Apa yang harus dia jelaskan pada kedua buah hatinya? Mereka masih terlalu kecil untuk mengerti kerusakan yang perlahan tapi pasti sedang terjadi di keluarganya.
Hayati menarik nafas panjang. “Kita mau liburan," jawabnya singkat sebelum meneruskan langkah.
Kedua anak kecil di belakangnya melihat satu sama lain. Mata mereka berbinar bahagia. Sesaat kemudian mereka berteriak girang.
“Yeayyy! Liburan!” Lantang keduanya berjingkrak.
Mereka pun berhamburan masuk ke kamar masing-masing untuk menyiapkan barang-barang. Liburan adalah waktu yang telah mereka tunggu. Waktu yang sebenarnya telah dijanjikan oleh orang tua mereka.
Ketika kemudian mereka keluar rumah dan melihat Hayati sudah bersiap di di samping mobil taxi online, kedua anak itu pun mengerutkan kening.
“Ayah mana, Bu?” tanya Vinara lugu.
Hayati memaksa sebuah senyuman muncul di wajahnya. “Nanti ayah menyusul ya.”
Setelah mengangguk cepat, kedua buah hati Hayati itu pun masuk ke kursi penumpang belakang. Sementara Hayati memilih duduk di depan, di sebelah supir. Selain memberikan ruang lebih luas untuk kedua anaknya, Hayati juga tidak mau Vinara dan Arya melihat kesedihan di matanya. Sekali lagi Hayati menoleh ke rumah luas miliknya.
Rumah yang pernah menjadi mimpinya bersama Dimas. Rumah yang pernah Hayati kira akan menjadi surga baginya. Hayati berusaha menepiskan perih saat mobil yang mereka naiki melaju menjauh dari rumah itu.
Tempat yang mereka tuju adalah rumah ibu Hayati. Rumah sederhana di pinggiran kota Jakarta. Rumah yang dikelilingi oleh kebun yang tampak tidak terawat.
Setelah membayar taxi online dan menurunkan barang-barang mereka, Hayati melihat wajah kedua anaknya. Kebahagiaan spontan hilang dari wajah mereka.
Dengan lengan terlipat di dada dan wajah merajuk, Arya mendekati Hayati. “Liburan di rumah nenek? Ayah bilang kita mau ke Bali.”
Hayati mengusap kepala putranya. “Nanti kita ke Bali kalau ayah sudah kembali dari luar kota. Sekarang kita liburan di rumah nenek dulu. Rumah nenek juga seru kan?”
Tidak memberikan kesempatan lama untuk Arya merajuk, Hayati segera mengalihkan perhatian pada ibunya yang baru saja muncul di depan pintu. Wanita paruh baya dengan beberapa lembar rambut yang mulai memutih itu terlihat terkejut dengan kedatangan anak dan cucunya. Selayaknya naluri seorang ibu yang luar biasa terasah, hanya dengan melihat raut wajah Hayati, ibunya tahu ada sesuatu yang telah terjadi.
“Aya, kalian datang tanpa memberitahu lebih dulu?” Laksmi mendekati mereka dan berusaha tersenyum bahagia.
Hayati segera menyambut tangan ibunya dan mencium takzim. “Iya, Bu. Kami….” Bagaimana pun Hayati berusaha menyembunyikan akhirnya getaran kesedihan muncul juga di nada suaranya.
Seoleh mengerti dengan apa yang Hayati berusaha sembunyikan, ibunya segera memeluk Hayati di depan kedua bocah yang menatap polos tidak mengerti apa yang sedang terjadi. Satu hal yang pasti sejak hari itu hidup mereka tidak pernah sama lagi.
Nyaris sebulan Hayati dan kedua anaknya berada di rumah ibu Hayati. Awalnya Hayati masih berharap ada itikad baik Dimas berusaha membujuk mereka untuk kembali. Namun kenyataan memberikan hamparan kesedihan. Dimas bahkan sama sekali tidak berusaha menghubungi mereka. Seolah tidak pernah merasa kehilangan dan peduli, Dimas menghilang bersama kehidupan yang dia harapkan.
Itu adalah senja kesekian saat Hayati duduk di depan teras rumah. Matanya kosong menatap ke depan. Entah apa yang dia tunggu setiap pagi dan petang. Jiwanya kosong tak berpenghuni. Hayati yang biasanya tegar dan punya berbagai cara dalam menghadapi kehidupan, kali ini seolah lumpuh tanpa daya.
