"Terima kasih untuk semuanya, Pak. Saya ... sudah banyak merepotkan." Kanaya bersiap akan turun. Mereka baru saja sampai di depan rumah kost Kanaya. Kaisar tersenyum." Tidak ada yang merepotkan, Kanaya. Kalau di luar kantor, anggap saja kita ini berteman." Kanaya mengerutkan keningnya."Berteman?" tanyanya bingung. "Ya. Kamu mau kan, berteman dengan saya?" Kaisar mengerling. Senyumnya melebar melihat Kanaya mengangguk canggung. "Atau ... kamu boleh anggap saya seperti kakakmu." Kanaya kembali mengangguk sambil tersenyum malu-malu. Ia membuka sabuk pengaman dan bergerak turun." Saya turun sekarang, Pak. Sekali lagi terima kasih." Kaisar mengangguk. Kanaya melambaikan tangannya saat mobil Kaisar melaju pergi. Ketika sudah berada di kamar kostnya, Kanaya kembali bercermin. Ia tersenyum sendiri mengingat semua yang dilakukan Kaisar untuknya hari ini. Gadis mana yang tidak berdebar menerima perlakuan manis dari pria tampan sekaligus tajir seperti Kaisar. Wanita manapun tidak akan su
Dada Kaisar bergemuruh menatap Kanaya tergugu di sebelahnya. Tenggorokannya tercekat, mulutnya kaku tak bisa bicara. Dirinya seakan membeku di tempatnya. Hingga beberapa menit kemudian Kanaya tampak lebih tenang. "Ini!" Kaisar menyodorkan saputangannya. "Te-terima kasih, Pak. Maaf, lagi-lagi saya terbawa suasana. Saya rindu Ayah saya." Kanaya menerima saputangan itu malu-malu, lalu mengusap matanyanya yang basah. "Hmmm ... saya bisa memahami perasaanmu," sahut Kaisar dengan rasa bersalah di hatinya. Setelah berdoa, keduanya berdiri dan berjalan kembali ke mobil. "Sekarang kamu mau kemana?" Kaisar mulai menyalakan mesin mobilnya. "Entahlah, Pak. Saya nggak punya banyak family di sini. Mungkin kembali ke kostan saja. "Mumpung libur, kita cari tempat makan yang enak saja di sini. Saya juga sudah lama nggak liburan." Kanaya tersenyum," terserah Bapak saja." Kaisar terlihat lega karena Kanaya sudah kembali tersenyum dan ceria. Tapi di lubuk hatinya yang terdalam, kegelisahan makin
“Kita... kita di mana, Pak?” Kanaya berbisik, setengah tak percaya. Ia menatap rumah megah berlantai tiga yang berdiri menjulang di balik gerbang. Dindingnya terbuat dari marmer putih berkilau, pilar-pilar besar berdiri kokoh menghiasi bagian depan, dan halaman yang luas dipenuhi lampu taman yang menerangi setiap sudutnya. “Rumah orang tua saya,” jawab Kaisar ringan. Kanaya terdiam. “Apa? Bapak bercanda?” Netranya tiba-tiba melebar. “Aku kelihatan bercanda?” tanya Kaisar, menaikkan sebelah alis. Ia turun dari mobil dan berjalan ke arah gerbang, menekan tombol di interkom. Karena sudah malam, security yang biasa di pos depan sudah masuk ke dalam. "Pak, tolong bukain gerbangnya.” Kanaya masih terpaku di tempatnya saat pintu gerbang itu terbuka. Kaisar kembali ke mobil dan membawanya memasukki gerbang. Beberapa detik kemudian ia membuka pintu mobil. “Ayo turun. Kalau kamu tinggal di sini semalam, nggak ada yang bakal usir kamu.” Kanaya menelan ludah. Menginap di rumah orang tua bos
