"Ada apa ini ribut-ribut? Apa kalian lupa bahwa ini rumah sakit?" Suara yang cukup tegas dan berwibawa tiba-tiba muncul dari arah lain. "Daddy ...." lirih Ratu yang langsung merenggangkan pelukannya dari Raihan. Ingin rasanya ia berlari dan bersandar pada tubuh tinggi besar yang sejak ia kecil telah menjadi pelindungnya. Namun, kaki Ratu seakan berat untuk melangkah. Ia hanya mampu berdiri terpaku memandang Rein berdiri beberapa langkah dari tempatnya sekarang. Mela pun langsung tak bersuara karena kata-kata Rein. Tapi hatinya terus berontak ingin mencari tahu apa yang sebenarnya terjadi. Oleh karena itu, akhirnya ia memberanikan diri untuk bicara dengan Rein. "M-maaf, saya hanya merasa ada sesuatu yang disembunyikan Alif dari saya. Dan sepertinya sesuatu yang berhubungan dengan kedua pengantin ini." Mela mengungkapkan isi hatinya meski ragu-ragu. Apalagi ia tampak sangat sungkan dengan Rein. "Hmm ... Maira, ini waktunya!" Rein mengangguk pada Maira, lalu sekilas menatap Ratu dan
"Sudah siang, ayo kita pulang!" Raihan berbisik pada Ratu yang masih duduk berjongkok di depan gundukan tanah merah yang masih basah. Di hadapan mereka Mela dan Sumi pun masih tak beranjak dengan sisa isak tangis mereka. "Bentar lagi, Rai. Aku masih mau di sini," sahut Ratu pelan tanpa menoleh. Tatapan matanya terus tertuju pada papan nisan yang bertuliskan nama sang Ayah. "Aku belum sempat meminta maaf, aku belum sempat membahagiakannya," lirih Ratu dengan suara parau. "Harusnya aku segera menghubungi pengacara itu. Harusnya aku bisa bawa dia pulang ke rumah ibu. Harusnya dia bisa lihat aku bisa beliin ibu rumah yang layak. Harusnya aku ..." "Sudah, sudah! Tenangkan dirimu!" Raihan merengkuh bahu Ratu dan merangkulnya erat. Istrinya itu langsung berhenti meracau dan kini kembali terisak. "Bu Sumi, Bu Mela, bagaimana kalau sebaiknya kita pulang sekarang? Cuacanya makin panas."Raihan terpaksa mengajak kedua wanita di depannya agar Ratu juga mau diajak pulang olehnya. Keluarga d
"Kurang ajar! Jadi kamu yang mau menembak putri saya, hah! Kamu tau? Sedikit saja putri saya tersentuh, saya akan bunuh kamu!" Ratu baru saja sampai di depan ruangan yang pintunya setengah terbuka itu. Ia berdiri terpaku melihat Rein sedang mencengkeram kemeja putih seorang pria muda yang sama sekali tidak ia kenal. "A-ampun, Pak Rein. Sa-saya tidak tau kalau itu putri Bapak! Saya hanya disuruh." Wajah pria itu tampak lebam. Sepertinya Rein baru saja menghajarnya. "Siapa yang menyuruhmu, hah?" Rein memperkuat cengkramannya hingga tubuh pria itu sedikit terangkat. "A-ampun, Pak Rein. Dia seorang wanita, Pak!" Pria muda itu tampak ragu dan ketakutan. Raihan makin penasaran untuk mengetahui siapa nama wanita yang dimaksud. "Seorang wanita? Sebutkan namanya!" Rein makin geram. Netranya makin tajam menatap ke arah tersangka. "Saya tidak tau. Dia hanya memberi perintah lewat ponsel, tanpa memberi nama." Ada raut penyesalan terlihat pada wajah pria itu. "Dasar bodoh!" "Aaaaww ...! Am
