“Sebagai seorang Kakak, aku hanya memperingatkan. Ingat Hayati, pria kaya bisa berbuat apa saja dengan uang mereka.” Anggara menegaskan sebelum pergi meninggalkan Hayati.Hayati merasa kesal dengan semua yang Anggara katakan. Tapi, dia tidak ingin menambah masalah yang sekarang sudah rumit dia hadapi. Terlebih jika masalah itu dengan Anggara, orang yang belakangan paling banyak membantu Hayati menjalankan bisnisnya.Hayati mengabaikan kekesalannya pada Anggara dan kembali mengingat Daren. Sambil menghenyakkan dirinya di sofa ruang tamu, Hayati meraih ponsel dari dalam tas kecilnya. Dia menggulirkan jarinya di layar ponsel untuk menemukan nomor Daren.Setelah menemukan nomor Daren, Hayati berniat menghubungi pria itu.“Apakah Daren tidak keberatan aku menghubunginya?” Hayati bergumam pada dirinya sendiri. “Tapi, kenapa Daren datang ke rumahku malam ini? Ah sudahlah, lebih baik aku hubungi saja Daren.Hayati memberanikan diri menekan nomor Daren. Hatinya cemas menunggu panggilan telepon
“Aku menenggelamkan Dimas? Apakah kau tahu apa yang sudah Dimas lakukan padaku dan anak-anakku?” tanya Hayati.“Apa?! Karena Kak Dimas mau menikah lagi? Itu masalah buatmu? Atau karena Kak Dimas tidak mengijinkanmu memberikan uang pada keluargamu yang miskin itu? Dasar kalian keluarga pemorotan!” Sandra melontarkan kebencian pada Hayati.Merasa dirinya diserang di depan semua orang, Hayati kehilangan kesabaran. Dia yang semula mencoba mengendalikan diri, tiba-tiba maju dan menyerang Sandra. Hayati menarik rambut Sandra hingga kepala gadis itu hampir menyentuh tanah.Orang-orang yang ada di sana sontak berteriak, terutama ibu Dimas. Dia spontan menarik tangan Hayati untuk melepaskan dari rambut Sandra. Namun seolah kerasukan setan, Hayati memiliki tenaga lebih kuat dari biasanya. Bahkan ketika Linda berusaha menariknya, Hayati sama sekali tidak bergeming.“Perempuan murahan! Lepaskan! Berani sekali kau menyerang Sandra! Lepaskan!”Keadaan di lorong pengadilan yang seharusnya lenggang be
“Itu pria yang kau inginkan? Ambillah dia. Bagiku, Dimas sekarang hanyalah seonggok sampah yang tidak berguna!” Senyum sinis Hayati menjadi penutup kata-katanya dan membuat Marina terbakar dalam amarah tanpa sudah.Hayati melangkah meninggalkan rest room. Di depan pintu, seperti yang sudah dia perkirakan, dia mendapati pria yang hampir menjadi mantan suaminya berdiri di sana. Bukan untuk menunggu Hayati, tapi untuk menanti Marina.Dimas terpukau dan tercengang melihat penampilan Hayati. Getaran hatinya tidak bisa dipungkiri jika Hayati yang sekarang dilihatnya adalah Hayati yang membuatnya tertarik. Dimas menelan ludah, tenggorokannya tercekat. Dia berusaha mengeluarkan kata-kata tapi yang terjadi sia-sia.Hayatilah yang akhirnya memulai memecahkan suasana.“Jadi seperti itulah wanita yang kau pilih?” tanya Hayati.Dimas merasa luluh lantah dengan penampilan yang Hayati tampilkan. “Dalam pernikahan ada yang disebut dengan bosan. Tapi, cinta pertama adalah yang abadi di dalam hati. Ci
