Daren tetap tenang, pandangannya tak tergoyahkan. "Aku tahu lebih dari yang kau kira, Dimas. Kau lupa, kita pernah bekerja di lingkaran yang sama. Aku tahu caramu berbisnis, bagaimana kau menyembunyikan aset, bagaimana kau menyuap orang-orang untuk menutup mata. Kau selalu berpikir kau di atas angin, tak tersentuh. Tapi kali ini, kau sudah salah perhitungan."Dimas mengerutkan kening, rasa percaya dirinya mulai terkikis. "Kau tak punya bukti," katanya, suaranya melemah.Daren mengeluarkan ponsel dari saku jasnya, menelusuri beberapa file sebelum menampilkan layar pada Dimas. "Lihat sendiri. Transkrip percakapanmu dengan Marina, dokumen keuangan yang dimanipulasi, dan bukti pembayaran di bawah meja. Semua ini bisa aku serahkan ke pihak berwenang kapan saja."Wajah Dimas semakin memucat, keringat dingin mulai membasahi pelipisnya. Marina, yang berdiri di sampingnya, mulai panik. Dia mencoba meraih ponsel Daren, tetapi Daren dengan cepat menarik tangannya kembali."Jangan mencoba merampa
Daren mengangguk, wajahnya menunjukkan kekhawatiran yang mendalam. "Ya, aku yakin. Saudara tiriku, yang baru saja kuketahui namanya adalah Bastian, punya sejarah panjang dengan Dimas. Mereka pernah bekerja sama di masa lalu, dan mereka berbagi ambisi yang sama untuk menguasai segala sesuatu yang mereka rasa berhak mereka dapatkan. Bastian tahu bahwa dengan bantuan Dimas dan Marina, dia bisa mempercepat upayanya untuk mengambil alih segalanya."Hayati merasa semakin tenggelam dalam kompleksitas situasi ini. "Jadi, itu sebabnya Dimas dan Marina begitu gigih mengejarku? Mereka hanya bagian dari rencana yang lebih besar?""Tepat sekali," jawab Daren. "Mereka mencoba menakut-nakutimu dan menciptakan kekacauan untuk melemahkanku, untuk membuatku tampak tidak kompeten dan tidak layak mengelola perusahaan. Jika mereka berhasil membuatku jatuh, Bastian akan lebih mudah mendapatkan apa yang dia inginkan."Hayati mengangguk, akhirnya mulai memahami betapa seriusnya keadaan ini. "Apa yang bisa ki
“Aku malu punya istri sepertimu! Jualan kue dan bergaul dengan ibu-ibu kampungan!” Dimas mengangkat kotak bening berisi kue buatan Hayati dan melemparnya ke lantai.Isi kotak pun berhamburan bersamaan dengan tangisan hayati. Dia menguatkan diri untuk memungut lagi satu per satu kue-kue tradisional yang dibuatnya sejak pagi buta.“Kue-kue ini tidak salah, Mas. Ini halal dan menghasilkan uang.” Walau suaranya terdengar bergetar, Hayati mencoba untuk memberi penjelasan pada Dimas, suaminya.Dimas menarik rambut hayati dan memaksanya berdiri. Kotak kue yang sudah Hayati kumpulkan pun kembali jatuh berantakan, karena tangannya mencoba untuk melepaskan cengkeraman Dimas dari rambutnya.“Lepaskan, Mas! Sakit!” Hayati merintih tapi tidak menjerit.Dia tidak ingin tetangga sekitar rumah mereka yang terletak di komplek mendengar keributan. Dimas akan sangat malu jika itu sampai terjadi. Selama ini Dimas selalu meminta Hayati untuk menampilkan keluarga mereka sebagai keluarga yang ideal. Baik di
Langkah Dimas terhenti. Anak-anak? Ingatannya melayang pada Vinara dan Arya. Entah bagaimana, Dimas justru merasa kesal saat mengingat mereka. Jika bukan karena kedua anak itu, pastilah dia sudah sejak lama mendapatkan kebebasan. Dia mungkin telah menceraikan Hayati tanpa perhitungan dan memilih wanita lain yang dia sukai.Anak-anak itu bukan lagi alasan Dimas untuk bekerja keras, sekarang. Dimas merasa karir dan keberhasilan yang sekarang dicapainya adalah kesempatan mewujudkan kebahagiaan pribadi sebagai pria yang sudah sejak lama Dimas idamkan dalam diam. Namun, bagaimana pun dia tidak bisa mengabaikan bahwa Arya dan Vinara telah hadir dalam pernikahannya sebagai anak mereka. Dimas menarik nafas. “Anak-anak akan baik-baik saja. Aku akan bicara dengan mereka bahwa mereka akan memiliki ibu baru yang lebih baik. Ibu yang akan mengajarkan mereka kehidupan yang lebih modern dan berpenampilan layak.”Seketika mata Hayati terbelalak lebar. Wajahnya memerah, telinganya mencoba berdusta bah
