"Sudah siang, ayo kita pulang!" Raihan berbisik pada Ratu yang masih duduk berjongkok di depan gundukan tanah merah yang masih basah. Di hadapan mereka Mela dan Sumi pun masih tak beranjak dengan sisa isak tangis mereka. "Bentar lagi, Rai. Aku masih mau di sini," sahut Ratu pelan tanpa menoleh. Tatapan matanya terus tertuju pada papan nisan yang bertuliskan nama sang Ayah. "Aku belum sempat meminta maaf, aku belum sempat membahagiakannya," lirih Ratu dengan suara parau. "Harusnya aku segera menghubungi pengacara itu. Harusnya aku bisa bawa dia pulang ke rumah ibu. Harusnya dia bisa lihat aku bisa beliin ibu rumah yang layak. Harusnya aku ..." "Sudah, sudah! Tenangkan dirimu!" Raihan merengkuh bahu Ratu dan merangkulnya erat. Istrinya itu langsung berhenti meracau dan kini kembali terisak. "Bu Sumi, Bu Mela, bagaimana kalau sebaiknya kita pulang sekarang? Cuacanya makin panas."Raihan terpaksa mengajak kedua wanita di depannya agar Ratu juga mau diajak pulang olehnya. Keluarga d
"Kurang ajar! Jadi kamu yang mau menembak putri saya, hah! Kamu tau? Sedikit saja putri saya tersentuh, saya akan bunuh kamu!" Ratu baru saja sampai di depan ruangan yang pintunya setengah terbuka itu. Ia berdiri terpaku melihat Rein sedang mencengkeram kemeja putih seorang pria muda yang sama sekali tidak ia kenal. "A-ampun, Pak Rein. Sa-saya tidak tau kalau itu putri Bapak! Saya hanya disuruh." Wajah pria itu tampak lebam. Sepertinya Rein baru saja menghajarnya. "Siapa yang menyuruhmu, hah?" Rein memperkuat cengkramannya hingga tubuh pria itu sedikit terangkat. "A-ampun, Pak Rein. Dia seorang wanita, Pak!" Pria muda itu tampak ragu dan ketakutan. Raihan makin penasaran untuk mengetahui siapa nama wanita yang dimaksud. "Seorang wanita? Sebutkan namanya!" Rein makin geram. Netranya makin tajam menatap ke arah tersangka. "Saya tidak tau. Dia hanya memberi perintah lewat ponsel, tanpa memberi nama." Ada raut penyesalan terlihat pada wajah pria itu. "Dasar bodoh!" "Aaaaww ...! Am
"Rai, bangun! Kamu janji mau antar aku ketemu Daddy!" Ratu mengguncang-guncang tubuh Raihan yang masih tertidur pulas di sampingnya. "Aku masih ngantuk, Sayaaang! Tidur lagi aja, yuk!" Raihan malah merengkuh tubuh Ratu hendak kembali memeluknya. "Nggak mau! Kamu udah janji, Rai!" Tetapi Ratu menolaknya. Ia menepis tangan kekar Raihan dengan pelan. Raihan terpaksa membuka matanya. "Memangnya sekarang jam berapa?" "Sudah hampir malam. Aku mandi duluan. Setelah ini kamu siap-siap mandi juga!" Ratu turun dari ranjang dan bergegas ke kamar mandi. Raihan menghempas napas kasar. Sebenarnya ia khawatir jika Rein akan kembali bersikap dingin pada Ratu, dan tentunya akan kembali membuat istrinya itu kembali bersedih. Tapi sepertinya kali ini Ratu sangat bersemangat. Raihan tidak mungkin tega melarangnya. Ia pun beranjak dari ranjang dan menyusul Ratu ke kamar mandi. Ratu buru-buru menyelesaikan ritual mandinya melihat Raihan menyusulnya. Ia tidak ingin prosesi mandinya akan berlangsung le
"Kamu ... nangis?" Rein terperanjat. Ia tidak menyadari Maira telah berdiri di dekat pintu. Pria berjambang lebat itu buru-buru memasang raut wajahnya seakan tidak terjadi apa-apa. "Siapa yang nangis?" Maira tersenyum. Ia sangat memahami sifat suaminya itu. Ia tidak ingin bertanya lagi tentang apa yang dia lihat barusan. "Bagaimana dengan kasus penembakan itu? Apa sudah tau siapa pelaku sebenarnya?" Maira mengalihkan pembicaran dan ikut duduk bersandar di samping Rein. Maira menepuk pahanya agar Rein merebahkan kepalanya di sana. Pria tampan berwajah dingin itu langsung menuruti aba-aba dari Maira dan berbaring nyaman di atas pangkuan Maira. Ia memejamkan netranya sambil menikmati sentuhan jemari Maira yang sangat menenangkan di kepalanya. "Mereka masih menyelidiki wanita itu. Kemungkinan salah satu orang yang tidak suka dengan keberadaan Ratu di perusahaan. "Hmmm, kira-kira siapa?" tanya Maira tak sabar. "Seharusnya Raihan dan Ratu bisa menebak siapa pelakunya,"sahut Rein pel
