada di kampung halaman hingga kelahiran bayiku kelak. Mereka yang mendengarkan keputusan aku, tetap meminta agar aku berpikir kembali atas keputusan itu.
Setelah beberapa lama kami saling bercengrama dan berbicara berbagai hal yang ringan. Tanpa terasa jam besuk pasien pun telah berakhir dan kami pun pamit untuk kembali ke rumah.
"Paman cepat sehat yaa...pokoknya, Ajeng akan tetap di kampung sampai paman sehat," ujarku sambil menggengam tangannya dan mencium pipinya.
Dalam perjalanan pulang baru aku sadari, kalau aku belum meminta izin pada Bram tentang keinginan aku tetap tinggal di kampung halaman, pikir ku, Bram pasti menyetujuinya.
Lalu aku pikir, nanti ketika sampai di rumah paman, aku akan mengatakan perihal keinginan ini pada Bram. Setelah satu jam perjalanan mereka pun sampai ke rumah. Lalu aku ke kamar dan di ikuti oleh Bram.
Begitupun dengan bibi dan kedua sepupu-ku masing-masing memasuki kamar mereka untuk sekedar beristirahat sejenak karena perjalanan panjang di pagi hari ini.
Sesampai di kamar, aku duduk di kursi rotan yang ada persis disamping tempat tidur kami. Begitupun dengan Bram duduk persis di sebelah ku, pada kursi rotan yang ada disana. Hanya saja kedua kursi rotan itu hanya di batasi oleh meja bundar kecil.
"Aku tidak mengerti mengapa kamu mengatakan ingin tinggal di sini dan kamu pun tidak meminta izin pada ku perihal hal ini atau setidaknya kamu memberitahu aku untuk sekedar berbicara," ucap Bram, sebelum aku membicarakan hal ini, dan terdengar ia berbicara dengan nada yang kurang senang atas tindakanku.
"Maafkan aku mas, keinginan yang tadi aku utarakan di hadapan paman, spontan aku katakan karena rasa tanggung jawabku pada paman,"ujarku, melakukan pembelaan atas keputusan ku yang salah. Karena setidaknya Bram harus diberitahukan dahulu perihal hal ini.
"Ajeng, aku tidak bisa menerima keputusan mu seperti itu dan lebih baik coba kamu sampaikan kepada bibi kalau dirimu tidak mendapatkan izin dariku, karena memang aku tidak mengizinkannya," ucap Bram setelah mendengar pembelaanku.
Bram berharap aku berbicara pada bibi, tentang tidak adanya izin dari Bram untuk aku menetap kembali di kampung halaman. Sejenak aku terdiam melihat Bram agak marah atas keputusan yang telah aku putuskan.
Dalam hatiku, ini adalah sebuah dilema bagi diriku saat ini. Disisi lain Pamanku adalah seseorang yang sangat berjasa bagi kehidupanku. Ditambah aku juga sangat ingin melewati masa kehamilan ini, ditemani oleh bibi yang telah aku anggap sebagai ibu kandungan.
Karena sejak di titipkan ke Paman, sewaktu aku baru memasuki sekolah lanjutan pertama. Aku mendapat kabar, kalau ibu kandungku telah menikah lagi. Karena memang saat di tinggal oleh almarhum Ayahnya, ibu kandungnya masih terlalu muda. Dan bagi Ajeng adalah sangat wajar ibu kandungnya mencari suami kembali untuk kehidupan hidupnya.
Hari ini aku hanya berpikir, tentang hal terbaik yang bisa aku lakukan. Aku memang sangat mencintai Bram tapi disisi lain, aku ingin berada di kampung halaman untuk menemani pamanku yang sedang sakit.
Dan keinginan hatiku melewati masa kehamilan ku disini, membuat aku yang harus banyak beristirahat lebih nyaman, apalagi bibi pastikan akan bisa memberikan saran dan wejangannya.
Aku benar-benar menghadapi dilema yang membuat aku harus memilih. Dan sepertinya,' Aku akan tetap di kampung halaman,' pikirku
Setelah kami berisitrahat, aku dan bibi menyiapkan makan malam, hari ini bibi masak makanan kesukaan Bram, yaitu Ayam goreng keremes buatan bibi. Setelah selesai, aku memanggil semua anggota keluarga untuk makan malam bersama.
"Mas, mari kita ke meja makan, kakak sepupuku dan bibi sudah menunggu," ajakku memanggil Bram yang sedang rebahan di kamar.
