*Bram POV*
Aku masuk ke kamar mandi dan mulai membersihkan diri. Dimulai dengan membersihkan bagian bulu-bulu halus pada wajahku, dengan foam wajah. Lalu aku membersihkan seluruh tubuhku. Setelah itu, aku mulai menyiram seluruh bagian tubuhku.Terasa sangat segar sekali setelah beraktifitas di pagi ini. Ketika hampir selesai aku meminta Ajeng untuk mengambilkan handuk, yang memang dengan sengaja tidak aku bawa, karena aku ingin mengajaknya mandi bersama.
"Ajeng sayang, tolong ambilkan aku handuk, Aku lupa membawanya."
Terdengar sayup-sayup Ajeng menjawab panggilanku padanya" Yaa Mas."
Hanya beberapa menit kemudian, Ajeng telah membawakan handuk dan masuk ke dalam kamar mandi. Lalu dengan sengaja aku menyiram tubuhnya dengan shower.
"Aduh...mas ini, basah bajuku, dan lihat handuknya juga basah," ujarnya dengan kedua bola mata yang mendelik kearahku.
Aku lalu memeluk dan mencium dirinya yang telah basah kuyup. Melihat serangan hasratku di kamar mandi, membuat Ajeng membalas ciumanku dengan melumat habis lidahku. Hanya suara decap pada kedua bibir kami yang saling menghisap lidah kami masing-masing.
Setelah itu, aku lucuti seluruh pakaiannya yang basah. Dan tanpa pikir panjang, aku melahap kedua buah dadanya yang tidak terlalu besar bergantian. Sedangkan sesekali tanganku memilin puting hitam miliknya. Hingga Ajeng mendesah.
"Ooouuhhh...," desah Ajeng ketika mulai merasakan hisapan pada buah dadanya.
Lalu tanganku mulai menjalar kebagian selangkangannya, aku mulai memutar bagian klitorisnya dengan jemariku dengan pelahan. terlihat Ajeng, membuka kedua kakinya, agar mempermudah aku memberikan sensasi padanya.
Lalu Ajeng berkata," Enak itu mas, terusin sampai terasa panas kakiku."
Aku lalu terus melakukan putaran lembut pada klitorisnya. Setelah beberapa menit, terlihat hasrat Ajeng yang kian memuncak, dan itu terlihat, ketika bibirnya mulai menjilati leherku dan mengigit perlahan telinggaku.
Setelah terasa semakin enak pada klitorisnya, Ajeng berkata padaku seperti rengekan anak kecil," Mas...di isap mas..isap...enak sekali mas."
Lalu aku pun menuruti permintaannya. Aku duduk dihadapannya yang masig berdiri dengan kedua kaki terbuka lebar. Lalu aku langsung menghisap kuat klitorisnya, hingga membuat Ajeng histeris.
"Aaaauuuhhhhh....eennaakkk mas, terussss," desahnya dengam suara bergetar dan menggoyangkan bokongnya.
Setelah beberapa kali goyangan ke arah bibirku, akhirnya cairan pada area sensitif Ajeng keluar membasahi bibirku. Setelah itu, aku masukkan batang kelelakianku yang telah lama menunggu untuk masuk kedalam area sensitifnya.
Dengan satu kaki yang aku angkat, aku melakukan hempasan kedalam, tanpa menyisakan sedikitpun batang kelelakianku, hingga Ajeng kembali kelojotan seperti cacing kepanasan. Hanya desahan dan detak jantungnya yang semakin cepat, ketika merasakan kenikmatan untuk kedua kalinya.
"Ooouuhhh...enakkkk...enaakkk...," rintihnya sambil memegang bokongku lebih dalam ke arahnya.
Aku pun merasakan kenikmatan yang luar biasa, hingga aku dengan sekuat tenaga menhembas batang kelelakianku dengan menahan bokong Ajeng. Hingga aku pun merasakan klimaks hingga membuatku mendesah," Aaarrrhhhhh....Ooouugghhh," nikmatnya sayang.
Akhirnya kami pun sama-sama menikmati kebersamaan mandi bersama dengan bercinta dalam cinta. Setelah itu, kami membersihkan diri, lalu aku mengendong Ajeng, menuju kamar kami setelah kenikmatan yang telah kami raih bersama.
Selesai kami memakai baju, kami mulai menuju ruangan santai untuk berbincang-bincang tentang beberapa rencana kedepan kami. Tentang nama calon bayi kami jika perempuan atau lelaki.Tentang kelak dimana mereka akan sekolah, cara mereka memanggil kami ketika sudah menjadi orangtua. Dan itu sudah kami bahas bersama. Memang sesekali kami berbeda pendapat untuk hal-hal yang sebenarnya tidak terlalu penting.
Walaupun akhirnya semuanya aku serahkan kepada Ajeng. Sambil beberapa kali aku mengusap perutnya walaupun belum terlihat. Sesekali akupun menggodanya.
