Suasana di mobil kembali hening. Kanaya memilih memandang keluar jendela, tidak tahu harus berkata apa. Pikirannya masih penuh dengan kalimat-kalimat yang diucapkan Kaisar tadi. Mungkin karena selama ini ia terbiasa memandang pria itu hanya sebagai atasan yang tegas dan tak pernah memikirkan apa-apa selain pekerjaan. Namun, jauh di dalam dirinya, Kaisar sibuk bergelut dengan perasaan yang berbeda. Semua kata-kata yang ia ucapkan tadi mungkin terdengar santai dan penuh perhatian, tetapi ada kecemasan besar yang tersembunyi di balik senyum dan tatapan lembutnya. Dia tahu, cepat atau lambat, hubungan mereka akan sampai pada titik di mana kebenaran harus terungkap. Dan jika itu terjadi ... akankah Kanaya masih memandangnya dengan cara yang sama? Kaisar menggenggam setir dengan erat, berusaha mengatur napasnya. Dia tidak pernah merasa takut akan penilaian siapa pun. Sebagai CEO, ia terbiasa mengambil risiko dan membuat keputusan sulit. Tapi kali ini, dia tidak tahu apa yang akan terjadi
Akhir pekan Kanaya kembali pulang ke Bogor tanpa sepengetahuan Kaisar. Saat ini Kanaya berdiri di depan rumah kayu sederhana milik Permadi, menatap pintu yang sudah begitu akrab di matanya. Udara dingin khas Bogor pagi itu terasa menusuk kulitnya, seolah-olah ikut menyambut kedatangannya dengan cara yang dingin. “Mamang!” panggilnya sambil mengetuk pintu perlahan. Tak butuh waktu lama, pintu itu terbuka, menampakkan sosok pria paruh baya dengan wajah mirip sang ayah dan rambut yang mulai memutih. Netra Permadi melebar saat melihat keponakannya berdiri di depan pintu, tanpa pemberitahuan apa pun. “Kanaya?” tanya Permadi dengan nada tak percaya. “Kamu pulang mendadak? Ada apa? Kenapa nggak bilang dulu?” Kanaya hanya tersenyum kecil, mencoba menyembunyikan segala perasaan kacau di hatinya. “Maaf, Mang. Naya … memang sengaja nggak ngasih kabar dulu. Mamang sehat?” “Alhamdulillah sehat, Neng.” Permadi mengangguk sambil mempersilakan Kanaya masuk. “Sini, masuk dulu. Udah lama
Kanaya berdiri di ambang pintu, menatap halaman rumah sang paman yang tampak lengang di siang hari. Suasana Bogor yang biasanya membawa ketenangan kini terasa menyesakkan dadanya. Udara segar yang berhembus pun tidak mampu menenangkan perasaannya yang kacau. Ia baru saja mengutarakan keinginan yang sudah lama ia pendam kepada Permadi—keinginan untuk menceraikan pria yang bahkan tidak ia kenal. Setelah pembicaraan panjang tadi, Kanaya merasa sudah tidak ada lagi yang perlu dibicarakan di sini. "Naya pamit, Mang." “Nggak mau makan dulu?” Permadi mencoba menahan, tatapannya penuh kekhawatiran. Kanaya menggeleng pelan. “Nggak usah, Mang. Naya harus pulang ke Jakarta sekarang. Masih ada kerjaan yang harus Naya selesaikan.” Permadi menghela napas berat. Gadis di depannya ini memang keras kepala, sama seperti kakaknya. Ketika sudah membuat keputusan, tidak ada yang bisa mengubah pikirannya. Namun, ia tidak mungkin membiarkan masalah ini selesai begitu saja. Ada yang ia pertaruhkan di sin
Sejak percakapan dengan Permadi, Kaisar tahu dia harus melakukan sesuatu. Dia tidak bisa membiarkan pernikahan ini berakhir begitu saja. Sejak saat itu, ia mulai menunjukkan lebih banyak perhatian pada Kanaya, meskipun gadis itu belum menyadarinya sebagai isyarat perasaan. Kaisar mulai dengan hal-hal kecil. Dia memastikan Kanaya tidak pernah merasa kesulitan dalam pekerjaannya. Setiap kali gadis itu terlihat kelelahan di kantor, Kaisar akan memberikan jeda istirahat tanpa terlihat berlebihan. Seperti pagi itu, ketika Kanaya baru saja selesai mengurus beberapa laporan penting, Kaisar datang ke meja kerjanya dengan dua cangkir minuman di tangan. “Naya, ini untuk kamu. Kamu pasti capek setelah rapat panjang tadi,” ucapnya ringan, memberikan secangkir teh hangat. Kanaya tertegun sejenak, memandang Kaisar dengan bingung. “Eh? Ini buat saya, Pak?” “Ya, buat kamu. Jangan panggil saya ‘Pak’ terus, kamu sudah janji, bukan?" ucap Kaisar dengan senyum tipis. Kanaya tersenyum canggung, tap
