"Kanaya, tenanglah! Jangan takut. Ada Saya." Kanaya mengangguk. Rasa ragu dan khawatir yang tadi ia rasakan sedikit berkurang. Kini ia melangkah bersisian dengan Kaisar menuju pintu masuk sebuah restoran mewah. Seorang pelayan mengantar mereka ke satu ruangan yang terpisah. "Silakan Pak Kaisar. Tuan Riv sudah menunggu!" Saat pintu ruangan itu terbuka, tampak seorang pria berwajah asing telah duduk menunggu. Pria itu berdiri ketika Kaisar dan Kanaya masuk. "Apa kabar, Pak Kaisar." "Baik. Anda hanya sendiri?" Kaisar mengedarkan pandangannya. "Ya, kita hanya sekedar makan siang, bukan?"sahut pria yang tingginya diatas rata-rata itu. Pria bule itu ternyata sangat lancar berbahasa indonesia."Ya, kenalkan ini Kanaya asisten saya!" Kaisar melirik pada Kanaya yang mengangguk ramah. "Oh, hai, Kanaya. Senang berkenalan denganmu!" "Terima kasih, Tuan!" Lagi-lagi Kanaya hanya mengangguk sopan, lalu ikut duduk di sebelah Kaisar. Saat ini Kanaya hanya mendengarkan dua pria tampan itu sali
"Terima kasih Pak ... tumpangannya," ucap Kanaya sedikit membungkuk. Ia merasa tak enak hati pada Kaisar karena tatapan teman-temannya. "Sama-sama, Kanaya. Besok jangan telat! Ini punya kamu!" Kaisar menyodorkan beberapa paper bag, lalu mengangguk ramah pada para gadis di teras itu hingga mereka makin terpesona. Kemudian kembali ke mobil dan pergi dari tempat itu. Dengan wajah bingung Kanaya terpaksa menerima paperbag dari tangan Kaisar. Ia tidak mungkin menanyakan tentang paper bag itu di depan teman-temannya. Karena ia sendiri masih bingung dengan sikap Kaisar hari itu. Apa mungkin ia bersikap seperti ini pada setiap asisten pribadinya? "Gila kamu, Nay! Itu siapa? Sumpah cakep banget!" Salah satu teman Kanaya tampak histeris. "Kamu juga kenapa jadi cantik begini?" Sedangkan temannya yang lain sibuk memutar-mutar tubuh Kanaya dan memandang gadis itu tak berkedip. "Ini pasti baju mahal. Aku tau merek ini. Tapi kamu punya uang dari mana buat beli ini semua?" Para gadis itu pun men
"Bersiaplah! Sebentar lagi kita ke kantor. Saya tunggu di luar!" Kaisar sempat gelagapan menerima tatapan intens dari Kanaya. Akhirnya ia memutuskan untuk keluar dari kamar paviliun itu. "Pakaian Mbak Kanaya bisa disimpan di lemari ini. Kulkas kecil ini juga bisa digunakan. Untuk listrik di sini bebas. Mbak Kanaya boleh isi micowave, kompor listrik, televisi atau elektronik lainnya." Lagi-lagi Kanaya tercengang dengan fasilitas kamar kost yang ia dapat. Tempat tidur serta lemari di kamar itu pun cukup mewah. Ia sangat yakin kalau biaya sewa di sana sangat mahal. "Terima kasih, Bu." Kanaya mengangguk. "Saya permisi dulu. Mbak Kanaya pasti mau siap-siap ke kantor." Setelah wanita paruh baya itu pergi, Kanaya bergegas mengganti pakaiannya. Karena belum membeli pakaian kantor, ia terpaksa memakai pakaian pemberian Kaisar semalam. Pakaian itu sangat pas di tubuhnya. Kali ini ia mengenakan stelan blazer dengan aksen cantik di bagian dada dan rok span panjang. Sejenak ia kembali mengag
"Ma-maaf, Tuan Riv. Saya sedang di jalan. Apa boleh nanti dilanjutkan lagi?" Kanaya bicara gugup. Ia tidak bisa menghindar dari tatapan tajam Kaisar. Kanaya menghela napas lega karena Tuan Riv mau memutuskan panggilannya. "Lain kali nggak usah diangkat!" tegas Kaisar yang kini melanjutkan aktifitas makannya."Iya, Pak," jawab Kanaya. Ia pun melanjutkan makannya, meski hatinya tidak tenang. "Nanti kalau si Riv itu telephon kamu lagi, abaikan saja," lanjut Kaisar "Kalau dia nanti marah gimana, Pak? Apa tidak berpengaruh sama kontrak perusahaan?" "Jelas tidak. Dia hanya mau mengganggu kamu." "Baik, Pak." Kanaya tersenyum lega. Setelah selesai makan, keduanya langsung menuju Eternal Group. Saat baru sampai di lobby, security membukakan pintu mobil. Kaisar dan Kanaya turun dari pintu yang berbeda, kemudian keduanya jalan bersisian. Hampir semua karyawan yang mereka lewati menoleh dengan wajah tercengang. Mereka terkejut melihat penampilan Kanaya yang jauh berbeda dari biasanya. Ga
