Langkah Dimas terhenti. Anak-anak? Ingatannya melayang pada Vinara dan Arya. Entah bagaimana, Dimas justru merasa kesal saat mengingat mereka. Jika bukan karena kedua anak itu, pastilah dia sudah sejak lama mendapatkan kebebasan. Dia mungkin telah menceraikan Hayati tanpa perhitungan dan memilih wanita lain yang dia sukai.
Anak-anak itu bukan lagi alasan Dimas untuk bekerja keras, sekarang. Dimas merasa karir dan keberhasilan yang sekarang dicapainya adalah kesempatan mewujudkan kebahagiaan pribadi sebagai pria yang sudah sejak lama Dimas idamkan dalam diam. Namun, bagaimana pun dia tidak bisa mengabaikan bahwa Arya dan Vinara telah hadir dalam pernikahannya sebagai anak mereka.
Dimas menarik nafas. “Anak-anak akan baik-baik saja. Aku akan bicara dengan mereka bahwa mereka akan memiliki ibu baru yang lebih baik. Ibu yang akan mengajarkan mereka kehidupan yang lebih modern dan berpenampilan layak.”
Seketika mata Hayati terbelalak lebar. Wajahnya memerah, telinganya mencoba berdusta bahwa dia mendengar sesuatu yang salah dari suaminya itu. Sesuatu yang selama ini Hayati takutkan. Sesuatu yang Hayati tahu itu akan menghancurkan rumah tangganya.
Tergopoh Hayati berdiri dan berjalan perlahan mendekati Dimas. Suaminya itu berdiri mematung beberapa langkah dari pintu. Dimas menunggu reaksi Hayati. Walau semua sudah dia perkirakan dan walau Dimas tahu Hayati tidak akan bisa melakukan apa pun, mengatakan hal itu tetap saja membuat Dimas menduga-duga reaksi apa yang akan istrinya itu berikan.
Perlahan tangan Hayati terulur meraih lengan suaminya. Saat telapak tangannya nyaris menempel di kemeja biru langit Dimas, Hayati menyadari bahwa tangannya kotor karena baru saja membereskan kekacauan kue-kue di lantai. Hayati menurunkan tangannya perlahan.
Dia bisa melihat tangannya bergetar. Butiran bening hangat mengalir semakin deras di wajahnya. Beberapa rambutnya yang jatuh menutupi wajah, membuat keadaan Hayati menjadi terlihat sangat menyedihkan. Hatinya bergetar sama hebat. Rasa nyeri menyerang tepat di dalam sana dan membuatnya nyaris kehilangan kekuatan untuk menopang tubuhnya sendiri. Hayati memaksa lidah kelunya untuk mulai berbicara.
“Apa kau baru saja mengatakan bahwa kau ingin menikah lagi?” Hayati bisa mendengar kesakitan dalam suaranya yang perlahan meluncur luruh runtuh.
Alih-alih berbelas kasihan, Dimas mengangkat dagunya tinggi-tinggi. Dia mencoba menutupi kejahatannya dengan ekspresi arogansi.
“Ya. Aku perlu dukungan untuk masa depan karirku. Itu tidak bisa kau lakukan. Jadi harus ada orang lain yang melakukan. Lagi pula, aku ingin anak-anak tumbuh lebih baik. Lebih modern dan berpendidikan. Kau tidak akan bisa mengajarkan hal itu pada mereka. Jadi, bagus juga seseorang yang bisa membawa perubahan masuk ke dalam rumah kita untuk mengubah semuanya. Mungkin dia juga bisa mengajarkanmu menjadi wanita yang lumayan. Kalau kau tidak bisa mengimbangi keadaan, jangan salahkan aku kalau kau hanya akan berperan seperti pelayan di rumah ini.”
Bagaimana pun kesiapan hati Hayati menerima kejujuran Dimas, semua kata-kata suaminya itu terasa seperti pisau beracun yang dilemparkan. Hayati bahkan sudah tidak punya kata dan ekspresi untuk memperlihatkan rasa sakit di hatinya.
