Dimas terdiam sejenak, menelan ludah dan merasa sulit untuk mengutarakan perasaannya. Suasana menjadi hening. Hayati menatap lurus wajah Dimas dengan berbagai perasaan yang sulit dia tebak.Dalam beberapa helaan nafas, Dimas berusaha menyampaikan apa yang ada di hatinya.“Aku... aku hanya ingin kita kembali seperti dulu, Hayati. Aku merasa kesal karena kau memenangkan harta gono-gini itu. Aku merasa dikhianati, seolah-olah semua yang kita bangun bersama tidak ada artinya. Aku kehilangan segalanya, dan itu membuatku marah.” Dimas bahkan tidak berani menatap mata Hayati saat dia mengatakan semuanya.Hayati enggan berkedip. Dia tidak percaya bahwa orang yang pernah menjadi cinta dalam hidupnya bisa memiliki perasaan dan keinginan seburuk itu.Hayati menatap Dimas dengan mata yang penuh luka. “Kau merasa kesal karena aku memenangkan harta gono-gini? Itu semua yang kau pedulikan, Dimas? Kau tidak peduli pada perasaan anak-anak kita? Pada keselamatan mereka? Pada keselamatanku?”Tanpa teras
Hayati menatap teduh layar ponselnya. Itu adalah pesan dari Daren. Tanpa alasan hati Hayati berdegup cepat. Mencoba menepiskan perasaan yang membuatnya takut, Hayati mencoba meyakinkan dirinya sendiri bahwa apa yang dia rasakan semata karena emosinya pada Dimas.Berusana tenang, Hayati merekam balasan untuk pesan Daren. Tangan kirinya sama sekali tidak boleh digerakkan, itu akan membuat lukanya semakin parah. Jadi Hayati merekam suaranya dalam voice note sebagai penjawab pesan Daren.Seminggu kemudian, Hayati telah selesai melewati operasi yang dijadwalkan oleh dokter. Baik operasi bedah tulang untuk tangan kirinya yang terluka, juga untuk pembersihan sisa kehamilan dalam kandungannya.Dia sedang duduk di ruang keluarga di rumah ibunya yang sederhana. Laksmi mendekati Hayati dengan langkah tertatih. Wanita tua itu bahkan sudah merasa lemah dengan keadaannya sendiri. Namun ibu tetaplah seorang ibu. Alih-alih mengkhawatirkan keadaannya sendiri, Laksmi jauh lebih mengkhawatirkan keadaan
“Apa informasi itu penting untukmu?” Daren baik bertanya.Wajahnya yang semula cerah seketika seperti kehilangan darah. Sekilas Hayati bisa melihat bahwa Daren tidak terlalu suka dengan pertanyaan yang dia ajukan. Hayati menyesal dengan kata-katanya sendiri. Rasa penasaran membuatnya mengatakan sesuatu yang membuat Daren tidak nyaman. Dia berharap itu tidak membuat Daren tersinggung dan berefek pada hubungan bisnis mereka.“Ti-tidak. Informasi itu tidak penting buatku. Aku hanya ingin tahu.” Hayati menundukkan kepala untuk menghindari tatapan tajam yang Daren layangkan.“Kenapa?” sekali lagi Daren menuntut jawaban.Hayati menarik nafas panjang. “Terlalu banyak kebetulan yang terjadi padaku akhir-akhir ini. Dan entah bagaimana itu semua melibatkanmu. Aku berpikir bagaiman kau bisa mendapatkan akses dan informasi dengan mudah dan banyak. Aku berpikir….”Daren tersenyum kecil. Senyum yang membuat Hayati lega.“Kau terlalu banyak berpikir,” ujar Daren di sela-sela giginya yang tampak kare
Dokter Burhan menghela napas sejenak, dia mencoba merangkai kata-kata terbaik untuk menyampaikan keadaan Laksmi pada Hayati dan Andini. "Dengan kondisi seperti ini, kemungkinan besar ibu kalian akan mengalami penurunan kesadaran secara bertahap. Tubuhnya sedang berjuang melawan berbagai komplikasi, dan kami khawatir masa-masa kritis ini akan sangat sulit dilalui."Walau kata-kata itu sudah diperkirakan oleh Hayati dan Andini, konfirmasi dokter Burhan tak ayal tetap menjadi hantaman bagi keduanya. Andini meremas tangan Hayati dengan kuat, mencoba mencari ketegaran di tengah rasa takut yang melanda. Hayati menggenggam tangan Andini dan menelan ludah, berusaha keras menahan tangis yang sudah membendung di pelupuk matanya. Mereka berusaha menguatkan satu sama lain."Apa... apa yang bisa kami lakukan, Dok?" tanya Hayati dengan suara bergetar."Kalian bisa terus berada di sisinya, memberikan dukungan emosional. Meskipun mungkin ibu kalian tidak sepenuhnya sadar, tapi kehadiran dan cinta kal
