"Apa aku mengundurkan diri saja? Rasanya aku belum sanggup jadi asisten pribadi CEO," gumamnya pelan, tapi terdengar jelas oleh teman-temannya. "Apa? Kamu jadi asisten pribadi? Bukannya kamu cuma magang, Nay?" Mendengar gumaman Kanaya, teman-temannya memandang heran pada dirinya. "Ya. Aku juga nggak tau. Mungkin ini cuma sementara aja. Yang aku pikirin sekarang, aku nggak punya pakaian kantor. Padahal besok aku akan ikut Pak Kaisar meeting di luar." Kanaya menatap kosong ke depan. "Wah, kamu keren, Nay! Meeting di luar sama bos. Pasti di restoran mahal." Teman-teman Kanaya berdecak kagum. "Keren apanya? Aku justru bingung nggak punya baju kantoran. Mungkin besok aku mengundurkan diri saja." Kanaya menunduk. Teman-temannya pun diam. Mereka yang juga dari keluarga sederhana tidak bisa membantu apa-apa. "Aku ke kamar dulu." Kanaya melangkah gontai meninggalkan teman-temannya. Besok pagi Kanaya masih akan memakai kemeja putih dan rok panjang berwarna hitam datang ke Eternal gro
"Apaa? Apa-apaan ini? Kenapa mengundurkan diri? Apa yang terjadi?" Tanpa sadar Kaisar bicara dengan meninggikan suaranya. Ia terkejut sekaligus kecewa. Ada rasa nyeri tiba-tiba muncul di dadanya. Apa mungkin Kanaya sudah tau bahwa mereka sebenarnya adalah suami istri? "Sa-saya tidak tau, Pak," jawab Risa menunduk. Melihat wajah Kaisar yang memerah, membuat Risa tak mau memandang lama wajah atasannya itu. Napas Kaisar sedikit memburu. Rasa rindu pada Kanaya yang ia pendam sejak semalam tiba-tiba berganti dengan rasa kecewa yang teramat dalam. "Dimana dia sekarang?" Kaisar menatap tajam pada Risa. "M-mungkin masih di ruang HRD, Pak." "Kalau begitu, segera panggil dan suruh menghadap saya. Cepaat!" Risa nyaris terlondak mendengar perintah Kaisar yang sama sekali tidak mau ditunda. Tanpa menunggu lagi dia bergegas bergerak menuju ruang HRD. "Pak, Pak Zaka. Mana Kanaya, Pak? Apa dia masih di sini?" Dengan wajah panik Risa langsung menerobos masuk ke ruang Pak Zaka-kepala HRD. "Kana
"Buat apa aku diajak ke sini?" Kanaya bergumam sendiri sambil melihat sekeliling. Mereka memang sedang berada di wilayah elite dengan beberapa bangunan unik dan modern. Kanaya mengikuti Kaisar yang masuk ke dalam sebuah bangunan berwarna putih, namun tertutup. Seorang pria berpakaian safari menyambut di depan pintu. "Silakan, Pak, Nona!" Kaisar membalas dengan anggukan. Kanaya tercengang saat langkahnya memasuki bangunan elite itu. Ternyata di dalamnya cukup ramai namun tenang. Ia baru menyadari bahwa saat ini ia berada di tempat yang menurutnya cukup membingungkan. "Salon kecantikan? Kenapa Pak Kaisar membawaku ke sini?" Kanaya hanya berdiri memperhatikan sekitar. Sedangkan Kaisar tampak sedang berbincang hangat dengan seorang wanita paruh baya berhijab. "Mana Maira?" Wanita itu tersenyum sambil celingukan. "Aku hari ini tidak bersama mama, Tante. Aku ... mau minta tolong." Kaisar tampak ragu. "Ada apa, Kaisar? Bilang saja sama tante!" Wanita seumuran Maira itu menatap Kaisa
