Share

Sang Pengkhianat

Mata Hayati nyaris keluar dari sarangnya, demi melihat wanita yang sedang satu selimut dengan pria yang masih berstatus suaminya itu.

“Marina….” Desisnya nyaris tidak terdengar.

Rasa panas menyebar di wajah dan dada Hayati. Pemandangan yang tidak pernah Hayati bayangkan terhampar di depannya. Suami dan sahabatnya berada dalam satu selimut di kamarnya. Mereka dalam keadaan nyaris tanpa busana. Kamar tempat yang seharusnya hanya milik Hayati. Tempat di mana Hayati pernah menguntai harapan tentang bahagia sebuah pernikahan.

Melihat keadaan nyaris meledak, Dimas keluar dari selimut. Beruntung pria itu masih menggunakan celana boxer yang menyelamatkan keadaan agar tidak semakin memalukan. Alih-alih menenangkan istrinya, Dimas justru mencengkeram lengan Hayati dan menariknya keluar kamar. Setelah menutup pintu, Dimas menghentakkan tubuh Hayati dengan kasar.

“Kenapa kau kembali?!” bentaknya tanpa belas kasihan.

Air mata Hayati bahkan enggan turun untuk merespon sikap Dimas padanya. Dia yang biasanya hanya bisa mengalah dan diam dengan semua yang Dimas lakukan, kali ini tidak lagi sama. Hayati segera bangkit dari posisinya dan berdiri tepat di hadapan Dimas.

“Jadi, Marina calon istri keduamu? Wanita yang juga sahabatku? Kenapa kau lakukan ini? Kenapa harus Marina?” pertanyaan Hayati memberondong Dimas.

Tanpa rasa bersalah, Dimas tersenyum miring menanggapi Hayati. “Marina cantik. Kalian dari kampung yang sama, tapi Marina adalah wanita yang sangat ambisius. Kau lihat kan, perbedaan di antara kalian sekarang? Marina lebih modern, pintar dan ya… dia layak untuk menjadi wanita yang berjalan di sampingku.”

Segenggam tangan meremas hati Hayati tanpa ampun. Marina adalah sahabat kecilnya. Beberapa tahun setelah Hayati dan Dimas memutuskan untuk merantau di ibukota, Marina meminta ijin untuk ikut bersama mereka. Dengan kecantikan yang dimiliki Marina, hanya satu bulan kemudian, dia pun mendapatkan pekerjaan. Marina keluar dari rumah Dimas dan Hayati untuk tinggal di kontrakannya sendiri.

Sejak saat itu mereka jarang berkomunikasi. Pekerjaan Marina membuatnya sibuk. Hanya sesekali Hayati dan Marina bertukar kabar lewat chat dan telepon. Sampai beberapa bulan lalu, Marina mendatangi lagi rumah Dimas dan Hayati dengan alasan merindukan sahabatnya itu.

Perubahan Marina sangat signifikan. Dia bukan lagi Marina gadis kampung yang polos dan lugu. Marina sudah menjelma menjadi wanita modern, cantik dan modis. Pertemuan yang sama sekali tidak membuat Hayati curiga. Ternyata pertemuan itulah yang menjadi awal hubungan Dimas dan Marina. Kecantikan Marina membuat Dimas terpesona dan memiliki hubungan jauh dengan sahabat istrinya itu.

Bagi Dimas, sudah terlambat untuk menyembunyikan apa pun. Hayati sudah melihat langsung semuanya. Lain halnya dengan Hayati, ini adalah sebuah tamparan telak baginya. Bahwa orang-orang yang paling dia percaya pada akhirnya adalah orang-orang yang memberikan luka begitu dalam padanya.

“Tentu saja Marina cantik. Dia adalah seorang pekerja di bar. Wanita yang bekerja di dunia malam seperti itu, pasti cantik. Tapi, apakah dia layak untuk dijadikan istri? Apakah menurutmu dia lebih baik dariku? Kamu yakin kalau kamu adalah pria satu-satunya yang pernah menyentuh Marina?” Suara Hayati berhamburan dalam getaran kemarahan.

Mendengar kata-kata Hayati yang merendahkan Marina, Dimas tak urung tersulut amarah. Tangannya terangkat dan siap mengayun ke wajah Hayati. Namun tepat di detik terakhir, tangan Hayati dengan cekatan menangkis tangan Dimas.

Mata Dimas melotot karena terkejut. Entah sejak kapan Hayati berani melakukan perlawanan. Selama ini Hayati selalu menerima apa pun yang Dimas lakukan padanya. Entah dengan alasan memberikan rasa hormat sebagai suami atau ketakutan.