Kami pun makan malam bersama, kami saling bercerita satu sama lain. Bram juga bercerita tentang penyakit bunda. Selesai makan malam, Bram berkata pada bibiku.
"Bi, sebelumnya saya minta maaf, karena besok saya sudah harus kembali ke kota. Izin yang di dapat dari kantor sebenarnya sudah habis untuk menjaga bunda yang sakit."
"Pada saat kemari, saya hanya dapat tambahan waktu dua hari saja, jadi dengan berat hati saya tidak bisa berlama-lama di sini," ucap Bram pada bibiku ketika kami masih di meja makan.
"Tidak mengapa Nak Bram, sehari ataupun dua hari, itu sudah cukup, dan kami bersyukur ditengah kesibukan, nak Bram masih menyempatkan diri menjengguk pamannya Ajeng," ucap bibiku.
Dalam hatiku,' Mengapa Bram tidak membicarakan keinginan aku tetap disini yaa,'
Hanya saja untuk sementara ini, aku hanya terdiam. Aku pikir,' Mungkin nanti Bram akan membahasnya lagi ketika kami di kamar.'
Setelah itu, kakak sepupu ku minta izin untuk bertemu temannya, sedangkan aku membantu bibi merapikan pekerjaan di dapur, dan Bram pergi menuju kamar.
Setelah selesai membantu bibi rapi-rapi di dapur, aku pun minta izin untuk beristirahat, begitu pun dengan bibi, menuju kamarnya untuk beristirahat.
Begitu aku sampai di kamar, aku lihat Bram sedang merapikan pakaiannya. Ia sedang berkemas untuk pulang ke kota esok pagi. Setelah aku lihat, Bram telah selesai berkemas. Aku lalu membuka percakapan pada Bram.
"Mas Bram, aku memutuskan untuk tetap dikampung halaman sampai usia kandunganku, memasuki bulan ke lima sekalian aku juga ingin menemani paman,"ucapku melihat ke arah Bram.
"Baiklah Ajeng, jika itu yang sudah kamu putuskan," jawab Bram dengan nada sedikit kecewa dengan keputusan Ajeng.
Aku berpikir,' Bram sepertinya mengalah, karena tidak ingin bertengkar, apalagi saat ini aku sedang hamil.'
Melihat Bram yang diam tidak sepertinya, aku kembali menanyakan perihal keputusanku untuk tetap dikampung.
"Mas marah yaa...dengan keputusan yang aku ambil?" tanyaku pada Bram yang kulihat sedang rebahan di tempat tidur setelah merapikan pakaiannya ke dalam koper.
"Aku tidak marah, mungkin...memang sebaiknya kamu melalui kehamilan ini bersama bibi, yang telah kamu anggap menjadi ibu kandung kamu."
"Aku harap, kamu bisa bertanya-tanya perihal seputar kehamilan sama bibi, dan tetap menjaga kesehatan kamu yaa," ucap Bram dengan nada suara yang melunak.
Mendengar begitu perhatian dan mengertinya Bram dengan keinginannya, membuat aku terharu dan bersyukur mempunyai suami baik seperti Bram.
Lalu dengan rasa cinta kasih Bram memeluk ku dan mencium kening ku. Bram lalu mengatakan padaku kalau dirinya ingin bercinta denganku sebelum kembali ke kota.
"Sayang, kita melakukannya perlahan, hmmmm kalau bagaimana kamu diam saja yaa...," Bram dengan lembut dan sesekali menciumku agar aku memperbolehkan dirinya bercinta denganku.
Karena rasa cinta dan kasian aku pada keinginan Bram, lalu kamj pun bercinta dengan sangat berhati-hati. Aku hanya bisa terdiam saja, ketika Bram yang sudah berhasrat melakukan kepuasan batinnya pada diriku.
"Aarrhhhh...ooouuhhh....," desah Bram ketika menyelesaikan hasrat batinnya.
Setelah selesai dengan hasratnya akhirnya kami pun tidur, karena besok pagi sekali, Bram akan berangkat ke kota.
Pagi-pagi sekali Bram telah bangun, demikian juga denganku serta penghuni rumah lainnya. Seperti biasa aku membantu bibi menyiapkan sarapan pagi.
Apalagi hari ini Bram akan kembali ke kota dengan menggunakan pesawat. Dan rencananya akan terbang sekitar jam sepuluh pagi.