"Kanaya, tenanglah! Jangan takut. Ada Saya." Kanaya mengangguk. Rasa ragu dan khawatir yang tadi ia rasakan sedikit berkurang. Kini ia melangkah bersisian dengan Kaisar menuju pintu masuk sebuah restoran mewah. Seorang pelayan mengantar mereka ke satu ruangan yang terpisah. "Silakan Pak Kaisar. Tuan Riv sudah menunggu!" Saat pintu ruangan itu terbuka, tampak seorang pria berwajah asing telah duduk menunggu. Pria itu berdiri ketika Kaisar dan Kanaya masuk. "Apa kabar, Pak Kaisar." "Baik. Anda hanya sendiri?" Kaisar mengedarkan pandangannya. "Ya, kita hanya sekedar makan siang, bukan?"sahut pria yang tingginya diatas rata-rata itu. Pria bule itu ternyata sangat lancar berbahasa indonesia."Ya, kenalkan ini Kanaya asisten saya!" Kaisar melirik pada Kanaya yang mengangguk ramah. "Oh, hai, Kanaya. Senang berkenalan denganmu!" "Terima kasih, Tuan!" Lagi-lagi Kanaya hanya mengangguk sopan, lalu ikut duduk di sebelah Kaisar. Saat ini Kanaya hanya mendengarkan dua pria tampan itu sali
"Terima kasih Pak ... tumpangannya," ucap Kanaya sedikit membungkuk. Ia merasa tak enak hati pada Kaisar karena tatapan teman-temannya. "Sama-sama, Kanaya. Besok jangan telat! Ini punya kamu!" Kaisar menyodorkan beberapa paper bag, lalu mengangguk ramah pada para gadis di teras itu hingga mereka makin terpesona. Kemudian kembali ke mobil dan pergi dari tempat itu. Dengan wajah bingung Kanaya terpaksa menerima paperbag dari tangan Kaisar. Ia tidak mungkin menanyakan tentang paper bag itu di depan teman-temannya. Karena ia sendiri masih bingung dengan sikap Kaisar hari itu. Apa mungkin ia bersikap seperti ini pada setiap asisten pribadinya? "Gila kamu, Nay! Itu siapa? Sumpah cakep banget!" Salah satu teman Kanaya tampak histeris. "Kamu juga kenapa jadi cantik begini?" Sedangkan temannya yang lain sibuk memutar-mutar tubuh Kanaya dan memandang gadis itu tak berkedip. "Ini pasti baju mahal. Aku tau merek ini. Tapi kamu punya uang dari mana buat beli ini semua?" Para gadis itu pun men
"Bersiaplah! Sebentar lagi kita ke kantor. Saya tunggu di luar!" Kaisar sempat gelagapan menerima tatapan intens dari Kanaya. Akhirnya ia memutuskan untuk keluar dari kamar paviliun itu. "Pakaian Mbak Kanaya bisa disimpan di lemari ini. Kulkas kecil ini juga bisa digunakan. Untuk listrik di sini bebas. Mbak Kanaya boleh isi micowave, kompor listrik, televisi atau elektronik lainnya." Lagi-lagi Kanaya tercengang dengan fasilitas kamar kost yang ia dapat. Tempat tidur serta lemari di kamar itu pun cukup mewah. Ia sangat yakin kalau biaya sewa di sana sangat mahal. "Terima kasih, Bu." Kanaya mengangguk. "Saya permisi dulu. Mbak Kanaya pasti mau siap-siap ke kantor." Setelah wanita paruh baya itu pergi, Kanaya bergegas mengganti pakaiannya. Karena belum membeli pakaian kantor, ia terpaksa memakai pakaian pemberian Kaisar semalam. Pakaian itu sangat pas di tubuhnya. Kali ini ia mengenakan stelan blazer dengan aksen cantik di bagian dada dan rok span panjang. Sejenak ia kembali mengag
"Ma-maaf, Tuan Riv. Saya sedang di jalan. Apa boleh nanti dilanjutkan lagi?" Kanaya bicara gugup. Ia tidak bisa menghindar dari tatapan tajam Kaisar. Kanaya menghela napas lega karena Tuan Riv mau memutuskan panggilannya. "Lain kali nggak usah diangkat!" tegas Kaisar yang kini melanjutkan aktifitas makannya."Iya, Pak," jawab Kanaya. Ia pun melanjutkan makannya, meski hatinya tidak tenang. "Nanti kalau si Riv itu telephon kamu lagi, abaikan saja," lanjut Kaisar "Kalau dia nanti marah gimana, Pak? Apa tidak berpengaruh sama kontrak perusahaan?" "Jelas tidak. Dia hanya mau mengganggu kamu." "Baik, Pak." Kanaya tersenyum lega. Setelah selesai makan, keduanya langsung menuju Eternal Group. Saat baru sampai di lobby, security membukakan pintu mobil. Kaisar dan Kanaya turun dari pintu yang berbeda, kemudian keduanya jalan bersisian. Hampir semua karyawan yang mereka lewati menoleh dengan wajah tercengang. Mereka terkejut melihat penampilan Kanaya yang jauh berbeda dari biasanya. Ga
