Share

Tertangkap Basah

Apa yang harus dia jelaskan pada kedua buah hatinya? Mereka masih terlalu kecil untuk mengerti kerusakan yang perlahan tapi pasti sedang terjadi di keluarganya.

Hayati menarik nafas panjang. “Kita mau liburan," jawabnya singkat sebelum meneruskan langkah.

Kedua anak kecil di belakangnya melihat satu sama lain. Mata mereka berbinar bahagia. Sesaat kemudian mereka berteriak girang.

“Yeayyy! Liburan!” Lantang keduanya berjingkrak.

Mereka pun berhamburan masuk ke kamar masing-masing untuk menyiapkan barang-barang. Liburan adalah waktu yang telah mereka tunggu. Waktu yang sebenarnya telah dijanjikan oleh orang tua mereka.

Ketika kemudian mereka keluar rumah dan melihat Hayati sudah bersiap di di samping mobil taxi online, kedua anak itu pun mengerutkan kening.

“Ayah mana, Bu?” tanya Vinara lugu.

Hayati memaksa sebuah senyuman muncul di wajahnya. “Nanti ayah menyusul ya.”

Setelah mengangguk cepat, kedua buah hati Hayati itu pun masuk ke kursi penumpang belakang. Sementara Hayati memilih duduk di depan, di sebelah supir. Selain memberikan ruang lebih luas untuk kedua anaknya, Hayati juga tidak mau Vinara dan Arya melihat kesedihan di matanya. Sekali lagi Hayati menoleh ke rumah luas miliknya.

Rumah yang pernah menjadi mimpinya bersama Dimas. Rumah yang pernah Hayati kira akan menjadi surga baginya. Hayati berusaha menepiskan perih saat mobil yang mereka naiki melaju menjauh dari rumah itu.

Tempat yang mereka tuju adalah rumah ibu Hayati. Rumah sederhana di pinggiran kota Jakarta. Rumah yang dikelilingi oleh kebun yang tampak tidak terawat.

Setelah membayar taxi online dan menurunkan barang-barang mereka, Hayati melihat wajah kedua anaknya. Kebahagiaan spontan hilang dari wajah mereka.

Dengan lengan terlipat di dada dan wajah merajuk, Arya mendekati Hayati. “Liburan di rumah nenek? Ayah bilang kita mau ke Bali.”

Hayati mengusap kepala putranya. “Nanti kita ke Bali kalau ayah sudah kembali dari luar kota. Sekarang kita liburan di rumah nenek dulu. Rumah nenek juga seru kan?”

Tidak memberikan kesempatan lama untuk Arya merajuk, Hayati segera mengalihkan perhatian pada ibunya yang baru saja muncul di depan pintu. Wanita paruh baya dengan beberapa lembar rambut yang mulai memutih itu terlihat terkejut dengan kedatangan anak dan cucunya. Selayaknya naluri seorang ibu yang luar biasa terasah, hanya dengan melihat raut wajah Hayati, ibunya tahu ada sesuatu yang telah terjadi.

“Aya, kalian datang tanpa memberitahu lebih dulu?” Laksmi mendekati mereka dan berusaha tersenyum bahagia.

Hayati segera menyambut tangan ibunya dan mencium takzim. “Iya, Bu. Kami….” Bagaimana pun Hayati berusaha menyembunyikan akhirnya getaran kesedihan muncul juga di nada suaranya.

Seoleh mengerti dengan apa yang Hayati berusaha sembunyikan, ibunya segera memeluk Hayati di depan kedua bocah yang menatap polos tidak mengerti apa yang sedang terjadi. Satu hal yang pasti sejak hari itu hidup mereka tidak pernah sama lagi.

Nyaris sebulan Hayati dan kedua anaknya berada di rumah ibu Hayati. Awalnya Hayati masih berharap ada itikad baik Dimas berusaha membujuk mereka untuk kembali. Namun kenyataan memberikan hamparan kesedihan. Dimas bahkan sama sekali tidak berusaha menghubungi mereka. Seolah tidak pernah merasa kehilangan dan peduli, Dimas menghilang bersama kehidupan yang dia harapkan.

Itu adalah senja kesekian saat Hayati duduk di depan teras rumah. Matanya kosong menatap ke depan. Entah apa yang dia tunggu setiap pagi dan petang. Jiwanya kosong tak berpenghuni. Hayati yang biasanya tegar dan punya berbagai cara dalam menghadapi kehidupan, kali ini seolah lumpuh tanpa daya.

Dering ponsel di atas meja yang ada di sampingnya menyadarkan Hayati dari lamunan.

“Ibu Hayati Mahfud?” sapa suara seorang pria dari seberang sambungan.

Dengan penuh tanya dan kebingungan Hayati mencoba untuk mengenali suara yang di dengarnya. Sampai kemudian dia memastikan bahwa itu adalah suara yang sama sekali asing.