“Isabelle?” Daren memejamkan mata saat mengucapkan nama itu. Nama yang bahkan tidak ingin Daren ingat. Jika dia bisa, maka Daren ingin menghapus nama itu dari ingatannya. Hatinya merasa perih dan nyeri. Sepasang mata biru dan wajah Eropa yang cantik melintas dalam ingatan Daren. Sosok yang pernah menjadi bagian terbaik hidup Daren. Sekaligus wanita yang memberikan Daren penderitaan panjang.Saat Daren membuka mata, dia membalikkan tubuh. “Aku sudah mengubur Isabelle dari ingatanku,” ucapnya sambil berjalan menjauhi Andi.Pernyataan yang sama sekali berbeda dari kenyataan. Andi bisa melihat bahwa Daren sedang mencoba mengkhianati dirinya sendiri. Dia bisa melihat Daren sangat terluka setiap kali dia mengingat wanita yang pernah menjadi tunangannya itu. Bertahun-tahun Andoi melihat Daren begitu menderita karena Isabelle. Andi adalah saksi perjalanan Daren saat dia berjuang untuk kembali hidup setelah kejadian buruk dan menyedihkan yang dialaminya. Andilah yang telah menyelamatkan Daren
“Apakah Nyonya Hayati tidak memberitahu keluarganya?” Dokter Silvia merasa aneh dengan reaksi yang Anggara tunjukkan.Anggara menggeleng perlahan. “Dia baru saja bercerai dari suaminya. Kami sama sekali tidak tahu kalau Hayati hamil.” Saat Anggara terdiam. “Lalu bagaimana keadaanya dan bayinya?” lanjut Anggara.Dokter Silvia memegang bahu Anggara. “Itulah yang ingin saya sampaikan. Ibu Hayati baru saja kehilangan bayinya. Benturan keras itu telah membuatnya keguguran. Kita akan melakukan pembersihan untuk sisa kehamilan yang masih ada di rahimnya. Lalu tindakan lain juga diperlukan untuk cidera di tangannya. Operasi untuk tulang tangan yang patah.”“Sebanyak itu?” tanya Anggara lirih.“Akan dilakukan secara bertahap. Tapi, kami perlu persetujuan keluarga. Lebih tepatnya orang yang bertanggung jawab atas Nyonya Hayati,” pungkas doker Silvia.“Saya yang akan bertanggung jawab atas semua tindakan yang dilakukan.” Anggara segera memutuskan.Dokter Silvia mengangguk. “Baiklah, mari kita ke
Pria itu terkejut dan berbalik. Wajahnya langsung menunjukkan kelegaan begitu melihat Anggara. "Ya, saya salah satu teman Hayati. Saya baru datang dari luar kota," jawabnya cepat, seolah ingin menegaskan posisinya.Anggara memindai pria itu dari ujung kepala hingga ke ujung kaki. Dia berpikir sejak kapan Hayati memiliki teman laki-laki. Terlebih pria itu tampaknya bukan orang biasa. Celana pendek dan kaosnya tidak bisa menutupi bahwa pria itu adalah orang dari kalangan atas.Anggara mencoba mengingat-ingat apakah dia pernah bertemu pria ini. Namun setelah beberapa menit dia yakin tidak pernah melihat atau mengenal pria tersebut.Anggara mengangguk perlahan, lalu mendekat. "Saya Anggara, kakaknya Hayati. Anda siapa?"Pria itu mengulurkan tangan tanpa seulas senyum pun di wajahnya. Sikap kaku pria itu dan ketegasan yang ada di matanya memperlihatkan bahwa pria itu dalam kondisi hati yang sedang kacau. "Saya Daren, teman Hayati. Saya baru tahu tentang kecelakaan ini dari berita yang bere
“Seseorang mengirim uang dalam jumlah sangat banyak ke rumah saya. Dua puluh juta. Dia bilang itu ucapan terima kasih karena saya telah memberikan rekaman video itu pada Bapak.” Tukang parkir itu menjelaskan dengan seksama.Kali ini Anggara yang tercengang. “Saya tidak mengirimkan uang itu. Apakah orang yang memberikan anda uang mengatakan sesuatu yang lain?”Tukang parkir itu terdiam dan mencoba mengingat. “Entahlah, sepertinya saya mendengar supir yang mengantarnya menyebut nama pria itu Andi.”Anggara terdiam. Satu-satunya Andi yang dia kenal adalah Andi dari jaringan Argowinangun Group. Perusahaan tempat hayati menjalin kerjasama bisnis kuliner yang dia lakoni. Jika itu memang Andi yang dia kenal, bagaimana Andi bisa tahu tentang tukang parkir dan video itu.Sejak Hayati kecelakaan, dia bahkan belum pernah bertemu Andi. Lagi pula apa pentingnya pria itu memberikan uang pada tukang parkir itu sebagai pembalas jasa? Berbagai pertanyaan ada di benak Anggara.“Pak.” Suara tukang parki
