Pria itu terkejut dan berbalik. Wajahnya langsung menunjukkan kelegaan begitu melihat Anggara. "Ya, saya salah satu teman Hayati. Saya baru datang dari luar kota," jawabnya cepat, seolah ingin menegaskan posisinya.Anggara memindai pria itu dari ujung kepala hingga ke ujung kaki. Dia berpikir sejak kapan Hayati memiliki teman laki-laki. Terlebih pria itu tampaknya bukan orang biasa. Celana pendek dan kaosnya tidak bisa menutupi bahwa pria itu adalah orang dari kalangan atas.Anggara mencoba mengingat-ingat apakah dia pernah bertemu pria ini. Namun setelah beberapa menit dia yakin tidak pernah melihat atau mengenal pria tersebut.Anggara mengangguk perlahan, lalu mendekat. "Saya Anggara, kakaknya Hayati. Anda siapa?"Pria itu mengulurkan tangan tanpa seulas senyum pun di wajahnya. Sikap kaku pria itu dan ketegasan yang ada di matanya memperlihatkan bahwa pria itu dalam kondisi hati yang sedang kacau. "Saya Daren, teman Hayati. Saya baru tahu tentang kecelakaan ini dari berita yang bere
“Seseorang mengirim uang dalam jumlah sangat banyak ke rumah saya. Dua puluh juta. Dia bilang itu ucapan terima kasih karena saya telah memberikan rekaman video itu pada Bapak.” Tukang parkir itu menjelaskan dengan seksama.Kali ini Anggara yang tercengang. “Saya tidak mengirimkan uang itu. Apakah orang yang memberikan anda uang mengatakan sesuatu yang lain?”Tukang parkir itu terdiam dan mencoba mengingat. “Entahlah, sepertinya saya mendengar supir yang mengantarnya menyebut nama pria itu Andi.”Anggara terdiam. Satu-satunya Andi yang dia kenal adalah Andi dari jaringan Argowinangun Group. Perusahaan tempat hayati menjalin kerjasama bisnis kuliner yang dia lakoni. Jika itu memang Andi yang dia kenal, bagaimana Andi bisa tahu tentang tukang parkir dan video itu.Sejak Hayati kecelakaan, dia bahkan belum pernah bertemu Andi. Lagi pula apa pentingnya pria itu memberikan uang pada tukang parkir itu sebagai pembalas jasa? Berbagai pertanyaan ada di benak Anggara.“Pak.” Suara tukang parki
Dimas terdiam sejenak, menelan ludah dan merasa sulit untuk mengutarakan perasaannya. Suasana menjadi hening. Hayati menatap lurus wajah Dimas dengan berbagai perasaan yang sulit dia tebak.Dalam beberapa helaan nafas, Dimas berusaha menyampaikan apa yang ada di hatinya.“Aku... aku hanya ingin kita kembali seperti dulu, Hayati. Aku merasa kesal karena kau memenangkan harta gono-gini itu. Aku merasa dikhianati, seolah-olah semua yang kita bangun bersama tidak ada artinya. Aku kehilangan segalanya, dan itu membuatku marah.” Dimas bahkan tidak berani menatap mata Hayati saat dia mengatakan semuanya.Hayati enggan berkedip. Dia tidak percaya bahwa orang yang pernah menjadi cinta dalam hidupnya bisa memiliki perasaan dan keinginan seburuk itu.Hayati menatap Dimas dengan mata yang penuh luka. “Kau merasa kesal karena aku memenangkan harta gono-gini? Itu semua yang kau pedulikan, Dimas? Kau tidak peduli pada perasaan anak-anak kita? Pada keselamatan mereka? Pada keselamatanku?”Tanpa teras
Hayati menatap teduh layar ponselnya. Itu adalah pesan dari Daren. Tanpa alasan hati Hayati berdegup cepat. Mencoba menepiskan perasaan yang membuatnya takut, Hayati mencoba meyakinkan dirinya sendiri bahwa apa yang dia rasakan semata karena emosinya pada Dimas.Berusana tenang, Hayati merekam balasan untuk pesan Daren. Tangan kirinya sama sekali tidak boleh digerakkan, itu akan membuat lukanya semakin parah. Jadi Hayati merekam suaranya dalam voice note sebagai penjawab pesan Daren.Seminggu kemudian, Hayati telah selesai melewati operasi yang dijadwalkan oleh dokter. Baik operasi bedah tulang untuk tangan kirinya yang terluka, juga untuk pembersihan sisa kehamilan dalam kandungannya.Dia sedang duduk di ruang keluarga di rumah ibunya yang sederhana. Laksmi mendekati Hayati dengan langkah tertatih. Wanita tua itu bahkan sudah merasa lemah dengan keadaannya sendiri. Namun ibu tetaplah seorang ibu. Alih-alih mengkhawatirkan keadaannya sendiri, Laksmi jauh lebih mengkhawatirkan keadaan