Ketika Dimas melangkah keluar pintu, Hayati jatuh bersimpuh di tengah ruangan. Dimas bahkan tidak menunggu sebentar sekedar untuk tahu bagaimana reaksi wanita yang masih berstatus sebagai istrinya itu. Sekuat tenaga dia menahan agar tidak ada teriakan yang keluar dari mulutnya. Telapak tangannya bertumpu ke lantai. Matanya berkedip cepat untuk membangun kesadaran penuh. Dadanya sesak dan sulit untuk bernafas.
Hayati tidak ingin pingsan. Tidak ada yang akan menolongnya jika itu terjadi. Dia tidak ingin memberi penjelasan pada para tetangga jika itu terjadi.
Dunianya hancur. Hayati tahu ini telah menjadi akhir dari pernikahan yang lebih dari sepuluh tahun sudah berusaha untuk dia pertahankan. Kenangan lama dan bayangan masa lalu berkilatan di kepalanya.
Itu adalah hari di mana dia dan Dimas disatukan dalam sebuah ikatan pernikahan. Setelah menjalin cinta selama tiga tahun, Dimas dan Hayati memutuskan untuk menikah. Sebuah keputtusan besar dan berani yang dilakukan oleh mereka di usianya.
Saat itu Dimas baru saja memutuskan untuk pindah keluar kota dan mulai sebuah pekerjaan yang lebih baik. Kehidupan desa dengan segala kemiskinannya sama sekali tidak menjanjikan sebuah masa depan.
Tanpa sebuah ikatan yang resmi, nyaris tidak mungkin orang tua Hayati mengijinkan mereka untuk pergi bersama. Karena itulah mereka memutuskan untuk menikah dan memulai kehidupan yang baru.
Ternyata impian tidak pernah seindah apa yang ada dalam impian. Kemiskinan membuat mereka saling mencintai. Namun setelah keadaan menjangkau apa yang menjadi harapan, cinta justru menjadi satu2nya hal yang hilang dari mereka.
Tangis Hayati semakin luluh lantah di antara perasaannya yang penuh luka. Dia beranjak menuju kamar. Photo pernikahannya dengan Dimas seolah tidak berarti lagi. Hanya satu yang Hayati sesali bahwa uang ternyata bukan tujuan bagi mereka.
Langkah-langkah kaki kecil terdengar di ruang depan. Hayati segera mengusap air matanya yang mengalir. Itu sudah pasti Vinara dan Arya. Mereka sudah kembali dari sekolah. Dan Hayati tidak ingin kedua buah hatinya melihat kesedihan yang sedang dia rasakan.
Hayati menarik nafas dan berharap itu akan membuatnya lebih tenang. Sesaat sebelum dia membuka pintu kamar, Hayati memeriksa wajahnya di cermin dan merapikan penampilannya yang berantakan. Berharap anak-anaknya tidak menemukan jejak apa pun dari kejadian yang ayah mereka lakukan. Dia merapikan rambut dan pakaiannya.
“Kalian sudah pulang?” sapa Hayati ketika sampai di ruang tengah.
Vinara berlari kecil menuju arah Hayati. “lihat, Bu. Aku membawa bunga kesukaan ibu. Tadi saat di jalan aku melihat bunga itu.”
Hayati melihat ke arah tangan kecil Vinara. Tatapannya menyipit. “Benarkah ibu menyukai bunga itu?”
Suasana berubah hening. Vinara dan Arya saling bertukar pandang.
“Apakah ibu tidak menyukai bunga itu? Kata Kakak, ibu pasti suka dengan bunga itu.” Vinara melemparkan pandangan mematikan pada Arya.
Sang Kakak yang tidak diberi kesempatan membela diri pun hanya bisa tersenyum. “Aku bilang ibu menyukai warna ungu. Bunga itu berwarna ungu, jadi ibu pasti menyukainya juga.”
