"Selamat datang di rumah kita, Sayang!" "Hah? Apa? Rumah kitaaa?" Netra Ratu membulat tak percaya. Raihan membeli rumah yang sangat ia sukai. "Ayo masuk!" Raihan merangkul Ratu ke dalam. Lagi-lagi Ratu tercengang melihat isi rumah yang sudah lengkap dengan perabotan mewah dan cantik. Ratu juga terkagum-kagum dengan desain interior yang ternyata sangat sesuai dengan seleranya. "Astaga, Rai! Ini bagus banget! Aku sukaaa!" Ratu memutar tubuhnya berhadapan pada Raihan. "Makasih, Sayang!" Raihan tersenyum bahagia setelah mendapatkan ciuman bertubi-tubi dari sang istri. Hari itu kehidupan mereka terasa berbeda. Apalagi kasus Sonia sudah berjalan dengan semestinya. Ratu benar-benar menemukan kebahagiaan seutuhnya bersama Raihan. Mereka tidak lagi tinggal di apartemen yang kamar tidurnya hanya satu. Kini Ratu malah bisa memperkerjakan beberapa ART di rumah mewahnya. Sebagai direktur sebuah perusahaan sekaligus sebagai seorang istri, kini ia bisa melakukan banyak hal. Raihan pun bahagia,
"Tapi dia sudah menyebabkan Naya kehilangan ayah, Mang. Dia mengubah hidup Naya dalam sekejap. Pokoknya sampai kapanpun Naya nggak mau ketemu sama dia. Naya juga nggak sudi terima apapun dari dia." Permadi tidak lagi bisa bicara. Ia hanya diam terpaku menatap Kanaya menangis. Hingga tak lama kemudian tangis gadis itu reda. "Mamang tadi ke makam, Ayah?"tanya Kanaya sambil mengusap wajahnya yang basah oleh air mata. Permadi menggeleng. "Enggak. Mamang belum ke sana lagi. Memangnya kenapa?" "Jadi tadi siapa yang datang ke makam ayah sebelum Naya?" Gadis cantik dengan rambut menutupi bahunya itu mengerutkan keningnya. "Tadi saat Naya datang, makam ayah basah dan banyak bunga tabur," lanjut Naya lagi. Tatapannya penuh tanda tanya tertuju pada Permadi. "Mungkin kerabat ayah yang datang. Kemarin memang banyak teman-teman yang belum datang melayat." Naya kembali diam. Wajahnya masih sangat murung. "Lalu apa rencana Naya selanjutnya? Saran Mamang, setelah selesai kuliah, Naya pindah k
"Selamat siang, Pak Kaisar. Ada yang bisa saya bantu?" Kaisar terdiam memandang kepala HRD yang sudah berdiri di depannya. Ia pun merasa bingung, kenapa ia malah masuk ke ruang HRD? Apa karena ingin menanyakan siapa gadis tadi?Kaisar menggeleng sendiri. Tentunya akan terasa aneh jika tiba-tiba saja ia mencari tahu nama gadis itu pada divisi HRD. "Ah, tidak ada. Saya hanya ingin tanya untuk calon asisten pribadi saya. Apakah sudah dapat?" Kepala HRD itu menggeleng." Belum ada lagi, Pak. Semua kandidat yang memenuhi syarat sudah melewati tahap wawancara dengan Bapak." "Oh, begitu." Kaisar menghempas napas kasar. Entah kenapa dia selalu merasa tidak ada yang cocok dengan semua kandidat. Ia akan bersama asisten pribadinya selama hampir 24 jam. Oleh karena itu ia tidak mau asal terima saja. "Tapi kami tetap masih berusaha mencarikan yang terbaik, Pak Kaisar." Kaisar mengangguk. Kemudian kembali melangkah menuju ruangannya. Kali ini ia memlilih jalan memutar, hingga melewati hampir s
