Kaisar berdecak kesal karena Permadi tidak mengangkat panggilannya. Ia melirik arlojinya."Astaga! Sudah lewat waktunya makan siang. Gadis itu pasti belum makan." Dengan bergegas Kaisar kembali ke ruangannya. "Kanaya pasti menunggu dan tidak berani untuk keluar istirahat sebelum ada intruksi dari aku. Gadis itu masih sangat polos." Kaisar merasa khawatir hingga ia mempercepat langkahnya. Saat melewati meja Risa, ia tidak menemukan sekretarisnya itu di sana. Suasana di lantai itu sudah sepi karena sebagian besar karyawan sudah meninggalkan mejanya untuk makan siang. "Kanaya kamu ..." Kaisar tertegun saat baru saja membuka pintu. Benar saja, Kanaya masih berada di ruangannya. Netra Kaisar beralih ke meja makan yang ada di sisi kiri ruangan. Ia melihat ada makanan sudah tertata rapi di sana. "Makan siangnya sudah saya siapkan, Pak." Gadis itu sedikit mengangguk sopan sambil mengulurkan tangannya ke arah meja makan. Perlahan Kaisar mendekati meja makan. Ia tersenyum karena ternyata
"Apa aku mengundurkan diri saja? Rasanya aku belum sanggup jadi asisten pribadi CEO," gumamnya pelan, tapi terdengar jelas oleh teman-temannya. "Apa? Kamu jadi asisten pribadi? Bukannya kamu cuma magang, Nay?" Mendengar gumaman Kanaya, teman-temannya memandang heran pada dirinya. "Ya. Aku juga nggak tau. Mungkin ini cuma sementara aja. Yang aku pikirin sekarang, aku nggak punya pakaian kantor. Padahal besok aku akan ikut Pak Kaisar meeting di luar." Kanaya menatap kosong ke depan. "Wah, kamu keren, Nay! Meeting di luar sama bos. Pasti di restoran mahal." Teman-teman Kanaya berdecak kagum. "Keren apanya? Aku justru bingung nggak punya baju kantoran. Mungkin besok aku mengundurkan diri saja." Kanaya menunduk. Teman-temannya pun diam. Mereka yang juga dari keluarga sederhana tidak bisa membantu apa-apa. "Aku ke kamar dulu." Kanaya melangkah gontai meninggalkan teman-temannya. Besok pagi Kanaya masih akan memakai kemeja putih dan rok panjang berwarna hitam datang ke Eternal gro
"Apaa? Apa-apaan ini? Kenapa mengundurkan diri? Apa yang terjadi?" Tanpa sadar Kaisar bicara dengan meninggikan suaranya. Ia terkejut sekaligus kecewa. Ada rasa nyeri tiba-tiba muncul di dadanya. Apa mungkin Kanaya sudah tau bahwa mereka sebenarnya adalah suami istri? "Sa-saya tidak tau, Pak," jawab Risa menunduk. Melihat wajah Kaisar yang memerah, membuat Risa tak mau memandang lama wajah atasannya itu. Napas Kaisar sedikit memburu. Rasa rindu pada Kanaya yang ia pendam sejak semalam tiba-tiba berganti dengan rasa kecewa yang teramat dalam. "Dimana dia sekarang?" Kaisar menatap tajam pada Risa. "M-mungkin masih di ruang HRD, Pak." "Kalau begitu, segera panggil dan suruh menghadap saya. Cepaat!" Risa nyaris terlondak mendengar perintah Kaisar yang sama sekali tidak mau ditunda. Tanpa menunggu lagi dia bergegas bergerak menuju ruang HRD. "Pak, Pak Zaka. Mana Kanaya, Pak? Apa dia masih di sini?" Dengan wajah panik Risa langsung menerobos masuk ke ruang Pak Zaka-kepala HRD. "Kana
"Buat apa aku diajak ke sini?" Kanaya bergumam sendiri sambil melihat sekeliling. Mereka memang sedang berada di wilayah elite dengan beberapa bangunan unik dan modern. Kanaya mengikuti Kaisar yang masuk ke dalam sebuah bangunan berwarna putih, namun tertutup. Seorang pria berpakaian safari menyambut di depan pintu. "Silakan, Pak, Nona!" Kaisar membalas dengan anggukan. Kanaya tercengang saat langkahnya memasuki bangunan elite itu. Ternyata di dalamnya cukup ramai namun tenang. Ia baru menyadari bahwa saat ini ia berada di tempat yang menurutnya cukup membingungkan. "Salon kecantikan? Kenapa Pak Kaisar membawaku ke sini?" Kanaya hanya berdiri memperhatikan sekitar. Sedangkan Kaisar tampak sedang berbincang hangat dengan seorang wanita paruh baya berhijab. "Mana Maira?" Wanita itu tersenyum sambil celingukan. "Aku hari ini tidak bersama mama, Tante. Aku ... mau minta tolong." Kaisar tampak ragu. "Ada apa, Kaisar? Bilang saja sama tante!" Wanita seumuran Maira itu menatap Kaisa
