Share

Sebuah Tawaran

“Bisa kita bertemu? Saya menemukan sesuatu milik anda yang sepertinya cukup penting,” jelas pria yang sedang berbicara dangan Hayati.

Merasa belum mendapat jawaban pasti Hayati sekali lagi bertanya. “Anda siapa?”

“Saya dengan Daren, supir taksi online yang ibu pesan beberapa hari lalu. Saya baru menemukan dompet merah di kolong kursi mobil. Saya dapat nomor telp ibu di sana.” Pria itu sepertinya membaca kecurigaan Hayati. Dia berusaha menjelaskan segera.

Hayati mencoba mengingat kejadian beberapa hari lalu. Saat dia meninggalkan rumah itu untuk menuju ke rumah ibunya bersama anak2nya, dia memang menggunakan taksi online. Saat itu kondisi Hayati sedang kacau. Dia mungkin tanpa sengaja menjatuhkan barang di taksi online itu.

Hayati berusaha mengingat apa isi dompet merah yang jatuh itu. Pastinya isinya bukan uang. Karena itu adalah hal terakhir dan paling sedikit yang dia miliki.

“Halo, Ibu.” Suara pria itu memecah kebingungan Hayati. “Apakah saya bisa mengembalikan ke rumah ibu?”

Mata Hayati bertemu dengan mata Dimas yang masih berdiri angkuh di depannya. Sebuah ide tiba-tiba muncul begitu saja di kepala Hayati. Ide gila yang nyaris tidak pernah ada di dalam pikirannya.

“Kita bertemu di café. Senang sekali akhirnya kamu punya waktu untuk bertemu denganku. Kenapa kamu baru menghubungiku sekarang?” nada lembut Hayati saat berbicara dengan pria di ujung sambungan tak ayal membuat Dimas terbelalak.

Belum pernah sekali pun Dimas mendengar Hayati berbicara dengan gaya bicara segenit itu. Hayati yang Dimas kenal adalah Hayati yang lugu, apa adanya dan setia. Dimas yakin bahwa dia adalah satu-satunya pria yang pernah mengisi hati Hayati.

Kegelisahan Dimas terbaca jelas oleh Hayati. Di antara kacau balau perasaan yang sedang dia alami, Hayati berusaha mengambil kendali. Satu senyuman Hayati menjadi senjata terakhir untuk membuat Dimas akhirnya hanya bisa menatap kepergian wanita yang hampir menjadi mantan istrinya itu.

“Sampai ketemu di sana, Daren.” Hayati menutup pembicaran dengan Daren dan melangkah pergi meninggalkan rumah yang selama ini telah dianggapnya sebagai istana.

Pandangan mata Dimas yang sedang bergelut dengan kebingungan mengikuti langkah Hayati yang menghilang di balik pintu.

Setengah jam kemudian Hayati tiba di sebuah café yang berada di tengah sebuah gedung perkantoran. Beberapa orang yang berpenampilan rapi layaknya para pekerja kantoran sedang duduk di sana. Hayati ingin mengutuk dirinya sendiri. Entah kenapa dia setuju untuk bertemu di tempat itu. Hayati melihat dirinya sendiri. Dengan celana hitam yang kebesaran, sebuah kemeja lengan panjang berwarna kuning dan rambut diikat asal ke belakang, wajah cantik hayati nyaris tidak bisa dikenali. Dia berdiri di teras café dengan perasaan minder memenuhi dirinya. Hayati diselimuti perasaan ragu apakah dia pantas untuk masuk ke dalam café itu.

“Ibu Hayati?” sebuah suara menyapa dari samping. Karena sibuk merenung, Hayati tidak menyadari bahwa seseorang mendekat ke arahnya.

Memaksakan sebuah senyuman kaku, Hayati mengangguk ragu. “Betul. Anda… Daren?” Matanya memindai pria yang berdiri di depannya.

Daren sama sekali jauh dari apa yang Hayati pikirkan tentang seorang supir taksi online. Hari itu, saat Hayati memesan taksi online yang dikendarai Daren, dia sedang dalam keadaan yang buruk. Hayati sama sekali tidak mengingat seperti apa supir taksi yang dia kendarai. Hayati terlalu sibuk untuk mengusap air matanya saat di dalam mobil.