Dering ponsel di atas meja yang ada di sampingnya menyadarkan Hayati dari lamunan.
“Ibu Hayati Mahfud?” sapa suara seorang pria dari seberang sambungan.
Dengan penuh tanya dan kebingungan Hayati mencoba untuk mengenali suara yang di dengarnya. Sampai kemudian dia memastikan bahwa itu adalah suara yang sama sekali asing.
“Benar. Ini siapa?” Hayati memijat kepalanya yang akhir2 ini sering terasa sakit.
“Saya pengacara yang ditunjuk oleh Pak Dimas untuk mengurus perceraian.”
Sebaris pernyataan yang membuat Hayati semakin berserakan. Dunianya yang kelabu menjadi gelap gulita. Jantungnya berdegup kencang. Matanya terasa panas tanpa ada air yang bisa keluar. Kepalanya terasa berputar, sesaat sebelum Hayati kehilangan kesadarannya.
Saat dia terbangun, Hayati menemukan dirinya terbaring di dalam kamar tidur yang ada di rumah ibunya. Beberapa kali Hayati mengerjapkan mata untuk mengembalikan kesadarannya. Genggaman tangan yang dia rasakan kemudian membuat Hayati sepenuhnya kembali ke dunia nyata.
“Yang sudah melepaskan, tidak akan bisa lagi dimiliki. Lebih baik kau mulai memikirkan untuk membangun hidupmu dan anak-anak.” Laksmi menggenggam erat tangan putrinya. Berharap bahwa genggaman tangan itu bisa menguatkan Hayati untuk menghadapi badai yang sedang dia hadapi.
Air mata meleleh di ujung mata Hayati. “Ibu sudah tahu?” Kenyataan bahwa ibunya mengerti apa yang sedang terjadi membuat dunia Hayati semakin terasa perih.
Ibunya adalah orang yang selalu Hayati ingin membuatnya bahagia. Sejak ayahnya meninggal beberapa tahun lalu, kesehatan ibunya menurun. Salah satu alasan Hayati selalu menyembunyikan kesedihan di depan ibunya. Keterpurukan kehidupan rumah tangganya dengan Dimas beberapa tahun terakhir, tidak sekali pun Hayati ceritakan pada ibunya. Hayati berusaha memendam semuanya sendiri. Dia hanya menampakkan kebahagiaan di depan ibu dan keluarganya.
Kini semua sudah tidak bisa dihindari. Hayati yakin ibunya sudah tahu semua yang terjadi.
“Sejak kamu datang dengan Arya dan Vinara, ibu sudah menduga bahwa sesuatu terjadi. Ibu menunggumu mengatakan sesuatu. Kau sudah dewasa, tidak perlu semua hal ibu perlu memaksamu untuk berkata.” Laksmi berkata lembut pada Hayati. Ketenangan yang dia harap membuat Hayati mau lebih terbuka untuk mengatakan masalah yang sedang dia hadapi.
Sambil berusaha untuk duduk, Hayati menegarkan hati. “Aku dan Dimas akan berpisah.” Sebaris kalimat yang menjelaskan semuanya.
Pernyataan yang tidak mengejutkan bagi Laksmi. Pengacara Dimas yang sebelumnya tersambung di telepon dengan Hayati sudah menjelaskan semuanya.
“Apa pun masalahnya, jika berpisah adalah pilihan kalian, ambillah keputusan itu dengan cara yang dewasa dan bertanggung jawab. Ingat saja bahwa pernikahan ini bukan hanya tentang kalian tapi juga tentang Arya dan Vinara.”
Perkataan ibunya menjadi pertimbangan sekali lagi bagi Hayati. Namun akhirnya tidak mengubah apa pun. Karena sehari setelahnya surat gugatan cerai itu datang ke rumah Hayati. Sebaris pesan w******p dari Dimas memberikan tawaran lain agar Hayati menerima kekasih Dimas sebagai istri kedua di rumah mereka. Tawaran yang tidak akan pernah Hayati iyakan.
Tidak ingin memohon apa pun pada Dimas, Hayati memilih untuk segera meninggalkan Dimas dan memutuskan untuk tinggal di rumah ibunya. Beberapa barang berharga perlu untuk diambil dari rumah mereka. Malam itu setelah menandatangani surat gugatan cerai, Hayati memutuskan untuk mendatangi rumahnya dan Dimas dan mengambil beberapa barang dan dokumen yang akan dia butuhkan.