Sudah hampir satu bulan Kanaya bekerja di Eternal Group. Selama itu pula ia tidak mempedulikan sindiran atau ejekan para karyawan yang tidak menyukainya. Selama ini Kaisar memperlakukannya dengan baik. Risa pun mau mengajarkannya pekerjaan yang tidak ia mengerti. "Bagaimanan, Kanaya? Kamu betah kerja di sini?" tanya Kaisar saat baru selesai meeting dengan relasi perusahaan. "Betah, Pak," sahut Kanaya mantap hingga membuat hati Kaisar menghangat. "Oh ya, Pak. Lusa saya boleh izin?" "Tentu. Mau kemana?" tanya Kaisar penasaran. "Saya ... mau wisuda, Pak." Wajah Kanaya mendadak murung. "Ya, tentu boleh. Ehm ... apa ... mau saya temani?" Netra Kanaya melebar karena terkejut dengan pertanyaan Kaisar. Selama ini atasannya itu memang sangat baik padanya. Tapi kali ini ia merasa aneh jika Kaisar mau menghadiri acara wisudanya. "Oh, maksud saya ..., maaf saya dengar kamu sudah tidak ada ... orang tua. Mungkin kamu mau jika saya menggantikannya?" Kaisar bicara hati-hati. Ia khawatir jika
Sehari sebelumnya, Kaisar memang mencari tau dimana lokasi wisuda Kanaya. Ia juga menghubungi Permadi untuk memastikan kedatangan paman Kanaya itu. Namun Permadi tidak kunjung memberinya kabar. Pagi tadi Kaisar memang sudah tiba di gedung tempat wisuda akan berlangsung . Pria tampan dan gagah itu sempat menjadi pusat perhatian di kalangan para undangan. Kampus tempat Kanaya kuliah adalah kampus negeri yang rata-rata mahasiswanya dari kalangan menengah ke bawah. Penampilan para undangan pun tergolong sederhana. Sedangkan penampilan Kaisar yang cukup berbeda dari yang lainnya sempat menjadi pusat perhatian. Setelah bersusah payah menghindar agar Kanaya tidak melihatnya, akhirnya ia memutuskan untuk muncul saat tau Permadi tidak datang menghadiri acara wisuda istrinya itu. Sejak awal Kaisar berniat hanya ingin menyaksikan prosesi wisuda Kanaya dari jarak jauh. Ia tidak menduga Kanaya berhasil meraih nilai tertinggi di kampusnya. Namun, ketika ia tahu Permadi tidak datang, Kaisar nekad
"Terima kasih untuk semuanya, Pak. Saya ... sudah banyak merepotkan." Kanaya bersiap akan turun. Mereka baru saja sampai di depan rumah kost Kanaya. Kaisar tersenyum." Tidak ada yang merepotkan, Kanaya. Kalau di luar kantor, anggap saja kita ini berteman." Kanaya mengerutkan keningnya."Berteman?" tanyanya bingung. "Ya. Kamu mau kan, berteman dengan saya?" Kaisar mengerling. Senyumnya melebar melihat Kanaya mengangguk canggung. "Atau ... kamu boleh anggap saya seperti kakakmu." Kanaya kembali mengangguk sambil tersenyum malu-malu. Ia membuka sabuk pengaman dan bergerak turun." Saya turun sekarang, Pak. Sekali lagi terima kasih." Kaisar mengangguk. Kanaya melambaikan tangannya saat mobil Kaisar melaju pergi. Ketika sudah berada di kamar kostnya, Kanaya kembali bercermin. Ia tersenyum sendiri mengingat semua yang dilakukan Kaisar untuknya hari ini. Gadis mana yang tidak berdebar menerima perlakuan manis dari pria tampan sekaligus tajir seperti Kaisar. Wanita manapun tidak akan su
Dada Kaisar bergemuruh menatap Kanaya tergugu di sebelahnya. Tenggorokannya tercekat, mulutnya kaku tak bisa bicara. Dirinya seakan membeku di tempatnya. Hingga beberapa menit kemudian Kanaya tampak lebih tenang. "Ini!" Kaisar menyodorkan saputangannya. "Te-terima kasih, Pak. Maaf, lagi-lagi saya terbawa suasana. Saya rindu Ayah saya." Kanaya menerima saputangan itu malu-malu, lalu mengusap matanyanya yang basah. "Hmmm ... saya bisa memahami perasaanmu," sahut Kaisar dengan rasa bersalah di hatinya. Setelah berdoa, keduanya berdiri dan berjalan kembali ke mobil. "Sekarang kamu mau kemana?" Kaisar mulai menyalakan mesin mobilnya. "Entahlah, Pak. Saya nggak punya banyak family di sini. Mungkin kembali ke kostan saja. "Mumpung libur, kita cari tempat makan yang enak saja di sini. Saya juga sudah lama nggak liburan." Kanaya tersenyum," terserah Bapak saja." Kaisar terlihat lega karena Kanaya sudah kembali tersenyum dan ceria. Tapi di lubuk hatinya yang terdalam, kegelisahan makin