Sebuah tawaran yang sungguh di luar dugaan Hayati. Tubuh Hayati membeku dan matanya diam terpana melihat ke arah Daren. Dia berharap Daren sekali lagi mengulangi kata-katanya untuk memastikan bahwa dirinya tidak mendengar sesuatu yang salah.
Daren melihat Hayati sambil mengerutkan kening. Dia sedang memikirkan ulang apakah ada kata-katanya yang salah diucapkan. Reaksi wanita di depannya itu terlihat datar tanpa ada ekspresi yang bisa dibaca. Hayati hanya diam dan tatapan matanya kosong.
“Maaf kalau saya menawarkan sesuatu yang salah. Saya hanya berharap ini bisa menjadi sebuah kerjsama yang baik.” Daren mencoba memperbaiki keadaan.
Hiruk pikuk suara café sama sekali tidak bisa mencairkan keadaan di antara mereka. Seolah tenggelam di tengah kesepian, Dimas menunggu Hayati memberikan reaksi.
“Ehm! Hayati, kau bisa mengatakan saja jika memang kau tidak setuju.” Daren sekali lagi berusaha memecahkan es di antara mereka.
Hayati seperti tersadar dari renungan yang membingungkan. Dia segera mengubah posisi duduknya. Hayati meletakkan kedua tangannya di pangkuan dan meremas satu sama lain. Dia bisa merasakan bahwa kedua tangannya dingin karena gugup.
Hayati mencoba sekuat tenaga untuk mengeluarkan suara. “Te-terima kasih atas tawarannya, Tuan Daren. Ta-“
“Stop! Bisakah kita lebih bersahabat? Panggil aku dengan sebutan Daren. Apakah kau keberatan jika aku memanggil namamu saja?” Daren menghentikan pembicaraan yang baru Hayati mulai.
Hayati menggelengkan kepala cepat. “Tidak, tentu saja tidak. Kau bisa memanggilku dengan nama saja.”
Daren tersenyum. “Terima kasih, lalu bagaimana dengan tawaran yang kuberikan?”
Senyum Daren membuat Hayati semakin gugup. Pria di depannya itu tampan dengan tampilan yang mempesona. Jantungnya berdebar namun Hayati tidak dapat mengidentifikasi perasaannya sendiri. Satu-satunya yang bisa Hayati pikirkan sekarang adalah tentang tawaran yang Dimas berikan. Sebuah peluang emas baginya di saat hidupnya sedang terpuruk.
“Saya… ingin menerima tawaran itu. Tapi….” Hayati ragu untuk menyampaikan kelanjutan kata-katanya.
Mata Hayati melirik dompet merah yang tergeletak di atas meja. Dompet yang hanya berisi sticker label nama usaha kue jajan pasar milik Hayati. “Vaya Cake”, nama yang dia dapat dan terinspirasi dari kedua buah hatinya.
Lirikan mata Hayati pada dompet itu tertangkap oleh Daren. Pria itu menegakkan duduk. Dia berhati-hati dengan apa yang akan dia ucapkan.
“Jika masalahnya adalah uang dan modal, maka perusahaan saya bisa meminjamkan modal awal yang nantinya bisa dikembalikan secara berkala.” Daren mengambil taruhan besar.
Kata-kata dan tawaran yang dia sampaikan hanya berdasarkan tebakan semata. Daren tidak tahu siapa dan bagaimana Hayati, alasan Daren berani menawarkan itu adalah karena melihat penampilan sederhana Hayati. Seorang wanita cantik yang terkurung dalam penampilan sederhana atau bahkan berkekurangan.
Mendengar tawaran Daren, wajah Hayati terasa panas. Dia bisa merasakan air mata menggenang di kedua matanya. Hayati berusaha menahan agar air mata itu tidak terjatuh, namun saat Daren menyodorkan sebuah kotak tisue, Hayati menyerah. Air matanya berguliran tanpa ampun.
“Semoga kata-kataku tidak menyinggungmu. Aku… aku hanya sedang membutuhkan partner bisnis. Dan entah bagaimana aku merasa kau akan menjadi partner bisnis yang bisa kuandalkan.” Daren segera memperbaiki kata-katanya.