"Dedek bayi sayang....tadi ayah menjengguk kamu, dan...ssstttt...ibumu luar biasa dalam permaianannya," aku tertawa melihat Ajeng memukul mesra tanganku.a
"Mas Bram, apa tidak sebaiknya menjenguk bunda, kasian bunda di Rumah Sakit, ujar Ajeng setelah kami bersenda gurau.
Ajeng mengingatkan diriku untuk bisa menjenguk bunda di Rumah Sakit. Kala itu jam sudah menunjukan pukul dua siang. Dengan bermalas-malasan, aku iyakan saja permintaannya. Dalam hatiku, kalau saja bunda tahu, bagaimana Ajeng yang tidak dia kenal sangat memperhatikannya.
Mungkin bunda akan menyayanginya, sama seperti bunda menyanyangi Dina.
Lalu aku bergegas merapikan pakaian, rambutku dan mengambil kunci mobil yang aku letakan di meja Televisi.Ajeng mengantarkan aku sampai pintu ruang tamu. Tidak lupa aku memeluk tubuhnya dan mencium keninganya.
"Aku ke Rumah Sakit dulu yaa sayang, inget habis ini langsung istirahat kasian si dedek bayi tadi kecapean," selorohku sambil tersenyum mengoda Ajeng.
"Yaa Mas, hati-hati dijalan," Jawab Ajeng dengan senyum malu.Aku membuka pintu gerbang dan menuju garasi untuk mengambil mobilku, setelah itu aku menyalakannya dan mulai berjalan menuju pintu gerbang. Setelah aku menutup pintu gerbang, aku melambaikan tangan ke Ajeng dan memintanya untuk masuk kedalam rumah.
Dalam perjalanan ke Rumah Sakit pikiranku melambung jauh. Banyak sekali yang aku pikirkan. Dari masalah bunda, masalah Dina, dan masalah Ajeng. Dalam hati aku berguman, 'Semoga saja semua berjalan sesuai harapan Ajeng dan diriku.'
Setiba di Rumah sakit, aku memarkir mobil dan mampir ke Supermarket yang ada di lingkungan Rumah Sakit untuk membeli air mineral dan beberapa camilan yang akan aku bawa menuju ruangan rawat inap bunda.
Setelah membayar dikasir, aku mulai berjalan menuju lorong-lorong bangsal Rumah Sakit, menuju ruang rawat inap bunda. Sesampai didepan ruang rawatnya, aku berhenti sebentar untuk mengatur nafas dan berdoa dalam hati, agar bunda tidak kembali emosional atas kejadian dua hari lalu.
Aku membuka pintu kamar dan aku dapati Dina sedang tertidur disofa panjang pada ruang tamu kamar rawat inap bunda. Aku lihat dengan jelas kelelahan terpancar dalam wajahnya yang cantik.
Aku membiarkannya tertidur lelap disana. Kemudian aku masuk ruang rawat inap bunda. Aku pun melihat, bunda masih tertidur dengan nyenyak. Kemudian aku menuju lemari yang berada dipojok dari tempat tidur bunda untuk mengambil selimut yang akan kuberikan pada Dina.
Setelah mengambil selimut, dan kembali ke ruang tamu tempat Dina tertidur pulas. Aku menyelimuti tubuhnya yang terlihat nyenyak dalam lelah. Terlihat jelas wajah cantiknya dengan alis yang menyatu, serta aku melihat ada tahi lalat pada bawah hidungnya.
Seketika dadaku bergemuruh, ketika tanpa sengaja aku melihat belahan buah dada Dina yang besar keluar dari branya, karena posisi tidurnya yang miring ke kanan. Sebagai lelaki yang mempunyai hormon lebih banyak dari wanita, pemandangan ini tidak aku sia-siakan.
Jelas terlihat warna putih bersih pada kulitnya yang mulus. Selama ini aku tidak pernah memperhatikan bentuk tubuhnya, terlebih buah dadanya yang besar. Karena selama ini, aku selalu berusaha menghindar darinya.
Walau Dina adalah wanita cantik, yang telah menjadi Istri pilihan bundaku. Tetapi tidak pernah sekalipun aku menyentuhnya. Karena selain tidak mencintainya aku juga terikat janji dengan Ajeng, kalau aku tidak akan menyentuh Dina, walaupun ia telah menjadi istri sahku.Baru saja aku menyelimuti bagian kakinya yang terlihat sangat mulus dengan bulu-bulu halus dikakinya, tiba-tiba Dina terbangun dari lelapnya. Akupun terkejut melihat dirinya, apalagi dilihat olehnya aku persis didepan wajahnya.
"Maaf Din..., tadi aku mencoba untuk menyelimuti kamu," dengan gugup aku berkata padanya.Entah Dina tahu atau tidak kegugupan diriku, tetapi yang kulihat, Dina dengan santai duduk dan merapikan rambut dan pakaiannya yang sedikit terbuja. Lalu ia berkata," Tidak apa-apa Mas, aku sudah tertidur dari tadi."
