“Menurutmu? Tentu saja tidak! Mana mungkin Tuan Daren memiliki tamu seperti ini.” Sengaja membuat suaranya terdengar semakin sinis, Pertiwi melihat Hayati dengan sudut mata yang tajam.
Security yang bersama mereka segera mencengkeram kasar lengan Hayati. Itu membuat Hayati meringis kesakitan. Dia mencoba melepaskan diri, namun tenaganya tentu tidak sebanding dengan security yang bertubuh tinggi besar itu.
“Kau mencoba menyusup ke kantor kami! Kenapa orang-orang seperti kalian selalu berusaha menemui orang kaya seperti Tuan Daren?!” Dia sengaja meninggikan suara agar orang-orang di sekitar mereka mendengar keributan yang terjadi. Security itu akan merasa bangga jika dia dianggap sebagai pahlawan yang menyelamatkan perusahaan.
Hayati meronta untuk sekali lagi mencoba melepaskan diri. “Tolong, saya bukan penyusup. Daren yang meminta saya untuk datang.”
“Daren?! Hah?! Beraninya kau memanggil Tuan Daren hanya dengan nama saja. Apakah kau tidak tahu sy iapa dia?” Mata Security itu seketika membelalak mendengar Hayati menyebut nama Daren.
Hayati menggeleng dengan raut wajah kebingungan. Sambil melihat sekeliling di mana orang-orang yang merupakan karyawan gedung itu memperhatikan mereka. Matanya menyiratkan ketakutan dan bibirnya bergetar. Tanpa dia tahu kenapa orang-orang terlihat khawatir saat dia menyebutkan nama Daren.
“Sudahlah! Ayo, keluarlah dari gedung ini. Jangan banyak berdrama. Kau bukan orang pertama yang melakukan hal seperti ini.” Security itu mulai menarik lengan Hayati dan menyeretnya keluar dari lobby gedung menuju ke pintu utama. Hayati tidak melawan lagi. Dia membiarkan dirinya diseret tanpa belas kasihan di bawah tatapan mata orang-orang yang memandang sinis pada mereka.
“Lepaskan!” suara seorang pria memecah keributan yang sedang terjadi. Langkah kaki security itu pun terhenti. Setiap mata yang ada di lobby utama gedung melihat ke arah asal suara.
Seorang pria dengan setelan jas hitam formal berdiri di depan pintu lift VVIP yang berada tidak jauh dari pintu lobby utama. Pria paruh baya itu berjalan lurus ke arah mereka. Walau usianya sudah melewati angka empat puluh, terlihat jelas bahwa pria itu masih dalam kondisi prima.
Tatapan matanya tajam dan raut wajahnya memperlihatkan ekspresi tidak suka pada kejadian yang ada di depannya. Security yang mencengkeram lengan Hayati memperlihatkan ekspresi bingung. Dia berusaha untuk memperjelas apakah pria ini memberikan instruksi untuk melepaskan penyusup yang berusaha masuk ke gedung mereka?
“Lepaskan.” Instruksi berikutnya muncul dari pria itu ketika dia sudah berada di dekat Sang Security dan juga Hayati.
“Ma-maaf Pak Andi, tapi… wanita ini mencoba untuk menyusup. Dia mengaku diundang Tuan Daren untuk bertemu. Wanita ini ma-“
“Lepaskan!” satu bentakan dari pria itu membuat Sang Security seketika melepaskan cengkeramannya dari lengan Hayati.
Mereka yang ada di lobby gedung saling melihat satu sama lain. Mereka semakin bingung dengan apa yang sedang terjadi. Selain kebingungan ada juga ekspresi ketakutan di wajah mereka.
Andi berjalan mendekati Hayati. “Silahkan ikuti saya, Hayati. Tuan Daren sudah menunggu anda.”
Saat melewati security yang bersikap kasar pada Hayati, Andi menghentikan langkah. "Perusahaan ini tidak pernah mengijinkan karyawannya bersikap buruk pada seseorang. Apalagi di lingkungan perusahaan. Kau boleh menghadap HRD sekarang dan serahkan seragammu pada mereka."