Hayati menyelesaikan isakan tangis yang dia tahan. “Terima kasih, anda sangat baik. Saya menerima semua tawaran anda Tuan Daren.” Suara Hayati terdengar serak.
“Aku akan membatalkan tawaran itu jika kau terus memanggilku dengan sebutan Tuan. Aku hanya orang biasa sama sepertimu. Jangan merasa dirimu lebih rendah dariku.” Daren menatap tegas pada Hayati dan sedikit menganggukkan kepala. Seperti tawaran persahabatan yang tulus.
Hayati tersenyum lembut. Ketika mereka menyelesaikan pembicaraan, Daren meminta ijin untuk mengantarkan Hayati pulang ke rumahnya. Sepanjang perjalanan mereka sama sekali tidak terlibat pembicaraan.
Daren fokus menyetir dan menembus kepadatan jalan kota. Sesekali matanya melirik pada Hayati yang duduk di sampingnya. Ada sesuatu dalam diri Hayati yang membuat Daren merasa tertarik. Dia tidak bisa mengartikan apa yang sedang dia rasakan. Mungkin kesederhanaan Hayati dan sikap sopannya salah satu alasan.
Hayati tentu saja tidak tahu bahwa Daren sesekali memperhatikan dirinya. Karena Hayati sedang sibuk dengan pikiran dan perasaannya sendiri. Dia bahagia karena akhirnya ada kesempatan untuk mewujudkan mimpinya untuk memiliki usaha kue dan catering.
Hal lain, Hayati bersyukur bahwa Tuhan begitu baik padanya. Tepat di saat Dimas membuatnya hancur bagai kepingan, jalan lain yang tidak pernah Hayati bayangkan justru terbuka lebar di depannya. Harapan Hayati melambung tinggi.
Bagaimana pun anak-anak dan keluarganya membutuhkan keuangan yang lebih lagi. Terutama sekarang Dimas tidak akan pernah lagi memberikan Hayati uang. Dugaan yang bukan tanpa alasan. Jika selama mereka tinggal bersama Dimas begitu perhitungan, maka hampir bisa dipastikan apa yang akan dia lakukan ketika mereka sudah terpisah.
Sesampainya di rumah, Hayati menyampaikan kabar gembira itu pada ibunya. Sehari setelahnya, Daren mengundang Hayati untuk datang ke kantornya untuk membicarakan hal-hal teknis terkait kerjasama yang akan mereka lakukan.
Hayati memasuki lobby gedung dengan perasaan canggung. Dia mulai berpikir bahwa Dimas benar, Hayati memang berpenampilan kampungan dan buruk. Bahkan saat di pintu masuk pun security penjaga gedung sudah melihatnya dengan tatapan curiga. Dia menyapa dengan sikap yang sama sekali tidak bersahabat.
“Mau apa?” tanya security berperawakan tegap itu dengan sedikit membentak.
Hayati menatap takut-takut. “Saya mau bertemu dengan Pak Daren.”
Sang Security memandang Hayati dari ujung rambut hingga ujung kaki. “Hah?! Orang sepertimu mau bertemu Tuan Daren? Jangan bercanda. Bagaimana kau bisa tahu dan mengenalnya?”
“Saya… beliau yang meminta saya untuk datang.” Hayati sedang mencoba merogoh tas hitam kusam yang dibawanya. Dia ingin menunjukkan kartu nama Daren pada security itu sebagai barang bukti bahwa dia datang atas undangan Daren.
Namun Sang Security tidak sabar untuk menunggu lebih lama. “Kau ini ada-ada saja, mana mungkin Tuan Daren memiliki tamu sepertimu. Ayo, ikut denganku!” Security itu melangkah masuk ke dalam lobby gedung dan mereka berhenti di depan meja resepsionis.
“Apakah ada nama wanita ini dalam jadwal pertemuan Tuan Daren?” tanya security itu pada seorang wanita muda yang ada di belakang meja resepsionis.
Dengan tatapan yang tidak kalah sinis, gadis dengan tag nama di dada sebagai ‘Pertiwi’ itu melihat pada Hayati. Dia mengerutkan kening dalam. Lalu tangannya bekerja pada sebuah laptop yang ada di mejanya.
“Siapa namamu?” tanya Pertiwi tanpa sama sekali tersenyum atau melihat ke arah wajah Hayati.
