"Bersiaplah! Sebentar lagi kita ke kantor. Saya tunggu di luar!" Kaisar sempat gelagapan menerima tatapan intens dari Kanaya. Akhirnya ia memutuskan untuk keluar dari kamar paviliun itu. "Pakaian Mbak Kanaya bisa disimpan di lemari ini. Kulkas kecil ini juga bisa digunakan. Untuk listrik di sini bebas. Mbak Kanaya boleh isi micowave, kompor listrik, televisi atau elektronik lainnya." Lagi-lagi Kanaya tercengang dengan fasilitas kamar kost yang ia dapat. Tempat tidur serta lemari di kamar itu pun cukup mewah. Ia sangat yakin kalau biaya sewa di sana sangat mahal. "Terima kasih, Bu." Kanaya mengangguk. "Saya permisi dulu. Mbak Kanaya pasti mau siap-siap ke kantor." Setelah wanita paruh baya itu pergi, Kanaya bergegas mengganti pakaiannya. Karena belum membeli pakaian kantor, ia terpaksa memakai pakaian pemberian Kaisar semalam. Pakaian itu sangat pas di tubuhnya. Kali ini ia mengenakan stelan blazer dengan aksen cantik di bagian dada dan rok span panjang. Sejenak ia kembali mengag
"Ma-maaf, Tuan Riv. Saya sedang di jalan. Apa boleh nanti dilanjutkan lagi?" Kanaya bicara gugup. Ia tidak bisa menghindar dari tatapan tajam Kaisar. Kanaya menghela napas lega karena Tuan Riv mau memutuskan panggilannya. "Lain kali nggak usah diangkat!" tegas Kaisar yang kini melanjutkan aktifitas makannya."Iya, Pak," jawab Kanaya. Ia pun melanjutkan makannya, meski hatinya tidak tenang. "Nanti kalau si Riv itu telephon kamu lagi, abaikan saja," lanjut Kaisar "Kalau dia nanti marah gimana, Pak? Apa tidak berpengaruh sama kontrak perusahaan?" "Jelas tidak. Dia hanya mau mengganggu kamu." "Baik, Pak." Kanaya tersenyum lega. Setelah selesai makan, keduanya langsung menuju Eternal Group. Saat baru sampai di lobby, security membukakan pintu mobil. Kaisar dan Kanaya turun dari pintu yang berbeda, kemudian keduanya jalan bersisian. Hampir semua karyawan yang mereka lewati menoleh dengan wajah tercengang. Mereka terkejut melihat penampilan Kanaya yang jauh berbeda dari biasanya. Ga
Sudah hampir satu bulan Kanaya bekerja di Eternal Group. Selama itu pula ia tidak mempedulikan sindiran atau ejekan para karyawan yang tidak menyukainya. Selama ini Kaisar memperlakukannya dengan baik. Risa pun mau mengajarkannya pekerjaan yang tidak ia mengerti. "Bagaimanan, Kanaya? Kamu betah kerja di sini?" tanya Kaisar saat baru selesai meeting dengan relasi perusahaan. "Betah, Pak," sahut Kanaya mantap hingga membuat hati Kaisar menghangat. "Oh ya, Pak. Lusa saya boleh izin?" "Tentu. Mau kemana?" tanya Kaisar penasaran. "Saya ... mau wisuda, Pak." Wajah Kanaya mendadak murung. "Ya, tentu boleh. Ehm ... apa ... mau saya temani?" Netra Kanaya melebar karena terkejut dengan pertanyaan Kaisar. Selama ini atasannya itu memang sangat baik padanya. Tapi kali ini ia merasa aneh jika Kaisar mau menghadiri acara wisudanya. "Oh, maksud saya ..., maaf saya dengar kamu sudah tidak ada ... orang tua. Mungkin kamu mau jika saya menggantikannya?" Kaisar bicara hati-hati. Ia khawatir jika
Sehari sebelumnya, Kaisar memang mencari tau dimana lokasi wisuda Kanaya. Ia juga menghubungi Permadi untuk memastikan kedatangan paman Kanaya itu. Namun Permadi tidak kunjung memberinya kabar. Pagi tadi Kaisar memang sudah tiba di gedung tempat wisuda akan berlangsung . Pria tampan dan gagah itu sempat menjadi pusat perhatian di kalangan para undangan. Kampus tempat Kanaya kuliah adalah kampus negeri yang rata-rata mahasiswanya dari kalangan menengah ke bawah. Penampilan para undangan pun tergolong sederhana. Sedangkan penampilan Kaisar yang cukup berbeda dari yang lainnya sempat menjadi pusat perhatian. Setelah bersusah payah menghindar agar Kanaya tidak melihatnya, akhirnya ia memutuskan untuk muncul saat tau Permadi tidak datang menghadiri acara wisuda istrinya itu. Sejak awal Kaisar berniat hanya ingin menyaksikan prosesi wisuda Kanaya dari jarak jauh. Ia tidak menduga Kanaya berhasil meraih nilai tertinggi di kampusnya. Namun, ketika ia tahu Permadi tidak datang, Kaisar nekad