"Mas Bram, bagaimana kondisi Ajeng, apa dia bisa menerima penjelasan mu tadi?" tanya Dina sambil melihat kearahku yang berusaha menetralkan detak jantungku karena buah dadanya.
"Aku hanya mengatakan kondisi bunda masih sakit, jadi aku rasa dia cukup maklum mendengar apa yang kusampaikan”. Jawabku dengan suara tegas agar kegugupanku tidak terlihat olehnya.
Lalu aku bertanya padanya," Apa kamu sudah makan siang?"
Dina hanya mengelengkan kepalanya padaku. Seketika aku merasa bersalah padanya. Mengingat dia sudah seharian ini, menjaga bunda. Apalagi, tadi pagi kami hanya makan sarapan di kantin Rumah Sakit.
Lalu aku mengajak Dina untuk makan siang,"Ayo kita makan Din, juga bunda masih tertidur nyenyak.
Dina mengangguk tanda menyetujui, dan lalu ia beranjak dari sofa keluar ruang perawatan bunda. Walaupun tadi di rumah, aku dan Ajeng sudah makan siang, tapi karena Dina belum makan siang maka, aku mengajaknya untuk mencari Rumah Makan yang berada di area Rumah Sakit ini.
Sebelum itu aku berjalan menuju ruang jaga perawat, untuk menyampaikan, kalau saat ini kami keluar Rumah Sakit, beberapa jam, untuk mencari makan siang serta aku juga minta tolong pada perawat yang jaga disana, untuk segera menghubungiku jika ada sesuatu hal yang genting mengenai bunda.
Setelah menitipkan bunda pada perawat jaga, kami pun berlalu dari ruang perawat menuju lorong-lorong bangsal Rumah Sakit untuk menuju tempat parkir. Aku berjalan duluan, sedangkan Dina mengikuti diriku dari belakang.
Sesampai diparkiran kami menuju mobil dan masuk kedalam mobil, untuk mencari Rumah Makan yang terdekat dari Rumah Sakit. Di dalam mobil aku bertanya pada Dina," Ingin makan siang apa Din?"
"Aku ingin makan sate kambing Mas," jawab Dina.Lalu kami mencari Rumah Makan Sate dan Gulai kambing. Setelah berjalan selama lima belas menit menyusuri jalan dekat area Rumah Sakit, akhirnya kami menemukan Rumah Makan sate kambing muda.
Dalam benakku saat itu, suatu saat aku akan mengajak Ajeng untuk makan disini. Karena dia sangat suka dengan sate kambing. Dan sewaktu aku membaca kembali, nama Rumah makan ini, tergelitik aku membacanya.
Rumah Makan Kambing Muda, aku bergumam,' Jika ada tempat makan sate kambing muda berarti ada sate kambing tua. Sambil tersenyum kecil, aku masuk ke Rumah makan itu.
Setelah kami memilih bangku yamg ada disudut dan menghadap keluar jalan, kami memesan dua porsi sate dan dua porsi gulai. Kami pun duduk bersebelahan, agar kami bisa melihat lalu lalang jalan ketika kami makan.Setidaknya itu yang bisa kami nikmati ketika makan di Rumah Makan dipinggir jalan. Setelah lima belas belas menit kemudian, pesanan kami pun telah disajikan di meja. Lalu kami mulai melahap sate kambing dan gulai yang telah disajikan.
Demikianlah kebersamaan yang biasa kami jalani, walaupun kami suami istri didalam buku pernikahan tapi kami seperti orang asing satu sama lain. Semua ini karena, kami sangat menjaga urusan pribadi masing-masing. Dan kami juga sudah berjanji untuk bisa saling menjaga jarak ketika berdua.
Karena aku tidak ingin seseorang memasuki bagian dihatiku, kecuali Ajeng. Dan hal itu sudah sangat dipahami dan dimengerti oleh Dina. Memang terkadang aku terlihat egois dengan perjanjian yang kami sepakati bersama, tanpa menanyakan hal yang diingini oleh Dina.
Sampai kini, aku juga tidak terlalu tahu persis sifat dan karakter Dina yang sesungguhnya. Karena selama ini, diriku hanya fokus pada Ajeng yang selama sepuluh tahun ini mengisi kehidupanku. Tanpa rasa lelah setiap bulan, aku selalu menjemputnya di stasiun kereta api, hingga akhirnya sampai pada kejadian kemarin, yang mengharuskan Ajeng tidak kembali lagi kekampung halamannya.
"Mas Bram," panggilan Dina seketika membuyarkan lamunanku.
"Yaa Din," Sahutku.
Dinapun berkata," Jika bunda telah pulih nanti, aku minta izin untuk pergi ke australia."
Dina menoleh ke arahku yang duduk disebelahnya. Lalu Dina menyambung perkataannya.
"Selama sepuluh tahun ini, aku tidak pernah mengunjunginya, aku merindukannya Mas," ujarnya dengan menatap wajahku.