Setelah kami sarapan pagi, Bram pun pamit kepada bibi dan saudara lelaki sepupu-ku Dan Bram pun mengatakan pada bibi, kalau ia menitipkan ku disana untuk sementara waktu.
"Bi, saya titip Ajeng disini...sesuai keinginan Ajeng, agar ia bisa lebih tenang dimasa kehamilannya," ucap Bram pada bibiku.
Setelah menunggu sekitar dua puluh menit, taxi yang pesan oleh Bram pun datang menjemputnya. Ketika akan memasuki mobil taxi tersebut, Bram mencium kedua pipi-ku dan mencium keningku. Bram juga menasihati agar aku bisa menjaga kehamilan, dengan baik dan selalu menjaga kesehatan.
"Ajeng, tolong jaga kesehatan yaa, dan jaga juga anak kita," ucap Bram.
Merasakan perpisahan kembali, membuat aku menangis, ketika melepas kepergian Bram ke kota. Melihat aku menangis, Bram menghapus air mataku. Ada kesedihan dihatiku, karena harus berpisah dengan Bram.
Padahal baru saja ia merasakan kebersamaan dalam membina rumah tangga. Tetapi ini adalah sebuah keputusan yang telah aku diambil, jadi aku tidak akan menyesalinya.
Akhirnya Bram pun masuk ke dalam taxi menuju bandara untuk kembali ke kota. Aku melihat kepergian Bram, hingga taxi itu tidak terlihat. Memang ada kesedihan dihatiku, karena tidak bisa bersama Bram.
' Tetapi Bram mengatakan pada ku, kalau dirinya akan menjenguk aku dua minggu sekali. Jadi dalam satu bulan Bram akan ke kampung dua kali. Maka hal yang bisa aku lakukan adalahlah menunggu,' itu lah yang aku pikirkan saat ini.
Lalu aku pun masuk kedalam rumah, mencari sebuah kalender yang dipasang pada tembok di dapur. Aku melingkari tanda pada tanggal yang ada di kalender, sebagai pengingat, kalau tanggal tersebut Bram akan datang menjengukku.
Bibi yang melihat apa yang aku lakukan pada kalender yang terpasang di tembok itu. bertanya padaku.K
"Kenapa dilingkari pada tanggal itu Ajeng?" tanya bibinya sembari tersenyum padaku.
"Bi...,ini sengaja di tandai, supaya Ajeng ingat tanggal kedatangan mas Bram...," jawab ku memberitahukan hal yang sudah jadi kesepakatan aku dan Bram.
Lalu bibi mengatakan pendapatnya padaku.
"Ajeng, seharusnya kamu ikut dengan suamimu, karena dia adalah bagian dari hidup mu," bibinya memberikan wejangannya.
Mendengarkan hal itu, aku hanya terdiam dan merenunggi apa yang telah dikatakan oleh bibi. Tetapi kekerasan hati ku, membawa ku tetap pada pendirianku. Dan beranggapan kalau keputusanku, adalah hal yang benar.
kembali bibi berkata padaku,"Ajeng, bisa jadi...keinginan kamu untuk tinggal di kampung, karena keinginan si jabang bayi, karena biasanya beberapa orang hamil muda mempunyai berbagai keinginan yang berbeda-beda."
❤️❤️❤️❤️❤️❤️❤️
Sementara itu, Bram pun telah sampai si bandara dan sedang menunggu jadwal keberangkatannya ke kota. Di perkirakan sepuluh menit lagi, seluruh penumpang akan diminta untuk bersiap-siap.
Setelah terdengar instruksi dari maskapai penerbangan untuk mempersiapkan diri masuk ke gate yang di tentukan, Bram pun bersiap-siap dengan kartu tanda pengenal dan tiket yang telah dibelinya.
Setelah masuk dalam pesawat, seperti biasa pramugari memberikan panduan keselamatan selama dalam pesawat, setelah itu pesawat pun lepas landas.
Setelah satu setengah jam penerbangan di angkasa, pesawat pun mendarat dengan selamat. Bram keluar dari pesawat menuju tempat pengambilan koper.
Selesai Bram mengambil koper dirinya, menuju pintu keluar dan memesan taxi untuk pulang ke rumah bundanya. Ketika di dalam taxi, Bram langsung menghubungi Ajeng dalam sambungan telepon.
"Sayang, aku sudah sampai yaa..., ingat kamu jaga kesehatan, dan ingat kontrol tiap bulan ke dokter kandungan yaa...," ujar Bram dalam sambungan telepon.