Satu-satunya yang bisa Hayati ingat, mobil itu bukan mobil jenis biasa yang digunakan sebagai taksi online. Mobil itu terlalu mewah untuk menjadi taksi online. Tapi, Hayati tidak memikirkannya lagi setelah dia turun dari taksi online saat itu. Dia hanya ingin segera sampai ke rumah ibunya. Siapa sangka ternyata ada sebuah alasan untuk Hayati kembali dipertemukan dengan Daren.

Daren mengulurkan sebuah dompet merah yang Hayati kenal betul bahwa itu adalah dompet miliknya.

“Maaf, saya terpaksa membuka dompet itu untuk menemukan identitas anda.” Suara Daren terdengar berat dan sopan.

Hayati merasa semakin canggung. Dia dengan ragu mengulurkan tangan untuk menerima dompet itu. Penampilan Daren yang rapi, memperlihatkan bahwa dia adalah seorang pekerja kantoran. Belum lagi wajahnya yang terlihat bersih dibingkai rambut hitam pekat, membuat Daren memiliki pesona yang sulit untuk dielakkan. 

“Te-terima kasih.” Sepatah kata yang susah payah Hayati keluarkan dari tenggorokan.

Senyum tulus Daren seolah mengerti apa yang Hayati rasakan. “Sama-sama.”

“Baiklah, saya permisi.” Hayati mengangguk dan membalikkan badan bersiap untuk pergi.

“Tunggu. Saya menemukan nomor telp ibu dari sticker yang ada di dalam dompet itu. Pasti itu adalah sticker untuk kemasan makanan. Karena jumlahnya sangat banyak. Apakah ibu memiliki bisnis catering atau sejenisnya?”

Tentu saja, Hayati tahu itu adalah sticker yang dia pesan untuk ditempelkan di kemasan kue-kue buatannya. Mengingat bisnis kue yang selama ini dia jalani, Hayati mengulas senyum. Entah bagaimana bisnis kecil itu selalu menjadi salah satu alasan Hayati untuk bahagia. Bisnis yang dia lakukan karena dia memang menyukai kegiatan membuat kue dan makanan. Salah satu keahlian Hayati yang sering mendapat pujian dari banyak orang termasuk Dimas.

“Bukan catering, saya membuat kue dan jajanan pasar,” jawabnya malu-malu.

“Saya ingin menawarkan kerjasama jika ibu berkenan.” Daren melanjutkan pembicaraan.

Mata Hayati berbinar. Sebuah tawaran kerjasama yang sudah lama Hayati harapkan. Walau banyak orang yang memuji kue buatannya, namun Dimas tidak pernah mengijinkan Hayati untuk memasarkan lebih jauh. Dimas merasa malu dengan usaha kecil yang Hayati lakukan. Karena itulah Hayati hanya memasarkan kue-kue buatannya di warung-warung sarapan pagi.

Jantung Hayati berdegup kencang. Meski antusias, Hayati tetap waspada. Dia baru saja mengenal Daren dan belum tahu siapa pria yang ada di depannya ini.

“Tawaran kerjasama apa?” tanya Hayati perlahan.

Daren melihat sekeliling sekilas. Mereka masih berdiri di teras café. Matanya beralih pada bagian dalam café. Beberapa meja mulai kosong karena pengunjungnya sudah selesai dan keluar meninggalkan café.

Daren membuka pintu café. “Kita bicara di dalam?” Dia mempersilahkan Hayati masuk ke dalam café.

Hayati terlihat ragu, namun dia melangkah ke dalam café. Aroma wangi kopi menyambut mereka. Café dengan interior dominan kayu itu terlihat sangat nyaman untuk duduk. Lirih senandung musik jazz terdengar di sudut-sudut ruangan.

Daren dan Hayati duduk berhadapan. Setelah memesan makanan dan minuman, Daren mengeluarkan sebuah kartu nama dari kantong kemeja yang dia kenakan. Dia menyodorkan kartu nama itu dia atas meja ke arah Hayati.

‘Daren Anggara Haryanto’, nama Daren tertera di sana. Berikut juga nama perusahaan dan alamat perusahaan yang Hayati tebak itu adalah tempat Daren bekerja.

“Perusahaan kami mengelola hotel, restaurant dan beberapa café. Kami menyediakan makanan modern tentu saja. Namun, kami juga mengkombinasikan dengan makanan tradisional. Bisakah ibu Hayati menjadi menjadi supplier tetap untuk hotel, restaurant dan café kami?”

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status