Sejenak aku hanya terdiam sambil memikirkan keinginannya. Dan akhirnya akupun menyetujui permintaannya. Setelah kami rasa sudah cukup waktu untuk berisitirahat dari kesuntukan, dengan berbincang ala kadarnya, aku menuju meja kasir dan membayarnya serta kembali ke Rumah Sakit.
Kami menuju mobil yang terparkir di bahu kiri jalan. Setelah masuk ke mobil, kami pun saling terdiam dan tidak berkata-berkata. Kami seperti dua orang asing yang tidak punya ikatan apapun. Mungkin saja Dina berpikir tentang banyak hal seperti pikiranku yang terkandang terbang ke masalah yang satu dan terbang ke masalah yang lainnya.
Akhirnya kami sampai di Rumah Sakit. Setelah aku memarkir mobil, kami keluar dari kendaraan dan mulai menyusuri lorong-lorong bangsal Rumah sakit untuk menuju ruang perawatan bunda.
Kami melewati ruang perawat yang tadi aku titipi bunda, ketika kami minta izin keluar untuk makan siang. Disini aku menanyakan beberapa pertanyaan pada perawat yang berjaga disana. Baik mengenai kondisi terkini bunda dan menanyakan pada perawat jaga disana, apakah bunda sempat terbangun, ketika kami izin keluar Rumah Sakit tadi.Dan menurut perawat jaga bahwa bunda masih terlelap. Mungkin saja memang itu efek dari pemberian obat-obatan yang telah diberikan pada bunda, karena untuk beberapa hari ini diharapkan bunda punya cukup waktu istirahat agar kesehatannya lebih cepat pulih serta untuk menghindari dirinya dari stres. Supaya tidak terjadi stroke kedua kalinya.
Sesampai di ruang rawat inap, kami berdua masuk menemui bunda untuk melihat, apakah bunda telah terjaga dari tidurnya. Saat ini aku berdiri persis berada disisi kanan bunda, sedangkan Dina berdiri disisi kirinya.Beberapa menit kemudian Aku melihat bunda membuka mata dan melihat disekelilingnya. Dia mendapati Aku berada disisi kanannya dan mendapati Dina Disebelah kirinya.
Bunda tersenyum melihat kami berdua. masih terlihat pucat pasi pada wajah bunda dan masih terlihat jelas raut wajahnya yang lelah. Bunda lelah karena penyakit dan karena telah melalui hari-hari berat ketika aku masih sekolah dasar.
Dimana bunda harus berpisah dengan Ayahku, lelaki yang dicinta dan diperjuangkannya selama ini. Walaupun akhirnya, perpisahan itu tidak bisa dihindari. Demi cinta kasih pada Eyang dan rasa hormatnya pada Eyang, bunda melepas semua rasa cinta dihatinya.
Aku kasihan pada bunda yang menjalani hari tanpa dukungan dari suami tercinta, pada saat membesarkan, mendidik diriku. serta aku merasakan kesepiannya bunda ketika hidup tanpa suami.
Belum lagi guncingan tetangga ketika bunda harus pulang malam, ketika masih bekerja disebuah perusahaan. Seingatku tidak sekali pun, aku melihat bunda mempunyai teman lelaki lain selain Ayahku.
Sepertinya, setelah kejadian yang membawa Eyang putri wafat, bunda seakan-akan menghukum dirinya, untuk tidak bertemu lelaki lain.
"Bram..," lirih suara Ibunda memanggil namaku dan nyaris tidak terdengar."Yaa Bunda," jawabku sambil ku genggam tangannya dengan erat.Lalu aku berkata pada bunda," bunda... maafkan kesalahanku, dan aku adalah penyebab dari bunda masuk Rumah Sakit, maafkan aku yaa bun.."
Bunda hanya menganggukan kepala, lalu ia memanggil Dina untuk lebih mendekat. Setelah itu, bunda meraih tangan Dina dan menyatukannya dengan tanganku. Dan aku merasa ada yang ganjil dengan perasaanku ketika tangan Dina disatukan dengan tanganku oleh Ibunda.
Tapi aku berusaha menghalau segalanya karena aku pikir, bisa jadi semua itu dikarenakan rasa kebaikan hati Dina dalam mengurus bunda selama ini.
"Bram, Dina, berjanjilah....kalian pada bunda, kalau kalian tidak akan berpisah walau apapun yang akan terjadi," suara bunda terdengar sangat lirih dan nyaris tak terdengar.
Aku dan Dina saat itu hanya bisa saling melihat satu sama lain. Dan aku melihat, Dina menunggu jawabanku atas permintaan bunda. Pada saat itu Aku merasa tidak bisa menolak apapun yang bunda minta. Karena aku tidak ingin, hal terburuk menimpa bunda, jika aku menolak permintaannya. Ditambah lagi kondisi bunda yang belum stabil.
Lalu akupun menjawab," Baik bunda, kami berdua akan selalu bersama dan Bunda tidak perlu kuatir akan hal itu."