Sekitar satu jam kemudian, Bram pun sampai ke rumah bunda. Setelah membayar biaya taxi, Bram membuka pintu pagar dan masuk ke dalam rumah.
"Mbok, apa bunda dan Dina ada di rumah?" tanya Bram pada asisten rumah tangga yang sedang membersihkan ruang tamu.
"Ada pak Bram," jawab asisten rumah tangganya.
"Bunda... saya telah sampai," Bram memanggil bundanya.
Bram berjalan menuju kamar bunda, dan langsung masuk ke kamarnya.
"Syukurlah Bram," sahut bunda ketika dilihatnya Bram telah sampai di kamar.
Bram lalu mencium tangan bunda dan memeluknya dengan erat.
"Bagaimanaa kondisi kesehatan bunda sekarang?" tanya Bram, duduk di sisi tempat tidur.
"Bunda rasa, sekarang sudah semakin baik, dan rencananya beberapa hari lagi, bunda akan kontrol serta menjalani therapi," jawab bunda memberitahukan kondisi dirinya saat ini.
"Bagaimana dengan pekerjaan mu, apa semua lancar-lancar saja?"
"Semua lancar terkendali koq bun..."
Selesai bercakap-cakap dengan bunda, Bram pun minta izin ke kamar, untuk menaruh koper.
"Bunda, istirahat dulu yaa...Bram akan ke kamar, merapikan pakaian."
Bram pun meninggalkan kamar bunda menuju kamarnya. Sesampai dikamar, dilihat Dina sepertinya habis mandi. Dan itu terlihat dari handuk berwarna biru yang masih melekat di bagian tubuhnya.
Biasanya Bram mengetuk pintu, ketika akan memasuki kamar mereka. Tetapi kali ini , Bram masuk tanpa mengetuk pintu, sehingga membuat Dina terkejut melihat kedatangannya, terlebih ketika ia hanya membalutkan handuk di tubuhnya.
"Ooh....maaf, aku masuk tanpa mengetuk pintu," ucap Bram, menatap ke arah Dina.
"Yaa...mas, tidak apa-apa, aku yang salah... karena keluar kamar mandi hanya pakai handuk saja," jawab Dina, membuka lemari untuk mengambil pakaian dan kembali ke kamar mandi.
Melihat Dina ke kamar mandi untuk mengganti pakaian, Bram pun keluar kamar dengan perasaan tidak menentu serta detak jantung yang tidak beraturan.
Dalam hati ia berkata,' Ada apa dengan diriku?'
*Bram POV* Setelah keluar dari kamar itu perasaan ku sungguh sangat kacau. Jantung ku masih berdetak sangat kencang. Bagaimana tidak, untuk kedua kali, aku melihat Dina keluar dari kamar mandi hanya dengan mengunakan selembar handuk yang melingkari ditubuhnya. Memang tidak ada yang salah dengan semua itu apalagi kami adalah pasangan suami istri. Hanya saja selama ini, komitmen yang sudah kamk ikrarkan menjadi penyebab jantung ku berdetak kencang. Ditambah kejadian tempo hari yang sungguh menyita sebagian pikiranku, tentang rasa bersalah ku pada Dina. Sampai-sampai aku berpikir, apa rasa bersalah ku pada Dina, yang membuat perubahan pada hati dan pikiranku. Sedangkan hasrat yang aku rasakan saat ini, menurut ku, hanyalah dari rasa kasian ku pada diri Dina, yang melampiaskan kebutuhan batinnya dengan caranya sendiri.M "Mas Bram sudah kembali dari kampung halaman Ajeng?" tanya Dina yang tiba-tiba sudah berada di belakang ku.
