"Pagi, Pak Kaisar! Bapak sedang memperhatikan siapa?" Kaisar terkejut mendengar seseorang menyapanya. "Eh, Pak Zaka. Tidak siapa-siapa, Pak. Saya hanya melihat para karyawan yang baru datang. Ternyata mereka datang tepat waktu dan tidak terlambat." Kaisar yang tadi sempat terkejut, langsung memasang wajah serius di depan pria paruh baya yang menyapanya. Kepala HRD yang dipanggil Pak Zaka itu tersenyum mengangguk. "Benar Pak. Jarang sekali ada karyawan yang terlambat. Apalagi karyawan magang. Mereka malah lebih rajin dari karyawan lainnya." Pria paruh baya itu terkekeh, lalu menyeruput kopi yang sudah hampir habis di tangannya. "Karyawan magang?" Kening Kaisar berkerut. "Ya, Pak. Kami menerima mahasiswa yang baru lulus untuk magang." "Oh, begitu." Kaisar langsung teringat dengan gadis yang menjadi perhatiannya sejak kemarin. Ingin rasanya ia menanyakan perihal gadis itu pada Pak Zaka. Tetapi ia tidak mau kepala HRD itu berpikir yang tidak-tidak tentangnya. "Ehm, berapa orang kary
"Nama saya Kanaya, Pak. Kanaya Putri." "S-siapaaa ...?" Netra Kaisar melebar mendengar nama yag diucapkan gadis itu. Napasnya seakan terhenti sesaat. Nama yang tidak asing di telinganya. Nama yang belakangan ini sering mengisi benaknya. "Ka-naya Putri, P-pak," ulang gadis itu. Ia pun terkejut melihat wajah Kaisar yang tiba-tiba berubah. Hal itu membuatnya gugup. Setelah menghela napas panjang, Kaisar buru-buru menutupi rasa terkejutnya. Ia berusaha berpikir positif. Bisa saja ini adalah kebetulan. Nama Kanaya putri pasti tidak hanya digunakan oleh satu orang saja di dunia ini. "Oh, ya. Kanaya. Apa kamu sudah tau tugasmu?" Kaisar kembali bicara dengan sikap wibawanya sebagai seorang CEO. "Be-belum, Pak." Kanaya masih tampak gugup. Kaisar tersenyum samar. Dalam hatinya ia merasa gemas dengan sikap gadis yang mungkin saja sepuluh tahun lebih muda darinya. "Kamu tinggal di mana?" "Di de-kat k-kampus, Pak." Kanaya masih menunduk. Ia makin gugup karena tatapan Kaisar yang cukup inte
Kaisar berdecak kesal karena Permadi tidak mengangkat panggilannya. Ia melirik arlojinya."Astaga! Sudah lewat waktunya makan siang. Gadis itu pasti belum makan." Dengan bergegas Kaisar kembali ke ruangannya. "Kanaya pasti menunggu dan tidak berani untuk keluar istirahat sebelum ada intruksi dari aku. Gadis itu masih sangat polos." Kaisar merasa khawatir hingga ia mempercepat langkahnya. Saat melewati meja Risa, ia tidak menemukan sekretarisnya itu di sana. Suasana di lantai itu sudah sepi karena sebagian besar karyawan sudah meninggalkan mejanya untuk makan siang. "Kanaya kamu ..." Kaisar tertegun saat baru saja membuka pintu. Benar saja, Kanaya masih berada di ruangannya. Netra Kaisar beralih ke meja makan yang ada di sisi kiri ruangan. Ia melihat ada makanan sudah tertata rapi di sana. "Makan siangnya sudah saya siapkan, Pak." Gadis itu sedikit mengangguk sopan sambil mengulurkan tangannya ke arah meja makan. Perlahan Kaisar mendekati meja makan. Ia tersenyum karena ternyata
"Apa aku mengundurkan diri saja? Rasanya aku belum sanggup jadi asisten pribadi CEO," gumamnya pelan, tapi terdengar jelas oleh teman-temannya. "Apa? Kamu jadi asisten pribadi? Bukannya kamu cuma magang, Nay?" Mendengar gumaman Kanaya, teman-temannya memandang heran pada dirinya. "Ya. Aku juga nggak tau. Mungkin ini cuma sementara aja. Yang aku pikirin sekarang, aku nggak punya pakaian kantor. Padahal besok aku akan ikut Pak Kaisar meeting di luar." Kanaya menatap kosong ke depan. "Wah, kamu keren, Nay! Meeting di luar sama bos. Pasti di restoran mahal." Teman-teman Kanaya berdecak kagum. "Keren apanya? Aku justru bingung nggak punya baju kantoran. Mungkin besok aku mengundurkan diri saja." Kanaya menunduk. Teman-temannya pun diam. Mereka yang juga dari keluarga sederhana tidak bisa membantu apa-apa. "Aku ke kamar dulu." Kanaya melangkah gontai meninggalkan teman-temannya. Besok pagi Kanaya masih akan memakai kemeja putih dan rok panjang berwarna hitam datang ke Eternal gro