“Apa informasi itu penting untukmu?” Daren baik bertanya.Wajahnya yang semula cerah seketika seperti kehilangan darah. Sekilas Hayati bisa melihat bahwa Daren tidak terlalu suka dengan pertanyaan yang dia ajukan. Hayati menyesal dengan kata-katanya sendiri. Rasa penasaran membuatnya mengatakan sesuatu yang membuat Daren tidak nyaman. Dia berharap itu tidak membuat Daren tersinggung dan berefek pada hubungan bisnis mereka.“Ti-tidak. Informasi itu tidak penting buatku. Aku hanya ingin tahu.” Hayati menundukkan kepala untuk menghindari tatapan tajam yang Daren layangkan.“Kenapa?” sekali lagi Daren menuntut jawaban.Hayati menarik nafas panjang. “Terlalu banyak kebetulan yang terjadi padaku akhir-akhir ini. Dan entah bagaimana itu semua melibatkanmu. Aku berpikir bagaiman kau bisa mendapatkan akses dan informasi dengan mudah dan banyak. Aku berpikir….”Daren tersenyum kecil. Senyum yang membuat Hayati lega.“Kau terlalu banyak berpikir,” ujar Daren di sela-sela giginya yang tampak kare
Dokter Burhan menghela napas sejenak, dia mencoba merangkai kata-kata terbaik untuk menyampaikan keadaan Laksmi pada Hayati dan Andini. "Dengan kondisi seperti ini, kemungkinan besar ibu kalian akan mengalami penurunan kesadaran secara bertahap. Tubuhnya sedang berjuang melawan berbagai komplikasi, dan kami khawatir masa-masa kritis ini akan sangat sulit dilalui."Walau kata-kata itu sudah diperkirakan oleh Hayati dan Andini, konfirmasi dokter Burhan tak ayal tetap menjadi hantaman bagi keduanya. Andini meremas tangan Hayati dengan kuat, mencoba mencari ketegaran di tengah rasa takut yang melanda. Hayati menggenggam tangan Andini dan menelan ludah, berusaha keras menahan tangis yang sudah membendung di pelupuk matanya. Mereka berusaha menguatkan satu sama lain."Apa... apa yang bisa kami lakukan, Dok?" tanya Hayati dengan suara bergetar."Kalian bisa terus berada di sisinya, memberikan dukungan emosional. Meskipun mungkin ibu kalian tidak sepenuhnya sadar, tapi kehadiran dan cinta kal
Dokter Burhan memandang Anggara dengan mata penuh simpati. "Kami sudah melakukan segala yang kami bisa. Namun, Nyonya Laksmi telah meninggal dunia."Kata-kata itu mengiris hati mereka seperti belati tajam. Andini tersungkur di lantai, menangis tanpa suara, sementara Hayati memeluk tubuh ibunya yang kini tak lagi bernyawa. Anggara berusaha keras menahan air mata, tapi akhirnya menyerah dan membiarkan air mata mengalir di pipinya.Suasana ruangan itu begitu hening, hanya diiringi suara tangis dan isak yang tertahan. Hayati terus memeluk tubuh ibunya, merasakan dinginnya kulit Laksmi yang kini sudah tidak bernyawa. Andini, yang mencoba berdiri, merasa lemas dan kembali terduduk, merasakan kesedihan yang amat dalam."Ibu... maafkan kami," bisik Hayati di telinga ibunya. "Kami sudah berusaha semampu kami."Dokter Burhan dan perawat memberi mereka waktu untuk merasakan kehilangan yang mendalam itu. Mereka mundur beberapa langkah, memberi ruang bagi keluarga untuk mengucapkan perpisahan tera
Di antara hiruk pikuk keramaian pasca sidang, sebuah tangan terulur ke arah Hayati. Tangan yang mencengkeram rambutnya dan menarik dengan kuat ke arah berlawanan. Hayati nyaris terjengkang jika bukan karena Anggara dan Linda dengan cepat menariknya.Mereka segera menoleh ke arah asal tangan itu. Yang mereka temukan berikutnya adalah wajah Reina adik Dimas yang dipenuhi kemarahan bercampur dengan air mata. Ibu Dimas dan adik Dimas yang lain, Sandra juga berdiri di sebelahnya. Mereka menatap Hayati dan Linda dengan tatapan penuh kebencian.“Kau telah mengambil semuanya dari Dimas. Setelah kebahagiaannya, anak-anaknya, hartanya dan sekarang juga kebebasannya. Apakah kau puas menghancurkan hidup kami semua?!” teriak Reina di tengah keramaian.Orang-orang yang ada di sekitar mereka pun sontak menatap ke arah mereka dan diam menunggu perlawanan dari kubu Hayati. Linda menjadi orang yang kemudian mengambil alih kendali keadaan. Dia maju ke depan Hayati untuk menghadapi keluarga Dimas.“Penga