Pagi itu, Kanaya terbangun oleh suara kicauan burung yang terdengar dari luar jendela. Ia mengerjapkan mata, mencoba mengingat di mana ia berada. Begitu kesadarannya pulih, ia terhenyak merasakan tempat tidur empuk, kamar luas, dan pemandangan halaman belakang yang hijau, menegaskan bahwa ia masih berada di rumah orang tua Kaisar. “Aku benar-benar menginap di rumah Pak Kaisar semalam,” bisiknya pada diri sendiri. Ia setengah tidak percaya. Setelah beberapa menit termenung, Kanaya memutuskan untuk bangun. Ia melihat jam dinding yang menunjukkan pukul 06.30. Ia harus segera siap-siap. Pasti aneh jika dia masih bermalas-malasan di rumah bosnya. Setelah membersihkan diri, Kanaya keluar dari kamarnya, tapi langkahnya terhenti ketika ia melihat seseorang berdiri di depan pintu kamarnya. “Pagi, Kanaya. Apa tidur kamu nyenyak semalam?” Maira muncul dengan senyuman hangat. Ia memandang Kanaya dengan sangat perhatian. “Pa-pagi, Bu,” balas Kanaya tergagap, cepat-cepat menunduk. “Maaf, saya
Suasana di mobil kembali hening. Kanaya memilih memandang keluar jendela, tidak tahu harus berkata apa. Pikirannya masih penuh dengan kalimat-kalimat yang diucapkan Kaisar tadi. Mungkin karena selama ini ia terbiasa memandang pria itu hanya sebagai atasan yang tegas dan tak pernah memikirkan apa-apa selain pekerjaan. Namun, jauh di dalam dirinya, Kaisar sibuk bergelut dengan perasaan yang berbeda. Semua kata-kata yang ia ucapkan tadi mungkin terdengar santai dan penuh perhatian, tetapi ada kecemasan besar yang tersembunyi di balik senyum dan tatapan lembutnya. Dia tahu, cepat atau lambat, hubungan mereka akan sampai pada titik di mana kebenaran harus terungkap. Dan jika itu terjadi ... akankah Kanaya masih memandangnya dengan cara yang sama? Kaisar menggenggam setir dengan erat, berusaha mengatur napasnya. Dia tidak pernah merasa takut akan penilaian siapa pun. Sebagai CEO, ia terbiasa mengambil risiko dan membuat keputusan sulit. Tapi kali ini, dia tidak tahu apa yang akan terjadi
Akhir pekan Kanaya kembali pulang ke Bogor tanpa sepengetahuan Kaisar. Saat ini Kanaya berdiri di depan rumah kayu sederhana milik Permadi, menatap pintu yang sudah begitu akrab di matanya. Udara dingin khas Bogor pagi itu terasa menusuk kulitnya, seolah-olah ikut menyambut kedatangannya dengan cara yang dingin. “Mamang!” panggilnya sambil mengetuk pintu perlahan. Tak butuh waktu lama, pintu itu terbuka, menampakkan sosok pria paruh baya dengan wajah mirip sang ayah dan rambut yang mulai memutih. Netra Permadi melebar saat melihat keponakannya berdiri di depan pintu, tanpa pemberitahuan apa pun. “Kanaya?” tanya Permadi dengan nada tak percaya. “Kamu pulang mendadak? Ada apa? Kenapa nggak bilang dulu?” Kanaya hanya tersenyum kecil, mencoba menyembunyikan segala perasaan kacau di hatinya. “Maaf, Mang. Naya … memang sengaja nggak ngasih kabar dulu. Mamang sehat?” “Alhamdulillah sehat, Neng.” Permadi mengangguk sambil mempersilakan Kanaya masuk. “Sini, masuk dulu. Udah lama
Kanaya berdiri di ambang pintu, menatap halaman rumah sang paman yang tampak lengang di siang hari. Suasana Bogor yang biasanya membawa ketenangan kini terasa menyesakkan dadanya. Udara segar yang berhembus pun tidak mampu menenangkan perasaannya yang kacau. Ia baru saja mengutarakan keinginan yang sudah lama ia pendam kepada Permadi—keinginan untuk menceraikan pria yang bahkan tidak ia kenal. Setelah pembicaraan panjang tadi, Kanaya merasa sudah tidak ada lagi yang perlu dibicarakan di sini. "Naya pamit, Mang." “Nggak mau makan dulu?” Permadi mencoba menahan, tatapannya penuh kekhawatiran. Kanaya menggeleng pelan. “Nggak usah, Mang. Naya harus pulang ke Jakarta sekarang. Masih ada kerjaan yang harus Naya selesaikan.” Permadi menghela napas berat. Gadis di depannya ini memang keras kepala, sama seperti kakaknya. Ketika sudah membuat keputusan, tidak ada yang bisa mengubah pikirannya. Namun, ia tidak mungkin membiarkan masalah ini selesai begitu saja. Ada yang ia pertaruhkan di sin
