"Selamat pagi, Pak, Bu!" Fabian mengangguk samar tanpa senyum pada setiap karyawan yang menyapanya. Satu tangannya menggenggan erat jemari Analea dan itu menjadi pusat perhatian semua penghuni PT Bina Sanjaya. Apalagi mereka sangat jarang bisa melihat Analea datang ke kantor. "Selamat pagiii!" Analea menjawab dengan senyum lebar. Saat melewati tim marketing, mereka selalu menunduk sungkan pada Analea. Apalagi mengingat saat dulu pernah memperlakukan Analea dengan tidak baik. "Pagi, Bu Emily. Apa kabar?" Analea menyapa hangat sekretaris Fabian ketika sampai di depan ruang CEO. Mereka berpelukan, kemudian Emily mengikuti keduanya masuk ke ruang CEO. "Ada apa sebenarnya? Apa ada masalah? Kenapa tiba-tiba anda memutuskan untuk pulang, Pak Bian?" Emily memandang Fabian dengan kening berkerut, setelah atasannya itu menduduki kursi kebesarannya. Emily memberi banyak berkas laporan di atas meja atasannya itu. Fabian hanya berdehem pelan tanpa menjawab pertanyaan Emily. Seketika sekretar
"Astaga! Ini bau darah!" Napas Maira seakan berhenti sesaat. Di kepalanya bermunculan dugaan -dugaan yang tidak ia inginkan. "Darah apa, ya, Bu?" ART itu pun bertanya-tanya dengan berbisik pada Maira. "Entahlah. Ya sudah, dicuci saja yang bersih. Saya mau menanyakan hal ini pada Kaisar." Maira bergegas menuju ke kamar Kaisar. "Kemejanya mau dibawa, Bu?" teriak sang ART melihat Maira sudah berjalan keluar dari ruang pencucian. "Nggak usah, Mbak!" Dada Maira berdebar saat hendak masuk ke kamar Kaisar. Putranya itu masih tertidur pulas. "Kaisar, bangun Kaisar! Mama mau bicara!" Setelah berkali-kali membangunkan, akhirnya Kaisar membuka matanya. "Ada apa, Ma," pria tampan itu menguap, lalu bangkit duduk di ranjangnya. "Kaisar, di kemejamu ada noda darah. Itu darah apa?" Maira memang tak ingin bertele-tele. Ia langsung bertanya pada pokok masalahnya. Kaisar berusaha menutupi rasa terkejutnya. "Oh, itu. Tadi ada kecelakaan di jalan saat aku mau pulang. Aku berhenti untuk menolong
"Selamat datang di rumah kita, Sayang!" "Hah? Apa? Rumah kitaaa?" Netra Ratu membulat tak percaya. Raihan membeli rumah yang sangat ia sukai. "Ayo masuk!" Raihan merangkul Ratu ke dalam. Lagi-lagi Ratu tercengang melihat isi rumah yang sudah lengkap dengan perabotan mewah dan cantik. Ratu juga terkagum-kagum dengan desain interior yang ternyata sangat sesuai dengan seleranya. "Astaga, Rai! Ini bagus banget! Aku sukaaa!" Ratu memutar tubuhnya berhadapan pada Raihan. "Makasih, Sayang!" Raihan tersenyum bahagia setelah mendapatkan ciuman bertubi-tubi dari sang istri. Hari itu kehidupan mereka terasa berbeda. Apalagi kasus Sonia sudah berjalan dengan semestinya. Ratu benar-benar menemukan kebahagiaan seutuhnya bersama Raihan. Mereka tidak lagi tinggal di apartemen yang kamar tidurnya hanya satu. Kini Ratu malah bisa memperkerjakan beberapa ART di rumah mewahnya. Sebagai direktur sebuah perusahaan sekaligus sebagai seorang istri, kini ia bisa melakukan banyak hal. Raihan pun bahagia,
"Tapi dia sudah menyebabkan Naya kehilangan ayah, Mang. Dia mengubah hidup Naya dalam sekejap. Pokoknya sampai kapanpun Naya nggak mau ketemu sama dia. Naya juga nggak sudi terima apapun dari dia." Permadi tidak lagi bisa bicara. Ia hanya diam terpaku menatap Kanaya menangis. Hingga tak lama kemudian tangis gadis itu reda. "Mamang tadi ke makam, Ayah?"tanya Kanaya sambil mengusap wajahnya yang basah oleh air mata. Permadi menggeleng. "Enggak. Mamang belum ke sana lagi. Memangnya kenapa?" "Jadi tadi siapa yang datang ke makam ayah sebelum Naya?" Gadis cantik dengan rambut menutupi bahunya itu mengerutkan keningnya. "Tadi saat Naya datang, makam ayah basah dan banyak bunga tabur," lanjut Naya lagi. Tatapannya penuh tanda tanya tertuju pada Permadi. "Mungkin kerabat ayah yang datang. Kemarin memang banyak teman-teman yang belum datang melayat." Naya kembali diam. Wajahnya masih sangat murung. "Lalu apa rencana Naya selanjutnya? Saran Mamang, setelah selesai kuliah, Naya pindah k