Dimas terdiam sejenak, menelan ludah dan merasa sulit untuk mengutarakan perasaannya. Suasana menjadi hening. Hayati menatap lurus wajah Dimas dengan berbagai perasaan yang sulit dia tebak.Dalam beberapa helaan nafas, Dimas berusaha menyampaikan apa yang ada di hatinya.“Aku... aku hanya ingin kita kembali seperti dulu, Hayati. Aku merasa kesal karena kau memenangkan harta gono-gini itu. Aku merasa dikhianati, seolah-olah semua yang kita bangun bersama tidak ada artinya. Aku kehilangan segalanya, dan itu membuatku marah.” Dimas bahkan tidak berani menatap mata Hayati saat dia mengatakan semuanya.Hayati enggan berkedip. Dia tidak percaya bahwa orang yang pernah menjadi cinta dalam hidupnya bisa memiliki perasaan dan keinginan seburuk itu.Hayati menatap Dimas dengan mata yang penuh luka. “Kau merasa kesal karena aku memenangkan harta gono-gini? Itu semua yang kau pedulikan, Dimas? Kau tidak peduli pada perasaan anak-anak kita? Pada keselamatan mereka? Pada keselamatanku?”Tanpa teras
Daren mengangguk, wajahnya menunjukkan kekhawatiran yang mendalam. "Ya, aku yakin. Saudara tiriku, yang baru saja kuketahui namanya adalah Bastian, punya sejarah panjang dengan Dimas. Mereka pernah bekerja sama di masa lalu, dan mereka berbagi ambisi yang sama untuk menguasai segala sesuatu yang mereka rasa berhak mereka dapatkan. Bastian tahu bahwa dengan bantuan Dimas dan Marina, dia bisa mempercepat upayanya untuk mengambil alih segalanya."Hayati merasa semakin tenggelam dalam kompleksitas situasi ini. "Jadi, itu sebabnya Dimas dan Marina begitu gigih mengejarku? Mereka hanya bagian dari rencana yang lebih besar?""Tepat sekali," jawab Daren. "Mereka mencoba menakut-nakutimu dan menciptakan kekacauan untuk melemahkanku, untuk membuatku tampak tidak kompeten dan tidak layak mengelola perusahaan. Jika mereka berhasil membuatku jatuh, Bastian akan lebih mudah mendapatkan apa yang dia inginkan."Hayati mengangguk, akhirnya mulai memahami betapa seriusnya keadaan ini. "Apa yang bisa ki
Daren tetap tenang, pandangannya tak tergoyahkan. "Aku tahu lebih dari yang kau kira, Dimas. Kau lupa, kita pernah bekerja di lingkaran yang sama. Aku tahu caramu berbisnis, bagaimana kau menyembunyikan aset, bagaimana kau menyuap orang-orang untuk menutup mata. Kau selalu berpikir kau di atas angin, tak tersentuh. Tapi kali ini, kau sudah salah perhitungan."Dimas mengerutkan kening, rasa percaya dirinya mulai terkikis. "Kau tak punya bukti," katanya, suaranya melemah.Daren mengeluarkan ponsel dari saku jasnya, menelusuri beberapa file sebelum menampilkan layar pada Dimas. "Lihat sendiri. Transkrip percakapanmu dengan Marina, dokumen keuangan yang dimanipulasi, dan bukti pembayaran di bawah meja. Semua ini bisa aku serahkan ke pihak berwenang kapan saja."Wajah Dimas semakin memucat, keringat dingin mulai membasahi pelipisnya. Marina, yang berdiri di sampingnya, mulai panik. Dia mencoba meraih ponsel Daren, tetapi Daren dengan cepat menarik tangannya kembali."Jangan mencoba merampa