“Hayati Mahfud,” jawab Hayati singkat. Kakinya sedikit bergetar. Dia merasa malu karena melihat beberapa karyawan yang melintas mulai melihat ke arah mereka. Security dan Pertiwi seolah sengaja mengeraskan suara mereka untuk membuat Hayati seperti pencuri yang tertangkap basah.
Beberapa kali Pertiwi mengurut daftar nama di layar komputernya. Security yang ada di depannya mulai tidak sabar.
“Kau temukan nama itu di daftar tamu hari ini?”
“Menurutmu? Tentu saja tidak! Mana mungkin Tuan Daren memiliki tamu seperti ini.” Sengaja membuat suaranya terdengar semakin sinis, Pertiwi melihat Hayati dengan sudut mata yang tajam.Security yang bersama mereka segera mencengkeram kasar lengan Hayati. Itu membuat Hayati meringis kesakitan. Dia mencoba melepaskan diri, namun tenaganya tentu tidak sebanding dengan security yang bertubuh tinggi besar itu.“Kau mencoba menyusup ke kantor kami! Kenapa orang-orang seperti kalian selalu berusaha menemui orang kaya seperti Tuan Daren?!” Dia sengaja meninggikan suara agar orang-orang di sekitar mereka mendengar keributan yang terjadi. Security itu akan merasa bangga jika dia dianggap sebagai pahlawan yang menyelamatkan perusahaan.Hayati meronta untuk sekali lagi mencoba melepaskan diri. “Tolong, saya bukan penyusup. Daren yang meminta saya untuk datang.”“Daren?! Hah?! Beraninya kau memanggil Tuan Daren hanya dengan nama saja. Apakah kau tidak tahu sy iapa dia?” Mata Security itu seketika
Ekspresi terkejut tampak jelas di wajah Andi. Terlalu banyak hal yang rasanya sulit untuk dia ungkapkan. Tatapan matanya terkunci pada sosok sederhana Hayati.“Itu bukan urusanmu.” Sesingkat itu jawaban yang Andi berikan.Entah bagaimana suara ramah yang tadi terdengar dari Andi seketika hilang. Seperti dua pribadi yang berbeda saat Andi menjelaskan tentang kerjasama mereka dia adalah pria yang ramah. Namun apa yang Hayati lihat beberapa detik lalu, Andi sepertinya tidak suka dengan pertanyaan Hayati.Hayati memutuskan untuk diam. Dalam hati dia sedikit menyesal dengan pertanyaan spontan yang dia ajukan pada Andi. Dia berpikir mungkin Andi melihanya sebagai orang yang selalu ingin tahu tentang urusan orang lain.Dua bulan setelahnya, Hayati mulai merasakan hasil dari kerjasama dengan perusahaan Daren. Makanan kiriman dari ‘Vaya Cake’ selalu laris manis di hotel dan resto perusahaan Daren. Meski secara keuangan Hayati masih berjuang, namun dia tidak merasakan kekurangan.Dibantu oleh A
“Bukankah harta gono gini sudah ada dalam aturan? Bisakah kita mengambil lebih?” Hayati terperangah dengan pertanyaan Linda.Dia yakin Linda pasti akan membantunya, namun dia tidak menyangka bahwa antusias Linda untuk memenangkan perceraian atas dirinya dan Dimas begitu besar.“Anak-anak ada padamu. Tidak ada alasan untuk tidak memenangkan. Lagi pula kau berhak atas apa yang Dimas miliki. Jika nanti Dimas memenangkan semua harta kalian, bisa kau bayangkan apa yang akan dia lakukan pada harta itu?” Linda menatap tajam pada Hayati.Hayati membalas tatapan Linda dengan pandangan yang tidak kalah tajam. Tentu saja dia tahu apa yang akan Dimas lakukan pada harta mereka. Bahkan ketika mereka masih bersama, Dimas lebih senang menghabiskan uang untuk bersenang-senang. Beberapa kali Dimas pulang dalam keadaan mabuk.Dimas juga selalu membeli barang mahal untuk dirinya sendiri, namun sangat perhitungan untuk Hayati dan anak-anak mereka. Jabatan dan kekayaan yang Dimas miliki telah mengubah Dima
