Sehari sebelumnya, Kaisar memang mencari tau dimana lokasi wisuda Kanaya. Ia juga menghubungi Permadi untuk memastikan kedatangan paman Kanaya itu. Namun Permadi tidak kunjung memberinya kabar. Pagi tadi Kaisar memang sudah tiba di gedung tempat wisuda akan berlangsung . Pria tampan dan gagah itu sempat menjadi pusat perhatian di kalangan para undangan. Kampus tempat Kanaya kuliah adalah kampus negeri yang rata-rata mahasiswanya dari kalangan menengah ke bawah. Penampilan para undangan pun tergolong sederhana. Sedangkan penampilan Kaisar yang cukup berbeda dari yang lainnya sempat menjadi pusat perhatian. Setelah bersusah payah menghindar agar Kanaya tidak melihatnya, akhirnya ia memutuskan untuk muncul saat tau Permadi tidak datang menghadiri acara wisuda istrinya itu. Sejak awal Kaisar berniat hanya ingin menyaksikan prosesi wisuda Kanaya dari jarak jauh. Ia tidak menduga Kanaya berhasil meraih nilai tertinggi di kampusnya. Namun, ketika ia tahu Permadi tidak datang, Kaisar nekad
"Terima kasih untuk semuanya, Pak. Saya ... sudah banyak merepotkan." Kanaya bersiap akan turun. Mereka baru saja sampai di depan rumah kost Kanaya. Kaisar tersenyum." Tidak ada yang merepotkan, Kanaya. Kalau di luar kantor, anggap saja kita ini berteman." Kanaya mengerutkan keningnya."Berteman?" tanyanya bingung. "Ya. Kamu mau kan, berteman dengan saya?" Kaisar mengerling. Senyumnya melebar melihat Kanaya mengangguk canggung. "Atau ... kamu boleh anggap saya seperti kakakmu." Kanaya kembali mengangguk sambil tersenyum malu-malu. Ia membuka sabuk pengaman dan bergerak turun." Saya turun sekarang, Pak. Sekali lagi terima kasih." Kaisar mengangguk. Kanaya melambaikan tangannya saat mobil Kaisar melaju pergi. Ketika sudah berada di kamar kostnya, Kanaya kembali bercermin. Ia tersenyum sendiri mengingat semua yang dilakukan Kaisar untuknya hari ini. Gadis mana yang tidak berdebar menerima perlakuan manis dari pria tampan sekaligus tajir seperti Kaisar. Wanita manapun tidak akan su
Dada Kaisar bergemuruh menatap Kanaya tergugu di sebelahnya. Tenggorokannya tercekat, mulutnya kaku tak bisa bicara. Dirinya seakan membeku di tempatnya. Hingga beberapa menit kemudian Kanaya tampak lebih tenang. "Ini!" Kaisar menyodorkan saputangannya. "Te-terima kasih, Pak. Maaf, lagi-lagi saya terbawa suasana. Saya rindu Ayah saya." Kanaya menerima saputangan itu malu-malu, lalu mengusap matanyanya yang basah. "Hmmm ... saya bisa memahami perasaanmu," sahut Kaisar dengan rasa bersalah di hatinya. Setelah berdoa, keduanya berdiri dan berjalan kembali ke mobil. "Sekarang kamu mau kemana?" Kaisar mulai menyalakan mesin mobilnya. "Entahlah, Pak. Saya nggak punya banyak family di sini. Mungkin kembali ke kostan saja. "Mumpung libur, kita cari tempat makan yang enak saja di sini. Saya juga sudah lama nggak liburan." Kanaya tersenyum," terserah Bapak saja." Kaisar terlihat lega karena Kanaya sudah kembali tersenyum dan ceria. Tapi di lubuk hatinya yang terdalam, kegelisahan makin
“Kita... kita di mana, Pak?” Kanaya berbisik, setengah tak percaya. Ia menatap rumah megah berlantai tiga yang berdiri menjulang di balik gerbang. Dindingnya terbuat dari marmer putih berkilau, pilar-pilar besar berdiri kokoh menghiasi bagian depan, dan halaman yang luas dipenuhi lampu taman yang menerangi setiap sudutnya. “Rumah orang tua saya,” jawab Kaisar ringan. Kanaya terdiam. “Apa? Bapak bercanda?” Netranya tiba-tiba melebar. “Aku kelihatan bercanda?” tanya Kaisar, menaikkan sebelah alis. Ia turun dari mobil dan berjalan ke arah gerbang, menekan tombol di interkom. Karena sudah malam, security yang biasa di pos depan sudah masuk ke dalam. "Pak, tolong bukain gerbangnya.” Kanaya masih terpaku di tempatnya saat pintu gerbang itu terbuka. Kaisar kembali ke mobil dan membawanya memasukki gerbang. Beberapa detik kemudian ia membuka pintu mobil. “Ayo turun. Kalau kamu tinggal di sini semalam, nggak ada yang bakal usir kamu.” Kanaya menelan ludah. Menginap di rumah orang tua bos