"Pagi, Pak Kaisar! Bapak sedang memperhatikan siapa?" Kaisar terkejut mendengar seseorang menyapanya. "Eh, Pak Zaka. Tidak siapa-siapa, Pak. Saya hanya melihat para karyawan yang baru datang. Ternyata mereka datang tepat waktu dan tidak terlambat." Kaisar yang tadi sempat terkejut, langsung memasang wajah serius di depan pria paruh baya yang menyapanya. Kepala HRD yang dipanggil Pak Zaka itu tersenyum mengangguk. "Benar Pak. Jarang sekali ada karyawan yang terlambat. Apalagi karyawan magang. Mereka malah lebih rajin dari karyawan lainnya." Pria paruh baya itu terkekeh, lalu menyeruput kopi yang sudah hampir habis di tangannya. "Karyawan magang?" Kening Kaisar berkerut. "Ya, Pak. Kami menerima mahasiswa yang baru lulus untuk magang." "Oh, begitu." Kaisar langsung teringat dengan gadis yang menjadi perhatiannya sejak kemarin. Ingin rasanya ia menanyakan perihal gadis itu pada Pak Zaka. Tetapi ia tidak mau kepala HRD itu berpikir yang tidak-tidak tentangnya. "Ehm, berapa orang kary
"Nama saya Kanaya, Pak. Kanaya Putri." "S-siapaaa ...?" Netra Kaisar melebar mendengar nama yag diucapkan gadis itu. Napasnya seakan terhenti sesaat. Nama yang tidak asing di telinganya. Nama yang belakangan ini sering mengisi benaknya. "Ka-naya Putri, P-pak," ulang gadis itu. Ia pun terkejut melihat wajah Kaisar yang tiba-tiba berubah. Hal itu membuatnya gugup. Setelah menghela napas panjang, Kaisar buru-buru menutupi rasa terkejutnya. Ia berusaha berpikir positif. Bisa saja ini adalah kebetulan. Nama Kanaya putri pasti tidak hanya digunakan oleh satu orang saja di dunia ini. "Oh, ya. Kanaya. Apa kamu sudah tau tugasmu?" Kaisar kembali bicara dengan sikap wibawanya sebagai seorang CEO. "Be-belum, Pak." Kanaya masih tampak gugup. Kaisar tersenyum samar. Dalam hatinya ia merasa gemas dengan sikap gadis yang mungkin saja sepuluh tahun lebih muda darinya. "Kamu tinggal di mana?" "Di de-kat k-kampus, Pak." Kanaya masih menunduk. Ia makin gugup karena tatapan Kaisar yang cukup inte
Kaisar berdecak kesal karena Permadi tidak mengangkat panggilannya. Ia melirik arlojinya."Astaga! Sudah lewat waktunya makan siang. Gadis itu pasti belum makan." Dengan bergegas Kaisar kembali ke ruangannya. "Kanaya pasti menunggu dan tidak berani untuk keluar istirahat sebelum ada intruksi dari aku. Gadis itu masih sangat polos." Kaisar merasa khawatir hingga ia mempercepat langkahnya. Saat melewati meja Risa, ia tidak menemukan sekretarisnya itu di sana. Suasana di lantai itu sudah sepi karena sebagian besar karyawan sudah meninggalkan mejanya untuk makan siang. "Kanaya kamu ..." Kaisar tertegun saat baru saja membuka pintu. Benar saja, Kanaya masih berada di ruangannya. Netra Kaisar beralih ke meja makan yang ada di sisi kiri ruangan. Ia melihat ada makanan sudah tertata rapi di sana. "Makan siangnya sudah saya siapkan, Pak." Gadis itu sedikit mengangguk sopan sambil mengulurkan tangannya ke arah meja makan. Perlahan Kaisar mendekati meja makan. Ia tersenyum karena ternyata
"Apa aku mengundurkan diri saja? Rasanya aku belum sanggup jadi asisten pribadi CEO," gumamnya pelan, tapi terdengar jelas oleh teman-temannya. "Apa? Kamu jadi asisten pribadi? Bukannya kamu cuma magang, Nay?" Mendengar gumaman Kanaya, teman-temannya memandang heran pada dirinya. "Ya. Aku juga nggak tau. Mungkin ini cuma sementara aja. Yang aku pikirin sekarang, aku nggak punya pakaian kantor. Padahal besok aku akan ikut Pak Kaisar meeting di luar." Kanaya menatap kosong ke depan. "Wah, kamu keren, Nay! Meeting di luar sama bos. Pasti di restoran mahal." Teman-teman Kanaya berdecak kagum. "Keren apanya? Aku justru bingung nggak punya baju kantoran. Mungkin besok aku mengundurkan diri saja." Kanaya menunduk. Teman-temannya pun diam. Mereka yang juga dari keluarga sederhana tidak bisa membantu apa-apa. "Aku ke kamar dulu." Kanaya melangkah gontai meninggalkan teman-temannya. Besok pagi Kanaya masih akan memakai kemeja putih dan rok panjang berwarna hitam datang ke Eternal gro