Seketika wajah security itu pucat pasi. "Tapi... Pak Andi, saya hanya sedang melakukan tugas untuk mengamankan perusahaan."
"Dengan cara bersikap kasar pada orang yang datang baik-baik?" Andi enggan berdebat lagi dan dia meneruskan langkah.
Security itu sepertinya tahu bahwa keputusan Andi tidak akan bisa diganggu gugat. Dia memutuskan diam. Bahkan ketika Hayati melintas di depannya, security itu hanya bisa menunduk takut. Berbeda dengan sikap yang dia tunjukkan beberapa menit sebelumnya.
Sambil mengusap lengannya yang terasa sakit, Hayati mengangguk sekali dan perlahan mengikuti langkah Anda menuju lift VVIP di mana Andi keluar dari sana sebelumnya. Ketika dia melewati meja resepsionis, gadis resepsionis yang tadi bersikap sini padanya seketika berubah menjadi manis. Dia tersenyum ramah pada Hayati. Sebagai balasan, Hayati tersenyum tipis dan mempercepat langkah.
Dengan sopan Andi mempersilahkan Hayati memasuki lift dan dia mengikuti setelahnya. Andi berdiri di sebelah Hayati.
“Apakah kau sudah lama mengenal Tuan Daren?” tanya Andi ketika mereka berdiri di dalam lift.
Hayati melihat bayangan mereka berdua di dalam dinding kaca lift. Andi adalah pria yang berwibawa. Dilihat dari caranya berbicara, dia memiliki pembawaan yang bijaksana. Orang akan merasa segan untuk berdebat dengannya.
Dengan kedua tangan di depan dan saling meremas satu sama lain, Hayati memberanikan diri menjawab pertanyaan Andi. Dia menggeleng perlahan. Entah bagaimana jantungnya berdegup cepat. Nalurinya mengatakan bahwa dia tidak sedang berhadapan dengan orang biasa.
“Kami baru kenal,” jawab Hayati singkat.
Sekilas Hayati melihat Andi melihat ke arahnya. Segera dia menundukkan kepala untuk menghindari tatapan Andy. Entah bagaimana Hayati merasa Andi tersenyum tipis saat dia melihatnya.
Lift berhenti di lantai delapan. Andi melangkah keluar diikuti oleh Hayati yang berjalan gugup di belakangnya. Mereka menuju ke sebuah ruangan yang tidak jauh dari lift.
Andi membuka pintu setelah mengangguk pada seorang wanita muda yang duduk di depan ruangan. Dengan jantung berdebar cepat, Hayati mengikuti Andi masuk ke dalam ruangan. Dia melihat Andi duduk di belakang sebuah meja besar.
“Hi, Hayati. Kau sudah datang? Silahkan duduk.” Daren mempersilahkan Hayati sambil menunjuk sebuah kursi yang ada di depannya. Dia juga mengangguk pada Andi untuk mempersilahkannya duduk di kursi sebelah Hayati.
Tanpa berkata-kata Hayati duduk di kursi. Dia bahkan tidak berani menatap Daren. Entah karena apa Hayati merasa bahwa Daren memiliki aura yang sangat elegan dan berkharisma. Di dukung oleh ruangan dengan deluxe interior bernuansa hitam dan putih.
“Kita akan meneruskan pembicaraan kemarin. Kita akan memulai kerjasama yang sudah kutawarkan padamu. Tapi, aku tidak bisa mengurus semuanya sendiri. Jadi Anda akan mengurus semuanya. Apa pun yang kau perlukan untuk mulai berkontribusi pada perusahaan kami, bisa kau bicarakan dengan Andi.” Daren menjelaskan dengan ramah.
Kata-kata yang mengalir dari Daren membuat Hayati sedikit lebih tenang. Nada suara yang ramah dan sama seperti Daren yang pernah dia temui sebelumnya.
“Baik, terima kasih,” jawab Hayati singkat sambil memberanikan diri mendongakkan wajah untuk melihat ke arah Daren.
