'Pergilah kalian pergi. Aku juga tidak mengharapkan kalian di sini. Lebih cepat pergi lebih baik.'Ini adalah kejadian di mana Reiko menaiki tangga bersama dengan Brigita dan seorang wanita berbisik seperti itu di dalam hatinya. Seorang gadis yang merasa sangat bersyukur dengan kepergiannya.Tapi'Ya ampun darahnya banyak banget.'Ketika dia melihat cairan menempel di marmer dan merasakan tusukan-tusukan di kakinya, berasa lemas dirinya."Ini bukan waktunya menyerah. Aku harus bereskan ini secepat mungkin,” seru wanita yang kini mulai berinisiatif.“Untung saja aku pakai cardigan. Bisa untuk mengurangi sakitku saat berjalan dan membantuku bisa kembali ke dapur. Semangat, Aida!”Aida Tazkia membuka cardigan yang memang dikenakannya. Iya dia memakai kaos panjang dan juga cardigan karena merasa sedikit dingin tubuhnya saat berdzikir tadi. 'Huh, jadi ini yang kamu rencanakan, berjalan merangkak dengan lutut dan punggung tanganmu untuk membersihkan darah di lantai itu?' tanya seorang pr
Tapi apa sebenarnya yang terjadi pada Aida sampai dirinya tidak keluar dari dalam kamarnya hampir seharian itu?"Akhirnya aku bisa masuk kamarku juga."Keadaan ini di saat Aida baru menutup pintu dan dia merasa lega sudah berada dalam ruangan yang merupakan comfort zone satu-satunya di dalam apartemen itu."Ssssh, pening kepalaku, badan juga panas dingin gini," keluh Aida yang masih duduk bersandar di belakang pintu."Aku gak suka melihat darah, tapi aku harus melihat darah sebanyak itu," gerutu Aida yang kini wajahnya terlihat memang cukup pucat.Pitcher masih ada di sampingnya, di belakang pintu. Aida tapi tidak berniat untuk minum padahal bibirnya sudah terlihat kering. Dia memilih berdiam diri di belakang pintu untuk beberapa saat berharap dengan diistirahatkan sakitnya sembuh."Shhh, hhhh." Tapi bukan lebih baik, malah tambah menggigil. Barulah Aida bergerak. Dia menaruh pitcher di atas nakas, mengambil pakaian ganti juga sapu tangan lalu melempar ke tempat tidur sebelum menuju k
"Maaf Bi, aku harus ke Jakarta karena papaku menelponku berkali-kali. Ada masalah besar di perusahaan."Sesaat sebelumnya, di Bali. Reiko mencoba memberikan alasan pada kekasihnya.Dari wajahnya, Reiko memang terlihat penuh dengan keruwetan. Tidak terlihat tenang sama sekali, kacau balau mimik wajahnya."Tak bisakah mereka menunggu, sayang? Mungkin papamu bisa memberikan pengertian karena dia juga mendukungku. Dia bilang akan mengembalikanmu padaku," seru Brigita yang ingin kekasihnya tetap ada di sana.Karena dari sikap Endra Adiwijaya, dia memang tak menunjukkan sikap membenci Brigita saat mereka bertemu dua hari silam.Makanya Brigita memberikan saran ini."Aku rasa masalahnya cukup pelik, my Queen."Reiko menggelengkan kepalanya pelan, tak ingin bernegosiasi kali ini."Selain urusan papaku aku juga harus ketemu Roy dan ini untuk kepentingan tender MTC, Bee. Bagaimana jika mereka tidak mempercayaiku lagi dan mengurungkan niatnya berinvestasi di BIA?"Wajah Reiko memang terlihat beg
Reiko: A-ada apa kakek ke Jakarta, Papa?'Haduh, gimana ini? Bagaimana jika wanita itu mati? Bagaimana aku harus jelaskan kematiannya pada kakek? Ssssh, Waluyo. Dia yang harus disalahkan untuk semua ini,' seru di hati Reiko ketakutan, sampai dia belum pergi kemanapun saai pintu sudah terbuka lebar, hanya berdiri di samping lift.Endra: Ya.Apalagi Endra hanya menjawab begitu saja. Bagaimana Reiko tak makin cemas? Reiko: Apa ada masalah serius Papa?Tanya Reiko yang saat ini masih kalut. Reiko sudah berada di lantai dasar tempat resepsionis berada.Tapi rasanya sulit untuk melangkah pergi. Ada kekhawatiran besar dan bayangan wajah kakeknya mengganggu ketenangan hatinya pagi itu.Endra: Entahlah. Dia ingin rapat membahas soal Mesir. Katanya perluasan cabang sampai ke Mesir. Aku tak mengerti kenapa kakekmu ini tiba-tiba membahas Mesir, Reiko. Menggebu-gebu sekali pula keinginannya ini.Reiko: Eeeh, Kenapa perluasannya harus jauh-jauh ke Mesir dulu sih Papa? Asia tenggara aja baru selesa
