Dokter Burhan menghela napas sejenak, dia mencoba merangkai kata-kata terbaik untuk menyampaikan keadaan Laksmi pada Hayati dan Andini. "Dengan kondisi seperti ini, kemungkinan besar ibu kalian akan mengalami penurunan kesadaran secara bertahap. Tubuhnya sedang berjuang melawan berbagai komplikasi, dan kami khawatir masa-masa kritis ini akan sangat sulit dilalui."Walau kata-kata itu sudah diperkirakan oleh Hayati dan Andini, konfirmasi dokter Burhan tak ayal tetap menjadi hantaman bagi keduanya. Andini meremas tangan Hayati dengan kuat, mencoba mencari ketegaran di tengah rasa takut yang melanda. Hayati menggenggam tangan Andini dan menelan ludah, berusaha keras menahan tangis yang sudah membendung di pelupuk matanya. Mereka berusaha menguatkan satu sama lain."Apa... apa yang bisa kami lakukan, Dok?" tanya Hayati dengan suara bergetar."Kalian bisa terus berada di sisinya, memberikan dukungan emosional. Meskipun mungkin ibu kalian tidak sepenuhnya sadar, tapi kehadiran dan cinta kal
Dokter Burhan memandang Anggara dengan mata penuh simpati. "Kami sudah melakukan segala yang kami bisa. Namun, Nyonya Laksmi telah meninggal dunia."Kata-kata itu mengiris hati mereka seperti belati tajam. Andini tersungkur di lantai, menangis tanpa suara, sementara Hayati memeluk tubuh ibunya yang kini tak lagi bernyawa. Anggara berusaha keras menahan air mata, tapi akhirnya menyerah dan membiarkan air mata mengalir di pipinya.Suasana ruangan itu begitu hening, hanya diiringi suara tangis dan isak yang tertahan. Hayati terus memeluk tubuh ibunya, merasakan dinginnya kulit Laksmi yang kini sudah tidak bernyawa. Andini, yang mencoba berdiri, merasa lemas dan kembali terduduk, merasakan kesedihan yang amat dalam."Ibu... maafkan kami," bisik Hayati di telinga ibunya. "Kami sudah berusaha semampu kami."Dokter Burhan dan perawat memberi mereka waktu untuk merasakan kehilangan yang mendalam itu. Mereka mundur beberapa langkah, memberi ruang bagi keluarga untuk mengucapkan perpisahan tera
Di antara hiruk pikuk keramaian pasca sidang, sebuah tangan terulur ke arah Hayati. Tangan yang mencengkeram rambutnya dan menarik dengan kuat ke arah berlawanan. Hayati nyaris terjengkang jika bukan karena Anggara dan Linda dengan cepat menariknya.Mereka segera menoleh ke arah asal tangan itu. Yang mereka temukan berikutnya adalah wajah Reina adik Dimas yang dipenuhi kemarahan bercampur dengan air mata. Ibu Dimas dan adik Dimas yang lain, Sandra juga berdiri di sebelahnya. Mereka menatap Hayati dan Linda dengan tatapan penuh kebencian.“Kau telah mengambil semuanya dari Dimas. Setelah kebahagiaannya, anak-anaknya, hartanya dan sekarang juga kebebasannya. Apakah kau puas menghancurkan hidup kami semua?!” teriak Reina di tengah keramaian.Orang-orang yang ada di sekitar mereka pun sontak menatap ke arah mereka dan diam menunggu perlawanan dari kubu Hayati. Linda menjadi orang yang kemudian mengambil alih kendali keadaan. Dia maju ke depan Hayati untuk menghadapi keluarga Dimas.“Penga
Isabelle merasa tertantang dengan pertanyaan dari Hayati. Dia menyilangkan kaki bergaya elegant dan menatap sinis pada Hayati.“Tidak ada. Aku hanya tidak suka satu ruangan dengan orang yang tidak satu kelas denganku. Seharusnya showroom mobil ini bisa memisahkan mana pembeli dengan banyak uang dan pembeli mobil murahan. Mereka benar-benar tidak profesional.” Isabelle memutar bola matanya dan memalingkan wajah dari Hayati.Mendengar keangkuhan Isabelle, Hayati menghela nafas panjang. Walau di dalam hatinya, ingin Hayati menarik rambut Isabelle dan memberi pelajaran pada wanita angkuh itu. Tapi, belum sempat Hayati bertindak jauh, gadis showroom yang melayaninya telah kembali.“Maaf menunggu, Nyonya Hayati. Kami telah memeriksa semua identitas dan pembayaran anda. Mobil yang anda pesan akan dikirimkan dalam dua hari ke alamat yang telah anda tentukan. Silahkan tanda tangan di sini.” Gadis itu melayani Hayati dengan ramah.Hal itu mengalihkan perhatian Hayati dari kekesalan pada Isabell
