"Aku yakin sekali ini adalah project yang sangat menguntungkan banget, sayang. Kita tidak boleh telat dan tidak boleh membiarkan Tommy menunggu kita terlalu lama."Sembari menaiki tangga kata-kata itu terurai dari wanita yang kini masih menggandeng tangan Reiko meninggalkan Aida di lantai dasar. Brigita memegang lengannya begitu erat, sambil berceloteh tentang sebuah project yang memang memberikan pengharapan besar padanya."Aku yakin sekali kita bisa untung besar di sini. Bener-bener bikin gak sabar."Brigita terus bicara di saat seseorang di sampingnya masih diam, tak menyanggah atau komentar. Tapi entahlah apa pikirannya juga mendengarkan apa yang dikatakan wanita itu?'Dia menyelamatkanku lagi?'Ya Reiko memikirkan sesuatu yang lain. Sesuatu yang membuat dirinya merasa tak enak'Apa alasannya dia melakukan itu?'Reiko mencoba berpikir. Semua ucapan Aida mempegaruhinya hingga sulit konsentrasi."Sayang.""Eh iya?"Baru tersadarlah Reiko dia sudah ada di dalam kamar."Kamu mikirin a
"Bee, sudahlah jangan bilang begitu. Lampu sudah hijau, aku mau menyetir lagi.""Sudah kukatakan kembali saja. Antar aku ke kantor dan kamu bisa bekerja juga. Kamu urus aja pekerjaan-pekerjaanmu itu yang lebih menguntungkan dari ini. Lagian kita juga nggak punya uangnya, kan?""Sudahlah aku akan lihat dulu bagaimana nanti tawaran dari Tommy, Bee. Aku akan mencari uangnya jika memang ini menguntungkan untuk kita.""Hah." Brigita membuang wajahnya ke jendela. "Kamu dari awal memang ragu kalau ini menguntungkan. Bagaimana kamu bisa melihat bahwa ini akan menguntungkan? Selamanya kamu akan melihat ini sebagai proyek merugikan karena mental block-mu!" sinis Brigita, sudah menunjukkan obrolan di dalam mobil itu makin berat."Hei sayang, aku masih profesional. Aku hanya ingin mencoba merenung apa ini baik atau tidak untuk kita. Tapi aku percaya padamu kalau kamu berpikir ini baik kita lihat saja dulu dari mana kita harus memulai kerjasamanya nanti.""Sudahlah jangan terlalu dipikirkan. Anta
"Bee, gak gitu. Aku pikir kita mau santai dulu di hotel dan kita akan ke sana besok pagi.""Kita gak akan ke sana.""Hei, gak gitu. Ka-kalau memang sudah janjian sekarang kita berangkat saja sekarang.""Gak usah dipaksakan, kita--"Mmuuuah.Brigita tidak melanjutkan ucapannya karena saat itu juga Reiko memberikan kecupan di bibirnya. Hanya sedetik, karena itu kan di muka umum."Sudahlah, ayok." lalu Reiko menatap pada Shandra dan Tommy bergantian"Maaf ya, kalian tahukan bagaimana pasangan? Kami sedang sedikit ada masalah kecil, ribut kecil aja, bikin mood swing. Tapi ayo kita lihat, kalau uang aku bisa pikirkan nanti bagaimana caranya."Lagi lagi Reiko berada di situasi yang memang bukan dia inginkannya.Sudahlah semuanya nanti aku pikirkan. Yang pasti sekarang aku tidak mau Bee marah dulu padaku. Aku tidak mau juga dia sampai minum obat-obatan depresi. Tidak, tidak. Sssh, ini benar-benar menguji kesabaranku.Bisa dibayangkan tidak sih bagaimana perasaan Reiko yang harus melakukan se
'Sssh, pening kepalaku. Aku tidak mengerti bagaimana Bee berpikir. Kenapa juga harus ada tanda tangan perjanjian? Memang dia pikir ini beli gorengan di pinggir jalan gitu? Datang dan langsung beli?' kesal Reiko. Sudah mah kepalanya pening memikirkan pekerjaannya dan hari ini dia bahkan men-silent teleponnya dan menghilangkan suara getarnya juga karena tak ingin tambah stres dengan tuntutan pekerjaannya.Sekarang Reiko juga bertambah pening dengan tuntutan yang lumayan banyak dari Brigita.'Mana papaku telepon tiga puluh kali mau ngapain lagi nih?' Reiko sudah mengambil handphone di sakunya dan dia juga sempat melihat beberapa panggilan lagi yang membuatnya meringis'Aku janji akan mengatur jadwal untuk rapat lanjutan project tahap dua dan tahap tiga dengan Roy. Pantas saja dia menghubungiku. Walaupun dia tidak meneror seperti papaku.'Hanya pesan singkat yang diberikan oleh Roy. Tapi dia memang tidak meneror dengan telepon. Ini juga yang membuat Reiko merasa cemas. 'Aku sungkan den