Beberapa saat mereka kembali pada tempat tidur masing-masing. Disofa itu Bram masih saja tidak bisa memejamkan matanya walaupun dirinya telah berupaya untuk memejamkan matanya tetapi bayangan kemolekan tubuh Dina membuat jantungnya masih saja berdetak kencang. Sedangkan Dina yang berada ditempat tidurnya juga merasakan hal yang sama. Dirinya tidak bisa memejamkan matanya, dirinya tidak menyangka sama sekali Bram melakukan hal ini kepadanya. Dalam sepuluh tahun ini Bram sangat dingin dan selalu menghindari dirinya. Dina sangat terkejut dengan perubahan yang terjadi pada Bram dan Dina masih merasakan saat-saat bibir Bram melumat bibirnya, karena Bram tidak pernah sekalipun melakukan hal itu padanya selama masa pernikahan mereka. Dina juga masih memikirkan, kira-kira hal apakah yang membuat perubahan drastis pada diri Bram. Ketika Dina masih terus memikirkan hal itu, tiba-tiba Bram telah duduk di pinggir tempat tidurnya dan Dina terkejut den
“ Pak bram...pak bram...,” ucap asisten rumah tangga di rumahnya memanggil bram sambil mengetuk pintu kamar Bram. “ Bu Dina...bu dina...,” ucap asisten rumah tangga mereka lagi sambil mengetuk pintu kamar mereka dan memanggil nama Dina. Setelah merasa tidak ada jawaban dari dalam kamar, asisten rumah tangga itu pun pergi menemui ibunda bram. “Maaf buu...Pak Bram dan Bu Dina belum bangun juga,” ucap asisten rumah tangga itu melaporkan hal yang telah dilihatnya. “Yaa sudah biarkan saja dulu,” ucap ibunda bram sambil berharap dalam hati agar mereka bisa mendapatkan keturunan. Sekitar Jam sebelas mereka pun terbangun dari tidurnya dalam keadaan masih telanjang bulat. Dilihat Bram, Dina masih tertidur disampingnya. Lalu Bram mencium kening Dina dan menutupi seluruh tubuh Dina dengan selimut tebal. Setelah Bram pergi ke kamar mandi dan berpakaian rapih ia pun langsung menemui ibundanya. “Siang bunda...,” sapa Bram pada bunda nya.
Sejak kepergian Bram ke kota lebih dari dua minggu lalu , Ajeng merasakan kesepian. Sebenarnya dia menyesali atas segala keputusan yang telah dia ambil. Padahal waktu itu Bram meminta padanya untuk berpikir sekali lagi untuk kembali bersama Bram ke rumah mungil mereka. Masih terbayang dibenaknya ketika saat bahagia mereka sejak kereta terakhir yang Ajeng tumpangi berhenti di perhentian terakhir di pagi subuh itu. terlihat sekali kalau Ajeng hari ini sedang merindukan Bram suaminya. “Ajeng apa yang sedang dipikirkan nak?” tanya bibiknya membuyarkan lamunan Ajeng. “Ooh...bibik, tidak mikir apa-apa koq bik,” jawab Ajeng. “Nak... apa dirimu ingin bertemu dengan suamimu?” tanya bibiknya lagi. Ajeng terdiam lalu tiba-tiba dilihat oleh bibiknya air mata Ajeng menetes membasahi pipinya. Lalu dalam dekapan bibiknya dirinya menumpahkan segala kegundahan hatinya. Diceritkan pada bibiknya kalau seharusnya Bram sudah mengunjungi dirinya di tanggal kemarin. D
Setelah dirinya masuk ke rumah munggil yang telah ditinggalkan selama hampir tiga bulan serasa hatinya miris melihat keadaan rumah yang kotor dan tidak terawat. Padahal ketika dirinya meninggalkan rumah ini semua masih terlihat rapih dan terawat. Kini Ajeng membuka kamarnya untuk menaruh koper dan tasnya. Dia melihat kamar tidurnya masih rapih tetapi terasa berdebu pada seprainya. Ajeng pun menganti seprei tempat tidur itu serta membuka jendela yang ada dikamar agar sirkulasi udara didalamnya berganti dengan yang baru. Dilihat olehnya jam baru menunjukan hampir pukul empat sore. Karena dirasakan perutnya lapar maka setelah mengganti sprei tempat tidurnya Ajeng beranjak menuju ke dapur dan melihat isi kulkas yang ada disana. Mungkin saja ada makanan yang bisa dimakannya pikir Ajeng. Sesampai di dapur dia membuka kulkas dan melihat isinya. Ternyata disana masih ada beberapa telur, buah-buahan, sosis, nugged dan susu coklat cair. Ajeng teringat karena ketika dia