"Rai, bangun! Kamu janji mau antar aku ketemu Daddy!" Ratu mengguncang-guncang tubuh Raihan yang masih tertidur pulas di sampingnya. "Aku masih ngantuk, Sayaaang! Tidur lagi aja, yuk!" Raihan malah merengkuh tubuh Ratu hendak kembali memeluknya. "Nggak mau! Kamu udah janji, Rai!" Tetapi Ratu menolaknya. Ia menepis tangan kekar Raihan dengan pelan. Raihan terpaksa membuka matanya. "Memangnya sekarang jam berapa?" "Sudah hampir malam. Aku mandi duluan. Setelah ini kamu siap-siap mandi juga!" Ratu turun dari ranjang dan bergegas ke kamar mandi. Raihan menghempas napas kasar. Sebenarnya ia khawatir jika Rein akan kembali bersikap dingin pada Ratu, dan tentunya akan kembali membuat istrinya itu kembali bersedih. Tapi sepertinya kali ini Ratu sangat bersemangat. Raihan tidak mungkin tega melarangnya. Ia pun beranjak dari ranjang dan menyusul Ratu ke kamar mandi. Ratu buru-buru menyelesaikan ritual mandinya melihat Raihan menyusulnya. Ia tidak ingin prosesi mandinya akan berlangsung le
"Kamu ... nangis?" Rein terperanjat. Ia tidak menyadari Maira telah berdiri di dekat pintu. Pria berjambang lebat itu buru-buru memasang raut wajahnya seakan tidak terjadi apa-apa. "Siapa yang nangis?" Maira tersenyum. Ia sangat memahami sifat suaminya itu. Ia tidak ingin bertanya lagi tentang apa yang dia lihat barusan. "Bagaimana dengan kasus penembakan itu? Apa sudah tau siapa pelaku sebenarnya?" Maira mengalihkan pembicaran dan ikut duduk bersandar di samping Rein. Maira menepuk pahanya agar Rein merebahkan kepalanya di sana. Pria tampan berwajah dingin itu langsung menuruti aba-aba dari Maira dan berbaring nyaman di atas pangkuan Maira. Ia memejamkan netranya sambil menikmati sentuhan jemari Maira yang sangat menenangkan di kepalanya. "Mereka masih menyelidiki wanita itu. Kemungkinan salah satu orang yang tidak suka dengan keberadaan Ratu di perusahaan. "Hmmm, kira-kira siapa?" tanya Maira tak sabar. "Seharusnya Raihan dan Ratu bisa menebak siapa pelakunya,"sahut Rein pel
"Apa yang sedang kalian lakukan di sini?" Mendengar suara bariton yang begitu mereka kenali, seketika Raihan dan Analea menoleh ke pintu."Kak Biaan!" Analea terpekik senang. Ia langsung bangkit dari kursi dan melangkah melewati Raihan untuk memeluk Fabian. "Lea, aku rindu." Fabian berbisik. Ia merasa Analea begitu erat memeluknya. Samar-samar iai mendengar suara isak tangis Analea yang menyembunyikan wajahnya pada dada Fabian. Keduanya berpelukan cukup lama hingga lupa bahwa Raihan berada diantara mereka. "Ehm ... hem ...!" Raihan memutar bola matanya, lalu menghempas napas kasar. Seketika Analea mengurai pelukan. Fabian pun menoleh pada Raihan sambil berdecak kesal. "Kalian pikir aku ini nyamuk?" umpat Raihan. Analea yang tadi terharu malah terkekeh. "Maaf, maaf! Ngomong-ngomong makasih ya bantuannya!" "Bantuan apa? Memangnya apa yang sedang kalian lakukan?" Fabian mengulang pertanyaannya "Raihan tadi membantuku memeriksa laporan ini. Entahlah tiba-tiba saja aku tidak bisa
"Apa? Sonia punya perusahaan baru?" Garpu dan pisau roti di tangan Raihan terlepas begitu saja. Ia terkejut mendengar kabar dari Fabian. "Apa mungkin Sonia ada hubungannya dengan penembakan kemarin?" Rein pun ikut bicara. Raihan makin terkesiap. Kenapa sejak kemarin tidak terpikirkan olehnya tentang Sonia? "Pak, Rein. Bunda bilang, Orang tua Sonia pernah berjasa pada perusahaan Ayah Yuda. Apa benar?" Rein mengerutkan keningnya mendengar pertanyaan Raihan. Ia mencoba mengingat-ingat siapa Sonia dan orang tuanya. Namun ia sama sekali belum bisa mengingatnya. "Sandwichnya sudah jadi. Ayo silakan yang mau nambah. Aku buatkan lebih." Ratu datang lalu menambahkan satu sandwich lagi ke piring Rein. Ia tersenyum melihat Rein langsung menerima dan memakannya. "Hmm ..." Rein mengangguk-angguk saat kembali menyuap sandwich buatan Ratu. Hal itu tak luput dari pandangan Ratu. Betapa ia sangat bahagia. "Ya, Fabian dan Pak Rein benar. Sonia harus diperiksa." Raihan kembali bicara