Sudah hampir satu bulan Kanaya bekerja di Eternal Group. Selama itu pula ia tidak mempedulikan sindiran atau ejekan para karyawan yang tidak menyukainya. Selama ini Kaisar memperlakukannya dengan baik. Risa pun mau mengajarkannya pekerjaan yang tidak ia mengerti. "Bagaimanan, Kanaya? Kamu betah kerja di sini?" tanya Kaisar saat baru selesai meeting dengan relasi perusahaan. "Betah, Pak," sahut Kanaya mantap hingga membuat hati Kaisar menghangat. "Oh ya, Pak. Lusa saya boleh izin?" "Tentu. Mau kemana?" tanya Kaisar penasaran. "Saya ... mau wisuda, Pak." Wajah Kanaya mendadak murung. "Ya, tentu boleh. Ehm ... apa ... mau saya temani?" Netra Kanaya melebar karena terkejut dengan pertanyaan Kaisar. Selama ini atasannya itu memang sangat baik padanya. Tapi kali ini ia merasa aneh jika Kaisar mau menghadiri acara wisudanya. "Oh, maksud saya ..., maaf saya dengar kamu sudah tidak ada ... orang tua. Mungkin kamu mau jika saya menggantikannya?" Kaisar bicara hati-hati. Ia khawatir jika
"Mengundang Raka? Apa itu perlu?" tanya Rein datar. Maira menghela napas panjang." Sayang, kita harus minta maaf pada Raka dan Kayla karena pernikahan Kaisar kemarin. Aku dengar, dia kecewa." Rein mendengkus kesal. "Bisa-bisanya dia kecewa. Seharusnya dia bisa memilih mana yang harus diprioritaskan. Lagipula, cuma gara-gara dia tidak bisa hadir, semua acara yang sudah direncanakan harus diubah begitu saja?" "Tapi dia papa kandung Kaisar, Rein!" bantah Maira. "Oh, jadi menurutmu Raka lebih berhak memutuskan semuanya daripada aku? Mengapa kamu tidak pernah mengerti, Kaisar itu lebih dari sekedar anak sambung untukku. Kami sudah bersama sejak dia baru bisa berjalan. Kamu pikir kemana Raka selama ini? Bisa-bisanya dia merasa sebagai ayah kandung yang harus diprioritaskan." Bicara Rein mulai meninggi. Hal ini membuat Maira menjadi panik. Ia tidak ingin Rein tiba-tiba sakit di hari bahagia ini. "Ya, Sayang. Sudah, ya. Maafkan aku," ucap Maira lembut. Ia langsung memeluk suaminya
Analea dan Fabian baru saja kembali dari rumah sakit setelah kelahiran anak pertama mereka. Maira dan Rein menyambut mereka dengan penuh antusias, sementara Fabian terlihat sangat hati-hati saat menggendong bayi mereka yang masih mungil. "Selamat datang kembali di rumah, sayang," ucap Maira sambil tersenyum hangat. Ia memeluk Analea dengan lembut. "Kamu luar biasa, Analea. Sekarang kamu sudah menjadi seorang ibu!" Maira membawa anak dan menantunya ke ruang tamu. Analea, meski terlihat lelah, tersenyum lebar. "Terima kasih, Ma. Rasanya aku masih nggak percaya akhirnya bayi kecil ini ada di sini," ujarnya sambil memandangi bayi perempuannya yang sedang tidur nyenyak di pelukan Fabian. Saat ini mereka sudah berada di ruang tamu rumah mewah itu. Rein yang berdiri di sebelah Maira tampak tersenyum bangga. "Ini cucu pertama kami. Rasanya seperti mimpi melihat kalian pulang dengan bayi mungil yang cantik," ucapnya sambil menepuk pelan bahu Fabian. Fabian tersenyum lega. "Kami juga merasa
