Oh, tidak. Kenapa dia sekejam ini padaku?
Brigita belum mendapatkan jawaban apapun tapi memang sesuatu sudah ditancapkan oleh Reizo masuk ke dalam sana.
Bagian yang selalu mengharapkan ada yang panjang masuk ke dalam sana tapi saat ini yang panjang itu bukan benda tumpul tapi tajam. Saat benda itu masuk, seperti menyayat bagian intinya. Membuat luka, apalagi digerakkan keluar-masuk. Hingga tubuh Brigita pun bergelinjang.
"Enak, ya?"
Senyum seorang yang bertanya itu tampak tidak bersalah. Dan memang, semua yang dilakukan oleh Reizo seakan-akan menunjukkan kalau dia melakukan itu tidak bersalah.
"Memang aku tahu, yang seperti ini enak dan banyak wanita yang menginginkannya."
Lihatlah, dia bahkan berpura-pura bodoh seakan-akan mem
"Maaf ya, kalau temanku tadi itu banyak bicara."Sesaat setelah Alan meninggalkan ruangan itu dokter Juna berjalan mendekat pada Aida dan dia bicara sambil menarik kursi untuk duduk di samping tempat tidur Aida."Tidak masalah, Mas! Oh, aku harus panggil apa, ya? Kalau secara silsilah keluarga, Anda kan masku, ya?""Iya, tapi kamu bisa memanggilku Mas Dewa! Dokter Juna juga nggak papa kok! Lebih enak panggil yang mana?""Mas Dewa? Hihihi harusnya aku panggil Bli Dewa! Baru masuk akal! Kayak orang Bali.""Hehehe." Ada tawa Aida yang ditimpali oleh Dokter Juna dengan tawanya juga."Tapi sebenarnya kamu ini super, ya! Lagi sedih juga masih bisa bikin orang ketawa!""Ya sedih, tapi kan ndak harus bikin orang di sekitar saya juga harus cemberut. Memang ada sedih sih, tapi mudah-mudahan saja ini memang yang terbaik untuk Mas Reiko! Karena kita kan nggak tahu mungkin saja kalau dia masih hidup di sini, itu buruk untuknya. Tapi kalau dia meninggal, itu baik untuknya, karena sudah menyelesaika
"Aku bisa kok, kembali sekarang!""Eh, belum bisa, lah. Kalau kau kembali sekarang, gimana caranya? Kemarin kau baru operasi! Luka di dadamu itu kan sampai sekarang juga kau masih belum boleh duduk, harus tiduran selama satu kali 24 jam, kan?"Alan memastikan sambil menatap Dokter Juna yang mengangguk."Proseduralnya seperti itu.”"Lalu ada cheating-nya?""Hmm." Senyum lagi Dokter juna."Aku mau pakai cara yang itu. Bagaimana supaya kondisiku lebih baik?"Aida bicara dengan tubuhnya yang terlihat lemah dan mukanya memang masih terlihat pucat. Tapi memang dia tidak mau begini-begini terus."Aku juga masih banyak urusan di sana. Dan aku tidak akan pernah bisa tenang kalau urusannya Mas Reiko belum beres.”"Aku paham!" Tatapan Dokter Juna mengarah pada Alan dengan senyum di bibirnya."Harus tanya Rafael dulu, boleh atau tidak. Aku tidak bisa pakai kalau dia tidak izinkan!"[Kau tahu kalau Dokter Juna meminta, maka bisa kau berikan kapan pun tak perlu alasan saja.][Rafael kau ini—][Alan
"Apa rasanya sekarang sudah baikan?""Sekarang sudah lebih baik. Aku rasa, aku bisa bernapas sedikit lega.""Wow, reaksi tubuh bagus juga. Biasanya itu bisa sampai setengah jam sakitnya.""Alhamdulillah, aku nggak disiksa setengah jam. Hanya disiksa lima menit, hehe.""Hehe, lucu juga kau masih bisa bercanda padaku," protes Alan kemudian, karena memang Aida berusaha untuk tidak menunjukkan sisi lemahnya."Loh kok ini udah nggak sakit, ya?" Aida mencoba memegang bagian bekas operasinya di sebelah kiri bagian tubuhnya.“Kalau perban itu dibuka, nanti kamu bisa melihat kalau jahitannya sudah tertutup dan tidak ada masalah lagi. Kalau ada masalah, bisa hubungin aku. Telepon saja! Aku akan datang bertemu denganmu.”"Oh iya, Dokter Juna!" Aida mengerti dan sekarang Dokter Juna sendiri yang berusaha melepaskan infusan di tangan Aida."Kamu sekarang sudah bisa duduk. Oh iya, satu lagi." Mata pria itu menatapnya. "Kalau bisa, kamu jangan terlalu jauh ya, dari Reizo. Karena Alexander sudah meng
"Kau harus berpegangan denganku!""Itu aturannya?"Sesaat sebelum mereka berpindah dari London ke Indonesia, Reizo mencoba menjelaskan pada Aida peraturan teleportasi menggunakan jaket buatan Alan."Subhanallah! Kalau ada yang seperti ini, nggak harus capek-capek di jalan, ya." Aida berkomentar sambil dia melepaskan tangannya yang tadi berpegangan pada lengan saudara kembar suaminya."Beritahu aku kebiasaan Reiko." Tapi Reizo memang tidak ada niat untuk mengomentari celetukan Aida barusan. Dia bukan orang yang suka berbasa-basi."Mas Reiko itu sangat ramah. Dia selalu tersenyum.""Senyum, cih! Hanya orang bodoh saja yang tersenyum pada setiap orang.""The smiling jenderal! The smiling people of Asia Indonesia the smiling country dan tidak ada yang lebih indah daripada melihat wajah yang mulia Nabi Muhammad shallallahu alaihi wasallam yang selalu ramah tersenyum. Begitu manis dan selalu diimpikan oleh setiap orang. Melihat senyuman adalah obat bagi jiwa."Dan Aida kembali tersenyum mem