"Intan, tolong jawab saya!" Intan masih diam menunduk. Kemudian perlahan mengangkat wajahnya. Tetapi ia tidak berani membalas tatapan Kaisar yang begitu dalam dan lekat. Pandagannya tertuju ke arah lain. "Intan, apa ini artinya saya ditolak? Tolong bicara, In!" Suara Kaisar bergetar. Tenggorokannya nyaris tercekat. Rasanya ia kesulitan untuk bicara. "M-maafkan saya, Pak!" Seketika Kaisar terdiam. Napasnya seakan terhenti mendengar permintaan maaf dari Intan. Perasaannya mengatakan sesuatu yang tidak ia inginkan akan terjadi. "Ke-kenapa, In?" Kaisar menatap nanar dengan hati tak karuan. Luka hatinya yang baru akan mengering kini kembali menganga. "Sa-saya ... sudah punya ... calon suami, P-Pak." Intan kembali menunduk. Seketika Kaisar menghempas napas berat. Rasa sakit itu kembali ia rasakan. Ternyata selama ini ia salah mengartikan kedekatannya dengan wanita itu. Ia pikir gadis itu selalu tersenyum karena bahagia bersamanya. Ia tidak menyangka cintanya akan kembali ditolak. Ia
"Mengundang Raka? Apa itu perlu?" tanya Rein datar. Maira menghela napas panjang." Sayang, kita harus minta maaf pada Raka dan Kayla karena pernikahan Kaisar kemarin. Aku dengar, dia kecewa." Rein mendengkus kesal. "Bisa-bisanya dia kecewa. Seharusnya dia bisa memilih mana yang harus diprioritaskan. Lagipula, cuma gara-gara dia tidak bisa hadir, semua acara yang sudah direncanakan harus diubah begitu saja?" "Tapi dia papa kandung Kaisar, Rein!" bantah Maira. "Oh, jadi menurutmu Raka lebih berhak memutuskan semuanya daripada aku? Mengapa kamu tidak pernah mengerti, Kaisar itu lebih dari sekedar anak sambung untukku. Kami sudah bersama sejak dia baru bisa berjalan. Kamu pikir kemana Raka selama ini? Bisa-bisanya dia merasa sebagai ayah kandung yang harus diprioritaskan." Bicara Rein mulai meninggi. Hal ini membuat Maira menjadi panik. Ia tidak ingin Rein tiba-tiba sakit di hari bahagia ini. "Ya, Sayang. Sudah, ya. Maafkan aku," ucap Maira lembut. Ia langsung memeluk suaminya
Analea dan Fabian baru saja kembali dari rumah sakit setelah kelahiran anak pertama mereka. Maira dan Rein menyambut mereka dengan penuh antusias, sementara Fabian terlihat sangat hati-hati saat menggendong bayi mereka yang masih mungil. "Selamat datang kembali di rumah, sayang," ucap Maira sambil tersenyum hangat. Ia memeluk Analea dengan lembut. "Kamu luar biasa, Analea. Sekarang kamu sudah menjadi seorang ibu!" Maira membawa anak dan menantunya ke ruang tamu. Analea, meski terlihat lelah, tersenyum lebar. "Terima kasih, Ma. Rasanya aku masih nggak percaya akhirnya bayi kecil ini ada di sini," ujarnya sambil memandangi bayi perempuannya yang sedang tidur nyenyak di pelukan Fabian. Saat ini mereka sudah berada di ruang tamu rumah mewah itu. Rein yang berdiri di sebelah Maira tampak tersenyum bangga. "Ini cucu pertama kami. Rasanya seperti mimpi melihat kalian pulang dengan bayi mungil yang cantik," ucapnya sambil menepuk pelan bahu Fabian. Fabian tersenyum lega. "Kami juga merasa