Langkah kaki Hayati melambat ketika dia melihat mobil Dimas terparkir di depan rumah mereka. Lampu rumah sebagian sudah mati. Hayati masuk ke dalam rumah dengan kunci cadangan yang dia miliki.
Satu2nya lampu yang masih menyala adalah lampu kamar mereka. Tempat yang Hayati tuju untuk mengambil dokumen dan barang2. Tepat saat dia membuka pintu kamar, pemandangan mengejutkan membakar hati Hayati.
Suara terkejut yang kemudian muncul sebagai reaksi atas kedatangannya. Suara yang bukan datang dari suaminya. Suara dari perempuan lain yang tidak asing lagi bagi Hayati.
“Hayati? Sedang apa kau di sini?”
Mata Hayati nyaris keluar dari sarangnya, demi melihat wanita yang sedang satu selimut dengan pria yang masih berstatus suaminya itu.“Marina….” Desisnya nyaris tidak terdengar.Rasa panas menyebar di wajah dan dada Hayati. Pemandangan yang tidak pernah Hayati bayangkan terhampar di depannya. Suami dan sahabatnya berada dalam satu selimut di kamarnya. Mereka dalam keadaan nyaris tanpa busana. Kamar tempat yang seharusnya hanya milik Hayati. Tempat di mana Hayati pernah menguntai harapan tentang bahagia sebuah pernikahan.Melihat keadaan nyaris meledak, Dimas keluar dari selimut. Beruntung pria itu masih menggunakan celana boxer yang menyelamatkan keadaan agar tidak semakin memalukan. Alih-alih menenangkan istrinya, Dimas justru mencengkeram lengan Hayati dan menariknya keluar kamar. Setelah menutup pintu, Dimas menghentakkan tubuh Hayati dengan kasar.“Kenapa kau kembali?!” bentaknya tanpa belas kasihan.Air mata Hayati bahkan enggan turun untuk merespon sikap Dimas padanya. Dia yang b
“Bisa kita bertemu? Saya menemukan sesuatu milik anda yang sepertinya cukup penting,” jelas pria yang sedang berbicara dangan Hayati.Merasa belum mendapat jawaban pasti Hayati sekali lagi bertanya. “Anda siapa?”“Saya dengan Daren, supir taksi online yang ibu pesan beberapa hari lalu. Saya baru menemukan dompet merah di kolong kursi mobil. Saya dapat nomor telp ibu di sana.” Pria itu sepertinya membaca kecurigaan Hayati. Dia berusaha menjelaskan segera.Hayati mencoba mengingat kejadian beberapa hari lalu. Saat dia meninggalkan rumah itu untuk menuju ke rumah ibunya bersama anak2nya, dia memang menggunakan taksi online. Saat itu kondisi Hayati sedang kacau. Dia mungkin tanpa sengaja menjatuhkan barang di taksi online itu.Hayati berusaha mengingat apa isi dompet merah yang jatuh itu. Pastinya isinya bukan uang. Karena itu adalah hal terakhir dan paling sedikit yang dia miliki.“Halo, Ibu.” Suara pria itu memecah kebingungan Hayati. “Apakah saya bisa mengembalikan ke rumah ibu?”Mata H
Sebuah tawaran yang sungguh di luar dugaan Hayati. Tubuh Hayati membeku dan matanya diam terpana melihat ke arah Daren. Dia berharap Daren sekali lagi mengulangi kata-katanya untuk memastikan bahwa dirinya tidak mendengar sesuatu yang salah.Daren melihat Hayati sambil mengerutkan kening. Dia sedang memikirkan ulang apakah ada kata-katanya yang salah diucapkan. Reaksi wanita di depannya itu terlihat datar tanpa ada ekspresi yang bisa dibaca. Hayati hanya diam dan tatapan matanya kosong.“Maaf kalau saya menawarkan sesuatu yang salah. Saya hanya berharap ini bisa menjadi sebuah kerjsama yang baik.” Daren mencoba memperbaiki keadaan.Hiruk pikuk suara café sama sekali tidak bisa mencairkan keadaan di antara mereka. Seolah tenggelam di tengah kesepian, Dimas menunggu Hayati memberikan reaksi.“Ehm! Hayati, kau bisa mengatakan saja jika memang kau tidak setuju.” Daren sekali lagi berusaha memecahkan es di antara mereka.Hayati seperti tersadar dari renungan yang membingungkan. Dia segera