“Bram....Bram,” ucap bunda memanggil namanya. “Iyaa, Bunda sebentar,” jawab Bram sambil berjalan menuju ruang keluarga. “Bram, ini ada hadiah dari bunda untuk kamu dan Dina untuk pergi ke tempat wisata,” ucap ibundanya sambil menyodorkan satu amplop. Bram membuka amplop yang diberikan bundanya, melihat isi dari amplop tersebut. Ternyata ibundanya memberikan voucher menginap di sebuah hotel berbintang. Berwisata pada sebuah pulau selama lima malam enam hari serta tiket pesawat pulang pergi untuk mereka. Tetapi sebelum Bram bisa mengatakan apapun ibundanya melanjutakan kata-katanya. “Karena kamu menghabiskan sisa cuti akhir tahun mu selama tujuh hari, maka menurut ibunda ini lah saat yang terbaik bagi kamu dan dina untuk bisa berlibur. Apalagi ibunda sudah bisa mengurus diri sendiri,” ucap ibunda menyampaikan keinginannya. Tidak ada perkataaan dari ibundanya yang mampu ia tolak, apalagi saat ini Bram tidak ingin merusak kebahagiaan dari keluarga
Setelah taxi yang membawa Ajeng sampai di rumah, Ia langsung membuka pintu pagar dan pintu rumahnya untuk menuju kamarnya. Disana ia menangis sekeras-kerasnya, setelah menahan perasaaan pedihnya selama dalam perjalan pulang. Ajeng melempar semua bantal dan barang yang ada di tempat tidurnya sambil menangis histeris. Ingin rasanya hari itu ia memecahkan seluruh kaca yang ada di rumah itu dan membakar seluruh photo dirinya dan Bram yang terpajang di kamarnya, tapi sampai saat ini Ajeng masih bisa menahan dirinya. Karena ia adalah seorang pribadi yang kuat menahan segala kemarahan. Selama ini Ajeng tidak pernah sekalipun merasakan amarah yang sedemikan dasyatnya. Setelah kurang lebih satu jam, Ajeng pun sudah semakin bisa mengontrol emosinya. Ia beranjak ke kamar mandi dan membasuh wajahnya dan mengganti pakaian. Sejenak ia berpikir tentang bayi yang telah di kandungnya. Ia lalu memperingati dirinya untuk selalu kuat dan bertahan untuk bayi yang sedang dikandungnya. Sam
Tujuh hari sudah Ajeng menjalani hidup dengan kesendirian dan dalam rentang waktu itu, banyak kesedihan yang telah ia tumpahkan.dalam kesendiriannya. Entah sudah berapa air mata yang telah ia tumpahkan demi sebuah kepastian kabar dari suaminya Bram. Kekecewaannya atas ketidakpastian membuat dirinya tidak merasakan adanya kerinduan seperti waktu pertama dirinya merindu. Kini yang ada adalah rasa kebenciannya pada sosok yang dulu ia sangat cintai dengan segenap jiwa dan raganya. Rasa kerinduannya kini telah menjadi kebencian. “Ajeng...kamu dimana sekarang?” tanya Bram dalam sambungan telpon genggamnya. “Ajeng...tolong jawab,” ucap Bram lagi dalam sambungan telponnya. Merasa terganggu dengan telpon Bram yang terus menghubunginya. Ajeng pun memblokir nomor telpon Bram. Setidaknya kalau memang Bram berkepentingan dengannya pasti ia akan ke rumah lagi pula, diakan masih istrinya, jadi sudah kewajiban bagi Bram untuk mencari dirinya pikir Ajeng. Pagi
*AJENG POV* Pagi hari ini aku terbangun lebih awal karena aku akan melakukan pengecekan pada beberapa barang bawaan kami yang telah kami cek semalam, hanya saja aku ingin memastikan semuanya telah masuk dalam cek list ku. keberangkatan kami ke kota dengan menggunakan pesawat pada keberangkatan pertama membuat aku sangat sibuk di pagi ini. Saat ini kehamilanku telah memasuki usia lima bulan, dan itu dapat terlihat dari perut buncitku. Begitu pun dengan putri kami Angel telah mulai bisa memanggil kami dengan sebutan mama dan papa. Oleh karena itu, sekarang aku memanggil Teguh dengan sebutan papa begitu pun dengan Teguh memanggilku dengan sebutan mama. Semua itu atas nasehat dari bibiku, yang biasanya aku memanggil dengan sebutan namanya pada Teguh, kini kami membiasakan diri dengan sebutan mama, papa, agar Angel biasa lebih mengetahui keberadaan kami sebagai orang tuanya. Dan syukurnya setelah kehamilan kedua sejak pertama kali aku hamil dulu, membuat d
