"Apa? Sonia punya perusahaan baru?" Garpu dan pisau roti di tangan Raihan terlepas begitu saja. Ia terkejut mendengar kabar dari Fabian. "Apa mungkin Sonia ada hubungannya dengan penembakan kemarin?" Rein pun ikut bicara. Raihan makin terkesiap. Kenapa sejak kemarin tidak terpikirkan olehnya tentang Sonia? "Pak, Rein. Bunda bilang, Orang tua Sonia pernah berjasa pada perusahaan Ayah Yuda. Apa benar?" Rein mengerutkan keningnya mendengar pertanyaan Raihan. Ia mencoba mengingat-ingat siapa Sonia dan orang tuanya. Namun ia sama sekali belum bisa mengingatnya. "Sandwichnya sudah jadi. Ayo silakan yang mau nambah. Aku buatkan lebih." Ratu datang lalu menambahkan satu sandwich lagi ke piring Rein. Ia tersenyum melihat Rein langsung menerima dan memakannya. "Hmm ..." Rein mengangguk-angguk saat kembali menyuap sandwich buatan Ratu. Hal itu tak luput dari pandangan Ratu. Betapa ia sangat bahagia. "Ya, Fabian dan Pak Rein benar. Sonia harus diperiksa." Raihan kembali bicara
"Intan, tolong jawab saya!" Intan masih diam menunduk. Kemudian perlahan mengangkat wajahnya. Tetapi ia tidak berani membalas tatapan Kaisar yang begitu dalam dan lekat. Pandagannya tertuju ke arah lain. "Intan, apa ini artinya saya ditolak? Tolong bicara, In!" Suara Kaisar bergetar. Tenggorokannya nyaris tercekat. Rasanya ia kesulitan untuk bicara. "M-maafkan saya, Pak!" Seketika Kaisar terdiam. Napasnya seakan terhenti mendengar permintaan maaf dari Intan. Perasaannya mengatakan sesuatu yang tidak ia inginkan akan terjadi. "Ke-kenapa, In?" Kaisar menatap nanar dengan hati tak karuan. Luka hatinya yang baru akan mengering kini kembali menganga. "Sa-saya ... sudah punya ... calon suami, P-Pak." Intan kembali menunduk. Seketika Kaisar menghempas napas berat. Rasa sakit itu kembali ia rasakan. Ternyata selama ini ia salah mengartikan kedekatannya dengan wanita itu. Ia pikir gadis itu selalu tersenyum karena bahagia bersamanya. Ia tidak menyangka cintanya akan kembali ditolak. Ia
"Saya, Pak. Boleh kami masuk?" tanya Kaisar penuh harap. Ia bersyukur karena pria yang ia tabrak telah sadar. "Silakan, Pak. Sepertinya ada yang ingin disampaikan oleh pasien." Kaisar dan Permadi bergegas masuk, lalu menghampiri Permana yang terbaring lemah. "Kang, Kang Permana ...!" Permadi tampak cemas dan khawatir. Sedangkan Kaisar berdiri mematung melihat kondisi Permana yang sangat lemah. Pria tua itu memang sudah sadar, tapi ia tampak sangat sulit bernapas dan wajahnya sangat pucat. Selang oksigen terpasang pada mulutnya. "Kang, ini Pak Kaisar yang nabrak Akang. Tapi dia nggak sengaja dan mau bertanggung jawab." Permadi bicara pelan dengan mendekatkan wajahnya pada Permana "T-tolong titip Na-ya!" lirih Permana dengan susah payah. Sudut matanya melirik pada Kaisar. Karena bingung, Kaisar menoleh pada Permadi dengan alis terangkat, seakan minta penjelasan. "Naya atau Kanaya adalah putri Kang Permana. Dia sedang kuliah di Jakarta." Kaisar yang langsung memahami pun menjawab
"Selamat pagi, Pak, Bu!" Fabian mengangguk samar tanpa senyum pada setiap karyawan yang menyapanya. Satu tangannya menggenggan erat jemari Analea dan itu menjadi pusat perhatian semua penghuni PT Bina Sanjaya. Apalagi mereka sangat jarang bisa melihat Analea datang ke kantor. "Selamat pagiii!" Analea menjawab dengan senyum lebar. Saat melewati tim marketing, mereka selalu menunduk sungkan pada Analea. Apalagi mengingat saat dulu pernah memperlakukan Analea dengan tidak baik. "Pagi, Bu Emily. Apa kabar?" Analea menyapa hangat sekretaris Fabian ketika sampai di depan ruang CEO. Mereka berpelukan, kemudian Emily mengikuti keduanya masuk ke ruang CEO. "Ada apa sebenarnya? Apa ada masalah? Kenapa tiba-tiba anda memutuskan untuk pulang, Pak Bian?" Emily memandang Fabian dengan kening berkerut, setelah atasannya itu menduduki kursi kebesarannya. Emily memberi banyak berkas laporan di atas meja atasannya itu. Fabian hanya berdehem pelan tanpa menjawab pertanyaan Emily. Seketika sekretar