“Menurutmu? Tentu saja tidak! Mana mungkin Tuan Daren memiliki tamu seperti ini.” Sengaja membuat suaranya terdengar semakin sinis, Pertiwi melihat Hayati dengan sudut mata yang tajam.Security yang bersama mereka segera mencengkeram kasar lengan Hayati. Itu membuat Hayati meringis kesakitan. Dia mencoba melepaskan diri, namun tenaganya tentu tidak sebanding dengan security yang bertubuh tinggi besar itu.“Kau mencoba menyusup ke kantor kami! Kenapa orang-orang seperti kalian selalu berusaha menemui orang kaya seperti Tuan Daren?!” Dia sengaja meninggikan suara agar orang-orang di sekitar mereka mendengar keributan yang terjadi. Security itu akan merasa bangga jika dia dianggap sebagai pahlawan yang menyelamatkan perusahaan.Hayati meronta untuk sekali lagi mencoba melepaskan diri. “Tolong, saya bukan penyusup. Daren yang meminta saya untuk datang.”“Daren?! Hah?! Beraninya kau memanggil Tuan Daren hanya dengan nama saja. Apakah kau tidak tahu sy iapa dia?” Mata Security itu seketika
Ekspresi terkejut tampak jelas di wajah Andi. Terlalu banyak hal yang rasanya sulit untuk dia ungkapkan. Tatapan matanya terkunci pada sosok sederhana Hayati.“Itu bukan urusanmu.” Sesingkat itu jawaban yang Andi berikan.Entah bagaimana suara ramah yang tadi terdengar dari Andi seketika hilang. Seperti dua pribadi yang berbeda saat Andi menjelaskan tentang kerjasama mereka dia adalah pria yang ramah. Namun apa yang Hayati lihat beberapa detik lalu, Andi sepertinya tidak suka dengan pertanyaan Hayati.Hayati memutuskan untuk diam. Dalam hati dia sedikit menyesal dengan pertanyaan spontan yang dia ajukan pada Andi. Dia berpikir mungkin Andi melihanya sebagai orang yang selalu ingin tahu tentang urusan orang lain.Dua bulan setelahnya, Hayati mulai merasakan hasil dari kerjasama dengan perusahaan Daren. Makanan kiriman dari ‘Vaya Cake’ selalu laris manis di hotel dan resto perusahaan Daren. Meski secara keuangan Hayati masih berjuang, namun dia tidak merasakan kekurangan.Dibantu oleh A
“Bukankah harta gono gini sudah ada dalam aturan? Bisakah kita mengambil lebih?” Hayati terperangah dengan pertanyaan Linda.Dia yakin Linda pasti akan membantunya, namun dia tidak menyangka bahwa antusias Linda untuk memenangkan perceraian atas dirinya dan Dimas begitu besar.“Anak-anak ada padamu. Tidak ada alasan untuk tidak memenangkan. Lagi pula kau berhak atas apa yang Dimas miliki. Jika nanti Dimas memenangkan semua harta kalian, bisa kau bayangkan apa yang akan dia lakukan pada harta itu?” Linda menatap tajam pada Hayati.Hayati membalas tatapan Linda dengan pandangan yang tidak kalah tajam. Tentu saja dia tahu apa yang akan Dimas lakukan pada harta mereka. Bahkan ketika mereka masih bersama, Dimas lebih senang menghabiskan uang untuk bersenang-senang. Beberapa kali Dimas pulang dalam keadaan mabuk.Dimas juga selalu membeli barang mahal untuk dirinya sendiri, namun sangat perhitungan untuk Hayati dan anak-anak mereka. Jabatan dan kekayaan yang Dimas miliki telah mengubah Dima