Kata-kata ku, meluncur begitu saja dari bibirku dan Dina hanya menatapku, mendengar janji yang aku katakan didepan Ibunda. Dan ketika bunda menoleh ke arah Dina.
Dinapun menjawab,"Yaa...bunda, kami akan baik-baik saja. Seketika aku lihat wajah bahagia terpancar dalam raut wajah bunda yang masih terlihat pucat pasi. Bunda langsung mencium kedua tangan kami. Dan kami pun mencium kedua pipi bunda. Dalam hati aku berguman,' Sekarang aku harus bagaimana?'
*Ajeng POV* Sekitar jam lima sore aku baru terbangun dari tidur siang. Kalau saja perutku tidak berteriak minta diisi mungkin saja, aku masih bermalas-malasan di tempat tidur. Aku raih ponselku yang berada di dekat meja kecil samping tempat tidurku. 'Hmmmm, kenapa mas Bram tidak menghubungi ku yaaa?' gumamku dalam hati. Aku membuka panggilan masuk, karena aku pikir, bisa jadi mas Bram menghubungiku, karena aku tertidur, bisa jadi aku tidak mendengar panggilannya. Tetapi, setelah aku cek, ternyata mas Bram tidak menghubungiku. Kemudian aku menghubungi Bram, tetapi sudah sampai beberapa kali, tidak satu pun panggilanku di jawab oleh Bram, dan itu membuat diriku kesal dibuatnya. 'Koq bisa sih....mas Bram tidak menjawab panggilanku, hmmmm lagi dimana dia sekarang?' gumamku dalam hati. Aku lalu beranjak dari tempat tidur menuju kulkas, untuk melihat, makanan atau camilan apa yang masih tersisa. Karena aku sudah sangat lapar sekali. Te
*Ajeng POV* Suara dering ponselku, terdengar keras ketika waktu menunjukan pukul lima pagi. Terhentak Aku terbangun, sekilas aku melihat Bram masih tertidur pulas ketika aku mengambil ponsel yang berada persis disamping meja sisi kanan tubuh mas Bram yang masih tertidur nyenyak. "Hallo Ajeng, ini bibi," terdengar suara bibiku ada di sambungan telpon dengan suara paraunya menangis. Ia memberitahukan kalau pamanku sakit, di kampung halaman. Bibi meminta aku untuk bisa pulang ke kampung halaman karena pamanku sedang sakit parah. "Baik bi, Ajeng akan segera pulang dengan mas Bram," Jawabku menahan isak tanggisku yang tertahan. Setelah aku menutup pembicaraanku dengan bibi lewat Sambungan telepon. Tanggisku pun meledak, hingga membuat Bram terbangun. Dalam keadaan bingung dan kaget Bram menghampiri diriku. "Ajeng, kenapa kamu menangis?" tanya Bram menghampiriku dan memeluk erat tubuhku.Bram sengaja membiarkan aku men
*Ajeng POV* Bram sampai di rumah tepat pukul sembilan malam setelah dia pamit pada bundanya di Rumah sakit serta pada Dina di rumah ibunda. Setelah berkemas membawa masing-masing satu koper, mereka pun memesan taxi untuk membawa mereka pergi Ke Bandara. Aku merasa gelisah, ketika menuju ke Bandara. Aku sangat kuatir dengan kondisi kesehatan paman yang telah menjadi Ayah bagi diriku. Ketika aku berpamitan kepada paman satu bulan lalu, kondisi paman baik-baik saja, tidak terlihat ada suatu penyakti yang diderita oleh paman. Tak terasa bulir air mataku jatuh membasahi pipi. Sesekali aku menyeka air mata yang jatuh membasahi pipiku. "Ajeng sayang, sudah tenangkan dirimu," Bram mencoba menghiburku, dengan mengenggam tanganku, lalu merebahkan kepalaku pada bahu bram. "Aku sangat takut terjadi sesuatu hal dengan paman mas,"sahutku dengan isak tanggis yang tertahan. "Semua akan baik-baik saja, saat ini kita hanya bisa mendoaka
*Ajeng POV* Setelah kami selesai sarapan pagi, saudara lelaki sepupu ku menyiapkan mobil yg akan digunakan ke Rumah Sakit untuk menjenguk Paman. Kami masuk ke dalam mobil, perjalanan menuju Rumah Sakit pun di mulai. Sekitar satu jam dalam perjalanan, kami sampai di Rumah sakit. Pada umumnya Rumah Sakit, bentuk dan struktur bangunannya hampir sama antara Rumah Sakit yang satu dengan Rumah Sakiy yang lain. Bagian depan dari rumah sakit tersebut ada sebuah taman. Di samping sisi kiri dan kanan adalah tempat parkir kendaraan roda empat dan kendaraan roda dua. Ada pula supermarket mini, dan beberapa tempat Anjungan tunai mandiri. Di bagian depan Rumah sakit, ada bangunan besar yang di gunakan untuk bagian Unit Gawat Darurat, dimana setiap pertolongan pertama yang bersifat darurat akan merujuk pada bagian gedung ini. Lalu sisi gedung dari UGD ada sebuah bangunan lain, yang digunakan sebagai poliklinik, dari beberapa Do
*Bram POV* Setelah keluar dari kamar itu perasaan ku sungguh sangat kacau. Jantung ku masih berdetak sangat kencang. Bagaimana tidak, untuk kedua kali, aku melihat Dina keluar dari kamar mandi hanya dengan mengunakan selembar handuk yang melingkari ditubuhnya. Memang tidak ada yang salah dengan semua itu apalagi kami adalah pasangan suami istri. Hanya saja selama ini, komitmen yang sudah kamk ikrarkan menjadi penyebab jantung ku berdetak kencang. Ditambah kejadian tempo hari yang sungguh menyita sebagian pikiranku, tentang rasa bersalah ku pada Dina. Sampai-sampai aku berpikir, apa rasa bersalah ku pada Dina, yang membuat perubahan pada hati dan pikiranku. Sedangkan hasrat yang aku rasakan saat ini, menurut ku, hanyalah dari rasa kasian ku pada diri Dina, yang melampiaskan kebutuhan batinnya dengan caranya sendiri.M "Mas Bram sudah kembali dari kampung halaman Ajeng?" tanya Dina yang tiba-tiba sudah berada di belakang ku.