"Astaga! Ini bau darah!" Napas Maira seakan berhenti sesaat. Di kepalanya bermunculan dugaan -dugaan yang tidak ia inginkan. "Darah apa, ya, Bu?" ART itu pun bertanya-tanya dengan berbisik pada Maira. "Entahlah. Ya sudah, dicuci saja yang bersih. Saya mau menanyakan hal ini pada Kaisar." Maira bergegas menuju ke kamar Kaisar. "Kemejanya mau dibawa, Bu?" teriak sang ART melihat Maira sudah berjalan keluar dari ruang pencucian. "Nggak usah, Mbak!" Dada Maira berdebar saat hendak masuk ke kamar Kaisar. Putranya itu masih tertidur pulas. "Kaisar, bangun Kaisar! Mama mau bicara!" Setelah berkali-kali membangunkan, akhirnya Kaisar membuka matanya. "Ada apa, Ma," pria tampan itu menguap, lalu bangkit duduk di ranjangnya. "Kaisar, di kemejamu ada noda darah. Itu darah apa?" Maira memang tak ingin bertele-tele. Ia langsung bertanya pada pokok masalahnya. Kaisar berusaha menutupi rasa terkejutnya. "Oh, itu. Tadi ada kecelakaan di jalan saat aku mau pulang. Aku berhenti untuk menolong
"Selamat datang di rumah kita, Sayang!" "Hah? Apa? Rumah kitaaa?" Netra Ratu membulat tak percaya. Raihan membeli rumah yang sangat ia sukai. "Ayo masuk!" Raihan merangkul Ratu ke dalam. Lagi-lagi Ratu tercengang melihat isi rumah yang sudah lengkap dengan perabotan mewah dan cantik. Ratu juga terkagum-kagum dengan desain interior yang ternyata sangat sesuai dengan seleranya. "Astaga, Rai! Ini bagus banget! Aku sukaaa!" Ratu memutar tubuhnya berhadapan pada Raihan. "Makasih, Sayang!" Raihan tersenyum bahagia setelah mendapatkan ciuman bertubi-tubi dari sang istri. Hari itu kehidupan mereka terasa berbeda. Apalagi kasus Sonia sudah berjalan dengan semestinya. Ratu benar-benar menemukan kebahagiaan seutuhnya bersama Raihan. Mereka tidak lagi tinggal di apartemen yang kamar tidurnya hanya satu. Kini Ratu malah bisa memperkerjakan beberapa ART di rumah mewahnya. Sebagai direktur sebuah perusahaan sekaligus sebagai seorang istri, kini ia bisa melakukan banyak hal. Raihan pun bahagia,
"Tapi dia sudah menyebabkan Naya kehilangan ayah, Mang. Dia mengubah hidup Naya dalam sekejap. Pokoknya sampai kapanpun Naya nggak mau ketemu sama dia. Naya juga nggak sudi terima apapun dari dia." Permadi tidak lagi bisa bicara. Ia hanya diam terpaku menatap Kanaya menangis. Hingga tak lama kemudian tangis gadis itu reda. "Mamang tadi ke makam, Ayah?"tanya Kanaya sambil mengusap wajahnya yang basah oleh air mata. Permadi menggeleng. "Enggak. Mamang belum ke sana lagi. Memangnya kenapa?" "Jadi tadi siapa yang datang ke makam ayah sebelum Naya?" Gadis cantik dengan rambut menutupi bahunya itu mengerutkan keningnya. "Tadi saat Naya datang, makam ayah basah dan banyak bunga tabur," lanjut Naya lagi. Tatapannya penuh tanda tanya tertuju pada Permadi. "Mungkin kerabat ayah yang datang. Kemarin memang banyak teman-teman yang belum datang melayat." Naya kembali diam. Wajahnya masih sangat murung. "Lalu apa rencana Naya selanjutnya? Saran Mamang, setelah selesai kuliah, Naya pindah k
"Selamat siang, Pak Kaisar. Ada yang bisa saya bantu?" Kaisar terdiam memandang kepala HRD yang sudah berdiri di depannya. Ia pun merasa bingung, kenapa ia malah masuk ke ruang HRD? Apa karena ingin menanyakan siapa gadis tadi?Kaisar menggeleng sendiri. Tentunya akan terasa aneh jika tiba-tiba saja ia mencari tahu nama gadis itu pada divisi HRD. "Ah, tidak ada. Saya hanya ingin tanya untuk calon asisten pribadi saya. Apakah sudah dapat?" Kepala HRD itu menggeleng." Belum ada lagi, Pak. Semua kandidat yang memenuhi syarat sudah melewati tahap wawancara dengan Bapak." "Oh, begitu." Kaisar menghempas napas kasar. Entah kenapa dia selalu merasa tidak ada yang cocok dengan semua kandidat. Ia akan bersama asisten pribadinya selama hampir 24 jam. Oleh karena itu ia tidak mau asal terima saja. "Tapi kami tetap masih berusaha mencarikan yang terbaik, Pak Kaisar." Kaisar mengangguk. Kemudian kembali melangkah menuju ruangannya. Kali ini ia memlilih jalan memutar, hingga melewati hampir s