“Aku tidak akan mengijinkan orang melakukan kekerasan apa pun lagi padaku. Tidak lagi. Aku sudah mengirimkan bukti kekerasan yang Dimas lakukan dan sudah kukirimkan padamu.” Suara Hayati terdengar berat dan bergetar saat dia menjelaskan semuanya pada Linda.“Apakah kau yakin ingin melakukan ini? Dia adalah bapak dari anak-anakmu. Kasus kekerasan adalah perkara pidana, dan risikonya mungkin saja hukuman penjara.” Linda menjelaskan.Hayati memikirkan apa yang Linda katakan. Wajah Dimas terbayang di benaknya. Itu adalah pria yang pernah dia cintai. Walau perasaannya pada pria itu sudah berubah, apa yang Linda katakan benar. Pria itu adalah bapak dari anak-anaknya. Jika Dimas dipenjara, entah apa yang akan anak-anaknya rasakan. Lebih lagi apa yang akan orang lain pikirkan tentang dirinya. Seorang istri yang menjebloskan suaminya sendiri ke penjara. Bukankah itu terdengar menyedihkan? Pemikiran yang membuat Hayati tidak bergeming.“Setiap orang perlu mendapatkan pelajaran. Agar mereka meng
“Kau masih mengingat Tuan Daren?” Andi balik bertanya. Pertanyaan yang janggal untuk diutarakan, karena orang seperti Daren pastinya bukanlah orang yang mudah dilupakan. Pesonanya yang memikat adalah hal yang mudah diingat.Hayati tersenyum. Benaknya dipenuhi dengan bayangan Daren. “Dia adalah orang yang menolongku saat aku mengalami masa sulit. Aku bahkan belum sempat mengucapkan terima kasih untuk semua yang telah dia lakukan untukku. Dia mungkin sudah tidak mengingatku, tapi aku tentu saja masih mengingatnya.”Andi tersenyum sambil melihat ke arah lain. Hayati bisa memastikan bahwa Andi tidak akan pernah memberikan jawaban. Dia pun memilih diam.Di saat yang sama, ponsel Hayati berdering. Tertera nama ‘Mamah Dimas’ di layar ponselnya. Segaris kerut muncul di kening Hayati. Pikirannya bertanya, untuk apa wanita yang hampir menjadi mantan mertuanya itu menghubungi Hayati. Hayati menganggukkan kepala pada Andi untuk permisi sedikit menjauh sebelum menjawab panggilan itu.“Halo, Mah,”
Daren mengangguk, wajahnya menunjukkan kekhawatiran yang mendalam. "Ya, aku yakin. Saudara tiriku, yang baru saja kuketahui namanya adalah Bastian, punya sejarah panjang dengan Dimas. Mereka pernah bekerja sama di masa lalu, dan mereka berbagi ambisi yang sama untuk menguasai segala sesuatu yang mereka rasa berhak mereka dapatkan. Bastian tahu bahwa dengan bantuan Dimas dan Marina, dia bisa mempercepat upayanya untuk mengambil alih segalanya."Hayati merasa semakin tenggelam dalam kompleksitas situasi ini. "Jadi, itu sebabnya Dimas dan Marina begitu gigih mengejarku? Mereka hanya bagian dari rencana yang lebih besar?""Tepat sekali," jawab Daren. "Mereka mencoba menakut-nakutimu dan menciptakan kekacauan untuk melemahkanku, untuk membuatku tampak tidak kompeten dan tidak layak mengelola perusahaan. Jika mereka berhasil membuatku jatuh, Bastian akan lebih mudah mendapatkan apa yang dia inginkan."Hayati mengangguk, akhirnya mulai memahami betapa seriusnya keadaan ini. "Apa yang bisa ki
Daren tetap tenang, pandangannya tak tergoyahkan. "Aku tahu lebih dari yang kau kira, Dimas. Kau lupa, kita pernah bekerja di lingkaran yang sama. Aku tahu caramu berbisnis, bagaimana kau menyembunyikan aset, bagaimana kau menyuap orang-orang untuk menutup mata. Kau selalu berpikir kau di atas angin, tak tersentuh. Tapi kali ini, kau sudah salah perhitungan."Dimas mengerutkan kening, rasa percaya dirinya mulai terkikis. "Kau tak punya bukti," katanya, suaranya melemah.Daren mengeluarkan ponsel dari saku jasnya, menelusuri beberapa file sebelum menampilkan layar pada Dimas. "Lihat sendiri. Transkrip percakapanmu dengan Marina, dokumen keuangan yang dimanipulasi, dan bukti pembayaran di bawah meja. Semua ini bisa aku serahkan ke pihak berwenang kapan saja."Wajah Dimas semakin memucat, keringat dingin mulai membasahi pelipisnya. Marina, yang berdiri di sampingnya, mulai panik. Dia mencoba meraih ponsel Daren, tetapi Daren dengan cepat menarik tangannya kembali."Jangan mencoba merampa