Beberapa saat mereka kembali pada tempat tidur masing-masing. Disofa itu Bram masih saja tidak bisa memejamkan matanya walaupun dirinya telah berupaya untuk memejamkan matanya tetapi bayangan kemolekan tubuh Dina membuat jantungnya masih saja berdetak kencang. Sedangkan Dina yang berada ditempat tidurnya juga merasakan hal yang sama. Dirinya tidak bisa memejamkan matanya, dirinya tidak menyangka sama sekali Bram melakukan hal ini kepadanya. Dalam sepuluh tahun ini Bram sangat dingin dan selalu menghindari dirinya. Dina sangat terkejut dengan perubahan yang terjadi pada Bram dan Dina masih merasakan saat-saat bibir Bram melumat bibirnya, karena Bram tidak pernah sekalipun melakukan hal itu padanya selama masa pernikahan mereka. Dina juga masih memikirkan, kira-kira hal apakah yang membuat perubahan drastis pada diri Bram. Ketika Dina masih terus memikirkan hal itu, tiba-tiba Bram telah duduk di pinggir tempat tidurnya dan Dina terkejut den
“ Pak bram...pak bram...,” ucap asisten rumah tangga di rumahnya memanggil bram sambil mengetuk pintu kamar Bram. “ Bu Dina...bu dina...,” ucap asisten rumah tangga mereka lagi sambil mengetuk pintu kamar mereka dan memanggil nama Dina. Setelah merasa tidak ada jawaban dari dalam kamar, asisten rumah tangga itu pun pergi menemui ibunda bram. “Maaf buu...Pak Bram dan Bu Dina belum bangun juga,” ucap asisten rumah tangga itu melaporkan hal yang telah dilihatnya. “Yaa sudah biarkan saja dulu,” ucap ibunda bram sambil berharap dalam hati agar mereka bisa mendapatkan keturunan. Sekitar Jam sebelas mereka pun terbangun dari tidurnya dalam keadaan masih telanjang bulat. Dilihat Bram, Dina masih tertidur disampingnya. Lalu Bram mencium kening Dina dan menutupi seluruh tubuh Dina dengan selimut tebal. Setelah Bram pergi ke kamar mandi dan berpakaian rapih ia pun langsung menemui ibundanya. “Siang bunda...,” sapa Bram pada bunda nya.