“Berhenti, Mas! Cukup! Tidak ada akan pernah kuijinkan lagi kau menyakitiku. Jika kau memang ingin menikahi Marina, aku persilahkan. Kau ingin kita bercerai kan? Baiklah, aku setuju. Aku datang untuk mengambil dokumen dan barang pribadiku.” Hayati menyentak tangan Dimas.

Wajah Hayati yang berkilatan keberanian tampaknya membuat nyali Dimas sedikit ciut. Saat Hayati membalikkan bdan untuk menuju ke kamar tidur mereka, Dimas sama sekali tidak menghalangi. Di dalam kamar, Hayati melihat Marina duduk di tepi ranjang. Kali ini dalam pemandangan yang lebih pantas.

Wanita itu sudah memakai baju lengkap walau penampilannya masih berantakan. Dia berdiri dan bersiap ketika melihat Hayati memasuki kamar. Marina mengira Hayati akan melakukan sesuatu padanya. Di luar dugaan, Hayati sama sekali tidak mengindahkan keberadaan Marina. Dia bergegas menuju salah satu lemari. Hayati mengeluarkan sebuah koper besar. Dengan cepat dia mulai memasukkan barang-barang dan dokumen yang dia butuhkan secara asal.

Setelahnya dia berdiri melihat Marina. “Kau adalah orang yang sangat kupercaya. Lebih dari apa pun kau adalah sahabatku. Orang tua kita di kampung halaman bahkan sudah seperti saudara. Jika wanita yang bersama Dimas adalah orang lain, mungkin lukaku tidak akan sedalam ini. Selalu ada harga yang harus dibayar atas sebuah kesalahan, Marina.”

Bulu kuduk Marina merinding. Lehernya tercekat, dia menelan ludah untuk menyembunyikan rasa gugupnya. Suara Hayati terdengar seperti ancaman pembunuhan baginya. Namun bagi Marina, tidak ada jalan untuk mundur. Semua sudah terlanjur terjadi. Dia dan Dimas sudah mengukir mimpi untuk sebuah hidup baru yang mereka harapkan.

Satu-satunya cara bagi Marina adalah membela diri dengan alasan terkonyol sekali pun. “Itu salahmu. Kau tidak bisa menjadi istri seperti yang Dimas harapkan. Ya, tampaknya kau benar, ini hanyalah sebuah kesialan bahwa wanita yang Dimas lihat itu adalah aku. Tapi, kalau pun bukan aku, percayalah, Dimas akan tetap memilih wanita lain. Karena dia memerlukan istri yang layak untuknya.”

Berusaha meneguhkan hati dan menegarkan berdirinya, Hayati tersenyum pedih. “Semua karma berlaku di dunia ini, Marina. Aku percaya bahwa semua kebaikan yang kulakukan sebagai istri Dimas tidak akan pernah sia-sia.”

Hayati menutup kata-katanya. Dia mendorong koper besar itu keluar dari kamar. Tepat di pintu kamar, Hayati berpapasan dengan Dimas. Kening Dimas berkerut karena melihat koper besar yang Hayati bawa.

“Kita belum menetapkan harta untuk dibagi dan kau sudah mencoba membawa begitu banyak hal dari rumah ini?” tanya Dimas curiga.

Telinga Hayati memerah. Suaminya itu terdengar sangat memuakkan. Pikiran Hayati mulai mempertanyakan kenapa dia pernah tertarik pada pria seperti Dimas. Entah bagaimana Dimas membuatnya jatuh cinta pada masa itu.

“Anak-anak bersamaku. Mereka membutuhkan dokumen untuk kepindahan sekolah,” jawab Hayati singkat.

Dimas melipat kedua tangannya di dada. Hayati memang sedikit berubah, itu bisa Dimas rasakan namun tidak berani untuk dia akui. Dimas memutuskan untuk meninggikan tensi agar Hayati kembali goyah.

“Aku rasa semua yang ada di rumah ini dan aset yang kita miliki adalah hasil kerja kerasku. Tidak adil jika kita harus membaginya.” Dimas memberikan pernyataan.

Dering ponsel Hayati tidak memberinya kesempatan untuk mendebat Dimas. Hayati memandang layar ponsel. Sebuah nomor asing dengan panggilan masuk di sana. Dia menerima panggilan masuk itu, sementara Dimas hanya menatapnya tanpa kata.

“Nyonya Hayati Mahfud?” tanya suara seorang pria dari seberang sambungan telepon.

Hayati mencoba mengenali suara itu namun gagal. “Betul, dengan siapa?”

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status