"Iya tapi kan Ini kamar perempuan seharusnya Bapak ketuk pintu dulu dong. Jangan langsung masuk begitu saja. Lagian aku juga belum pakai kerudung," kesal Aida.Mana lemarinya ada di samping kiri pintu, dekat tempat Reiko berdiri dan bagaimana dia harus menggapai ke sana sedangkan dia enggan merangkak di hadapan Reiko. Aida juga punya persiapan kerudung kecuali yang kotor. Tapi itu juga di dekat tempat tidur dan posisinya ada di tengah-tengah antara tempat tidur dan kamar mandi."Keluarlah dulu!" Makanya Aida memekik. Dia ingin menutup auratnya. Tapi pria yang ada di hadapannya itu malah tersenyum simpul"Kenapa aku harus keluar?" tanyanya sambil berjalan mendekat. "Ini adalah bagian apartemenku juga kan. Aku mau masuk ke manapun, itu juga tidak ada masalah!" seru Reiko yang kini sudah berhenti melangkah tepat di hadapan Aida."Hehehe, saya tahu ini apartemen Bapak." Aida cepat menjawab, saat Reiko memposisikan dirinya sama tinggi seperti Aida yang masih berdiri di topang lututnya. H
"Ssssh. jangan teriak, sakit ke telinga.""Kyaaaaaak."Tapi Aida tak mau mendengar."Aku perban ni mulutmu."Ancaman yang sepertinya akan dilakukan oleh Reiko betul-betul. Itu yang membuat Aida memilih diam daripada dia harus tersiksa lagi."Memar di wajah saya juga belum hilang Pak. Masa udah mau diperban lagi?""Makanya diam dan jangan banyak bergerak. Berat tau.""Biarin. Saya nggak minta digendong Pak. turunin saya Paaaaak!"Sayangnya pria tadi hanya setengah berdiri dan sudah menggerakkan tangannya menopang tubuh Aida. Reiko betul-betul mengangkat Aida dengan kedua tangannya kali ini. "Pak, turuniiiiiiiiiin." 'Hiii, jijik, ngapain dia gendong-gendong akuuuu?' sejujurnya dalam hati Aida dia tidak pernah bermimpi sama sekali ingin digendong oleh Reiko sejak dirinya sadar kalau pernikahannya itu pura-pura.Tapi apa yang terjadi sekarang?Sungguh Aida tidak bisa menerima ini.Sudah seperti cacing kepanasan Aida tidak mau disentuh oleh Reiko. Dia pun menggeliat di atas kedua tangan
"Haaah, jangaaaan. Mundur paaaak."Panik Aida mendengar apa yang tadi dikatakan Reiko. Menurunkan celananya? Itu adalah bagian yang selalu dijaganya. Tak bisa sembarang laki-laki menyentuhnya. Mana bisa dia tunjukkan pada Reiko?"Sssh, heeey, kukumu mencakarku. Jauhkan.""Biarin. Bapak mundur dong. Saya bisa urus diri saya sendiri."Tangan Aida mencoba mencengkram dan mendorong Reiko. Bahkan tangan itu menusuk ke kulit pergelangan tangan Reiko yang belum berpindah dari memegang pinggir celana Aida."Tanganmu nanti sakit, sekuat apapun, tenagamu gak imbang sama tenagaku.""Biarin. Mundur makanya Bapak kalau gak mau tangan saya sakit."Tadi gara-gara Reiko, Aida tak bisa mengambil kerudungnya. Itu saja sudah memalukan untuknya. Lalu apa jadinya kalau dia juga harus membuka bagian itu?Apa dia ga tau ini memalukan untuk wanita?Aida menolak. Dia memegangnya makin erat melupakan kalau tangannya sakit. Bahkan rasa sakit itu gak ada apa-apanya dibanding ketakutannya kalau Reiko membuka bag
"Bapak ngapain di situ?"Aida sebenarnya sudah gak tahan juga pengen pipis tapi dia langsung berkomentar karena Reiko masih di hadapannya."Dan, ja-jangan diambil pak," protes Aida lagi serasa panas dingin tubuhnya saat Reiko menarik sesuatu yang menempel di celananya karena perekat."Udah pipis saja.""Pembalut saya balikiiiiiiin."Reiko sudah berdiri dengan sesuatu di tangannya yang membuat Aida langsung berteriak.Tak tahan dirinya sampai wajahnya memerah campur aduk antara marah dan malu ketika melihat bagaimana Reiko memegang pembalutnya yang penuh darah. Maklum saja, masih hari ketiga, masih banyak."Udah nanti aku urus pembalutnya, cepat pipis aja." "Pak itu nggak boleh dibuang, Aku mau cuci dulu.""BERISIK."Akhirnya dia kena hardik dan Aida dipelototin lagi oleh Reiko yang kini menaruh sanitary napkinnya di atas wastafel, di seberang Aida agak ke kiri dengan posisi terbuka, tentu saja darah di atasnya masih bisa terlihat dengan sangat jelas."Nanti biar aku yang cuci." Reik