Setelah tiga hari berada di hotel, pagi itu Kaisar dan Kanaya memutuskan untuk sarapan di restoran hotel sebelum melanjutkan rencana liburan singkat mereka. Meski tubuh sedikit lelah setelah melewati malam-malam yang panjang, kebahagiaan terus terpancar dari keduanya. "Maafin aku, Sayang. Aku belum sempat membawamu berlibur ke luar kota atau ke luar negeri. Rencananya setelah proyek terakhir ini selesai, aku akan mengajakmu ke suatu tempat yang indah dan tentunya cukup jauh." Kanaya tersenyum haru."Nggak apa-apa, Mas. Selama Mas ada di dekatku, bagiku di mana aja nggak masalah. Liburan di hotel ini pun sudah bikin aku bahagia. Pokoknya asal kita selalu bersama." Kanaya menatap Kaisar dengan lekat. Mendapatkan tatapan yang berbeda dari istrinya, Kaisar jadi berdebar dan salah tingkah." Aku suka kamu tidak lagi malu-malu, Sayang." Kaisar menjawil hidung mancung Kanaya. Keduanya tertawa kecil penuh kebahagiaan. Di saat sedang menikmati momen santai itu, tiba-tiba seorang pelayan men
“Ini dari Mama,” ucap Kaisar pelan sambil mengangkat telepon. “Halo, Ma?” Suara Maira terdengar penuh semangat di ujung telepon. “Kaisar! Kamu di mana? Analea sudah melahirkan!” Kaisar langsung terkejut. “Apa? Analea sudah melahirkan? Sekarang, Ma?” “Iya! Kami sudah di rumah sakit sekarang. Ayo cepat ke sini, Kaisar. Kalian harus segera datang,” jawab Maira dengan penuh kegembiraan. Kaisar menoleh ke arah Kanaya yang sudah berdiri di belakangnya. “Analea sudah melahirkan, Naya. Kita harus ke rumah sakit sekarang.” Mata Kanaya langsung berbinar. “Beneran, Mas? Ya ampun, aku harus segera siap-siap!” Kaisar tersenyum melihat antusiasme istrinya. “Iya, beneran. Ayo cepat kita berangkat.” Tanpa menunggu lama, setelah membersihkan diri dan berpakaian, Kanaya segera mengambil tas kecilnya, sementara Kaisar sudah siap di depan pintu. Mereka berdua keluar kamar dan menuju lobi hotel dengan cepat. Di perjalanan, Kanaya tampak begitu bersemangat. “Aku masih nggak nyangka, Mas. Kak Analea
“Naya, ini malam yang kita tunggu-tunggu,” bisik Kaisar sambil menatap istrinya dengan penuh cinta. Kaisar membuka pintu kamar dengan perlahan, lalu mengajak Kanaya masuk. Kamar itu dihiasi dengan bunga-bunga mawar yang wangi dan lilin-lilin kecil yang menambah suasana romantis. Kaisar menggenggam tangan Kanaya, lalu menuntunnya untuk duduk di tepi ranjang. Kanaya tersenyum kecil, meskipun wajahnya masih terlihat sedikit gugup. “Iya, Mas. Aku masih nggak percaya ini benar-benar terjadi.” Kaisar mengusap pipi Kanaya dengan lembut, lalu mengecupnya pelan. “Kamu nggak perlu takut. Aku akan selalu ada untukmu, sekarang dan selamanya.” Kanaya merasakan debaran di dadanya semakin kencang. “Terima kasih sudah mau menjagaku, Mas. Aku juga merasa sangat bahagia malam ini.” Mereka berdua saling menatap, merasakan betapa dalam cinta yang kini mengikat mereka. "Naya ...," bisik Kaisar. Ia menggeser tubuhnya hingga nyaris tak berjarak lagi dengan Kanaya. Satu tangannya mengusap lembut bibir
Malam itu, hotel mewah tempat resepsi berlangsung dipenuhi oleh tamu-tamu dari berbagai kalangan. Lampu kristal yang bergemerlapan menambah kemewahan suasana, sementara karpet merah yang terbentang menyambut setiap tamu yang datang. Kaisar dan Kanaya sudah siap di belakang panggung, menanti giliran mereka untuk memasuki ballroom utama sebagai pasangan suami istri yang resmi. “Kamu siap, Naya?” tanya Kaisar dengan senyum lembut, sambil menggenggam tangan istrinya yang sedikit gemetar. Kanaya mengangguk pelan, meski hatinya masih berdebar-debar. “Aku siap, Mas,” jawabnya. Di ballroom utama, para tamu sudah mulai berkumpul. Banyak wajah yang familiar hadir. Para karyawan yang mengenal Kanaya dan Kaisar datang mengenakan pakaian terbaik mereka. Beberapa dari mereka tampak saling berbicara pelan, masih terkejut dengan kabar bahwa asisten pribadi bos besar mereka ternyata adalah istrinya sendiri. “Aku nggak nyangka banget, ternyata Kanaya benar-benar istri Pak Kaisar,” bisik salah satu