“Aku tidak akan mengijinkan orang melakukan kekerasan apa pun lagi padaku. Tidak lagi. Aku sudah mengirimkan bukti kekerasan yang Dimas lakukan dan sudah kukirimkan padamu.” Suara Hayati terdengar berat dan bergetar saat dia menjelaskan semuanya pada Linda.“Apakah kau yakin ingin melakukan ini? Dia adalah bapak dari anak-anakmu. Kasus kekerasan adalah perkara pidana, dan risikonya mungkin saja hukuman penjara.” Linda menjelaskan.Hayati memikirkan apa yang Linda katakan. Wajah Dimas terbayang di benaknya. Itu adalah pria yang pernah dia cintai. Walau perasaannya pada pria itu sudah berubah, apa yang Linda katakan benar. Pria itu adalah bapak dari anak-anaknya. Jika Dimas dipenjara, entah apa yang akan anak-anaknya rasakan. Lebih lagi apa yang akan orang lain pikirkan tentang dirinya. Seorang istri yang menjebloskan suaminya sendiri ke penjara. Bukankah itu terdengar menyedihkan? Pemikiran yang membuat Hayati tidak bergeming.“Setiap orang perlu mendapatkan pelajaran. Agar mereka meng
“Kau masih mengingat Tuan Daren?” Andi balik bertanya. Pertanyaan yang janggal untuk diutarakan, karena orang seperti Daren pastinya bukanlah orang yang mudah dilupakan. Pesonanya yang memikat adalah hal yang mudah diingat.Hayati tersenyum. Benaknya dipenuhi dengan bayangan Daren. “Dia adalah orang yang menolongku saat aku mengalami masa sulit. Aku bahkan belum sempat mengucapkan terima kasih untuk semua yang telah dia lakukan untukku. Dia mungkin sudah tidak mengingatku, tapi aku tentu saja masih mengingatnya.”Andi tersenyum sambil melihat ke arah lain. Hayati bisa memastikan bahwa Andi tidak akan pernah memberikan jawaban. Dia pun memilih diam.Di saat yang sama, ponsel Hayati berdering. Tertera nama ‘Mamah Dimas’ di layar ponselnya. Segaris kerut muncul di kening Hayati. Pikirannya bertanya, untuk apa wanita yang hampir menjadi mantan mertuanya itu menghubungi Hayati. Hayati menganggukkan kepala pada Andi untuk permisi sedikit menjauh sebelum menjawab panggilan itu.“Halo, Mah,”
“Apa kau sedang menuduh kami?” suara ibu Dimas kesal saat perempuan itu menyeruak dari belakang kerumunan keluarga yang ada di depan pintu.Hayati hanya bisa terdiam. Dia bahkan belum mengatakan apa pun. Vinara juga belum mengatakan apa pun. Tapi ‘timah panas’ begitu saja sudah dilemparkan di depan mereka. Tidak seperti biasanya, Dimas yang selalu bersikap sinis dan ketus kali ini hanya diam sambil melihat ke arah Hayati.Malam ini, seperti yang disarankan oleh Linda, Hayati sengaja tampil berbeda. Jika selama ini Hayati dikenal sebagai wanita 'cupu' yang memalukan, maka kali ini dia tampil menawan. Berbalut gaun hitam sepanjang lutut dengan ikatan di pinggang yang membentuk sedikit lekuk ditubuhnya, Hayati terlihat elegan. Sebuah gelang berwarna perak bersinar mencolok di tangan kirinya.Penampilan yang tentu saja tidak pernah Dimas lihat sebelumnya. Wajah Hayati pun terlihat cerah dengan sapuan make up tipis yang menonjolkan kecantikan alaminya. Semua ditata apik dengan saran dari L
Sejak kapan kita memiliki relasi setajir itu?” Mata Reina nyaris tidak berkedip melihat mobil Mercedez Benz V Class type terbaru berhenti di depan mereka. Mobil yang tentunya tidak bisa dimiliki oleh sembarang orang.Seorang pria berusia empat puluhan dengan pakaian rapi turun dari belakang kemudi. Dia adalah supir yang mengendarai mobil itu. Pria itu dengan tenang melangkah mendekati Hayati.“Tuan Daren meminta saya untuk menjemput Nyonya. Apa Nyonya sudah ingin pulang sekarang?” Pria itu dengan sopan berbicara pada Hayati.Hayati sedikit mengerutkan kening. Satu-satunya Daren yang dia kenal adalah Daren yang memberikannya tawaran bisnis. Dia juga satu-satunya orang yang Hayati ketahui mungkin untuk memiliki mobil ini. Namun, Hayati masih ragu. Apakah Daren yang mengirimkan mobil dan supir untuknya? Bagaimana Daren tahu bahwa Hayati sedang ada di rumah keluarga suaminya. Pertolongan yang seolah datang di saat yang tepat atau hanya sekedar kebetulan?“Nyonya, saya bisa menunggu jika a