“Benar. Ini siapa?” Hayati memijat kepalanya yang akhir2 ini sering terasa sakit.

“Saya pengacara yang ditunjuk oleh Pak Dimas untuk mengurus perceraian.”

Sebaris pernyataan yang membuat Hayati semakin berserakan. Dunianya yang kelabu menjadi gelap gulita. Jantungnya berdegup kencang. Matanya terasa panas tanpa ada air yang bisa keluar. Kepalanya terasa berputar, sesaat sebelum Hayati kehilangan kesadarannya.

Saat dia terbangun, Hayati menemukan dirinya terbaring di dalam kamar tidur yang ada di rumah ibunya. Beberapa kali Hayati mengerjapkan mata untuk mengembalikan kesadarannya. Genggaman tangan yang dia rasakan kemudian membuat Hayati sepenuhnya kembali ke dunia nyata.

“Yang sudah melepaskan, tidak akan bisa lagi dimiliki. Lebih baik kau mulai memikirkan untuk membangun hidupmu dan anak-anak.” Laksmi menggenggam erat tangan putrinya. Berharap bahwa genggaman tangan itu bisa menguatkan Hayati untuk menghadapi badai yang sedang dia hadapi.

Air mata meleleh di ujung mata Hayati.  “Ibu sudah tahu?” Kenyataan bahwa ibunya mengerti apa yang sedang terjadi membuat dunia Hayati semakin terasa perih.

Ibunya adalah orang yang selalu Hayati ingin membuatnya bahagia. Sejak ayahnya meninggal beberapa tahun lalu, kesehatan ibunya menurun. Salah satu alasan Hayati selalu menyembunyikan kesedihan di depan ibunya. Keterpurukan kehidupan rumah tangganya dengan Dimas beberapa tahun terakhir, tidak sekali pun Hayati ceritakan pada ibunya. Hayati berusaha memendam semuanya sendiri. Dia hanya menampakkan kebahagiaan di depan ibu dan keluarganya.

Kini semua sudah tidak bisa dihindari. Hayati yakin ibunya sudah tahu semua yang terjadi.

“Sejak kamu datang dengan Arya dan Vinara, ibu sudah menduga bahwa sesuatu terjadi. Ibu menunggumu mengatakan sesuatu. Kau sudah dewasa, tidak perlu semua hal ibu perlu memaksamu untuk berkata.” Laksmi berkata lembut pada Hayati. Ketenangan yang dia harap membuat Hayati mau lebih terbuka untuk mengatakan masalah yang sedang dia hadapi.

Sambil berusaha untuk duduk, Hayati menegarkan hati. “Aku dan Dimas akan berpisah.” Sebaris kalimat yang menjelaskan semuanya.

Pernyataan yang tidak mengejutkan bagi Laksmi. Pengacara Dimas yang sebelumnya tersambung di telepon dengan Hayati sudah menjelaskan semuanya.

“Apa pun masalahnya, jika berpisah adalah pilihan kalian, ambillah keputusan itu dengan cara yang dewasa dan bertanggung jawab. Ingat saja bahwa pernikahan ini bukan hanya tentang kalian tapi juga tentang Arya dan Vinara.”

Perkataan ibunya menjadi pertimbangan sekali lagi bagi Hayati. Namun akhirnya tidak mengubah apa pun. Karena sehari setelahnya surat gugatan cerai itu datang ke rumah Hayati. Sebaris pesan w******p dari Dimas memberikan tawaran lain agar Hayati menerima kekasih Dimas sebagai istri kedua di rumah mereka. Tawaran yang tidak akan pernah Hayati iyakan.

Tidak ingin memohon apa pun pada Dimas, Hayati memilih untuk segera meninggalkan Dimas dan memutuskan untuk tinggal di rumah ibunya. Beberapa barang berharga perlu untuk diambil dari rumah mereka. Malam itu setelah menandatangani surat gugatan cerai, Hayati memutuskan untuk mendatangi rumahnya dan Dimas dan mengambil beberapa barang dan dokumen yang akan dia butuhkan.

Langkah kaki Hayati melambat ketika dia melihat mobil Dimas terparkir di depan rumah mereka. Lampu rumah sebagian sudah mati. Hayati masuk ke dalam rumah dengan kunci cadangan yang dia miliki.

Satu2nya lampu yang masih menyala adalah lampu kamar mereka. Tempat yang Hayati tuju untuk mengambil dokumen dan barang2. Tepat saat dia membuka pintu kamar, pemandangan mengejutkan membakar hati Hayati.

Suara terkejut yang kemudian muncul sebagai reaksi atas kedatangannya. Suara yang bukan datang dari suaminya. Suara dari perempuan lain yang tidak asing lagi bagi Hayati.

“Hayati? Sedang apa kau di sini?”

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status