Sejak kepergian Bram ke kota lebih dari dua minggu lalu , Ajeng merasakan kesepian. Sebenarnya dia menyesali atas segala keputusan yang telah dia ambil. Padahal waktu itu Bram meminta padanya untuk berpikir sekali lagi untuk kembali bersama Bram ke rumah mungil mereka. Masih terbayang dibenaknya ketika saat bahagia mereka sejak kereta terakhir yang Ajeng tumpangi berhenti di perhentian terakhir di pagi subuh itu. terlihat sekali kalau Ajeng hari ini sedang merindukan Bram suaminya. “Ajeng apa yang sedang dipikirkan nak?” tanya bibiknya membuyarkan lamunan Ajeng. “Ooh...bibik, tidak mikir apa-apa koq bik,” jawab Ajeng. “Nak... apa dirimu ingin bertemu dengan suamimu?” tanya bibiknya lagi. Ajeng terdiam lalu tiba-tiba dilihat oleh bibiknya air mata Ajeng menetes membasahi pipinya. Lalu dalam dekapan bibiknya dirinya menumpahkan segala kegundahan hatinya. Diceritkan pada bibiknya kalau seharusnya Bram sudah mengunjungi dirinya di tanggal kemarin. D
*AJENG POV* Pagi hari ini aku terbangun lebih awal karena aku akan melakukan pengecekan pada beberapa barang bawaan kami yang telah kami cek semalam, hanya saja aku ingin memastikan semuanya telah masuk dalam cek list ku. keberangkatan kami ke kota dengan menggunakan pesawat pada keberangkatan pertama membuat aku sangat sibuk di pagi ini. Saat ini kehamilanku telah memasuki usia lima bulan, dan itu dapat terlihat dari perut buncitku. Begitu pun dengan putri kami Angel telah mulai bisa memanggil kami dengan sebutan mama dan papa. Oleh karena itu, sekarang aku memanggil Teguh dengan sebutan papa begitu pun dengan Teguh memanggilku dengan sebutan mama. Semua itu atas nasehat dari bibiku, yang biasanya aku memanggil dengan sebutan namanya pada Teguh, kini kami membiasakan diri dengan sebutan mama, papa, agar Angel biasa lebih mengetahui keberadaan kami sebagai orang tuanya. Dan syukurnya setelah kehamilan kedua sejak pertama kali aku hamil dulu, membuat d
*BRAM POV* Kondisi Dina yang telah melakukan pengobatan selama tiga bulan ini tidak membuahkan hasil seperti yang di harapkan. Dan hal ini semakin membuat keputusasaanku berakhir dengan sikapku yang mudah emosional. Seperti pagi ini ketika aku mendapatkan hubungan telepon dari suami Ajeng, yang menanyakan kepindahanku dari rumahnya, semakin membuat suasanya tidak menyenangkan bagi seluruh pihak. Aku seharusnya tidak berkata kasar padanya, karena mereka memang tidak mengetahui kondisiku saat ini. Saat ini aku sedang menunggu Dina yang sedang menjalani kemoterapi untuk ke sekian kalinya. Dina kini bukanlah seperti yang dulu, ia kini kurus kering, tidak ada lagi keseksian dalam tubuhnya. Pada bagian rambutnya pun telah habis berjatuhan, sehingga ia sudah tidak ingin melihat wajahnya. Cermin di dalam kamar, telah aku singkirkan. Aku sangat terharu ketika ia mengatakan dirinya telah berubah menjadi seorang yang sangat jelek dan menakutkan, dan ia mer
*AJENG POV* Sesampai di rumah kami langsung beristirahat karena terlalu lelah liburan yang kami lakukan dua hari ini. Aku lihat Teguh telah tertidur sangat nyenyak. Kulihat dirinya yang begitu menyayangiku, membuat diriku merasa, dialah seseorang lelaki pilihan yang memang dipersiapkan untuk diriku. Setelah segala kehancuran yang telah aku jalani, dalam berumah tangga bersama Bram. Tuhan menggantikannya dengan seorang lelaki yang membahagiakan diriku lahir dan batin. Suara ketukan pintu membuat rasa kantukku hilang, aku lalu beranjak ke ruang tamu untuk melihat siapa yang datang. “Permisi ibu Teguh, perkenalkan saya bapak Paimin, yang mengurusi tambak bapak,” sapa bapak itu dengan memperkenalkan dirinya. “Silakan masuk pak, bisa saya bantu ya pak, karena pak Teguh baru saja beristirahat,” jawabku untuk memberitahukannya kalau suamiku sedang tidur. “Ibu, kapan hari bapak berbicara pada saya, kalau dirinya mau mengambil cucu saya yang tidak memp
*BRAM POV* Hari ini aku ke Rumah Sakit bersama Dina, untuk mengambil hasil dari biopsi. Kami menunggu dengan cemas begitu pun dengan Dina. Ia sangat gelisah sekali atas hasil yang akan diterimanya. Sekitar setengah jam kemudian nama Dina di panggil oleh perawat. Aku menggandeng tangan Dina yang terasa Dingin. Aku mengusapnya agar ia merasa tenang. Sesampai di meja, Dokter membuka hasilnya lalu mengatakan pada kami, “Ibu Dina, hasil yang didapat dari hasil biopsi, “menyatakan kalau ibu positif kanker serviks.” Seketika aku melihat Dina yang lunglai seperti tak berdaya, langsung menangis dengan pilu, ia menutupi mulutnya untuk menahan ledakan tangisnya. Melihat hal itu, hatiku serasa hancur, dan tidak ada kata yang bisa aku ucapkan. Aku hanya memeluk bahunya. “Din, kita pasti bisa melalui ini, kita harus yakin, aku mohon kuatkan diri mu,” ucapku dengan menahan isak tangisku. Aku melihat Dokter memberikan waktu bagi Dina untuk meluapkan seg