Seketika Hayati menyadari apa maksud kedua buah hatinya. Bukan masalah apa yang mereka bawa pulang dan apa yang dia sukai. Hayati hanya mengerti bahwa kedua anaknya itu sangat mencintainya.
Kepingan di hati Hayati berubah menjadi kekuatan. Bukankah cinta mereka adalah alasan yang sangat layak untuk diperjuangkan. Jika Dimas tidak menginginkan dirinya sebagai istri, maka anak-anaknya tidak boleh menjadi korban dari keadaan. Air mata Hayati nyaris jatuh saat dia mendengar Vinara menepuk bahu Arya.
“Kakak bohong! Kakak harusnya bilang bahwa ibu menyukai warnanya dan bukan bunganya!” Vinara merajuk.
Hayati segera mengambil bunga ungu dari tangan Vinara. “Ibu menyukai bunganya. Dan kakak benar kalau ibu memang menyukai semua hal yang berwarna ungu.”
Vinara menoleh ke arah Hayati begitu juga dengan Arya. Kedua bocah kecil berusia tujuh dan sembilan tahun itu pun tersenyum. Wajah mereka terlihat bangga karena merasa mereka melakukan sesuatu yang benar. Sesuatu yang ibunya sukai. Pertengkaran yang hampir meledak pun akhirnya diselesaikan.
“Ayo cepat, kalian ganti pakaian lalu berkemas. Siapkan beberapa baju dengan tas ransel kalian.” Hayati memberikan perintah sambil membalikkan badan. Dia yakin kali ini dia tidak akan mampu lagi menahan air matanya.
Vinara dan Arya lagi-lagi bertukar pandang. Keduanya seolah bertanya satu sama lain. Namun mereka tidak menemukan jawaban.
“Kita mau ke mana, Bu?’ Arya memberanikan diri bertanya.
Apa yang harus dia jelaskan pada kedua buah hatinya? Mereka masih terlalu kecil untuk mengerti kerusakan yang perlahan tapi pasti sedang terjadi di keluarganya.Hayati menarik nafas panjang. “Kita mau liburan," jawabnya singkat sebelum meneruskan langkah.Kedua anak kecil di belakangnya melihat satu sama lain. Mata mereka berbinar bahagia. Sesaat kemudian mereka berteriak girang.“Yeayyy! Liburan!” Lantang keduanya berjingkrak.Mereka pun berhamburan masuk ke kamar masing-masing untuk menyiapkan barang-barang. Liburan adalah waktu yang telah mereka tunggu. Waktu yang sebenarnya telah dijanjikan oleh orang tua mereka.Ketika kemudian mereka keluar rumah dan melihat Hayati sudah bersiap di di samping mobil taxi online, kedua anak itu pun mengerutkan kening.“Ayah mana, Bu?” tanya Vinara lugu.Hayati memaksa sebuah senyuman muncul di wajahnya. “Nanti ayah menyusul ya.”Setelah mengangguk cepat, kedua buah hati Hayati itu pun masuk ke kursi penumpang belakang. Sementara Hayati memilih dudu
Mata Hayati nyaris keluar dari sarangnya, demi melihat wanita yang sedang satu selimut dengan pria yang masih berstatus suaminya itu.“Marina….” Desisnya nyaris tidak terdengar.Rasa panas menyebar di wajah dan dada Hayati. Pemandangan yang tidak pernah Hayati bayangkan terhampar di depannya. Suami dan sahabatnya berada dalam satu selimut di kamarnya. Mereka dalam keadaan nyaris tanpa busana. Kamar tempat yang seharusnya hanya milik Hayati. Tempat di mana Hayati pernah menguntai harapan tentang bahagia sebuah pernikahan.Melihat keadaan nyaris meledak, Dimas keluar dari selimut. Beruntung pria itu masih menggunakan celana boxer yang menyelamatkan keadaan agar tidak semakin memalukan. Alih-alih menenangkan istrinya, Dimas justru mencengkeram lengan Hayati dan menariknya keluar kamar. Setelah menutup pintu, Dimas menghentakkan tubuh Hayati dengan kasar.“Kenapa kau kembali?!” bentaknya tanpa belas kasihan.Air mata Hayati bahkan enggan turun untuk merespon sikap Dimas padanya. Dia yang b