Dokter Burhan memandang Anggara dengan mata penuh simpati. "Kami sudah melakukan segala yang kami bisa. Namun, Nyonya Laksmi telah meninggal dunia."Kata-kata itu mengiris hati mereka seperti belati tajam. Andini tersungkur di lantai, menangis tanpa suara, sementara Hayati memeluk tubuh ibunya yang kini tak lagi bernyawa. Anggara berusaha keras menahan air mata, tapi akhirnya menyerah dan membiarkan air mata mengalir di pipinya.Suasana ruangan itu begitu hening, hanya diiringi suara tangis dan isak yang tertahan. Hayati terus memeluk tubuh ibunya, merasakan dinginnya kulit Laksmi yang kini sudah tidak bernyawa. Andini, yang mencoba berdiri, merasa lemas dan kembali terduduk, merasakan kesedihan yang amat dalam."Ibu... maafkan kami," bisik Hayati di telinga ibunya. "Kami sudah berusaha semampu kami."Dokter Burhan dan perawat memberi mereka waktu untuk merasakan kehilangan yang mendalam itu. Mereka mundur beberapa langkah, memberi ruang bagi keluarga untuk mengucapkan perpisahan tera
Di antara hiruk pikuk keramaian pasca sidang, sebuah tangan terulur ke arah Hayati. Tangan yang mencengkeram rambutnya dan menarik dengan kuat ke arah berlawanan. Hayati nyaris terjengkang jika bukan karena Anggara dan Linda dengan cepat menariknya.Mereka segera menoleh ke arah asal tangan itu. Yang mereka temukan berikutnya adalah wajah Reina adik Dimas yang dipenuhi kemarahan bercampur dengan air mata. Ibu Dimas dan adik Dimas yang lain, Sandra juga berdiri di sebelahnya. Mereka menatap Hayati dan Linda dengan tatapan penuh kebencian.“Kau telah mengambil semuanya dari Dimas. Setelah kebahagiaannya, anak-anaknya, hartanya dan sekarang juga kebebasannya. Apakah kau puas menghancurkan hidup kami semua?!” teriak Reina di tengah keramaian.Orang-orang yang ada di sekitar mereka pun sontak menatap ke arah mereka dan diam menunggu perlawanan dari kubu Hayati. Linda menjadi orang yang kemudian mengambil alih kendali keadaan. Dia maju ke depan Hayati untuk menghadapi keluarga Dimas.“Penga
Isabelle merasa tertantang dengan pertanyaan dari Hayati. Dia menyilangkan kaki bergaya elegant dan menatap sinis pada Hayati.“Tidak ada. Aku hanya tidak suka satu ruangan dengan orang yang tidak satu kelas denganku. Seharusnya showroom mobil ini bisa memisahkan mana pembeli dengan banyak uang dan pembeli mobil murahan. Mereka benar-benar tidak profesional.” Isabelle memutar bola matanya dan memalingkan wajah dari Hayati.Mendengar keangkuhan Isabelle, Hayati menghela nafas panjang. Walau di dalam hatinya, ingin Hayati menarik rambut Isabelle dan memberi pelajaran pada wanita angkuh itu. Tapi, belum sempat Hayati bertindak jauh, gadis showroom yang melayaninya telah kembali.“Maaf menunggu, Nyonya Hayati. Kami telah memeriksa semua identitas dan pembayaran anda. Mobil yang anda pesan akan dikirimkan dalam dua hari ke alamat yang telah anda tentukan. Silahkan tanda tangan di sini.” Gadis itu melayani Hayati dengan ramah.Hal itu mengalihkan perhatian Hayati dari kekesalan pada Isabell
Hayati menatap Laksmana dengan bingung. "Maksud Anda? Rival?"Laksmana mengangguk sambil meletakkan tangannya di atas meja, jemarinya saling bertaut. "Ya, aku yakin kau tahu siapa Daren, pemilik Sentosa Group. Kami sudah cukup lama menjadi pesaing dalam dunia bisnis otomotif, dan aku tidak ingin melibatkan diriku dengan seseorang yang berhubungan dekat dengan rivalku."Hayati mengernyitkan kening. Tampaknya Laksmana sudah mencari informasi banyak tentangnya. Hayati mulai berpikir bahwa kecelakaan yang melibatkan mereka berdua bukan sebuah kebetulan belaka. Ada perasaan tidak nyaman menghinggapi Hayati setelah Laksmana menyebut nama Daren.Walau Laksmana terlihat sebagai pria baik, namun Hayati akan selalu menghargai Daren sebagai orang pertama yang melemparkan pelampung padanya setelah dia hampir tenggelam dalam badai perceraian. Hayati mencoba memahami hubungan antara dirinya Laksmana dan Daren.Hayati terdiam sejenak, merenungkan kata-kata Laksmana. "Tapi ini berbeda. Aku menjalanka