Dimas menambahkan dengan senyum miring, "Kami hanya berharap kau bisa menerima kenyataan ini dengan anggun."Hayati menahan napasnya, mencoba menekan amarah yang mulai membara dalam dirinya. Dia tahu mereka berusaha meruntuhkannya, menghancurkan martabatnya di depan semua orang. Hayati bahkan tidak tahu apa yang harus dilakukan.Marina yang melihat kelemahan Hayati merasa semakin senang. Sebuah senyum tipis muncul di wajahnya. Dia berjalan elegan menuju Hayati. Sambil lalu tangannya meraih sebuah gelas berisi minuman berwarna merah dari salah satu pelayan yang sedang berdiri di sekitarnya.Marina mendekat, langkahnya seolah menari di atas lantai yang dingin, sorot matanya penuh kebencian yang dingin. Tanpa berkata-kata, dia dengan anggun namun kejam menuangkan minuman merah itu ke gaun putih Hayati. Cairan dingin itu meresap dengan cepat, meninggalkan noda yang mencolok di atas kain putih yang sempurna. Gaun itu sekarang tampak seperti bekas medan perang—berantakan, kotor, dan basah k
Hayati menggenggam ponselnya erat, suaranya sedikit gemetar saat dia berbicara dengan Linda, pengacaranya yang sudah bertahun-tahun menangani semua urusan hukum keluarga dan bisnisnya."Linda, aku sudah memutuskan," Hayati memulai dengan tegas. "Aku ingin semua harta dan saham perusahaan dialihkan kepada Dimas. Aku lelah dengan semua ini. Aku hanya ingin hidup tenang bersama Arya dan Vinara."Di ujung telepon, Linda terdiam. Keputusan Hayati membuatnya tercengang. Dia tahu betapa pentingnya perusahaan ini bagi Hayati—itu bukan hanya soal bisnis, tapi juga simbol perjuangan dan kebebasan dari bayang-bayang pernikahan yang gagal. "Hayati, kau yakin? Ini bukan keputusan yang bisa diambil dengan mudah.""Ya, Linda. Aku yakin," Hayati menarik napas dalam-dalam, mencoba menahan air mata yang menggenang di matanya. "Aku sudah lelah. Semuanya... terlalu berat untukku. Dimas dan Marina bisa mengambil semuanya, aku tak peduli lagi. Yang penting, aku bisa fokus pada Vinara."Meskipun memahami ke
Anggara tidak segera membalas pesan Hayati, membuat kecemasan di hati Hayati semakin membuncah. Dia mencoba menenangkan dirinya, tetapi pikirannya terus berputar, memikirkan berbagai kemungkinan yang bisa terjadi. Marina, wanita yang dulu dia anggap sahabat, kini menjadi ancaman terbesar dalam hidupnya.Saat itu, Vinara bergerak sedikit di ranjangnya, membuat Hayati langsung kembali fokus pada putrinya. "Bunda, kenapa Bunda terlihat sedih?" tanya Vinara dengan suara lirih, menyadari perubahan emosi ibunya.Hayati segera menghapus air matanya yang hampir jatuh. "Tidak, Sayang. Bunda hanya sedikit lelah. Kamu istirahat saja, ya. Bunda di sini."Namun, sebelum Hayati bisa kembali menenangkan dirinya, ponselnya bergetar lagi. Pesan dari Anggara masuk, dengan singkat namun menegangkan:‘Dia sedang mencari cara untuk menggugat hak kamu atas perusahaan. Kita harus bertindak cepat.’Hayati merasa darahnya mendidih. Bagaimana bisa Marina berani sejauh itu? Menggugat haknya yang sudah jelas dip
Hayati merasa hatinya tersentuh mendalam mendengar nama yang disebut oleh Vinara, meskipun dengan suara yang lemah. Dia merasakan tumpukan emosi yang sulit untuk dijelaskan. Selama ini, Dimas adalah nama yang penuh dengan rasa sakit dan kenangan pahit baginya, namun bagi Vinara, Dimas adalah ayahnya yang masih memiliki tempat di hatinya.Dengan lembut, Hayati merapatkan tubuhnya ke samping ranjang Vinara, menggenggam tangan putrinya yang lemah. “Sayang, Ayahmu sudah… sudah pergi ke kamar yang lain. Dia sedang beristirahat di sana. Tapi kamu tahu, dia mencintaimu, dan dia sangat bangga padamu,” ujarnya dengan suara bergetar, berusaha menahan air mata yang hampir tumpah.Vinara membuka matanya sedikit, meskipun kelopak matanya masih tampak berat. “Tapi… Bunda bilang… ayah…” Vinara tidak bisa melanjutkan, suaranya melemah kembali, terhenti oleh kelelahan dan rasa sakit.“Ya, Bunda tahu. Bunda tahu ada banyak hal yang sulit untuk dimengerti sekarang,” Hayati berusaha menjelaskan dengan le