"Apaa? Apa-apaan ini? Kenapa mengundurkan diri? Apa yang terjadi?" Tanpa sadar Kaisar bicara dengan meninggikan suaranya. Ia terkejut sekaligus kecewa. Ada rasa nyeri tiba-tiba muncul di dadanya. Apa mungkin Kanaya sudah tau bahwa mereka sebenarnya adalah suami istri? "Sa-saya tidak tau, Pak," jawab Risa menunduk. Melihat wajah Kaisar yang memerah, membuat Risa tak mau memandang lama wajah atasannya itu. Napas Kaisar sedikit memburu. Rasa rindu pada Kanaya yang ia pendam sejak semalam tiba-tiba berganti dengan rasa kecewa yang teramat dalam. "Dimana dia sekarang?" Kaisar menatap tajam pada Risa. "M-mungkin masih di ruang HRD, Pak." "Kalau begitu, segera panggil dan suruh menghadap saya. Cepaat!" Risa nyaris terlondak mendengar perintah Kaisar yang sama sekali tidak mau ditunda. Tanpa menunggu lagi dia bergegas bergerak menuju ruang HRD. "Pak, Pak Zaka. Mana Kanaya, Pak? Apa dia masih di sini?" Dengan wajah panik Risa langsung menerobos masuk ke ruang Pak Zaka-kepala HRD. "Kana
"Mengundang Raka? Apa itu perlu?" tanya Rein datar. Maira menghela napas panjang." Sayang, kita harus minta maaf pada Raka dan Kayla karena pernikahan Kaisar kemarin. Aku dengar, dia kecewa." Rein mendengkus kesal. "Bisa-bisanya dia kecewa. Seharusnya dia bisa memilih mana yang harus diprioritaskan. Lagipula, cuma gara-gara dia tidak bisa hadir, semua acara yang sudah direncanakan harus diubah begitu saja?" "Tapi dia papa kandung Kaisar, Rein!" bantah Maira. "Oh, jadi menurutmu Raka lebih berhak memutuskan semuanya daripada aku? Mengapa kamu tidak pernah mengerti, Kaisar itu lebih dari sekedar anak sambung untukku. Kami sudah bersama sejak dia baru bisa berjalan. Kamu pikir kemana Raka selama ini? Bisa-bisanya dia merasa sebagai ayah kandung yang harus diprioritaskan." Bicara Rein mulai meninggi. Hal ini membuat Maira menjadi panik. Ia tidak ingin Rein tiba-tiba sakit di hari bahagia ini. "Ya, Sayang. Sudah, ya. Maafkan aku," ucap Maira lembut. Ia langsung memeluk suaminya
Analea dan Fabian baru saja kembali dari rumah sakit setelah kelahiran anak pertama mereka. Maira dan Rein menyambut mereka dengan penuh antusias, sementara Fabian terlihat sangat hati-hati saat menggendong bayi mereka yang masih mungil. "Selamat datang kembali di rumah, sayang," ucap Maira sambil tersenyum hangat. Ia memeluk Analea dengan lembut. "Kamu luar biasa, Analea. Sekarang kamu sudah menjadi seorang ibu!" Maira membawa anak dan menantunya ke ruang tamu. Analea, meski terlihat lelah, tersenyum lebar. "Terima kasih, Ma. Rasanya aku masih nggak percaya akhirnya bayi kecil ini ada di sini," ujarnya sambil memandangi bayi perempuannya yang sedang tidur nyenyak di pelukan Fabian. Saat ini mereka sudah berada di ruang tamu rumah mewah itu. Rein yang berdiri di sebelah Maira tampak tersenyum bangga. "Ini cucu pertama kami. Rasanya seperti mimpi melihat kalian pulang dengan bayi mungil yang cantik," ucapnya sambil menepuk pelan bahu Fabian. Fabian tersenyum lega. "Kami juga merasa