"Apaa? Apa-apaan ini? Kenapa mengundurkan diri? Apa yang terjadi?" Tanpa sadar Kaisar bicara dengan meninggikan suaranya. Ia terkejut sekaligus kecewa. Ada rasa nyeri tiba-tiba muncul di dadanya. Apa mungkin Kanaya sudah tau bahwa mereka sebenarnya adalah suami istri? "Sa-saya tidak tau, Pak," jawab Risa menunduk. Melihat wajah Kaisar yang memerah, membuat Risa tak mau memandang lama wajah atasannya itu. Napas Kaisar sedikit memburu. Rasa rindu pada Kanaya yang ia pendam sejak semalam tiba-tiba berganti dengan rasa kecewa yang teramat dalam. "Dimana dia sekarang?" Kaisar menatap tajam pada Risa. "M-mungkin masih di ruang HRD, Pak." "Kalau begitu, segera panggil dan suruh menghadap saya. Cepaat!" Risa nyaris terlondak mendengar perintah Kaisar yang sama sekali tidak mau ditunda. Tanpa menunggu lagi dia bergegas bergerak menuju ruang HRD. "Pak, Pak Zaka. Mana Kanaya, Pak? Apa dia masih di sini?" Dengan wajah panik Risa langsung menerobos masuk ke ruang Pak Zaka-kepala HRD. "Kana
"Buat apa aku diajak ke sini?" Kanaya bergumam sendiri sambil melihat sekeliling. Mereka memang sedang berada di wilayah elite dengan beberapa bangunan unik dan modern. Kanaya mengikuti Kaisar yang masuk ke dalam sebuah bangunan berwarna putih, namun tertutup. Seorang pria berpakaian safari menyambut di depan pintu. "Silakan, Pak, Nona!" Kaisar membalas dengan anggukan. Kanaya tercengang saat langkahnya memasuki bangunan elite itu. Ternyata di dalamnya cukup ramai namun tenang. Ia baru menyadari bahwa saat ini ia berada di tempat yang menurutnya cukup membingungkan. "Salon kecantikan? Kenapa Pak Kaisar membawaku ke sini?" Kanaya hanya berdiri memperhatikan sekitar. Sedangkan Kaisar tampak sedang berbincang hangat dengan seorang wanita paruh baya berhijab. "Mana Maira?" Wanita itu tersenyum sambil celingukan. "Aku hari ini tidak bersama mama, Tante. Aku ... mau minta tolong." Kaisar tampak ragu. "Ada apa, Kaisar? Bilang saja sama tante!" Wanita seumuran Maira itu menatap Kaisa
"Kanaya, tenanglah! Jangan takut. Ada Saya." Kanaya mengangguk. Rasa ragu dan khawatir yang tadi ia rasakan sedikit berkurang. Kini ia melangkah bersisian dengan Kaisar menuju pintu masuk sebuah restoran mewah. Seorang pelayan mengantar mereka ke satu ruangan yang terpisah. "Silakan Pak Kaisar. Tuan Riv sudah menunggu!" Saat pintu ruangan itu terbuka, tampak seorang pria berwajah asing telah duduk menunggu. Pria itu berdiri ketika Kaisar dan Kanaya masuk. "Apa kabar, Pak Kaisar." "Baik. Anda hanya sendiri?" Kaisar mengedarkan pandangannya. "Ya, kita hanya sekedar makan siang, bukan?"sahut pria yang tingginya diatas rata-rata itu. Pria bule itu ternyata sangat lancar berbahasa indonesia."Ya, kenalkan ini Kanaya asisten saya!" Kaisar melirik pada Kanaya yang mengangguk ramah. "Oh, hai, Kanaya. Senang berkenalan denganmu!" "Terima kasih, Tuan!" Lagi-lagi Kanaya hanya mengangguk sopan, lalu ikut duduk di sebelah Kaisar. Saat ini Kanaya hanya mendengarkan dua pria tampan itu sali
"Terima kasih Pak ... tumpangannya," ucap Kanaya sedikit membungkuk. Ia merasa tak enak hati pada Kaisar karena tatapan teman-temannya. "Sama-sama, Kanaya. Besok jangan telat! Ini punya kamu!" Kaisar menyodorkan beberapa paper bag, lalu mengangguk ramah pada para gadis di teras itu hingga mereka makin terpesona. Kemudian kembali ke mobil dan pergi dari tempat itu. Dengan wajah bingung Kanaya terpaksa menerima paperbag dari tangan Kaisar. Ia tidak mungkin menanyakan tentang paper bag itu di depan teman-temannya. Karena ia sendiri masih bingung dengan sikap Kaisar hari itu. Apa mungkin ia bersikap seperti ini pada setiap asisten pribadinya? "Gila kamu, Nay! Itu siapa? Sumpah cakep banget!" Salah satu teman Kanaya tampak histeris. "Kamu juga kenapa jadi cantik begini?" Sedangkan temannya yang lain sibuk memutar-mutar tubuh Kanaya dan memandang gadis itu tak berkedip. "Ini pasti baju mahal. Aku tau merek ini. Tapi kamu punya uang dari mana buat beli ini semua?" Para gadis itu pun men