Sejak percakapan dengan Permadi, Kaisar tahu dia harus melakukan sesuatu. Dia tidak bisa membiarkan pernikahan ini berakhir begitu saja. Sejak saat itu, ia mulai menunjukkan lebih banyak perhatian pada Kanaya, meskipun gadis itu belum menyadarinya sebagai isyarat perasaan. Kaisar mulai dengan hal-hal kecil. Dia memastikan Kanaya tidak pernah merasa kesulitan dalam pekerjaannya. Setiap kali gadis itu terlihat kelelahan di kantor, Kaisar akan memberikan jeda istirahat tanpa terlihat berlebihan. Seperti pagi itu, ketika Kanaya baru saja selesai mengurus beberapa laporan penting, Kaisar datang ke meja kerjanya dengan dua cangkir minuman di tangan. “Naya, ini untuk kamu. Kamu pasti capek setelah rapat panjang tadi,” ucapnya ringan, memberikan secangkir teh hangat. Kanaya tertegun sejenak, memandang Kaisar dengan bingung. “Eh? Ini buat saya, Pak?” “Ya, buat kamu. Jangan panggil saya ‘Pak’ terus, kamu sudah janji, bukan?" ucap Kaisar dengan senyum tipis. Kanaya tersenyum canggung, tap
"Mengundang Raka? Apa itu perlu?" tanya Rein datar. Maira menghela napas panjang." Sayang, kita harus minta maaf pada Raka dan Kayla karena pernikahan Kaisar kemarin. Aku dengar, dia kecewa." Rein mendengkus kesal. "Bisa-bisanya dia kecewa. Seharusnya dia bisa memilih mana yang harus diprioritaskan. Lagipula, cuma gara-gara dia tidak bisa hadir, semua acara yang sudah direncanakan harus diubah begitu saja?" "Tapi dia papa kandung Kaisar, Rein!" bantah Maira. "Oh, jadi menurutmu Raka lebih berhak memutuskan semuanya daripada aku? Mengapa kamu tidak pernah mengerti, Kaisar itu lebih dari sekedar anak sambung untukku. Kami sudah bersama sejak dia baru bisa berjalan. Kamu pikir kemana Raka selama ini? Bisa-bisanya dia merasa sebagai ayah kandung yang harus diprioritaskan." Bicara Rein mulai meninggi. Hal ini membuat Maira menjadi panik. Ia tidak ingin Rein tiba-tiba sakit di hari bahagia ini. "Ya, Sayang. Sudah, ya. Maafkan aku," ucap Maira lembut. Ia langsung memeluk suaminya
Analea dan Fabian baru saja kembali dari rumah sakit setelah kelahiran anak pertama mereka. Maira dan Rein menyambut mereka dengan penuh antusias, sementara Fabian terlihat sangat hati-hati saat menggendong bayi mereka yang masih mungil. "Selamat datang kembali di rumah, sayang," ucap Maira sambil tersenyum hangat. Ia memeluk Analea dengan lembut. "Kamu luar biasa, Analea. Sekarang kamu sudah menjadi seorang ibu!" Maira membawa anak dan menantunya ke ruang tamu. Analea, meski terlihat lelah, tersenyum lebar. "Terima kasih, Ma. Rasanya aku masih nggak percaya akhirnya bayi kecil ini ada di sini," ujarnya sambil memandangi bayi perempuannya yang sedang tidur nyenyak di pelukan Fabian. Saat ini mereka sudah berada di ruang tamu rumah mewah itu. Rein yang berdiri di sebelah Maira tampak tersenyum bangga. "Ini cucu pertama kami. Rasanya seperti mimpi melihat kalian pulang dengan bayi mungil yang cantik," ucapnya sambil menepuk pelan bahu Fabian. Fabian tersenyum lega. "Kami juga merasa