Sudah kuduga! Lemas hati Aidah mendengarnya. Dan bisa saja sih, dia tidak peduli dengan pekerjaan Reiko yang satu itu karena suaminya juga tidak akan memaksa dan memintanya untuk menyelesaikannya."Ya sudah!" Aida lalu mengambil satu laptop lagi yang ada di laci Reiko."Kau mau apa?”"Semua catatan pekerjaannya Mas Reiko itu ada di laptop yang ini juga. Aku cuma mau mengerjakan desain ini aja. Kalau yang lainnya, kamu bisa pelajari ini semuanya. Nanti kalau nggak paham bisa tanya aja. Nanti aku bantu jawab dan kalau aku emang bener-bener nggak bisa jawab, besok kita bisa ketemu sama Seno supaya bisa dijelaskan."Aida tak buang waktu, karena sebentar lagi juga sudah masuk pagi hari dan pekerjaan itu belum selesai.Untung saja aku sudah tidur lama! Hanya bisikan itu saja yang ada dalam hati Aida dan dia berusaha menyelesaikannya.Tidak mudah, tapi itu juga tidak sulit! Dia hanya perlu melakukan seperti yang diajarkan oleh Reiko dan fokus. Aida berusaha menepis semua rasa sakitnya, sampa
"Ini. Bawa tempat makan ini! Dan ini untuk bakal makan siangmu, lalu yang atas ini bekal makan pagimu.""Kau selalu membuat ini?""Biasanya aku makan sama Mas Reiko bareng sebelum berangkat kerja, tapi tadi nggak sempet aku bikin makanan. Maaf, ya, bisa makan nanti di jalan."Reizo tak menimpali ucapan Aida dan juga tidak membalas senyum wanita yang kini sudah berjalan lebih dulu menuju ke arah pintu luar. Saat masak tadi, Aida memang membuka cadarnya karena dia agak keribetan. Tapi saat mau keluar, dia sudah memakainya lagi seperti biasa."Nanti mobilnya Mas Reiko ditaruh di tempat VIP!”"Kau bareng saja denganku!""Eh, tidak bisa. Kalau aku bareng nanti, kalau ada yang ngeliatin misalkan kayak Deni itu, bisa-bisa dia tahu kalau kita sudah baikan dan ini bahay. Apalagi aku tidak tahu hubungan dia dengan Brigita itu apa.""Wanita itu sudah mati!"Tanpa menatap Aida, lagi-lagi saudara kembar Reiko merespon."Ya. Iya memang sudah mati, aku juga tahu. Tapi kita kan tetap harus membuat di
Seblak? Ya Allah, Mas. Jadi sebelum kepergianmu itu, kemarin kamu membawa pulang seblak untukku? Seperti keinginanku makan seblak? Tadi kamu beli dua bungkus maksudnya kita makan bareng gitu, kan?Tak ada kata yang terucap, tapi mata Aida terasa panas. Cuma rasa di dalam hati Aida itu campur aduk.Ada senang karena Aida tahu apa yang dilakukan oleh suaminya kemarin dan ini menyejukkan hatinya. Memberinya rasa bahagia, karena keinginan makanan yang sama dirasakan juga oleh suaminya. Tapi ada rasa sedih juga karena dia tidak bisa melihat suaminya lagi. Makanan itu juga tidak bisa dimakan oleh mereka berdua dengan harapan yang mungkin terbaik yang di dalam benak Reiko. Sehingga lelehan air mata itu kembali terurai."Mbak Aida, loh, loh, kok malah nangis, toh?""Mas Reiko."Tak tahan karena rasa campur aduk itulah membuatnya lagi dan lagi menitikkan air mata. Cuma, saat ini Aida bersama dengan orang-orang yang tidak tahu alasan kenapa dia menangis. Aida lebih merasa lega karena di sini ad
"Aku—""Ternyata benar, kalau orang kaya itu picik. Aku nggak tahu ada hubungan apa dan masalah apa kamu dengan suamimu, tapi yang pasti, berita di internet dan di media menunjukkan kalau kamu ini dulu dalam kondisi sulit saat bergabung lagi dengan kami. Tapi setelah kamu kembali lagi dengan suamimu, maka kau bersikap sangat buruk sekali pada temanmu. Kau kejam, Aida!”Aida tahu ini. Dia juga tidak bermaksud begini. Dia maksudnya mau membawa uang tidak dalam jumlah uang yang jumlahnya pas. Tapi lagi-lagi dia sudah ditegur begitu oleh sahabat Didi yang membuat hatinya mencelos. Aida tidak bisa berkata-kata."Kalau bukan karena istriku yang memberikan saran pada kalian untuk menjalankan ide Didi membuat terarium ini saat zaman tugas kuliah, maka kalian tidak akan melakukannya. Kalian mentok. Dan tidak akan ada perusahaan ini yang bisa membuat kalian berpenghasilan besar."Tapi bukan Aida yang bicara. Orang yang ada di dekat pintu itulah yang baru saja membuka pintu menyeletuk begini, me