"Selamat siang, Pak Kaisar. Ada yang bisa saya bantu?" Kaisar terdiam memandang kepala HRD yang sudah berdiri di depannya. Ia pun merasa bingung, kenapa ia malah masuk ke ruang HRD? Apa karena ingin menanyakan siapa gadis tadi?Kaisar menggeleng sendiri. Tentunya akan terasa aneh jika tiba-tiba saja ia mencari tahu nama gadis itu pada divisi HRD. "Ah, tidak ada. Saya hanya ingin tanya untuk calon asisten pribadi saya. Apakah sudah dapat?" Kepala HRD itu menggeleng." Belum ada lagi, Pak. Semua kandidat yang memenuhi syarat sudah melewati tahap wawancara dengan Bapak." "Oh, begitu." Kaisar menghempas napas kasar. Entah kenapa dia selalu merasa tidak ada yang cocok dengan semua kandidat. Ia akan bersama asisten pribadinya selama hampir 24 jam. Oleh karena itu ia tidak mau asal terima saja. "Tapi kami tetap masih berusaha mencarikan yang terbaik, Pak Kaisar." Kaisar mengangguk. Kemudian kembali melangkah menuju ruangannya. Kali ini ia memlilih jalan memutar, hingga melewati hampir s
"Pagi, Pak Kaisar! Bapak sedang memperhatikan siapa?" Kaisar terkejut mendengar seseorang menyapanya. "Eh, Pak Zaka. Tidak siapa-siapa, Pak. Saya hanya melihat para karyawan yang baru datang. Ternyata mereka datang tepat waktu dan tidak terlambat." Kaisar yang tadi sempat terkejut, langsung memasang wajah serius di depan pria paruh baya yang menyapanya. Kepala HRD yang dipanggil Pak Zaka itu tersenyum mengangguk. "Benar Pak. Jarang sekali ada karyawan yang terlambat. Apalagi karyawan magang. Mereka malah lebih rajin dari karyawan lainnya." Pria paruh baya itu terkekeh, lalu menyeruput kopi yang sudah hampir habis di tangannya. "Karyawan magang?" Kening Kaisar berkerut. "Ya, Pak. Kami menerima mahasiswa yang baru lulus untuk magang." "Oh, begitu." Kaisar langsung teringat dengan gadis yang menjadi perhatiannya sejak kemarin. Ingin rasanya ia menanyakan perihal gadis itu pada Pak Zaka. Tetapi ia tidak mau kepala HRD itu berpikir yang tidak-tidak tentangnya. "Ehm, berapa orang kary
"Nama saya Kanaya, Pak. Kanaya Putri." "S-siapaaa ...?" Netra Kaisar melebar mendengar nama yag diucapkan gadis itu. Napasnya seakan terhenti sesaat. Nama yang tidak asing di telinganya. Nama yang belakangan ini sering mengisi benaknya. "Ka-naya Putri, P-pak," ulang gadis itu. Ia pun terkejut melihat wajah Kaisar yang tiba-tiba berubah. Hal itu membuatnya gugup. Setelah menghela napas panjang, Kaisar buru-buru menutupi rasa terkejutnya. Ia berusaha berpikir positif. Bisa saja ini adalah kebetulan. Nama Kanaya putri pasti tidak hanya digunakan oleh satu orang saja di dunia ini. "Oh, ya. Kanaya. Apa kamu sudah tau tugasmu?" Kaisar kembali bicara dengan sikap wibawanya sebagai seorang CEO. "Be-belum, Pak." Kanaya masih tampak gugup. Kaisar tersenyum samar. Dalam hatinya ia merasa gemas dengan sikap gadis yang mungkin saja sepuluh tahun lebih muda darinya. "Kamu tinggal di mana?" "Di de-kat k-kampus, Pak." Kanaya masih menunduk. Ia makin gugup karena tatapan Kaisar yang cukup inte
Kaisar berdecak kesal karena Permadi tidak mengangkat panggilannya. Ia melirik arlojinya."Astaga! Sudah lewat waktunya makan siang. Gadis itu pasti belum makan." Dengan bergegas Kaisar kembali ke ruangannya. "Kanaya pasti menunggu dan tidak berani untuk keluar istirahat sebelum ada intruksi dari aku. Gadis itu masih sangat polos." Kaisar merasa khawatir hingga ia mempercepat langkahnya. Saat melewati meja Risa, ia tidak menemukan sekretarisnya itu di sana. Suasana di lantai itu sudah sepi karena sebagian besar karyawan sudah meninggalkan mejanya untuk makan siang. "Kanaya kamu ..." Kaisar tertegun saat baru saja membuka pintu. Benar saja, Kanaya masih berada di ruangannya. Netra Kaisar beralih ke meja makan yang ada di sisi kiri ruangan. Ia melihat ada makanan sudah tertata rapi di sana. "Makan siangnya sudah saya siapkan, Pak." Gadis itu sedikit mengangguk sopan sambil mengulurkan tangannya ke arah meja makan. Perlahan Kaisar mendekati meja makan. Ia tersenyum karena ternyata