"Kanaya, tenanglah! Jangan takut. Ada Saya." Kanaya mengangguk. Rasa ragu dan khawatir yang tadi ia rasakan sedikit berkurang. Kini ia melangkah bersisian dengan Kaisar menuju pintu masuk sebuah restoran mewah. Seorang pelayan mengantar mereka ke satu ruangan yang terpisah. "Silakan Pak Kaisar. Tuan Riv sudah menunggu!" Saat pintu ruangan itu terbuka, tampak seorang pria berwajah asing telah duduk menunggu. Pria itu berdiri ketika Kaisar dan Kanaya masuk. "Apa kabar, Pak Kaisar." "Baik. Anda hanya sendiri?" Kaisar mengedarkan pandangannya. "Ya, kita hanya sekedar makan siang, bukan?"sahut pria yang tingginya diatas rata-rata itu. Pria bule itu ternyata sangat lancar berbahasa indonesia."Ya, kenalkan ini Kanaya asisten saya!" Kaisar melirik pada Kanaya yang mengangguk ramah. "Oh, hai, Kanaya. Senang berkenalan denganmu!" "Terima kasih, Tuan!" Lagi-lagi Kanaya hanya mengangguk sopan, lalu ikut duduk di sebelah Kaisar. Saat ini Kanaya hanya mendengarkan dua pria tampan itu sali
"Terima kasih Pak ... tumpangannya," ucap Kanaya sedikit membungkuk. Ia merasa tak enak hati pada Kaisar karena tatapan teman-temannya. "Sama-sama, Kanaya. Besok jangan telat! Ini punya kamu!" Kaisar menyodorkan beberapa paper bag, lalu mengangguk ramah pada para gadis di teras itu hingga mereka makin terpesona. Kemudian kembali ke mobil dan pergi dari tempat itu. Dengan wajah bingung Kanaya terpaksa menerima paperbag dari tangan Kaisar. Ia tidak mungkin menanyakan tentang paper bag itu di depan teman-temannya. Karena ia sendiri masih bingung dengan sikap Kaisar hari itu. Apa mungkin ia bersikap seperti ini pada setiap asisten pribadinya? "Gila kamu, Nay! Itu siapa? Sumpah cakep banget!" Salah satu teman Kanaya tampak histeris. "Kamu juga kenapa jadi cantik begini?" Sedangkan temannya yang lain sibuk memutar-mutar tubuh Kanaya dan memandang gadis itu tak berkedip. "Ini pasti baju mahal. Aku tau merek ini. Tapi kamu punya uang dari mana buat beli ini semua?" Para gadis itu pun men
"Bersiaplah! Sebentar lagi kita ke kantor. Saya tunggu di luar!" Kaisar sempat gelagapan menerima tatapan intens dari Kanaya. Akhirnya ia memutuskan untuk keluar dari kamar paviliun itu. "Pakaian Mbak Kanaya bisa disimpan di lemari ini. Kulkas kecil ini juga bisa digunakan. Untuk listrik di sini bebas. Mbak Kanaya boleh isi micowave, kompor listrik, televisi atau elektronik lainnya." Lagi-lagi Kanaya tercengang dengan fasilitas kamar kost yang ia dapat. Tempat tidur serta lemari di kamar itu pun cukup mewah. Ia sangat yakin kalau biaya sewa di sana sangat mahal. "Terima kasih, Bu." Kanaya mengangguk. "Saya permisi dulu. Mbak Kanaya pasti mau siap-siap ke kantor." Setelah wanita paruh baya itu pergi, Kanaya bergegas mengganti pakaiannya. Karena belum membeli pakaian kantor, ia terpaksa memakai pakaian pemberian Kaisar semalam. Pakaian itu sangat pas di tubuhnya. Kali ini ia mengenakan stelan blazer dengan aksen cantik di bagian dada dan rok span panjang. Sejenak ia kembali mengag
"Ma-maaf, Tuan Riv. Saya sedang di jalan. Apa boleh nanti dilanjutkan lagi?" Kanaya bicara gugup. Ia tidak bisa menghindar dari tatapan tajam Kaisar. Kanaya menghela napas lega karena Tuan Riv mau memutuskan panggilannya. "Lain kali nggak usah diangkat!" tegas Kaisar yang kini melanjutkan aktifitas makannya."Iya, Pak," jawab Kanaya. Ia pun melanjutkan makannya, meski hatinya tidak tenang. "Nanti kalau si Riv itu telephon kamu lagi, abaikan saja," lanjut Kaisar "Kalau dia nanti marah gimana, Pak? Apa tidak berpengaruh sama kontrak perusahaan?" "Jelas tidak. Dia hanya mau mengganggu kamu." "Baik, Pak." Kanaya tersenyum lega. Setelah selesai makan, keduanya langsung menuju Eternal Group. Saat baru sampai di lobby, security membukakan pintu mobil. Kaisar dan Kanaya turun dari pintu yang berbeda, kemudian keduanya jalan bersisian. Hampir semua karyawan yang mereka lewati menoleh dengan wajah tercengang. Mereka terkejut melihat penampilan Kanaya yang jauh berbeda dari biasanya. Ga