Daren tersenyum ketika tatapan matanya bertemu dengan mata Hayati. Lalu dia mengalihkan pandangan pada Andi dan mengangguk. Andi mengangguk sebagai jawaban. Seperti kode yang telah mereka mengerti satu sama lain.
Andi berdiri dan mengamit Hayati. “Ikutlah denganku. Aku akan menjelaskan semuanya. Akan ada perjanjian kerjasama yang harus kita sepakati sebagai partner bisnis.”
Segera Hayati berdiri. Entah bagaimana dia merasa lega karena sebentar lagi bisa segera keluar dari ruangan Daren. Pesona Daren memberikan tekanan tersendiri di hati Hayati. Bisa keluar dari sana adalah sebuah hal yang melegakan.
“Saya permisi,” ucap Hayati pelan lalu membalikkan badan untuk mengikuti Andi.
“Hayati.” Tiba-tiba Daren memanggil. Hayati membalikkan badan untuk melihat Daren, begitu pula Andi. Daren melanjutkan kata-katanya. “Kau adalah partner bisnis perusahaan kami. Bukan karyawan gajian, bersikaplah seperti partner bisnis. Jangan ada rasa segan. Jika ada hal-hal yang tidak bisa kau sepakati sampaikan saja pada kami.”
Hayati melihat ke arah Andi sesaat sebelum akhirnya mengangguk. “Baik,” ucapnya singkat.
Andi dan Hayati keluar dari ruangan Daren menuju ke ruangan lain yang lebih kecil. Di sana Andi menjelaskan berbagai hal pada Hayati tentang kerjasama yang akan mereka lakukan. Penjelasan sederhana dan bersahabat yang membuat Hayati merasa nyaman.
Penjelasan mudah dari Andi membuat Hayati mudah untuk mengerti dan memahami. Dalam banyak hal Hayati merasa diuntungkan dengan kerjasama mereka. Tidak berpikir buruk, Hayati mengira Daren mungkin memang ingin menolongnya karena keadaannya yang menyedihkan.
Beberapa saat ragu, Hayati akhirnya memberanikan diri menyampaikan pertanyaan pada Andi tentang apa yang sejak tadi dia pikirkan.
“Pak Andi, siapakah Daren sebenarnya?”
Ekspresi terkejut tampak jelas di wajah Andi. Terlalu banyak hal yang rasanya sulit untuk dia ungkapkan. Tatapan matanya terkunci pada sosok sederhana Hayati.“Itu bukan urusanmu.” Sesingkat itu jawaban yang Andi berikan.Entah bagaimana suara ramah yang tadi terdengar dari Andi seketika hilang. Seperti dua pribadi yang berbeda saat Andi menjelaskan tentang kerjasama mereka dia adalah pria yang ramah. Namun apa yang Hayati lihat beberapa detik lalu, Andi sepertinya tidak suka dengan pertanyaan Hayati.Hayati memutuskan untuk diam. Dalam hati dia sedikit menyesal dengan pertanyaan spontan yang dia ajukan pada Andi. Dia berpikir mungkin Andi melihanya sebagai orang yang selalu ingin tahu tentang urusan orang lain.Dua bulan setelahnya, Hayati mulai merasakan hasil dari kerjasama dengan perusahaan Daren. Makanan kiriman dari ‘Vaya Cake’ selalu laris manis di hotel dan resto perusahaan Daren. Meski secara keuangan Hayati masih berjuang, namun dia tidak merasakan kekurangan.Dibantu oleh A