Setelah tiga hari berada di hotel, pagi itu Kaisar dan Kanaya memutuskan untuk sarapan di restoran hotel sebelum melanjutkan rencana liburan singkat mereka. Meski tubuh sedikit lelah setelah melewati malam-malam yang panjang, kebahagiaan terus terpancar dari keduanya. "Maafin aku, Sayang. Aku belum sempat membawamu berlibur ke luar kota atau ke luar negeri. Rencananya setelah proyek terakhir ini selesai, aku akan mengajakmu ke suatu tempat yang indah dan tentunya cukup jauh." Kanaya tersenyum haru."Nggak apa-apa, Mas. Selama Mas ada di dekatku, bagiku di mana aja nggak masalah. Liburan di hotel ini pun sudah bikin aku bahagia. Pokoknya asal kita selalu bersama." Kanaya menatap Kaisar dengan lekat. Mendapatkan tatapan yang berbeda dari istrinya, Kaisar jadi berdebar dan salah tingkah." Aku suka kamu tidak lagi malu-malu, Sayang." Kaisar menjawil hidung mancung Kanaya. Keduanya tertawa kecil penuh kebahagiaan. Di saat sedang menikmati momen santai itu, tiba-tiba seorang pelayan men
“Ini dari Mama,” ucap Kaisar pelan sambil mengangkat telepon. “Halo, Ma?” Suara Maira terdengar penuh semangat di ujung telepon. “Kaisar! Kamu di mana? Analea sudah melahirkan!” Kaisar langsung terkejut. “Apa? Analea sudah melahirkan? Sekarang, Ma?” “Iya! Kami sudah di rumah sakit sekarang. Ayo cepat ke sini, Kaisar. Kalian harus segera datang,” jawab Maira dengan penuh kegembiraan. Kaisar menoleh ke arah Kanaya yang sudah berdiri di belakangnya. “Analea sudah melahirkan, Naya. Kita harus ke rumah sakit sekarang.” Mata Kanaya langsung berbinar. “Beneran, Mas? Ya ampun, aku harus segera siap-siap!” Kaisar tersenyum melihat antusiasme istrinya. “Iya, beneran. Ayo cepat kita berangkat.” Tanpa menunggu lama, setelah membersihkan diri dan berpakaian, Kanaya segera mengambil tas kecilnya, sementara Kaisar sudah siap di depan pintu. Mereka berdua keluar kamar dan menuju lobi hotel dengan cepat. Di perjalanan, Kanaya tampak begitu bersemangat. “Aku masih nggak nyangka, Mas. Kak Analea
“Naya, ini malam yang kita tunggu-tunggu,” bisik Kaisar sambil menatap istrinya dengan penuh cinta. Kaisar membuka pintu kamar dengan perlahan, lalu mengajak Kanaya masuk. Kamar itu dihiasi dengan bunga-bunga mawar yang wangi dan lilin-lilin kecil yang menambah suasana romantis. Kaisar menggenggam tangan Kanaya, lalu menuntunnya untuk duduk di tepi ranjang. Kanaya tersenyum kecil, meskipun wajahnya masih terlihat sedikit gugup. “Iya, Mas. Aku masih nggak percaya ini benar-benar terjadi.” Kaisar mengusap pipi Kanaya dengan lembut, lalu mengecupnya pelan. “Kamu nggak perlu takut. Aku akan selalu ada untukmu, sekarang dan selamanya.” Kanaya merasakan debaran di dadanya semakin kencang. “Terima kasih sudah mau menjagaku, Mas. Aku juga merasa sangat bahagia malam ini.” Mereka berdua saling menatap, merasakan betapa dalam cinta yang kini mengikat mereka. "Naya ...," bisik Kaisar. Ia menggeser tubuhnya hingga nyaris tak berjarak lagi dengan Kanaya. Satu tangannya mengusap lembut bibir
Malam itu, hotel mewah tempat resepsi berlangsung dipenuhi oleh tamu-tamu dari berbagai kalangan. Lampu kristal yang bergemerlapan menambah kemewahan suasana, sementara karpet merah yang terbentang menyambut setiap tamu yang datang. Kaisar dan Kanaya sudah siap di belakang panggung, menanti giliran mereka untuk memasuki ballroom utama sebagai pasangan suami istri yang resmi. “Kamu siap, Naya?” tanya Kaisar dengan senyum lembut, sambil menggenggam tangan istrinya yang sedikit gemetar. Kanaya mengangguk pelan, meski hatinya masih berdebar-debar. “Aku siap, Mas,” jawabnya. Di ballroom utama, para tamu sudah mulai berkumpul. Banyak wajah yang familiar hadir. Para karyawan yang mengenal Kanaya dan Kaisar datang mengenakan pakaian terbaik mereka. Beberapa dari mereka tampak saling berbicara pelan, masih terkejut dengan kabar bahwa asisten pribadi bos besar mereka ternyata adalah istrinya sendiri. “Aku nggak nyangka banget, ternyata Kanaya benar-benar istri Pak Kaisar,” bisik salah satu