“Sebagai seorang Kakak, aku hanya memperingatkan. Ingat Hayati, pria kaya bisa berbuat apa saja dengan uang mereka.” Anggara menegaskan sebelum pergi meninggalkan Hayati.Hayati merasa kesal dengan semua yang Anggara katakan. Tapi, dia tidak ingin menambah masalah yang sekarang sudah rumit dia hadapi. Terlebih jika masalah itu dengan Anggara, orang yang belakangan paling banyak membantu Hayati menjalankan bisnisnya.Hayati mengabaikan kekesalannya pada Anggara dan kembali mengingat Daren. Sambil menghenyakkan dirinya di sofa ruang tamu, Hayati meraih ponsel dari dalam tas kecilnya. Dia menggulirkan jarinya di layar ponsel untuk menemukan nomor Daren.Setelah menemukan nomor Daren, Hayati berniat menghubungi pria itu.“Apakah Daren tidak keberatan aku menghubunginya?” Hayati bergumam pada dirinya sendiri. “Tapi, kenapa Daren datang ke rumahku malam ini? Ah sudahlah, lebih baik aku hubungi saja Daren.Hayati memberanikan diri menekan nomor Daren. Hatinya cemas menunggu panggilan telepon
Daren mengangguk, wajahnya menunjukkan kekhawatiran yang mendalam. "Ya, aku yakin. Saudara tiriku, yang baru saja kuketahui namanya adalah Bastian, punya sejarah panjang dengan Dimas. Mereka pernah bekerja sama di masa lalu, dan mereka berbagi ambisi yang sama untuk menguasai segala sesuatu yang mereka rasa berhak mereka dapatkan. Bastian tahu bahwa dengan bantuan Dimas dan Marina, dia bisa mempercepat upayanya untuk mengambil alih segalanya."Hayati merasa semakin tenggelam dalam kompleksitas situasi ini. "Jadi, itu sebabnya Dimas dan Marina begitu gigih mengejarku? Mereka hanya bagian dari rencana yang lebih besar?""Tepat sekali," jawab Daren. "Mereka mencoba menakut-nakutimu dan menciptakan kekacauan untuk melemahkanku, untuk membuatku tampak tidak kompeten dan tidak layak mengelola perusahaan. Jika mereka berhasil membuatku jatuh, Bastian akan lebih mudah mendapatkan apa yang dia inginkan."Hayati mengangguk, akhirnya mulai memahami betapa seriusnya keadaan ini. "Apa yang bisa ki
Daren tetap tenang, pandangannya tak tergoyahkan. "Aku tahu lebih dari yang kau kira, Dimas. Kau lupa, kita pernah bekerja di lingkaran yang sama. Aku tahu caramu berbisnis, bagaimana kau menyembunyikan aset, bagaimana kau menyuap orang-orang untuk menutup mata. Kau selalu berpikir kau di atas angin, tak tersentuh. Tapi kali ini, kau sudah salah perhitungan."Dimas mengerutkan kening, rasa percaya dirinya mulai terkikis. "Kau tak punya bukti," katanya, suaranya melemah.Daren mengeluarkan ponsel dari saku jasnya, menelusuri beberapa file sebelum menampilkan layar pada Dimas. "Lihat sendiri. Transkrip percakapanmu dengan Marina, dokumen keuangan yang dimanipulasi, dan bukti pembayaran di bawah meja. Semua ini bisa aku serahkan ke pihak berwenang kapan saja."Wajah Dimas semakin memucat, keringat dingin mulai membasahi pelipisnya. Marina, yang berdiri di sampingnya, mulai panik. Dia mencoba meraih ponsel Daren, tetapi Daren dengan cepat menarik tangannya kembali."Jangan mencoba merampa