Apa yang harus dia jelaskan pada kedua buah hatinya? Mereka masih terlalu kecil untuk mengerti kerusakan yang perlahan tapi pasti sedang terjadi di keluarganya.Hayati menarik nafas panjang. “Kita mau liburan," jawabnya singkat sebelum meneruskan langkah.Kedua anak kecil di belakangnya melihat satu sama lain. Mata mereka berbinar bahagia. Sesaat kemudian mereka berteriak girang.“Yeayyy! Liburan!” Lantang keduanya berjingkrak.Mereka pun berhamburan masuk ke kamar masing-masing untuk menyiapkan barang-barang. Liburan adalah waktu yang telah mereka tunggu. Waktu yang sebenarnya telah dijanjikan oleh orang tua mereka.Ketika kemudian mereka keluar rumah dan melihat Hayati sudah bersiap di di samping mobil taxi online, kedua anak itu pun mengerutkan kening.“Ayah mana, Bu?” tanya Vinara lugu.Hayati memaksa sebuah senyuman muncul di wajahnya. “Nanti ayah menyusul ya.”Setelah mengangguk cepat, kedua buah hati Hayati itu pun masuk ke kursi penumpang belakang. Sementara Hayati memilih dudu
Mata Hayati nyaris keluar dari sarangnya, demi melihat wanita yang sedang satu selimut dengan pria yang masih berstatus suaminya itu.“Marina….” Desisnya nyaris tidak terdengar.Rasa panas menyebar di wajah dan dada Hayati. Pemandangan yang tidak pernah Hayati bayangkan terhampar di depannya. Suami dan sahabatnya berada dalam satu selimut di kamarnya. Mereka dalam keadaan nyaris tanpa busana. Kamar tempat yang seharusnya hanya milik Hayati. Tempat di mana Hayati pernah menguntai harapan tentang bahagia sebuah pernikahan.Melihat keadaan nyaris meledak, Dimas keluar dari selimut. Beruntung pria itu masih menggunakan celana boxer yang menyelamatkan keadaan agar tidak semakin memalukan. Alih-alih menenangkan istrinya, Dimas justru mencengkeram lengan Hayati dan menariknya keluar kamar. Setelah menutup pintu, Dimas menghentakkan tubuh Hayati dengan kasar.“Kenapa kau kembali?!” bentaknya tanpa belas kasihan.Air mata Hayati bahkan enggan turun untuk merespon sikap Dimas padanya. Dia yang b
“Bisa kita bertemu? Saya menemukan sesuatu milik anda yang sepertinya cukup penting,” jelas pria yang sedang berbicara dangan Hayati.Merasa belum mendapat jawaban pasti Hayati sekali lagi bertanya. “Anda siapa?”“Saya dengan Daren, supir taksi online yang ibu pesan beberapa hari lalu. Saya baru menemukan dompet merah di kolong kursi mobil. Saya dapat nomor telp ibu di sana.” Pria itu sepertinya membaca kecurigaan Hayati. Dia berusaha menjelaskan segera.Hayati mencoba mengingat kejadian beberapa hari lalu. Saat dia meninggalkan rumah itu untuk menuju ke rumah ibunya bersama anak2nya, dia memang menggunakan taksi online. Saat itu kondisi Hayati sedang kacau. Dia mungkin tanpa sengaja menjatuhkan barang di taksi online itu.Hayati berusaha mengingat apa isi dompet merah yang jatuh itu. Pastinya isinya bukan uang. Karena itu adalah hal terakhir dan paling sedikit yang dia miliki.“Halo, Ibu.” Suara pria itu memecah kebingungan Hayati. “Apakah saya bisa mengembalikan ke rumah ibu?”Mata H
Sebuah tawaran yang sungguh di luar dugaan Hayati. Tubuh Hayati membeku dan matanya diam terpana melihat ke arah Daren. Dia berharap Daren sekali lagi mengulangi kata-katanya untuk memastikan bahwa dirinya tidak mendengar sesuatu yang salah.Daren melihat Hayati sambil mengerutkan kening. Dia sedang memikirkan ulang apakah ada kata-katanya yang salah diucapkan. Reaksi wanita di depannya itu terlihat datar tanpa ada ekspresi yang bisa dibaca. Hayati hanya diam dan tatapan matanya kosong.“Maaf kalau saya menawarkan sesuatu yang salah. Saya hanya berharap ini bisa menjadi sebuah kerjsama yang baik.” Daren mencoba memperbaiki keadaan.Hiruk pikuk suara café sama sekali tidak bisa mencairkan keadaan di antara mereka. Seolah tenggelam di tengah kesepian, Dimas menunggu Hayati memberikan reaksi.“Ehm! Hayati, kau bisa mengatakan saja jika memang kau tidak setuju.” Daren sekali lagi berusaha memecahkan es di antara mereka.Hayati seperti tersadar dari renungan yang membingungkan. Dia segera