“Bukankah harta gono gini sudah ada dalam aturan? Bisakah kita mengambil lebih?” Hayati terperangah dengan pertanyaan Linda.Dia yakin Linda pasti akan membantunya, namun dia tidak menyangka bahwa antusias Linda untuk memenangkan perceraian atas dirinya dan Dimas begitu besar.“Anak-anak ada padamu. Tidak ada alasan untuk tidak memenangkan. Lagi pula kau berhak atas apa yang Dimas miliki. Jika nanti Dimas memenangkan semua harta kalian, bisa kau bayangkan apa yang akan dia lakukan pada harta itu?” Linda menatap tajam pada Hayati.Hayati membalas tatapan Linda dengan pandangan yang tidak kalah tajam. Tentu saja dia tahu apa yang akan Dimas lakukan pada harta mereka. Bahkan ketika mereka masih bersama, Dimas lebih senang menghabiskan uang untuk bersenang-senang. Beberapa kali Dimas pulang dalam keadaan mabuk.Dimas juga selalu membeli barang mahal untuk dirinya sendiri, namun sangat perhitungan untuk Hayati dan anak-anak mereka. Jabatan dan kekayaan yang Dimas miliki telah mengubah Dima
“Aku malu punya istri sepertimu! Jualan kue dan bergaul dengan ibu-ibu kampungan!” Dimas mengangkat kotak bening berisi kue buatan Hayati dan melemparnya ke lantai.Isi kotak pun berhamburan bersamaan dengan tangisan hayati. Dia menguatkan diri untuk memungut lagi satu per satu kue-kue tradisional yang dibuatnya sejak pagi buta.“Kue-kue ini tidak salah, Mas. Ini halal dan menghasilkan uang.” Walau suaranya terdengar bergetar, Hayati mencoba untuk memberi penjelasan pada Dimas, suaminya.Dimas menarik rambut hayati dan memaksanya berdiri. Kotak kue yang sudah Hayati kumpulkan pun kembali jatuh berantakan, karena tangannya mencoba untuk melepaskan cengkeraman Dimas dari rambutnya.“Lepaskan, Mas! Sakit!” Hayati merintih tapi tidak menjerit.Dia tidak ingin tetangga sekitar rumah mereka yang terletak di komplek mendengar keributan. Dimas akan sangat malu jika itu sampai terjadi. Selama ini Dimas selalu meminta Hayati untuk menampilkan keluarga mereka sebagai keluarga yang ideal. Baik d
Langkah Dimas terhenti. Anak-anak? Ingatannya melayang pada Vinara dan Arya. Entah bagaimana, Dimas justru merasa kesal saat mengingat mereka. Jika bukan karena kedua anak itu, pastilah dia sudah sejak lama mendapatkan kebebasan. Dia mungkin telah menceraikan Hayati tanpa perhitungan dan memilih wanita lain yang dia sukai.Anak-anak itu bukan lagi alasan Dimas untuk bekerja keras, sekarang. Dimas merasa karir dan keberhasilan yang sekarang dicapainya adalah kesempatan mewujudkan kebahagiaan pribadi sebagai pria yang sudah sejak lama Dimas idamkan dalam diam. Namun, bagaimana pun dia tidak bisa mengabaikan bahwa Arya dan Vinara telah hadir dalam pernikahannya sebagai anak mereka. Dimas menarik nafas. “Anak-anak akan baik-baik saja. Aku akan bicara dengan mereka bahwa mereka akan memiliki ibu baru yang lebih baik. Ibu yang akan mengajarkan mereka kehidupan yang lebih modern dan berpenampilan layak.”Seketika mata Hayati terbelalak lebar. Wajahnya memerah, telinganya mencoba berdusta bah
Apa yang harus dia jelaskan pada kedua buah hatinya? Mereka masih terlalu kecil untuk mengerti kerusakan yang perlahan tapi pasti sedang terjadi di keluarganya.Hayati menarik nafas panjang. “Kita mau liburan," jawabnya singkat sebelum meneruskan langkah.Kedua anak kecil di belakangnya melihat satu sama lain. Mata mereka berbinar bahagia. Sesaat kemudian mereka berteriak girang.“Yeayyy! Liburan!” Lantang keduanya berjingkrak.Mereka pun berhamburan masuk ke kamar masing-masing untuk menyiapkan barang-barang. Liburan adalah waktu yang telah mereka tunggu. Waktu yang sebenarnya telah dijanjikan oleh orang tua mereka.Ketika kemudian mereka keluar rumah dan melihat Hayati sudah bersiap di di samping mobil taxi online, kedua anak itu pun mengerutkan kening.“Ayah mana, Bu?” tanya Vinara lugu.Hayati memaksa sebuah senyuman muncul di wajahnya. “Nanti ayah menyusul ya.”Setelah mengangguk cepat, kedua buah hati Hayati itu pun masuk ke kursi penumpang belakang. Sementara Hayati memilih dudu