“Bisa kita bertemu? Saya menemukan sesuatu milik anda yang sepertinya cukup penting,” jelas pria yang sedang berbicara dangan Hayati.Merasa belum mendapat jawaban pasti Hayati sekali lagi bertanya. “Anda siapa?”“Saya dengan Daren, supir taksi online yang ibu pesan beberapa hari lalu. Saya baru menemukan dompet merah di kolong kursi mobil. Saya dapat nomor telp ibu di sana.” Pria itu sepertinya membaca kecurigaan Hayati. Dia berusaha menjelaskan segera.Hayati mencoba mengingat kejadian beberapa hari lalu. Saat dia meninggalkan rumah itu untuk menuju ke rumah ibunya bersama anak2nya, dia memang menggunakan taksi online. Saat itu kondisi Hayati sedang kacau. Dia mungkin tanpa sengaja menjatuhkan barang di taksi online itu.Hayati berusaha mengingat apa isi dompet merah yang jatuh itu. Pastinya isinya bukan uang. Karena itu adalah hal terakhir dan paling sedikit yang dia miliki.“Halo, Ibu.” Suara pria itu memecah kebingungan Hayati. “Apakah saya bisa mengembalikan ke rumah ibu?”Mata H
Sebuah tawaran yang sungguh di luar dugaan Hayati. Tubuh Hayati membeku dan matanya diam terpana melihat ke arah Daren. Dia berharap Daren sekali lagi mengulangi kata-katanya untuk memastikan bahwa dirinya tidak mendengar sesuatu yang salah.Daren melihat Hayati sambil mengerutkan kening. Dia sedang memikirkan ulang apakah ada kata-katanya yang salah diucapkan. Reaksi wanita di depannya itu terlihat datar tanpa ada ekspresi yang bisa dibaca. Hayati hanya diam dan tatapan matanya kosong.“Maaf kalau saya menawarkan sesuatu yang salah. Saya hanya berharap ini bisa menjadi sebuah kerjsama yang baik.” Daren mencoba memperbaiki keadaan.Hiruk pikuk suara café sama sekali tidak bisa mencairkan keadaan di antara mereka. Seolah tenggelam di tengah kesepian, Dimas menunggu Hayati memberikan reaksi.“Ehm! Hayati, kau bisa mengatakan saja jika memang kau tidak setuju.” Daren sekali lagi berusaha memecahkan es di antara mereka.Hayati seperti tersadar dari renungan yang membingungkan. Dia segera
“Menurutmu? Tentu saja tidak! Mana mungkin Tuan Daren memiliki tamu seperti ini.” Sengaja membuat suaranya terdengar semakin sinis, Pertiwi melihat Hayati dengan sudut mata yang tajam.Security yang bersama mereka segera mencengkeram kasar lengan Hayati. Itu membuat Hayati meringis kesakitan. Dia mencoba melepaskan diri, namun tenaganya tentu tidak sebanding dengan security yang bertubuh tinggi besar itu.“Kau mencoba menyusup ke kantor kami! Kenapa orang-orang seperti kalian selalu berusaha menemui orang kaya seperti Tuan Daren?!” Dia sengaja meninggikan suara agar orang-orang di sekitar mereka mendengar keributan yang terjadi. Security itu akan merasa bangga jika dia dianggap sebagai pahlawan yang menyelamatkan perusahaan.Hayati meronta untuk sekali lagi mencoba melepaskan diri. “Tolong, saya bukan penyusup. Daren yang meminta saya untuk datang.”“Daren?! Hah?! Beraninya kau memanggil Tuan Daren hanya dengan nama saja. Apakah kau tidak tahu sy iapa dia?” Mata Security itu seketika