Dimas menambahkan dengan senyum miring, "Kami hanya berharap kau bisa menerima kenyataan ini dengan anggun."Hayati menahan napasnya, mencoba menekan amarah yang mulai membara dalam dirinya. Dia tahu mereka berusaha meruntuhkannya, menghancurkan martabatnya di depan semua orang. Hayati bahkan tidak tahu apa yang harus dilakukan.Marina yang melihat kelemahan Hayati merasa semakin senang. Sebuah senyum tipis muncul di wajahnya. Dia berjalan elegan menuju Hayati. Sambil lalu tangannya meraih sebuah gelas berisi minuman berwarna merah dari salah satu pelayan yang sedang berdiri di sekitarnya.Marina mendekat, langkahnya seolah menari di atas lantai yang dingin, sorot matanya penuh kebencian yang dingin. Tanpa berkata-kata, dia dengan anggun namun kejam menuangkan minuman merah itu ke gaun putih Hayati. Cairan dingin itu meresap dengan cepat, meninggalkan noda yang mencolok di atas kain putih yang sempurna. Gaun itu sekarang tampak seperti bekas medan perang—berantakan, kotor, dan basah k
Hayati menggenggam ponselnya erat, suaranya sedikit gemetar saat dia berbicara dengan Linda, pengacaranya yang sudah bertahun-tahun menangani semua urusan hukum keluarga dan bisnisnya."Linda, aku sudah memutuskan," Hayati memulai dengan tegas. "Aku ingin semua harta dan saham perusahaan dialihkan kepada Dimas. Aku lelah dengan semua ini. Aku hanya ingin hidup tenang bersama Arya dan Vinara."Di ujung telepon, Linda terdiam. Keputusan Hayati membuatnya tercengang. Dia tahu betapa pentingnya perusahaan ini bagi Hayati—itu bukan hanya soal bisnis, tapi juga simbol perjuangan dan kebebasan dari bayang-bayang pernikahan yang gagal. "Hayati, kau yakin? Ini bukan keputusan yang bisa diambil dengan mudah.""Ya, Linda. Aku yakin," Hayati menarik napas dalam-dalam, mencoba menahan air mata yang menggenang di matanya. "Aku sudah lelah. Semuanya... terlalu berat untukku. Dimas dan Marina bisa mengambil semuanya, aku tak peduli lagi. Yang penting, aku bisa fokus pada Vinara."Meskipun memahami ke
Anggara tidak segera membalas pesan Hayati, membuat kecemasan di hati Hayati semakin membuncah. Dia mencoba menenangkan dirinya, tetapi pikirannya terus berputar, memikirkan berbagai kemungkinan yang bisa terjadi. Marina, wanita yang dulu dia anggap sahabat, kini menjadi ancaman terbesar dalam hidupnya.Saat itu, Vinara bergerak sedikit di ranjangnya, membuat Hayati langsung kembali fokus pada putrinya. "Bunda, kenapa Bunda terlihat sedih?" tanya Vinara dengan suara lirih, menyadari perubahan emosi ibunya.Hayati segera menghapus air matanya yang hampir jatuh. "Tidak, Sayang. Bunda hanya sedikit lelah. Kamu istirahat saja, ya. Bunda di sini."Namun, sebelum Hayati bisa kembali menenangkan dirinya, ponselnya bergetar lagi. Pesan dari Anggara masuk, dengan singkat namun menegangkan:‘Dia sedang mencari cara untuk menggugat hak kamu atas perusahaan. Kita harus bertindak cepat.’Hayati merasa darahnya mendidih. Bagaimana bisa Marina berani sejauh itu? Menggugat haknya yang sudah jelas dip
Hayati merasa hatinya tersentuh mendalam mendengar nama yang disebut oleh Vinara, meskipun dengan suara yang lemah. Dia merasakan tumpukan emosi yang sulit untuk dijelaskan. Selama ini, Dimas adalah nama yang penuh dengan rasa sakit dan kenangan pahit baginya, namun bagi Vinara, Dimas adalah ayahnya yang masih memiliki tempat di hatinya.Dengan lembut, Hayati merapatkan tubuhnya ke samping ranjang Vinara, menggenggam tangan putrinya yang lemah. “Sayang, Ayahmu sudah… sudah pergi ke kamar yang lain. Dia sedang beristirahat di sana. Tapi kamu tahu, dia mencintaimu, dan dia sangat bangga padamu,” ujarnya dengan suara bergetar, berusaha menahan air mata yang hampir tumpah.Vinara membuka matanya sedikit, meskipun kelopak matanya masih tampak berat. “Tapi… Bunda bilang… ayah…” Vinara tidak bisa melanjutkan, suaranya melemah kembali, terhenti oleh kelelahan dan rasa sakit.“Ya, Bunda tahu. Bunda tahu ada banyak hal yang sulit untuk dimengerti sekarang,” Hayati berusaha menjelaskan dengan le