*AJENG POV* Kami terbangun pada pukul sepuluh pagi, Aku melihat di sampingku, seorang suami yang penuh tanggung jawab. Bukan hanya tetapi bertanggung jawab pada kehidupanku saja, ia selalu berupaya untuk kebahagiaan ku dalam segala hal. Teguh tidak melihat sedikit pun celah cacat pada dirinya. Pendidikannya, bidang pekerjaannya, jiwa sosialnya, tutur, hubungan sosialnya, dan secara fisik Teguh adalah lelaki dengan postur tubuh yang tinggi, dengan bentuk dada yang, berkulit coklat muda, wajah yang manis, walaupun tidak setampan Bram, dan yang pasti memiliki keistimewaan pada alat vitalnya yang mampu membuat wanita mana p
*AJENG POV* Masa-masa bahagia yang dilalui oleh Aku dan Teguh, membuat kehidupan di lingkungan desa kami terasa lebih bahagia. Aku yang kini telah menjadi seorang istri dari seorang Teguh Pratama, sering ikut membantu suamiku dalam penyuluhan yang dilakukan di desa-desa. Aku juga sangat aktif di dalam pemberdayaan wanita di desa kami. Selain itu karena suamiku seorang ASN maka aku juga aktif dalam kegiatan Dharma wanita, yang biasanya kami lakukan setiap satu bulan sekali mewakili dari dinas pertanian tempat dari Teguh bekerja. Aku sungguh sangat beruntung bertemu dengan Teguh, banyak sekali pembelajaran yang aku dapatkan dari dirinya tentang hidup ini. “Sayang... lihat, aku bawakan bunga anggrek dari kota,” ucap Teguh yang telah dua hari mengikuti seminar kedinasan di kantor pusat. “Aah...cantiknya, tetapi aku kangen sama yang bawa anggreknya,” ucapku bahagia melihat dirinya sudah di rumah dengan memeluk erat tubuhnya. Melihat kerindu
*BRAM POV* Kepulangan Dina dan Bayi perempuanku yang cantik membawa kebahagiaan bagiku dan Dina. Walaupun saat ini keadaan ekonomi ku tidak dalam keadaan membaik, aku berharap bayi perempuanku yang cantik ini kelak dapat mendatangkan Rizky bagi keluarga kami. Hanya saja beberapa tetangga di lingkungan kami yang memang tidak menyukai Dina, tidak ada yang menjenguk atau sekedar menanyakan tentang Dina sudah melahirkan atau belum. Stigma pandangan pada masyarakat yang selalu melekat pada diri Dina, yang di anggap sebagai penghancur dari hubungan rumah tangga orang lain membuat dirinya tidak disukai dalam masyarakat. Dan itu sudah risiko dari hidup bermasyarakat yang harus di tanggung oleh kita semua termasuk Dina. “Sayang, anak cantik...tante dini akan pulang dulu ya, sehat-sehat ya..,” ujar Dini ketika melihat putriku di kamar kami. “Kak Dina, aku akan balik ke kost, karena besok ada jadwal ke kampus,” Dini izin pada Dina untuk kembali ke kost n
*BRAM POV* Kelahiran seorang bayi cantik yang selama ini telah aku tunggu telah membawa kebahagiaan yang tiada taranya. Aku merasa sangat berbahagia melihat persalinan Dina, yang aku lihat secara langsung. Aku melihat bagaimana Dina berjuang antara hidup dan mati, ketika melahirkan bayi berjenis kelamin perempuan dengan panjang 49centimeter dan berat 3kilogram. Aku berterima kasih pada Dina yang sudah tetap menemani diriku disaat aku terpuruk. Malah dirinya memberikan kebahagiaan dengan melengkapi statusku dari hanya sebagai seorang suami kini menjadi seorang ayah. Aku berjanji akan menjadi seorang Ayah yang baik dan bertanggung jawab serta sangat mencintai dirinya melebihi aku mencintai diriku sendiri. “Terima kasih sayang, untuk perjuangan dirimu bagi kebahagiaan kita,” ujarku sambil mengelus-ngelus kepala Dina. “Bagaimana kondisi anak kita, mas?” tanya Dina dengan suara yang lemah. “Apakah mas sudah menghubungi Dini, unt
*AJENG POV* Sidang gugatan perceraian yang seharusnya di hadiri oleh Bram, sudah kedua kalinya tidak di hadiri oleh Bram. Dan saat ini adalah sidang yang ketiga untuk mendengarkan keputusan hakim atas gugatan perceraian antara aku dan Bram. Aku yang selalu di dampingi oleh Teguh, dan berharap Bram secara jantan menghadiri sidang gugatan atas perceraian ini. Tetapi tidak sekali pun Bram menghadiri persidangan tersebut. Dan pada kali ini Bram justru mengirimkan sebuah surat pernyataan yang ditujukan pada majelis hakim, pada lanjutan sidang gugatan perceraian ketiga. Dimana hari ini rencananya akan diputuskan gugatan perceraian ini dengan membacakan surat yang diterima oleh majelis hakim dari Bram. Pada surat ini, Bram menerima semua keputusan dari hakim sidang dan mengabulkan seluruh gugatan perceraian dariku, termasuk gugatan tambahan atas kepemilikan sebuah rumah yang memang sudah atas nama diriku sendiri. Dan semua itu telah diputuskan oleh hak