Setelah beberapa saat mencari, Kaisar akhirnya melihatnya. Di sana, di depan makam ayahnya, Kanaya duduk sambil memeluk lututnya. Tubuhnya tampak gemetar, sementara isak tangisnya terdengar pelan di antara keheningan. Kaisar berjalan mendekat dengan hati-hati, tidak ingin mengejutkan istrinya yang sedang larut dalam kesedihan. “Naya ...,” panggilnya pelan, suaranya penuh rasa bersalah. Tapi rasa sayang itu terasa makin mendalam. Kanaya tersentak. Gadis itu terdiam sejenak, sebelum menoleh ke arah suara itu. Matanya yang bengkak menunjukkan betapa berat beban yang ia rasakan saat ini. "Mas ... kenapa menyusulku? Kenapa Mas tinggalin Intan di sana?" Suara Kanaya terdengar parau. Sisa air mata masih membasahi wajah manisnya. Kaisar perlahan lebih mendekat. Ia berlutut di samping Kanaya, menatap mata Kanaya dengan penuh penyesalan. “Naya, aku minta maaf. Aku benar-benar tidak bermaksud membuatmu terluka. Intan muncul tiba-tiba, dan aku terlalu terkejut hingga tidak tau harus melakukan
Kaisar memutar tubuhnya hendak memanggil Kanaya. Di tengah kebingungannya, ia ingin segera memperkenalkan Kanaya pada Intan dan memastikan bahwa tidak ada salah paham yang terjadi. Namun, begitu ia melihat sekeliling, ia tidak menemukan Kanaya di sana. "Kanaya?" panggilnya, memandang ke berbagai arah. Tidak ada jawaban. Kaisar mulai merasa panik. Ia mencoba mencari ke ruangan lain, berharap menemukan Kanaya sedang sibuk dengan sesuatu. Tapi setelah mencari ke dapur, ruang tengah, bahkan ke ruang persiapan, Kanaya tetap tidak terlihat. Kaisar semakin gelisah. "Kemana dia pergi?" gumamnya pelan, sambil mencoba menelepon Kanaya. Namun, tidak ada jawaban dari panggilan itu. Perasaannya mulai tak karuan, seolah ada yang menindih dadanya. Di tengah kegelisahannya, Kaisar melihat Maira dan Rein mendekat. Wajah Maira tampak khawatir, sementara Rein berusaha tetap tenang. “Ada apa, Kaisar? Kenapa wajahmu tegang begitu?” tanya Maira dengan nada cemas. Kaisar menghela napas, mencoba menaha
Bab 26: Kedatangan yang Tak Terduga Rumah besar dan mewah milik Maira dan Rein dipenuhi dengan aktivitas sejak pagi itu. Persiapan resepsi pernikahan Kanaya dan Kaisar yang akan digelar malam ini tengah berlangsung dengan penuh semangat. Maira berkeliling memastikan semua detail dipersiapkan dengan sempurna, sementara Kaisar dan Kanaya membantu semampu mereka. Analea dan Ratu pun ikut membantu Maira. “Kaisar, nanti jangan lupa ke ruang ganti untuk cek lagi setelan jasnya, ya,” ujar Maira sambil memeriksa daftar tamu undangan. Meski mereka memakai jasa WO, Maira tak ingin ada hal sekecil apapun yang terlewat. “Iya, Ma,” jawab Kaisar sambil tersenyum, lalu beralih ke Kanaya yang tampak sibuk dengan telepon genggamnya, memastikan tamu dari pihaknya juga sudah menerima undangan. Ia juga menyiapkan transportasi untuk para keluarganya dari Bogor.Setelah kembali dari ruang ganti, Kaisar kembali menemani Kanaya yang masih mendata para tamunya di ruang tamu. Mereka yang sedang duduk di sof