Setelah tiga hari berada di hotel, pagi itu Kaisar dan Kanaya memutuskan untuk sarapan di restoran hotel sebelum melanjutkan rencana liburan singkat mereka. Meski tubuh sedikit lelah setelah melewati malam-malam yang panjang, kebahagiaan terus terpancar dari keduanya. "Maafin aku, Sayang. Aku belum sempat membawamu berlibur ke luar kota atau ke luar negeri. Rencananya setelah proyek terakhir ini selesai, aku akan mengajakmu ke suatu tempat yang indah dan tentunya cukup jauh." Kanaya tersenyum haru."Nggak apa-apa, Mas. Selama Mas ada di dekatku, bagiku di mana aja nggak masalah. Liburan di hotel ini pun sudah bikin aku bahagia. Pokoknya asal kita selalu bersama." Kanaya menatap Kaisar dengan lekat. Mendapatkan tatapan yang berbeda dari istrinya, Kaisar jadi berdebar dan salah tingkah." Aku suka kamu tidak lagi malu-malu, Sayang." Kaisar menjawil hidung mancung Kanaya. Keduanya tertawa kecil penuh kebahagiaan. Di saat sedang menikmati momen santai itu, tiba-tiba seorang pelayan men
“Ini dari Mama,” ucap Kaisar pelan sambil mengangkat telepon. “Halo, Ma?” Suara Maira terdengar penuh semangat di ujung telepon. “Kaisar! Kamu di mana? Analea sudah melahirkan!” Kaisar langsung terkejut. “Apa? Analea sudah melahirkan? Sekarang, Ma?” “Iya! Kami sudah di rumah sakit sekarang. Ayo cepat ke sini, Kaisar. Kalian harus segera datang,” jawab Maira dengan penuh kegembiraan. Kaisar menoleh ke arah Kanaya yang sudah berdiri di belakangnya. “Analea sudah melahirkan, Naya. Kita harus ke rumah sakit sekarang.” Mata Kanaya langsung berbinar. “Beneran, Mas? Ya ampun, aku harus segera siap-siap!” Kaisar tersenyum melihat antusiasme istrinya. “Iya, beneran. Ayo cepat kita berangkat.” Tanpa menunggu lama, setelah membersihkan diri dan berpakaian, Kanaya segera mengambil tas kecilnya, sementara Kaisar sudah siap di depan pintu. Mereka berdua keluar kamar dan menuju lobi hotel dengan cepat. Di perjalanan, Kanaya tampak begitu bersemangat. “Aku masih nggak nyangka, Mas. Kak Analea
“Naya, ini malam yang kita tunggu-tunggu,” bisik Kaisar sambil menatap istrinya dengan penuh cinta. Kaisar membuka pintu kamar dengan perlahan, lalu mengajak Kanaya masuk. Kamar itu dihiasi dengan bunga-bunga mawar yang wangi dan lilin-lilin kecil yang menambah suasana romantis. Kaisar menggenggam tangan Kanaya, lalu menuntunnya untuk duduk di tepi ranjang. Kanaya tersenyum kecil, meskipun wajahnya masih terlihat sedikit gugup. “Iya, Mas. Aku masih nggak percaya ini benar-benar terjadi.” Kaisar mengusap pipi Kanaya dengan lembut, lalu mengecupnya pelan. “Kamu nggak perlu takut. Aku akan selalu ada untukmu, sekarang dan selamanya.” Kanaya merasakan debaran di dadanya semakin kencang. “Terima kasih sudah mau menjagaku, Mas. Aku juga merasa sangat bahagia malam ini.” Mereka berdua saling menatap, merasakan betapa dalam cinta yang kini mengikat mereka. "Naya ...," bisik Kaisar. Ia menggeser tubuhnya hingga nyaris tak berjarak lagi dengan Kanaya. Satu tangannya mengusap lembut bibir
Malam itu, hotel mewah tempat resepsi berlangsung dipenuhi oleh tamu-tamu dari berbagai kalangan. Lampu kristal yang bergemerlapan menambah kemewahan suasana, sementara karpet merah yang terbentang menyambut setiap tamu yang datang. Kaisar dan Kanaya sudah siap di belakang panggung, menanti giliran mereka untuk memasuki ballroom utama sebagai pasangan suami istri yang resmi. “Kamu siap, Naya?” tanya Kaisar dengan senyum lembut, sambil menggenggam tangan istrinya yang sedikit gemetar. Kanaya mengangguk pelan, meski hatinya masih berdebar-debar. “Aku siap, Mas,” jawabnya. Di ballroom utama, para tamu sudah mulai berkumpul. Banyak wajah yang familiar hadir. Para karyawan yang mengenal Kanaya dan Kaisar datang mengenakan pakaian terbaik mereka. Beberapa dari mereka tampak saling berbicara pelan, masih terkejut dengan kabar bahwa asisten pribadi bos besar mereka ternyata adalah istrinya sendiri. “Aku nggak nyangka banget, ternyata Kanaya benar-benar istri Pak Kaisar,” bisik salah satu