“Mamah!” Raditya kembali memanggil, tangannya kecil melambai ke arah Marina dengan senyum ceria yang memperlihatkan sederet gigi susu yang belum lengkap. Marina segera merendahkan tubuhnya untuk menyambut bocah kecil itu, membungkuk dengan tangan terbuka lebar.“Sayang, sini ke Mamah,” panggil Marina dengan nada manis yang penuh kasih sayang, seolah dia adalah ibu paling sempurna di dunia. Raditya berlari kecil ke arahnya, tertawa senang saat Marina mengangkatnya ke dalam pelukan. Marina mencium pipi Raditya dengan lembut, senyumnya tampak penuh kemenangan saat dia melihat Hayati.Hayati, yang masih berdiri terpaku dengan perasaan campur aduk, tidak bisa mengalihkan pandangannya dari bocah itu. Betapa miripnya Raditya dengan Dimas ketika masih kecil. Hidungnya, matanya, bahkan cara dia tersenyum. Semua itu membuat Hayati merasakan tusukan tajam di hatinya. Bocah kecil yang tidak tahu apa-apa ini akan menjadi penerus dari semua harta yang dulu pernah dia dan Dimas perjuangkan bersama.
Hayati meraih pena dengan tangan gemetar, menatap kertas persetujuan operasi di depannya. “Saya sudah tahu,” jawabnya pelan, suaranya terdengar lemah meski berusaha tegar.Dokter itu, seorang pria paruh baya dengan raut wajah serius namun penuh empati, mengangguk pelan. “Saya harus jujur, Bu Hayati. Operasi ini memang membawa risiko yang sangat besar. Salah satu risikonya adalah kelumpuhan permanen jika ada komplikasi. Namun, kami juga percaya bahwa dengan keberhasilan operasi ini, peluang Vinara untuk bisa berjalan kembali sangat tinggi. Kami sudah melakukan segala persiapan dengan matang.”Hayati mengangguk, meski hatinya diliputi ketakutan. “Tapi jika tidak dioperasi…?”“Jika tidak dioperasi, kondisi Vinara akan semakin memburuk. Kesempatannya untuk sembuh secara alami sangat kecil, dan kemungkinan besar dia akan kehilangan kemampuan untuk berjalan selamanya,” jawab dokter itu, tatapannya lurus dan penuh pengertian.Kata-kata dokter tersebut menghantam Hayati seperti palu. Harapan
Hayati berdiri di depan cermin, memandangi bayangannya yang tampak lebih tua dan lelah. Kerutan di dahi dan lingkaran hitam di bawah matanya menjadi bukti nyata dari malam-malam tanpa tidur dan kecemasan yang tak pernah henti. Hari ini adalah hari besar bagi Vinara, hari di mana putrinya akan menjalani operasi tulang belakang yang sangat berisiko. Ini adalah satu-satunya harapan bagi Vinara untuk kembali hidup normal, dan Hayati tahu bahwa dia harus kuat untuk menghadapi hari ini.Dengan langkah berat, Hayati akhirnya tiba di rumah sakit. Setiap langkah menuju kamar operasi terasa seperti beban yang semakin menekan. Di depan pintu kamar operasi, matanya langsung tertumbuk pada sosok-sosok yang sudah sangat dikenalnya—keluarga Dimas. Mereka berdiri di sana dengan ekspresi yang membuat perut Hayati terasa mual. Bukan rasa khawatir atau cemas yang terlihat di wajah mereka, melainkan kebencian dan ejekan yang teramat jelas.Ibu Dimas, seorang wanita paruh baya dengan sorot mata yang selal