Setelah beberapa saat mencari, Kaisar akhirnya melihatnya. Di sana, di depan makam ayahnya, Kanaya duduk sambil memeluk lututnya. Tubuhnya tampak gemetar, sementara isak tangisnya terdengar pelan di antara keheningan. Kaisar berjalan mendekat dengan hati-hati, tidak ingin mengejutkan istrinya yang sedang larut dalam kesedihan. “Naya ...,” panggilnya pelan, suaranya penuh rasa bersalah. Tapi rasa sayang itu terasa makin mendalam. Kanaya tersentak. Gadis itu terdiam sejenak, sebelum menoleh ke arah suara itu. Matanya yang bengkak menunjukkan betapa berat beban yang ia rasakan saat ini. "Mas ... kenapa menyusulku? Kenapa Mas tinggalin Intan di sana?" Suara Kanaya terdengar parau. Sisa air mata masih membasahi wajah manisnya. Kaisar perlahan lebih mendekat. Ia berlutut di samping Kanaya, menatap mata Kanaya dengan penuh penyesalan. “Naya, aku minta maaf. Aku benar-benar tidak bermaksud membuatmu terluka. Intan muncul tiba-tiba, dan aku terlalu terkejut hingga tidak tau harus melakukan
Kaisar memutar tubuhnya hendak memanggil Kanaya. Di tengah kebingungannya, ia ingin segera memperkenalkan Kanaya pada Intan dan memastikan bahwa tidak ada salah paham yang terjadi. Namun, begitu ia melihat sekeliling, ia tidak menemukan Kanaya di sana. "Kanaya?" panggilnya, memandang ke berbagai arah. Tidak ada jawaban. Kaisar mulai merasa panik. Ia mencoba mencari ke ruangan lain, berharap menemukan Kanaya sedang sibuk dengan sesuatu. Tapi setelah mencari ke dapur, ruang tengah, bahkan ke ruang persiapan, Kanaya tetap tidak terlihat. Kaisar semakin gelisah. "Kemana dia pergi?" gumamnya pelan, sambil mencoba menelepon Kanaya. Namun, tidak ada jawaban dari panggilan itu. Perasaannya mulai tak karuan, seolah ada yang menindih dadanya. Di tengah kegelisahannya, Kaisar melihat Maira dan Rein mendekat. Wajah Maira tampak khawatir, sementara Rein berusaha tetap tenang. “Ada apa, Kaisar? Kenapa wajahmu tegang begitu?” tanya Maira dengan nada cemas. Kaisar menghela napas, mencoba menaha
Bab 26: Kedatangan yang Tak Terduga Rumah besar dan mewah milik Maira dan Rein dipenuhi dengan aktivitas sejak pagi itu. Persiapan resepsi pernikahan Kanaya dan Kaisar yang akan digelar malam ini tengah berlangsung dengan penuh semangat. Maira berkeliling memastikan semua detail dipersiapkan dengan sempurna, sementara Kaisar dan Kanaya membantu semampu mereka. Analea dan Ratu pun ikut membantu Maira. “Kaisar, nanti jangan lupa ke ruang ganti untuk cek lagi setelan jasnya, ya,” ujar Maira sambil memeriksa daftar tamu undangan. Meski mereka memakai jasa WO, Maira tak ingin ada hal sekecil apapun yang terlewat. “Iya, Ma,” jawab Kaisar sambil tersenyum, lalu beralih ke Kanaya yang tampak sibuk dengan telepon genggamnya, memastikan tamu dari pihaknya juga sudah menerima undangan. Ia juga menyiapkan transportasi untuk para keluarganya dari Bogor.Setelah kembali dari ruang ganti, Kaisar kembali menemani Kanaya yang masih mendata para tamunya di ruang tamu. Mereka yang sedang duduk di sof