'Pergilah kalian pergi. Aku juga tidak mengharapkan kalian di sini. Lebih cepat pergi lebih baik.'Ini adalah kejadian di mana Reiko menaiki tangga bersama dengan Brigita dan seorang wanita berbisik seperti itu di dalam hatinya. Seorang gadis yang merasa sangat bersyukur dengan kepergiannya.Tapi'Ya ampun darahnya banyak banget.'Ketika dia melihat cairan menempel di marmer dan merasakan tusukan-tusukan di kakinya, berasa lemas dirinya."Ini bukan waktunya menyerah. Aku harus bereskan ini secepat mungkin,” seru wanita yang kini mulai berinisiatif.“Untung saja aku pakai cardigan. Bisa untuk mengurangi sakitku saat berjalan dan membantuku bisa kembali ke dapur. Semangat, Aida!”Aida Tazkia membuka cardigan yang memang dikenakannya. Iya dia memakai kaos panjang dan juga cardigan karena merasa sedikit dingin tubuhnya saat berdzikir tadi. 'Huh, jadi ini yang kamu rencanakan, berjalan merangkak dengan lutut dan punggung tanganmu untuk membersihkan darah di lantai itu?' tanya seorang pr
Tapi apa sebenarnya yang terjadi pada Aida sampai dirinya tidak keluar dari dalam kamarnya hampir seharian itu?"Akhirnya aku bisa masuk kamarku juga."Keadaan ini di saat Aida baru menutup pintu dan dia merasa lega sudah berada dalam ruangan yang merupakan comfort zone satu-satunya di dalam apartemen itu."Ssssh, pening kepalaku, badan juga panas dingin gini," keluh Aida yang masih duduk bersandar di belakang pintu."Aku gak suka melihat darah, tapi aku harus melihat darah sebanyak itu," gerutu Aida yang kini wajahnya terlihat memang cukup pucat.Pitcher masih ada di sampingnya, di belakang pintu. Aida tapi tidak berniat untuk minum padahal bibirnya sudah terlihat kering. Dia memilih berdiam diri di belakang pintu untuk beberapa saat berharap dengan diistirahatkan sakitnya sembuh."Shhh, hhhh." Tapi bukan lebih baik, malah tambah menggigil. Barulah Aida bergerak. Dia menaruh pitcher di atas nakas, mengambil pakaian ganti juga sapu tangan lalu melempar ke tempat tidur sebelum menuju k
"Maaf Bi, aku harus ke Jakarta karena papaku menelponku berkali-kali. Ada masalah besar di perusahaan."Sesaat sebelumnya, di Bali. Reiko mencoba memberikan alasan pada kekasihnya.Dari wajahnya, Reiko memang terlihat penuh dengan keruwetan. Tidak terlihat tenang sama sekali, kacau balau mimik wajahnya."Tak bisakah mereka menunggu, sayang? Mungkin papamu bisa memberikan pengertian karena dia juga mendukungku. Dia bilang akan mengembalikanmu padaku," seru Brigita yang ingin kekasihnya tetap ada di sana.Karena dari sikap Endra Adiwijaya, dia memang tak menunjukkan sikap membenci Brigita saat mereka bertemu dua hari silam.Makanya Brigita memberikan saran ini."Aku rasa masalahnya cukup pelik, my Queen."Reiko menggelengkan kepalanya pelan, tak ingin bernegosiasi kali ini."Selain urusan papaku aku juga harus ketemu Roy dan ini untuk kepentingan tender MTC, Bee. Bagaimana jika mereka tidak mempercayaiku lagi dan mengurungkan niatnya berinvestasi di BIA?"Wajah Reiko memang terlihat beg
Reiko: A-ada apa kakek ke Jakarta, Papa?'Haduh, gimana ini? Bagaimana jika wanita itu mati? Bagaimana aku harus jelaskan kematiannya pada kakek? Ssssh, Waluyo. Dia yang harus disalahkan untuk semua ini,' seru di hati Reiko ketakutan, sampai dia belum pergi kemanapun saai pintu sudah terbuka lebar, hanya berdiri di samping lift.Endra: Ya.Apalagi Endra hanya menjawab begitu saja. Bagaimana Reiko tak makin cemas? Reiko: Apa ada masalah serius Papa?Tanya Reiko yang saat ini masih kalut. Reiko sudah berada di lantai dasar tempat resepsionis berada.Tapi rasanya sulit untuk melangkah pergi. Ada kekhawatiran besar dan bayangan wajah kakeknya mengganggu ketenangan hatinya pagi itu.Endra: Entahlah. Dia ingin rapat membahas soal Mesir. Katanya perluasan cabang sampai ke Mesir. Aku tak mengerti kenapa kakekmu ini tiba-tiba membahas Mesir, Reiko. Menggebu-gebu sekali pula keinginannya ini.Reiko: Eeeh, Kenapa perluasannya harus jauh-jauh ke Mesir dulu sih Papa? Asia tenggara aja baru selesa