Setelah beberapa saat mencari, Kaisar akhirnya melihatnya. Di sana, di depan makam ayahnya, Kanaya duduk sambil memeluk lututnya. Tubuhnya tampak gemetar, sementara isak tangisnya terdengar pelan di antara keheningan. Kaisar berjalan mendekat dengan hati-hati, tidak ingin mengejutkan istrinya yang sedang larut dalam kesedihan. “Naya ...,” panggilnya pelan, suaranya penuh rasa bersalah. Tapi rasa sayang itu terasa makin mendalam. Kanaya tersentak. Gadis itu terdiam sejenak, sebelum menoleh ke arah suara itu. Matanya yang bengkak menunjukkan betapa berat beban yang ia rasakan saat ini. "Mas ... kenapa menyusulku? Kenapa Mas tinggalin Intan di sana?" Suara Kanaya terdengar parau. Sisa air mata masih membasahi wajah manisnya. Kaisar perlahan lebih mendekat. Ia berlutut di samping Kanaya, menatap mata Kanaya dengan penuh penyesalan. “Naya, aku minta maaf. Aku benar-benar tidak bermaksud membuatmu terluka. Intan muncul tiba-tiba, dan aku terlalu terkejut hingga tidak tau harus melakukan
Kaisar memutar tubuhnya hendak memanggil Kanaya. Di tengah kebingungannya, ia ingin segera memperkenalkan Kanaya pada Intan dan memastikan bahwa tidak ada salah paham yang terjadi. Namun, begitu ia melihat sekeliling, ia tidak menemukan Kanaya di sana. "Kanaya?" panggilnya, memandang ke berbagai arah. Tidak ada jawaban. Kaisar mulai merasa panik. Ia mencoba mencari ke ruangan lain, berharap menemukan Kanaya sedang sibuk dengan sesuatu. Tapi setelah mencari ke dapur, ruang tengah, bahkan ke ruang persiapan, Kanaya tetap tidak terlihat. Kaisar semakin gelisah. "Kemana dia pergi?" gumamnya pelan, sambil mencoba menelepon Kanaya. Namun, tidak ada jawaban dari panggilan itu. Perasaannya mulai tak karuan, seolah ada yang menindih dadanya. Di tengah kegelisahannya, Kaisar melihat Maira dan Rein mendekat. Wajah Maira tampak khawatir, sementara Rein berusaha tetap tenang. “Ada apa, Kaisar? Kenapa wajahmu tegang begitu?” tanya Maira dengan nada cemas. Kaisar menghela napas, mencoba menaha
Bab 26: Kedatangan yang Tak Terduga Rumah besar dan mewah milik Maira dan Rein dipenuhi dengan aktivitas sejak pagi itu. Persiapan resepsi pernikahan Kanaya dan Kaisar yang akan digelar malam ini tengah berlangsung dengan penuh semangat. Maira berkeliling memastikan semua detail dipersiapkan dengan sempurna, sementara Kaisar dan Kanaya membantu semampu mereka. Analea dan Ratu pun ikut membantu Maira. “Kaisar, nanti jangan lupa ke ruang ganti untuk cek lagi setelan jasnya, ya,” ujar Maira sambil memeriksa daftar tamu undangan. Meski mereka memakai jasa WO, Maira tak ingin ada hal sekecil apapun yang terlewat. “Iya, Ma,” jawab Kaisar sambil tersenyum, lalu beralih ke Kanaya yang tampak sibuk dengan telepon genggamnya, memastikan tamu dari pihaknya juga sudah menerima undangan. Ia juga menyiapkan transportasi untuk para keluarganya dari Bogor.Setelah kembali dari ruang ganti, Kaisar kembali menemani Kanaya yang masih mendata para tamunya di ruang tamu. Mereka yang sedang duduk di sof