Hari-hari di kantor semakin sibuk untuk Kanaya. Proyek-proyek besar terus berdatangan, membuatnya semakin tenggelam dalam pekerjaan. Dalam setiap rapat, setiap laporan yang harus diselesaikan, dan setiap panggilan telepon yang tidak ada habisnya, Kanaya semakin jarang mengambil jeda untuk istirahat. Kaisar, yang selalu memperhatikannya, mulai melihat tanda-tanda kelelahan pada wajah gadis itu. “Naya, kamu baik-baik saja?” tanya Kaisar suatu hari di tengah-tengah rapat. Matanya penuh kekhawatiran saat melihat Kanaya yang tampak lesu dan pucat. Kanaya hanya mengangguk kecil, meskipun jelas-jelas tubuhnya mulai menunjukkan tanda-tanda lelah yang tidak bisa ia abaikan lagi. “Saya baik-baik saja, Pak,” jawabnya, mencoba tersenyum meskipun suaranya terdengar sedikit lemah. Kaisar menatapnya tajam, seolah bisa melihat kebohongan dalam kata-katanya. Tapi ia tahu Kanaya terlalu keras kepala untuk mengakui bahwa dirinya sedang tidak baik. “Kamu butuh istirahat, Naya. Jangan terlalu memaksaka
"Pak Kaisar?” ulangnya, kali ini dengan nada penuh keheranan. Permadi menatap Kaisar dengan mata terbelalak, bingung dengan apa yang baru saja ia saksikan. “Kenapa Bapak di sini?” Kaisar, yang sudah menyadari situasi, tetap tenang meski dalam hatinya merasa sedikit panik. Namun, ia mencoba mengendalikan dirinya dengan tersenyum tipis. “Saya sudah lama di sini, Kang,” jawab Kaisar, suaranya tenang dan terukur. “Kanaya sudah terlalu kelelahan dengan pekerjaannya, jadi saya ingin memastikan dia mendapatkan perawatan terbaik.” Permadi masih tidak bisa menyembunyikan rasa terkejutnya. Ia tidak pernah menduga bahwa selama ini Kaisar dan Kanaya sudah sangat dekat. Tatapannya beralih ke Kanaya yang juga tampak kebingungan. "Mamang dan Pak Kaisar saling kenal?"Kanaya menatap keduanya bergantian, keningnya berkerut. “Naya, kenapa Pak Kaisar tahu kamu sakit?” tanya Permadi tanpa menjawab dulu pertanyaan Kanaya. Pria paruh baya itu justru mencoba mencari penjelasan dari keponakannya. Kanay
Beberapa minggu setelah Kaisar mengakui perasaannya, hubungan antara Kanaya dan atasannya itu menjadi semakin rumit. Kanaya tidak bisa berhenti memikirkan kata-kata Kaisar. Setiap kali ia menatap pria itu, hatinya berdebar lebih kencang. Namun, ada sesuatu yang masih menghalanginya untuk menerima perasaan itu. Kanaya merasa bersalah, terikat oleh pernikahan yang tidak pernah ia jalani, dan bingung dengan arah perasaannya sendiri. Di sisi lain, Kaisar semakin merasa terjepit oleh rahasia yang selama ini ia simpan rapat-rapat. Perasaan cinta yang tumbuh di antara mereka semakin nyata, tetapi kebenaran tentang pernikahan mereka yang masih dirahasiakan semakin membebani pikirannya. Bagaimana bisa ia mencintai seseorang yang bahkan tidak tahu bahwa mereka sudah menikah? Pagi itu di kantor, saat Kanaya sedang fokus pada pekerjaannya, telepon di meja kerjanya berdering. Nama yang muncul di layar membuat jantungnya berdebar cepat. Itu adalah Permadi, pamannya. Kanaya segera mengangkat tele
Pagi itu, Kanaya tidak bisa menghilangkan perasaan cemas yang menggantung di benaknya. Telepon dari pamannya, Permadi, terus terngiang-ngiang di kepalanya. Ada sesuatu tentang pernikahannya yang tidak ia ketahui? Tapi apa? Kenapa hal itu begitu penting sehingga pamannya bersikeras membicarakannya secara langsung? Sambil duduk di meja kerjanya, Kanaya mencoba fokus pada pekerjaannya, tetapi pikirannya terus melayang. Bayangan tentang pernikahannya yang misterius dengan pria yang tidak pernah ia temui membuatnya merasa terjebak. Di sisi lain, perasaan yang semakin dalam terhadap Kaisar juga membingungkannya. Bagaimana bisa ia terus merasakan cinta yang tumbuh untuk pria lain sementara ia terikat dengan pernikahan yang tidak pernah ia jalani? Ketika jam makan siang tiba, Kanaya memutuskan untuk duduk di kantin bersama beberapa rekan kerjanya. Mereka bercanda dan berbincang tentang hal-hal ringan, tetapi Kanaya hanya tersenyum tipis dan lebih banyak diam. Pikirannya masih tertuju pada t