"Terima kasih untuk semuanya, Pak. Saya ... sudah banyak merepotkan." Kanaya bersiap akan turun. Mereka baru saja sampai di depan rumah kost Kanaya. Kaisar tersenyum." Tidak ada yang merepotkan, Kanaya. Kalau di luar kantor, anggap saja kita ini berteman." Kanaya mengerutkan keningnya."Berteman?" tanyanya bingung. "Ya. Kamu mau kan, berteman dengan saya?" Kaisar mengerling. Senyumnya melebar melihat Kanaya mengangguk canggung. "Atau ... kamu boleh anggap saya seperti kakakmu." Kanaya kembali mengangguk sambil tersenyum malu-malu. Ia membuka sabuk pengaman dan bergerak turun." Saya turun sekarang, Pak. Sekali lagi terima kasih." Kaisar mengangguk. Kanaya melambaikan tangannya saat mobil Kaisar melaju pergi. Ketika sudah berada di kamar kostnya, Kanaya kembali bercermin. Ia tersenyum sendiri mengingat semua yang dilakukan Kaisar untuknya hari ini. Gadis mana yang tidak berdebar menerima perlakuan manis dari pria tampan sekaligus tajir seperti Kaisar. Wanita manapun tidak akan su
Dada Kaisar bergemuruh menatap Kanaya tergugu di sebelahnya. Tenggorokannya tercekat, mulutnya kaku tak bisa bicara. Dirinya seakan membeku di tempatnya. Hingga beberapa menit kemudian Kanaya tampak lebih tenang. "Ini!" Kaisar menyodorkan saputangannya. "Te-terima kasih, Pak. Maaf, lagi-lagi saya terbawa suasana. Saya rindu Ayah saya." Kanaya menerima saputangan itu malu-malu, lalu mengusap matanyanya yang basah. "Hmmm ... saya bisa memahami perasaanmu," sahut Kaisar dengan rasa bersalah di hatinya. Setelah berdoa, keduanya berdiri dan berjalan kembali ke mobil. "Sekarang kamu mau kemana?" Kaisar mulai menyalakan mesin mobilnya. "Entahlah, Pak. Saya nggak punya banyak family di sini. Mungkin kembali ke kostan saja. "Mumpung libur, kita cari tempat makan yang enak saja di sini. Saya juga sudah lama nggak liburan." Kanaya tersenyum," terserah Bapak saja." Kaisar terlihat lega karena Kanaya sudah kembali tersenyum dan ceria. Tapi di lubuk hatinya yang terdalam, kegelisahan makin
“Kita... kita di mana, Pak?” Kanaya berbisik, setengah tak percaya. Ia menatap rumah megah berlantai tiga yang berdiri menjulang di balik gerbang. Dindingnya terbuat dari marmer putih berkilau, pilar-pilar besar berdiri kokoh menghiasi bagian depan, dan halaman yang luas dipenuhi lampu taman yang menerangi setiap sudutnya. “Rumah orang tua saya,” jawab Kaisar ringan. Kanaya terdiam. “Apa? Bapak bercanda?” Netranya tiba-tiba melebar. “Aku kelihatan bercanda?” tanya Kaisar, menaikkan sebelah alis. Ia turun dari mobil dan berjalan ke arah gerbang, menekan tombol di interkom. Karena sudah malam, security yang biasa di pos depan sudah masuk ke dalam. "Pak, tolong bukain gerbangnya.” Kanaya masih terpaku di tempatnya saat pintu gerbang itu terbuka. Kaisar kembali ke mobil dan membawanya memasukki gerbang. Beberapa detik kemudian ia membuka pintu mobil. “Ayo turun. Kalau kamu tinggal di sini semalam, nggak ada yang bakal usir kamu.” Kanaya menelan ludah. Menginap di rumah orang tua bos
Pagi itu, Kanaya terbangun oleh suara kicauan burung yang terdengar dari luar jendela. Ia mengerjapkan mata, mencoba mengingat di mana ia berada. Begitu kesadarannya pulih, ia terhenyak merasakan tempat tidur empuk, kamar luas, dan pemandangan halaman belakang yang hijau, menegaskan bahwa ia masih berada di rumah orang tua Kaisar. “Aku benar-benar menginap di rumah Pak Kaisar semalam,” bisiknya pada diri sendiri. Ia setengah tidak percaya. Setelah beberapa menit termenung, Kanaya memutuskan untuk bangun. Ia melihat jam dinding yang menunjukkan pukul 06.30. Ia harus segera siap-siap. Pasti aneh jika dia masih bermalas-malasan di rumah bosnya. Setelah membersihkan diri, Kanaya keluar dari kamarnya, tapi langkahnya terhenti ketika ia melihat seseorang berdiri di depan pintu kamarnya. “Pagi, Kanaya. Apa tidur kamu nyenyak semalam?” Maira muncul dengan senyuman hangat. Ia memandang Kanaya dengan sangat perhatian. “Pa-pagi, Bu,” balas Kanaya tergagap, cepat-cepat menunduk. “Maaf, saya