*BRAM POV* Kondisi Dina yang telah melakukan pengobatan selama tiga bulan ini tidak membuahkan hasil seperti yang di harapkan. Dan hal ini semakin membuat keputusasaanku berakhir dengan sikapku yang mudah emosional. Seperti pagi ini ketika aku mendapatkan hubungan telepon dari suami Ajeng, yang menanyakan kepindahanku dari rumahnya, semakin membuat suasanya tidak menyenangkan bagi seluruh pihak. Aku seharusnya tidak berkata kasar padanya, karena mereka memang tidak mengetahui kondisiku saat ini. Saat ini aku sedang menunggu Dina yang sedang menjalani kemoterapi untuk ke sekian kalinya. Dina kini bukanlah seperti yang dulu, ia kini kurus kering, tidak ada lagi keseksian dalam tubuhnya. Pada bagian rambutnya pun telah habis berjatuhan, sehingga ia sudah tidak ingin melihat wajahnya. Cermin di dalam kamar, telah aku singkirkan. Aku sangat terharu ketika ia mengatakan dirinya telah berubah menjadi seorang yang sangat jelek dan menakutkan, dan ia mer
*AJENG POV* Sesampai di rumah kami langsung beristirahat karena terlalu lelah liburan yang kami lakukan dua hari ini. Aku lihat Teguh telah tertidur sangat nyenyak. Kulihat dirinya yang begitu menyayangiku, membuat diriku merasa, dialah seseorang lelaki pilihan yang memang dipersiapkan untuk diriku. Setelah segala kehancuran yang telah aku jalani, dalam berumah tangga bersama Bram. Tuhan menggantikannya dengan seorang lelaki yang membahagiakan diriku lahir dan batin. Suara ketukan pintu membuat rasa kantukku hilang, aku lalu beranjak ke ruang tamu untuk melihat siapa yang datang. “Permisi ibu Teguh, perkenalkan saya bapak Paimin, yang mengurusi tambak bapak,” sapa bapak itu dengan memperkenalkan dirinya. “Silakan masuk pak, bisa saya bantu ya pak, karena pak Teguh baru saja beristirahat,” jawabku untuk memberitahukannya kalau suamiku sedang tidur. “Ibu, kapan hari bapak berbicara pada saya, kalau dirinya mau mengambil cucu saya yang tidak memp
*BRAM POV* Hari ini aku ke Rumah Sakit bersama Dina, untuk mengambil hasil dari biopsi. Kami menunggu dengan cemas begitu pun dengan Dina. Ia sangat gelisah sekali atas hasil yang akan diterimanya. Sekitar setengah jam kemudian nama Dina di panggil oleh perawat. Aku menggandeng tangan Dina yang terasa Dingin. Aku mengusapnya agar ia merasa tenang. Sesampai di meja, Dokter membuka hasilnya lalu mengatakan pada kami, “Ibu Dina, hasil yang didapat dari hasil biopsi, “menyatakan kalau ibu positif kanker serviks.” Seketika aku melihat Dina yang lunglai seperti tak berdaya, langsung menangis dengan pilu, ia menutupi mulutnya untuk menahan ledakan tangisnya. Melihat hal itu, hatiku serasa hancur, dan tidak ada kata yang bisa aku ucapkan. Aku hanya memeluk bahunya. “Din, kita pasti bisa melalui ini, kita harus yakin, aku mohon kuatkan diri mu,” ucapku dengan menahan isak tangisku. Aku melihat Dokter memberikan waktu bagi Dina untuk meluapkan seg
*AJENG POV* Kami terbangun pada pukul sepuluh pagi, Aku melihat di sampingku, seorang suami yang penuh tanggung jawab. Bukan hanya tetapi bertanggung jawab pada kehidupanku saja, ia selalu berupaya untuk kebahagiaan ku dalam segala hal. Teguh tidak melihat sedikit pun celah cacat pada dirinya. Pendidikannya, bidang pekerjaannya, jiwa sosialnya, tutur, hubungan sosialnya, dan secara fisik Teguh adalah lelaki dengan postur tubuh yang tinggi, dengan bentuk dada yang, berkulit coklat muda, wajah yang manis, walaupun tidak setampan Bram, dan yang pasti memiliki keistimewaan pada alat vitalnya yang mampu membuat wanita mana p