Pagi itu, Kanaya terbangun oleh suara kicauan burung yang terdengar dari luar jendela. Ia mengerjapkan mata, mencoba mengingat di mana ia berada. Begitu kesadarannya pulih, ia terhenyak merasakan tempat tidur empuk, kamar luas, dan pemandangan halaman belakang yang hijau, menegaskan bahwa ia masih berada di rumah orang tua Kaisar. “Aku benar-benar menginap di rumah Pak Kaisar semalam,” bisiknya pada diri sendiri. Ia setengah tidak percaya. Setelah beberapa menit termenung, Kanaya memutuskan untuk bangun. Ia melihat jam dinding yang menunjukkan pukul 06.30. Ia harus segera siap-siap. Pasti aneh jika dia masih bermalas-malasan di rumah bosnya. Setelah membersihkan diri, Kanaya keluar dari kamarnya, tapi langkahnya terhenti ketika ia melihat seseorang berdiri di depan pintu kamarnya. “Pagi, Kanaya. Apa tidur kamu nyenyak semalam?” Maira muncul dengan senyuman hangat. Ia memandang Kanaya dengan sangat perhatian. “Pa-pagi, Bu,” balas Kanaya tergagap, cepat-cepat menunduk. “Maaf, saya
Suasana di mobil kembali hening. Kanaya memilih memandang keluar jendela, tidak tahu harus berkata apa. Pikirannya masih penuh dengan kalimat-kalimat yang diucapkan Kaisar tadi. Mungkin karena selama ini ia terbiasa memandang pria itu hanya sebagai atasan yang tegas dan tak pernah memikirkan apa-apa selain pekerjaan. Namun, jauh di dalam dirinya, Kaisar sibuk bergelut dengan perasaan yang berbeda. Semua kata-kata yang ia ucapkan tadi mungkin terdengar santai dan penuh perhatian, tetapi ada kecemasan besar yang tersembunyi di balik senyum dan tatapan lembutnya. Dia tahu, cepat atau lambat, hubungan mereka akan sampai pada titik di mana kebenaran harus terungkap. Dan jika itu terjadi ... akankah Kanaya masih memandangnya dengan cara yang sama? Kaisar menggenggam setir dengan erat, berusaha mengatur napasnya. Dia tidak pernah merasa takut akan penilaian siapa pun. Sebagai CEO, ia terbiasa mengambil risiko dan membuat keputusan sulit. Tapi kali ini, dia tidak tahu apa yang akan terjadi
Akhir pekan Kanaya kembali pulang ke Bogor tanpa sepengetahuan Kaisar. Saat ini Kanaya berdiri di depan rumah kayu sederhana milik Permadi, menatap pintu yang sudah begitu akrab di matanya. Udara dingin khas Bogor pagi itu terasa menusuk kulitnya, seolah-olah ikut menyambut kedatangannya dengan cara yang dingin. “Mamang!” panggilnya sambil mengetuk pintu perlahan. Tak butuh waktu lama, pintu itu terbuka, menampakkan sosok pria paruh baya dengan wajah mirip sang ayah dan rambut yang mulai memutih. Netra Permadi melebar saat melihat keponakannya berdiri di depan pintu, tanpa pemberitahuan apa pun. “Kanaya?” tanya Permadi dengan nada tak percaya. “Kamu pulang mendadak? Ada apa? Kenapa nggak bilang dulu?” Kanaya hanya tersenyum kecil, mencoba menyembunyikan segala perasaan kacau di hatinya. “Maaf, Mang. Naya … memang sengaja nggak ngasih kabar dulu. Mamang sehat?” “Alhamdulillah sehat, Neng.” Permadi mengangguk sambil mempersilakan Kanaya masuk. “Sini, masuk dulu. Udah lama
Kanaya berdiri di ambang pintu, menatap halaman rumah sang paman yang tampak lengang di siang hari. Suasana Bogor yang biasanya membawa ketenangan kini terasa menyesakkan dadanya. Udara segar yang berhembus pun tidak mampu menenangkan perasaannya yang kacau. Ia baru saja mengutarakan keinginan yang sudah lama ia pendam kepada Permadi—keinginan untuk menceraikan pria yang bahkan tidak ia kenal. Setelah pembicaraan panjang tadi, Kanaya merasa sudah tidak ada lagi yang perlu dibicarakan di sini. "Naya pamit, Mang." “Nggak mau makan dulu?” Permadi mencoba menahan, tatapannya penuh kekhawatiran. Kanaya menggeleng pelan. “Nggak usah, Mang. Naya harus pulang ke Jakarta sekarang. Masih ada kerjaan yang harus Naya selesaikan.” Permadi menghela napas berat. Gadis di depannya ini memang keras kepala, sama seperti kakaknya. Ketika sudah membuat keputusan, tidak ada yang bisa mengubah pikirannya. Namun, ia tidak mungkin membiarkan masalah ini selesai begitu saja. Ada yang ia pertaruhkan di sin