Setelah tiga hari berada di hotel, pagi itu Kaisar dan Kanaya memutuskan untuk sarapan di restoran hotel sebelum melanjutkan rencana liburan singkat mereka. Meski tubuh sedikit lelah setelah melewati malam-malam yang panjang, kebahagiaan terus terpancar dari keduanya. "Maafin aku, Sayang. Aku belum sempat membawamu berlibur ke luar kota atau ke luar negeri. Rencananya setelah proyek terakhir ini selesai, aku akan mengajakmu ke suatu tempat yang indah dan tentunya cukup jauh." Kanaya tersenyum haru."Nggak apa-apa, Mas. Selama Mas ada di dekatku, bagiku di mana aja nggak masalah. Liburan di hotel ini pun sudah bikin aku bahagia. Pokoknya asal kita selalu bersama." Kanaya menatap Kaisar dengan lekat. Mendapatkan tatapan yang berbeda dari istrinya, Kaisar jadi berdebar dan salah tingkah." Aku suka kamu tidak lagi malu-malu, Sayang." Kaisar menjawil hidung mancung Kanaya. Keduanya tertawa kecil penuh kebahagiaan. Di saat sedang menikmati momen santai itu, tiba-tiba seorang pelayan men
“Ini dari Mama,” ucap Kaisar pelan sambil mengangkat telepon. “Halo, Ma?” Suara Maira terdengar penuh semangat di ujung telepon. “Kaisar! Kamu di mana? Analea sudah melahirkan!” Kaisar langsung terkejut. “Apa? Analea sudah melahirkan? Sekarang, Ma?” “Iya! Kami sudah di rumah sakit sekarang. Ayo cepat ke sini, Kaisar. Kalian harus segera datang,” jawab Maira dengan penuh kegembiraan. Kaisar menoleh ke arah Kanaya yang sudah berdiri di belakangnya. “Analea sudah melahirkan, Naya. Kita harus ke rumah sakit sekarang.” Mata Kanaya langsung berbinar. “Beneran, Mas? Ya ampun, aku harus segera siap-siap!” Kaisar tersenyum melihat antusiasme istrinya. “Iya, beneran. Ayo cepat kita berangkat.” Tanpa menunggu lama, setelah membersihkan diri dan berpakaian, Kanaya segera mengambil tas kecilnya, sementara Kaisar sudah siap di depan pintu. Mereka berdua keluar kamar dan menuju lobi hotel dengan cepat. Di perjalanan, Kanaya tampak begitu bersemangat. “Aku masih nggak nyangka, Mas. Kak Analea
“Naya, ini malam yang kita tunggu-tunggu,” bisik Kaisar sambil menatap istrinya dengan penuh cinta. Kaisar membuka pintu kamar dengan perlahan, lalu mengajak Kanaya masuk. Kamar itu dihiasi dengan bunga-bunga mawar yang wangi dan lilin-lilin kecil yang menambah suasana romantis. Kaisar menggenggam tangan Kanaya, lalu menuntunnya untuk duduk di tepi ranjang. Kanaya tersenyum kecil, meskipun wajahnya masih terlihat sedikit gugup. “Iya, Mas. Aku masih nggak percaya ini benar-benar terjadi.” Kaisar mengusap pipi Kanaya dengan lembut, lalu mengecupnya pelan. “Kamu nggak perlu takut. Aku akan selalu ada untukmu, sekarang dan selamanya.” Kanaya merasakan debaran di dadanya semakin kencang. “Terima kasih sudah mau menjagaku, Mas. Aku juga merasa sangat bahagia malam ini.” Mereka berdua saling menatap, merasakan betapa dalam cinta yang kini mengikat mereka. "Naya ...," bisik Kaisar. Ia menggeser tubuhnya hingga nyaris tak berjarak lagi dengan Kanaya. Satu tangannya mengusap lembut bibir
Malam itu, hotel mewah tempat resepsi berlangsung dipenuhi oleh tamu-tamu dari berbagai kalangan. Lampu kristal yang bergemerlapan menambah kemewahan suasana, sementara karpet merah yang terbentang menyambut setiap tamu yang datang. Kaisar dan Kanaya sudah siap di belakang panggung, menanti giliran mereka untuk memasuki ballroom utama sebagai pasangan suami istri yang resmi. “Kamu siap, Naya?” tanya Kaisar dengan senyum lembut, sambil menggenggam tangan istrinya yang sedikit gemetar. Kanaya mengangguk pelan, meski hatinya masih berdebar-debar. “Aku siap, Mas,” jawabnya. Di ballroom utama, para tamu sudah mulai berkumpul. Banyak wajah yang familiar hadir. Para karyawan yang mengenal Kanaya dan Kaisar datang mengenakan pakaian terbaik mereka. Beberapa dari mereka tampak saling berbicara pelan, masih terkejut dengan kabar bahwa asisten pribadi bos besar mereka ternyata adalah istrinya sendiri. “Aku nggak nyangka banget, ternyata Kanaya benar-benar istri Pak Kaisar,” bisik salah satu