*AJENG POV* Masa-masa bahagia yang dilalui oleh Aku dan Teguh, membuat kehidupan di lingkungan desa kami terasa lebih bahagia. Aku yang kini telah menjadi seorang istri dari seorang Teguh Pratama, sering ikut membantu suamiku dalam penyuluhan yang dilakukan di desa-desa. Aku juga sangat aktif di dalam pemberdayaan wanita di desa kami. Selain itu karena suamiku seorang ASN maka aku juga aktif dalam kegiatan Dharma wanita, yang biasanya kami lakukan setiap satu bulan sekali mewakili dari dinas pertanian tempat dari Teguh bekerja. Aku sungguh sangat beruntung bertemu dengan Teguh, banyak sekali pembelajaran yang aku dapatkan dari dirinya tentang hidup ini. “Sayang... lihat, aku bawakan bunga anggrek dari kota,” ucap Teguh yang telah dua hari mengikuti seminar kedinasan di kantor pusat. “Aah...cantiknya, tetapi aku kangen sama yang bawa anggreknya,” ucapku bahagia melihat dirinya sudah di rumah dengan memeluk erat tubuhnya. Melihat kerindu
*BRAM POV* Kepulangan Dina dan Bayi perempuanku yang cantik membawa kebahagiaan bagiku dan Dina. Walaupun saat ini keadaan ekonomi ku tidak dalam keadaan membaik, aku berharap bayi perempuanku yang cantik ini kelak dapat mendatangkan Rizky bagi keluarga kami. Hanya saja beberapa tetangga di lingkungan kami yang memang tidak menyukai Dina, tidak ada yang menjenguk atau sekedar menanyakan tentang Dina sudah melahirkan atau belum. Stigma pandangan pada masyarakat yang selalu melekat pada diri Dina, yang di anggap sebagai penghancur dari hubungan rumah tangga orang lain membuat dirinya tidak disukai dalam masyarakat. Dan itu sudah risiko dari hidup bermasyarakat yang harus di tanggung oleh kita semua termasuk Dina. “Sayang, anak cantik...tante dini akan pulang dulu ya, sehat-sehat ya..,” ujar Dini ketika melihat putriku di kamar kami. “Kak Dina, aku akan balik ke kost, karena besok ada jadwal ke kampus,” Dini izin pada Dina untuk kembali ke kost n
*BRAM POV* Kelahiran seorang bayi cantik yang selama ini telah aku tunggu telah membawa kebahagiaan yang tiada taranya. Aku merasa sangat berbahagia melihat persalinan Dina, yang aku lihat secara langsung. Aku melihat bagaimana Dina berjuang antara hidup dan mati, ketika melahirkan bayi berjenis kelamin perempuan dengan panjang 49centimeter dan berat 3kilogram. Aku berterima kasih pada Dina yang sudah tetap menemani diriku disaat aku terpuruk. Malah dirinya memberikan kebahagiaan dengan melengkapi statusku dari hanya sebagai seorang suami kini menjadi seorang ayah. Aku berjanji akan menjadi seorang Ayah yang baik dan bertanggung jawab serta sangat mencintai dirinya melebihi aku mencintai diriku sendiri. “Terima kasih sayang, untuk perjuangan dirimu bagi kebahagiaan kita,” ujarku sambil mengelus-ngelus kepala Dina. “Bagaimana kondisi anak kita, mas?” tanya Dina dengan suara yang lemah. “Apakah mas sudah menghubungi Dini, unt
*AJENG POV* Sidang gugatan perceraian yang seharusnya di hadiri oleh Bram, sudah kedua kalinya tidak di hadiri oleh Bram. Dan saat ini adalah sidang yang ketiga untuk mendengarkan keputusan hakim atas gugatan perceraian antara aku dan Bram. Aku yang selalu di dampingi oleh Teguh, dan berharap Bram secara jantan menghadiri sidang gugatan atas perceraian ini. Tetapi tidak sekali pun Bram menghadiri persidangan tersebut. Dan pada kali ini Bram justru mengirimkan sebuah surat pernyataan yang ditujukan pada majelis hakim, pada lanjutan sidang gugatan perceraian ketiga. Dimana hari ini rencananya akan diputuskan gugatan perceraian ini dengan membacakan surat yang diterima oleh majelis hakim dari Bram. Pada surat ini, Bram menerima semua keputusan dari hakim sidang dan mengabulkan seluruh gugatan perceraian dariku, termasuk gugatan tambahan atas kepemilikan sebuah rumah yang memang sudah atas nama diriku sendiri. Dan semua itu telah diputuskan oleh hak