“Mamah!” Raditya kembali memanggil, tangannya kecil melambai ke arah Marina dengan senyum ceria yang memperlihatkan sederet gigi susu yang belum lengkap. Marina segera merendahkan tubuhnya untuk menyambut bocah kecil itu, membungkuk dengan tangan terbuka lebar.“Sayang, sini ke Mamah,” panggil Marina dengan nada manis yang penuh kasih sayang, seolah dia adalah ibu paling sempurna di dunia. Raditya berlari kecil ke arahnya, tertawa senang saat Marina mengangkatnya ke dalam pelukan. Marina mencium pipi Raditya dengan lembut, senyumnya tampak penuh kemenangan saat dia melihat Hayati.Hayati, yang masih berdiri terpaku dengan perasaan campur aduk, tidak bisa mengalihkan pandangannya dari bocah itu. Betapa miripnya Raditya dengan Dimas ketika masih kecil. Hidungnya, matanya, bahkan cara dia tersenyum. Semua itu membuat Hayati merasakan tusukan tajam di hatinya. Bocah kecil yang tidak tahu apa-apa ini akan menjadi penerus dari semua harta yang dulu pernah dia dan Dimas perjuangkan bersama.
Hayati meraih pena dengan tangan gemetar, menatap kertas persetujuan operasi di depannya. “Saya sudah tahu,” jawabnya pelan, suaranya terdengar lemah meski berusaha tegar.Dokter itu, seorang pria paruh baya dengan raut wajah serius namun penuh empati, mengangguk pelan. “Saya harus jujur, Bu Hayati. Operasi ini memang membawa risiko yang sangat besar. Salah satu risikonya adalah kelumpuhan permanen jika ada komplikasi. Namun, kami juga percaya bahwa dengan keberhasilan operasi ini, peluang Vinara untuk bisa berjalan kembali sangat tinggi. Kami sudah melakukan segala persiapan dengan matang.”Hayati mengangguk, meski hatinya diliputi ketakutan. “Tapi jika tidak dioperasi…?”“Jika tidak dioperasi, kondisi Vinara akan semakin memburuk. Kesempatannya untuk sembuh secara alami sangat kecil, dan kemungkinan besar dia akan kehilangan kemampuan untuk berjalan selamanya,” jawab dokter itu, tatapannya lurus dan penuh pengertian.Kata-kata dokter tersebut menghantam Hayati seperti palu. Harapan
Hayati berdiri di depan cermin, memandangi bayangannya yang tampak lebih tua dan lelah. Kerutan di dahi dan lingkaran hitam di bawah matanya menjadi bukti nyata dari malam-malam tanpa tidur dan kecemasan yang tak pernah henti. Hari ini adalah hari besar bagi Vinara, hari di mana putrinya akan menjalani operasi tulang belakang yang sangat berisiko. Ini adalah satu-satunya harapan bagi Vinara untuk kembali hidup normal, dan Hayati tahu bahwa dia harus kuat untuk menghadapi hari ini.Dengan langkah berat, Hayati akhirnya tiba di rumah sakit. Setiap langkah menuju kamar operasi terasa seperti beban yang semakin menekan. Di depan pintu kamar operasi, matanya langsung tertumbuk pada sosok-sosok yang sudah sangat dikenalnya—keluarga Dimas. Mereka berdiri di sana dengan ekspresi yang membuat perut Hayati terasa mual. Bukan rasa khawatir atau cemas yang terlihat di wajah mereka, melainkan kebencian dan ejekan yang teramat jelas.Ibu Dimas, seorang wanita paruh baya dengan sorot mata yang selal