Setelah beberapa saat mencari, Kaisar akhirnya melihatnya. Di sana, di depan makam ayahnya, Kanaya duduk sambil memeluk lututnya. Tubuhnya tampak gemetar, sementara isak tangisnya terdengar pelan di antara keheningan. Kaisar berjalan mendekat dengan hati-hati, tidak ingin mengejutkan istrinya yang sedang larut dalam kesedihan. “Naya ...,” panggilnya pelan, suaranya penuh rasa bersalah. Tapi rasa sayang itu terasa makin mendalam. Kanaya tersentak. Gadis itu terdiam sejenak, sebelum menoleh ke arah suara itu. Matanya yang bengkak menunjukkan betapa berat beban yang ia rasakan saat ini. "Mas ... kenapa menyusulku? Kenapa Mas tinggalin Intan di sana?" Suara Kanaya terdengar parau. Sisa air mata masih membasahi wajah manisnya. Kaisar perlahan lebih mendekat. Ia berlutut di samping Kanaya, menatap mata Kanaya dengan penuh penyesalan. “Naya, aku minta maaf. Aku benar-benar tidak bermaksud membuatmu terluka. Intan muncul tiba-tiba, dan aku terlalu terkejut hingga tidak tau harus melakukan
Kaisar memutar tubuhnya hendak memanggil Kanaya. Di tengah kebingungannya, ia ingin segera memperkenalkan Kanaya pada Intan dan memastikan bahwa tidak ada salah paham yang terjadi. Namun, begitu ia melihat sekeliling, ia tidak menemukan Kanaya di sana. "Kanaya?" panggilnya, memandang ke berbagai arah. Tidak ada jawaban. Kaisar mulai merasa panik. Ia mencoba mencari ke ruangan lain, berharap menemukan Kanaya sedang sibuk dengan sesuatu. Tapi setelah mencari ke dapur, ruang tengah, bahkan ke ruang persiapan, Kanaya tetap tidak terlihat. Kaisar semakin gelisah. "Kemana dia pergi?" gumamnya pelan, sambil mencoba menelepon Kanaya. Namun, tidak ada jawaban dari panggilan itu. Perasaannya mulai tak karuan, seolah ada yang menindih dadanya. Di tengah kegelisahannya, Kaisar melihat Maira dan Rein mendekat. Wajah Maira tampak khawatir, sementara Rein berusaha tetap tenang. “Ada apa, Kaisar? Kenapa wajahmu tegang begitu?” tanya Maira dengan nada cemas. Kaisar menghela napas, mencoba menaha
Bab 26: Kedatangan yang Tak Terduga Rumah besar dan mewah milik Maira dan Rein dipenuhi dengan aktivitas sejak pagi itu. Persiapan resepsi pernikahan Kanaya dan Kaisar yang akan digelar malam ini tengah berlangsung dengan penuh semangat. Maira berkeliling memastikan semua detail dipersiapkan dengan sempurna, sementara Kaisar dan Kanaya membantu semampu mereka. Analea dan Ratu pun ikut membantu Maira. “Kaisar, nanti jangan lupa ke ruang ganti untuk cek lagi setelan jasnya, ya,” ujar Maira sambil memeriksa daftar tamu undangan. Meski mereka memakai jasa WO, Maira tak ingin ada hal sekecil apapun yang terlewat. “Iya, Ma,” jawab Kaisar sambil tersenyum, lalu beralih ke Kanaya yang tampak sibuk dengan telepon genggamnya, memastikan tamu dari pihaknya juga sudah menerima undangan. Ia juga menyiapkan transportasi untuk para keluarganya dari Bogor.Setelah kembali dari ruang ganti, Kaisar kembali menemani Kanaya yang masih mendata para tamunya di ruang tamu. Mereka yang sedang duduk di sof