Mata Hayati nyaris keluar dari sarangnya, demi melihat wanita yang sedang satu selimut dengan pria yang masih berstatus suaminya itu.“Marina….” Desisnya nyaris tidak terdengar.Rasa panas menyebar di wajah dan dada Hayati. Pemandangan yang tidak pernah Hayati bayangkan terhampar di depannya. Suami dan sahabatnya berada dalam satu selimut di kamarnya. Mereka dalam keadaan nyaris tanpa busana. Kamar tempat yang seharusnya hanya milik Hayati. Tempat di mana Hayati pernah menguntai harapan tentang bahagia sebuah pernikahan.Melihat keadaan nyaris meledak, Dimas keluar dari selimut. Beruntung pria itu masih menggunakan celana boxer yang menyelamatkan keadaan agar tidak semakin memalukan. Alih-alih menenangkan istrinya, Dimas justru mencengkeram lengan Hayati dan menariknya keluar kamar. Setelah menutup pintu, Dimas menghentakkan tubuh Hayati dengan kasar.“Kenapa kau kembali?!” bentaknya tanpa belas kasihan.Air mata Hayati bahkan enggan turun untuk merespon sikap Dimas padanya. Dia yang b
“Bisa kita bertemu? Saya menemukan sesuatu milik anda yang sepertinya cukup penting,” jelas pria yang sedang berbicara dangan Hayati.Merasa belum mendapat jawaban pasti Hayati sekali lagi bertanya. “Anda siapa?”“Saya dengan Daren, supir taksi online yang ibu pesan beberapa hari lalu. Saya baru menemukan dompet merah di kolong kursi mobil. Saya dapat nomor telp ibu di sana.” Pria itu sepertinya membaca kecurigaan Hayati. Dia berusaha menjelaskan segera.Hayati mencoba mengingat kejadian beberapa hari lalu. Saat dia meninggalkan rumah itu untuk menuju ke rumah ibunya bersama anak2nya, dia memang menggunakan taksi online. Saat itu kondisi Hayati sedang kacau. Dia mungkin tanpa sengaja menjatuhkan barang di taksi online itu.Hayati berusaha mengingat apa isi dompet merah yang jatuh itu. Pastinya isinya bukan uang. Karena itu adalah hal terakhir dan paling sedikit yang dia miliki.“Halo, Ibu.” Suara pria itu memecah kebingungan Hayati. “Apakah saya bisa mengembalikan ke rumah ibu?”Mata H
Sebuah tawaran yang sungguh di luar dugaan Hayati. Tubuh Hayati membeku dan matanya diam terpana melihat ke arah Daren. Dia berharap Daren sekali lagi mengulangi kata-katanya untuk memastikan bahwa dirinya tidak mendengar sesuatu yang salah.Daren melihat Hayati sambil mengerutkan kening. Dia sedang memikirkan ulang apakah ada kata-katanya yang salah diucapkan. Reaksi wanita di depannya itu terlihat datar tanpa ada ekspresi yang bisa dibaca. Hayati hanya diam dan tatapan matanya kosong.“Maaf kalau saya menawarkan sesuatu yang salah. Saya hanya berharap ini bisa menjadi sebuah kerjsama yang baik.” Daren mencoba memperbaiki keadaan.Hiruk pikuk suara café sama sekali tidak bisa mencairkan keadaan di antara mereka. Seolah tenggelam di tengah kesepian, Dimas menunggu Hayati memberikan reaksi.“Ehm! Hayati, kau bisa mengatakan saja jika memang kau tidak setuju.” Daren sekali lagi berusaha memecahkan es di antara mereka.Hayati seperti tersadar dari renungan yang membingungkan. Dia segera