Dimas menambahkan dengan senyum miring, "Kami hanya berharap kau bisa menerima kenyataan ini dengan anggun."Hayati menahan napasnya, mencoba menekan amarah yang mulai membara dalam dirinya. Dia tahu mereka berusaha meruntuhkannya, menghancurkan martabatnya di depan semua orang. Hayati bahkan tidak tahu apa yang harus dilakukan.Marina yang melihat kelemahan Hayati merasa semakin senang. Sebuah senyum tipis muncul di wajahnya. Dia berjalan elegan menuju Hayati. Sambil lalu tangannya meraih sebuah gelas berisi minuman berwarna merah dari salah satu pelayan yang sedang berdiri di sekitarnya.Marina mendekat, langkahnya seolah menari di atas lantai yang dingin, sorot matanya penuh kebencian yang dingin. Tanpa berkata-kata, dia dengan anggun namun kejam menuangkan minuman merah itu ke gaun putih Hayati. Cairan dingin itu meresap dengan cepat, meninggalkan noda yang mencolok di atas kain putih yang sempurna. Gaun itu sekarang tampak seperti bekas medan perang—berantakan, kotor, dan basah k
Hayati menggenggam ponselnya erat, suaranya sedikit gemetar saat dia berbicara dengan Linda, pengacaranya yang sudah bertahun-tahun menangani semua urusan hukum keluarga dan bisnisnya."Linda, aku sudah memutuskan," Hayati memulai dengan tegas. "Aku ingin semua harta dan saham perusahaan dialihkan kepada Dimas. Aku lelah dengan semua ini. Aku hanya ingin hidup tenang bersama Arya dan Vinara."Di ujung telepon, Linda terdiam. Keputusan Hayati membuatnya tercengang. Dia tahu betapa pentingnya perusahaan ini bagi Hayati—itu bukan hanya soal bisnis, tapi juga simbol perjuangan dan kebebasan dari bayang-bayang pernikahan yang gagal. "Hayati, kau yakin? Ini bukan keputusan yang bisa diambil dengan mudah.""Ya, Linda. Aku yakin," Hayati menarik napas dalam-dalam, mencoba menahan air mata yang menggenang di matanya. "Aku sudah lelah. Semuanya... terlalu berat untukku. Dimas dan Marina bisa mengambil semuanya, aku tak peduli lagi. Yang penting, aku bisa fokus pada Vinara."Meskipun memahami ke
Anggara tidak segera membalas pesan Hayati, membuat kecemasan di hati Hayati semakin membuncah. Dia mencoba menenangkan dirinya, tetapi pikirannya terus berputar, memikirkan berbagai kemungkinan yang bisa terjadi. Marina, wanita yang dulu dia anggap sahabat, kini menjadi ancaman terbesar dalam hidupnya.Saat itu, Vinara bergerak sedikit di ranjangnya, membuat Hayati langsung kembali fokus pada putrinya. "Bunda, kenapa Bunda terlihat sedih?" tanya Vinara dengan suara lirih, menyadari perubahan emosi ibunya.Hayati segera menghapus air matanya yang hampir jatuh. "Tidak, Sayang. Bunda hanya sedikit lelah. Kamu istirahat saja, ya. Bunda di sini."Namun, sebelum Hayati bisa kembali menenangkan dirinya, ponselnya bergetar lagi. Pesan dari Anggara masuk, dengan singkat namun menegangkan:‘Dia sedang mencari cara untuk menggugat hak kamu atas perusahaan. Kita harus bertindak cepat.’Hayati merasa darahnya mendidih. Bagaimana bisa Marina berani sejauh itu? Menggugat haknya yang sudah jelas dip