Hayati menatap Laksmana dengan bingung. "Maksud Anda? Rival?"Laksmana mengangguk sambil meletakkan tangannya di atas meja, jemarinya saling bertaut. "Ya, aku yakin kau tahu siapa Daren, pemilik Sentosa Group. Kami sudah cukup lama menjadi pesaing dalam dunia bisnis otomotif, dan aku tidak ingin melibatkan diriku dengan seseorang yang berhubungan dekat dengan rivalku."Hayati mengernyitkan kening. Tampaknya Laksmana sudah mencari informasi banyak tentangnya. Hayati mulai berpikir bahwa kecelakaan yang melibatkan mereka berdua bukan sebuah kebetulan belaka. Ada perasaan tidak nyaman menghinggapi Hayati setelah Laksmana menyebut nama Daren.Walau Laksmana terlihat sebagai pria baik, namun Hayati akan selalu menghargai Daren sebagai orang pertama yang melemparkan pelampung padanya setelah dia hampir tenggelam dalam badai perceraian. Hayati mencoba memahami hubungan antara dirinya Laksmana dan Daren.Hayati terdiam sejenak, merenungkan kata-kata Laksmana. "Tapi ini berbeda. Aku menjalanka
Hayati tertegun sejenak, berusaha mencerna pertanyaan Laksmana di hadapan Daren. Matanya beralih dari Laksmana ke Daren yang tampak menunggu jawaban dengan penuh perhatian. Hayati tahu Daren menunggu jawaban Hayati pada Laksmana. Walau wajahnya terlihat tenang, Daren sedang dalam perasaan tidak nyaman mengetahui hubungan antara Laksmana dan Daren.Hayati berusaha berhati-hati menanggapi Laksmana. Bagaimana pun hubungannya dengan Daren lebih berarti, lebih lama dan lebih layak untuk dijaga. Dia tahu bahwa menjawab pertanyaan ini tidak hanya mempengaruhi bisnisnya, tetapi juga hubungan pribadinya dengan kedua pria tersebut. Walau Hayati tidak tahu persis seperti apa hubungan kedua pria di depannya itu, tapi firasatnya mengatakan bahwa itu bukan sesuatu yang baik dan menyenangkan."Ya, aku masih mempertimbangkannya," jawab Hayati akhirnya sambil tersenyum tipis pada Laksmana. Suaranya tetap tenang meski hatinya berdebar kencang. Hayati berharap Laksmana tidak melanjutkan pada pertanyaan
Isabelle tersenyum licik, memainkan rambutnya dengan jari-jari lentik. "Daren, sayang, kau tahu aku selalu memiliki akses ke tempat-tempat terbaik. Lagipula, aku merindukanmu. Tidak salah kan jika aku ingin melihat wajah tampanmu lagi?"Daren menghela napas, berusaha menahan emosinya. "Isabelle, kita sudah berakhir. Aku tidak ingin ada drama di sini. Malam ini adalah tentang bisnis dan kerjasama, bukan masa lalu kita."Isabelle melangkah lebih dekat, mengabaikan jarak yang Daren coba pertahankan. "Bisnis, ya? Sejak kapan kau lebih tertarik pada bisnis daripada padaku? Kau tahu, Daren, aku masih mencintaimu. Aku selalu mencintaimu." Suaranya melembut, namun mata Isabelle tetap penuh perhitungan.Daren tersentak, matanya menyipit seolah mencoba memahami maksud sebenarnya dari kata-kata Isabelle. "Isabelle, kau tidak bisa datang dan pergi seenaknya dalam hidupku. Aku sudah move on. Sampai hari ini, aku bahkan tidak pernah mendapat penjelasan kenapa malam itu kau meninggalkan altar pernik
“Aku rasa ya… mungkin ya.” Daren mencoba bersikap datar. Dia tidak ingin membuat Hayati ketakutan dan menjauh karena persoalan Isabelle. ‘Projectku tentangmu masih panjang, Hayati,’ ujar Daren di dalam hati.Hayati mendengus. “Tidak perlu menjelaskan apa pun tentang Isabelle. Aku rasa itu bukan urusanku. Lagi pula, aku tidak berhak bertanya tentang hubungan pribadimu dengan siapa pun.”“Hmm… kau benar. Tapi, karena aku membuatmu tidak nyaman, aku akan membayarnya. Makan es krim besok siang? Aku jemput?” Daren terdengar lembut dan ragu.Tawaran yang membuat senyum Hayati melebar. Makan es krim? Itu terdengar seperti sebuah tawaran dating yang manis. Sudah sangat lama bagi Hayati sejak terakhir kali dia memiliki hubungan dekat dengan seorang pria.Walau hatinya ragu apakah dia sudah siap membuka hati, Hayati tidak ingin lagi mengubur diri. Setidaknya dia ingin mencoba kembali membuka berbagai kemungkinan.“Tentu saja,” jawab Hayati singkat.Jawaban yang melegakan Daren. ‘Pionnya’ tersel