Ekspresi terkejut tampak jelas di wajah Andi. Terlalu banyak hal yang rasanya sulit untuk dia ungkapkan. Tatapan matanya terkunci pada sosok sederhana Hayati.“Itu bukan urusanmu.” Sesingkat itu jawaban yang Andi berikan.Entah bagaimana suara ramah yang tadi terdengar dari Andi seketika hilang. Seperti dua pribadi yang berbeda saat Andi menjelaskan tentang kerjasama mereka dia adalah pria yang ramah. Namun apa yang Hayati lihat beberapa detik lalu, Andi sepertinya tidak suka dengan pertanyaan Hayati.Hayati memutuskan untuk diam. Dalam hati dia sedikit menyesal dengan pertanyaan spontan yang dia ajukan pada Andi. Dia berpikir mungkin Andi melihanya sebagai orang yang selalu ingin tahu tentang urusan orang lain.Dua bulan setelahnya, Hayati mulai merasakan hasil dari kerjasama dengan perusahaan Daren. Makanan kiriman dari ‘Vaya Cake’ selalu laris manis di hotel dan resto perusahaan Daren. Meski secara keuangan Hayati masih berjuang, namun dia tidak merasakan kekurangan.Dibantu oleh A
“Bukankah harta gono gini sudah ada dalam aturan? Bisakah kita mengambil lebih?” Hayati terperangah dengan pertanyaan Linda.Dia yakin Linda pasti akan membantunya, namun dia tidak menyangka bahwa antusias Linda untuk memenangkan perceraian atas dirinya dan Dimas begitu besar.“Anak-anak ada padamu. Tidak ada alasan untuk tidak memenangkan. Lagi pula kau berhak atas apa yang Dimas miliki. Jika nanti Dimas memenangkan semua harta kalian, bisa kau bayangkan apa yang akan dia lakukan pada harta itu?” Linda menatap tajam pada Hayati.Hayati membalas tatapan Linda dengan pandangan yang tidak kalah tajam. Tentu saja dia tahu apa yang akan Dimas lakukan pada harta mereka. Bahkan ketika mereka masih bersama, Dimas lebih senang menghabiskan uang untuk bersenang-senang. Beberapa kali Dimas pulang dalam keadaan mabuk.Dimas juga selalu membeli barang mahal untuk dirinya sendiri, namun sangat perhitungan untuk Hayati dan anak-anak mereka. Jabatan dan kekayaan yang Dimas miliki telah mengubah Dima
“Aku tidak akan mengijinkan orang melakukan kekerasan apa pun lagi padaku. Tidak lagi. Aku sudah mengirimkan bukti kekerasan yang Dimas lakukan dan sudah kukirimkan padamu.” Suara Hayati terdengar berat dan bergetar saat dia menjelaskan semuanya pada Linda.“Apakah kau yakin ingin melakukan ini? Dia adalah bapak dari anak-anakmu. Kasus kekerasan adalah perkara pidana, dan risikonya mungkin saja hukuman penjara.” Linda menjelaskan.Hayati memikirkan apa yang Linda katakan. Wajah Dimas terbayang di benaknya. Itu adalah pria yang pernah dia cintai. Walau perasaannya pada pria itu sudah berubah, apa yang Linda katakan benar. Pria itu adalah bapak dari anak-anaknya. Jika Dimas dipenjara, entah apa yang akan anak-anaknya rasakan. Lebih lagi apa yang akan orang lain pikirkan tentang dirinya. Seorang istri yang menjebloskan suaminya sendiri ke penjara. Bukankah itu terdengar menyedihkan? Pemikiran yang membuat Hayati tidak bergeming.“Setiap orang perlu mendapatkan pelajaran. Agar mereka meng