Hayati merasa hatinya tersentuh mendalam mendengar nama yang disebut oleh Vinara, meskipun dengan suara yang lemah. Dia merasakan tumpukan emosi yang sulit untuk dijelaskan. Selama ini, Dimas adalah nama yang penuh dengan rasa sakit dan kenangan pahit baginya, namun bagi Vinara, Dimas adalah ayahnya yang masih memiliki tempat di hatinya.Dengan lembut, Hayati merapatkan tubuhnya ke samping ranjang Vinara, menggenggam tangan putrinya yang lemah. “Sayang, Ayahmu sudah… sudah pergi ke kamar yang lain. Dia sedang beristirahat di sana. Tapi kamu tahu, dia mencintaimu, dan dia sangat bangga padamu,” ujarnya dengan suara bergetar, berusaha menahan air mata yang hampir tumpah.Vinara membuka matanya sedikit, meskipun kelopak matanya masih tampak berat. “Tapi… Bunda bilang… ayah…” Vinara tidak bisa melanjutkan, suaranya melemah kembali, terhenti oleh kelelahan dan rasa sakit.“Ya, Bunda tahu. Bunda tahu ada banyak hal yang sulit untuk dimengerti sekarang,” Hayati berusaha menjelaskan dengan le
“Mamah!” Raditya kembali memanggil, tangannya kecil melambai ke arah Marina dengan senyum ceria yang memperlihatkan sederet gigi susu yang belum lengkap. Marina segera merendahkan tubuhnya untuk menyambut bocah kecil itu, membungkuk dengan tangan terbuka lebar.“Sayang, sini ke Mamah,” panggil Marina dengan nada manis yang penuh kasih sayang, seolah dia adalah ibu paling sempurna di dunia. Raditya berlari kecil ke arahnya, tertawa senang saat Marina mengangkatnya ke dalam pelukan. Marina mencium pipi Raditya dengan lembut, senyumnya tampak penuh kemenangan saat dia melihat Hayati.Hayati, yang masih berdiri terpaku dengan perasaan campur aduk, tidak bisa mengalihkan pandangannya dari bocah itu. Betapa miripnya Raditya dengan Dimas ketika masih kecil. Hidungnya, matanya, bahkan cara dia tersenyum. Semua itu membuat Hayati merasakan tusukan tajam di hatinya. Bocah kecil yang tidak tahu apa-apa ini akan menjadi penerus dari semua harta yang dulu pernah dia dan Dimas perjuangkan bersama.
Hayati meraih pena dengan tangan gemetar, menatap kertas persetujuan operasi di depannya. “Saya sudah tahu,” jawabnya pelan, suaranya terdengar lemah meski berusaha tegar.Dokter itu, seorang pria paruh baya dengan raut wajah serius namun penuh empati, mengangguk pelan. “Saya harus jujur, Bu Hayati. Operasi ini memang membawa risiko yang sangat besar. Salah satu risikonya adalah kelumpuhan permanen jika ada komplikasi. Namun, kami juga percaya bahwa dengan keberhasilan operasi ini, peluang Vinara untuk bisa berjalan kembali sangat tinggi. Kami sudah melakukan segala persiapan dengan matang.”Hayati mengangguk, meski hatinya diliputi ketakutan. “Tapi jika tidak dioperasi…?”“Jika tidak dioperasi, kondisi Vinara akan semakin memburuk. Kesempatannya untuk sembuh secara alami sangat kecil, dan kemungkinan besar dia akan kehilangan kemampuan untuk berjalan selamanya,” jawab dokter itu, tatapannya lurus dan penuh pengertian.Kata-kata dokter tersebut menghantam Hayati seperti palu. Harapan
Hayati berdiri di depan cermin, memandangi bayangannya yang tampak lebih tua dan lelah. Kerutan di dahi dan lingkaran hitam di bawah matanya menjadi bukti nyata dari malam-malam tanpa tidur dan kecemasan yang tak pernah henti. Hari ini adalah hari besar bagi Vinara, hari di mana putrinya akan menjalani operasi tulang belakang yang sangat berisiko. Ini adalah satu-satunya harapan bagi Vinara untuk kembali hidup normal, dan Hayati tahu bahwa dia harus kuat untuk menghadapi hari ini.Dengan langkah berat, Hayati akhirnya tiba di rumah sakit. Setiap langkah menuju kamar operasi terasa seperti beban yang semakin menekan. Di depan pintu kamar operasi, matanya langsung tertumbuk pada sosok-sosok yang sudah sangat dikenalnya—keluarga Dimas. Mereka berdiri di sana dengan ekspresi yang membuat perut Hayati terasa mual. Bukan rasa khawatir atau cemas yang terlihat di wajah mereka, melainkan kebencian dan ejekan yang teramat jelas.Ibu Dimas, seorang wanita paruh baya dengan sorot mata yang selal