"Apa yang sedang kalian lakukan di sini?" Mendengar suara bariton yang begitu mereka kenali, seketika Raihan dan Analea menoleh ke pintu."Kak Biaan!" Analea terpekik senang. Ia langsung bangkit dari kursi dan melangkah melewati Raihan untuk memeluk Fabian. "Lea, aku rindu." Fabian berbisik. Ia merasa Analea begitu erat memeluknya. Samar-samar iai mendengar suara isak tangis Analea yang menyembunyikan wajahnya pada dada Fabian. Keduanya berpelukan cukup lama hingga lupa bahwa Raihan berada diantara mereka. "Ehm ... hem ...!" Raihan memutar bola matanya, lalu menghempas napas kasar. Seketika Analea mengurai pelukan. Fabian pun menoleh pada Raihan sambil berdecak kesal. "Kalian pikir aku ini nyamuk?" umpat Raihan. Analea yang tadi terharu malah terkekeh. "Maaf, maaf! Ngomong-ngomong makasih ya bantuannya!" "Bantuan apa? Memangnya apa yang sedang kalian lakukan?" Fabian mengulang pertanyaannya "Raihan tadi membantuku memeriksa laporan ini. Entahlah tiba-tiba saja aku tidak bisa
"Apa? Sonia punya perusahaan baru?" Garpu dan pisau roti di tangan Raihan terlepas begitu saja. Ia terkejut mendengar kabar dari Fabian. "Apa mungkin Sonia ada hubungannya dengan penembakan kemarin?" Rein pun ikut bicara. Raihan makin terkesiap. Kenapa sejak kemarin tidak terpikirkan olehnya tentang Sonia? "Pak, Rein. Bunda bilang, Orang tua Sonia pernah berjasa pada perusahaan Ayah Yuda. Apa benar?" Rein mengerutkan keningnya mendengar pertanyaan Raihan. Ia mencoba mengingat-ingat siapa Sonia dan orang tuanya. Namun ia sama sekali belum bisa mengingatnya. "Sandwichnya sudah jadi. Ayo silakan yang mau nambah. Aku buatkan lebih." Ratu datang lalu menambahkan satu sandwich lagi ke piring Rein. Ia tersenyum melihat Rein langsung menerima dan memakannya. "Hmm ..." Rein mengangguk-angguk saat kembali menyuap sandwich buatan Ratu. Hal itu tak luput dari pandangan Ratu. Betapa ia sangat bahagia. "Ya, Fabian dan Pak Rein benar. Sonia harus diperiksa." Raihan kembali bicara
"Intan, tolong jawab saya!" Intan masih diam menunduk. Kemudian perlahan mengangkat wajahnya. Tetapi ia tidak berani membalas tatapan Kaisar yang begitu dalam dan lekat. Pandagannya tertuju ke arah lain. "Intan, apa ini artinya saya ditolak? Tolong bicara, In!" Suara Kaisar bergetar. Tenggorokannya nyaris tercekat. Rasanya ia kesulitan untuk bicara. "M-maafkan saya, Pak!" Seketika Kaisar terdiam. Napasnya seakan terhenti mendengar permintaan maaf dari Intan. Perasaannya mengatakan sesuatu yang tidak ia inginkan akan terjadi. "Ke-kenapa, In?" Kaisar menatap nanar dengan hati tak karuan. Luka hatinya yang baru akan mengering kini kembali menganga. "Sa-saya ... sudah punya ... calon suami, P-Pak." Intan kembali menunduk. Seketika Kaisar menghempas napas berat. Rasa sakit itu kembali ia rasakan. Ternyata selama ini ia salah mengartikan kedekatannya dengan wanita itu. Ia pikir gadis itu selalu tersenyum karena bahagia bersamanya. Ia tidak menyangka cintanya akan kembali ditolak. Ia
"Saya, Pak. Boleh kami masuk?" tanya Kaisar penuh harap. Ia bersyukur karena pria yang ia tabrak telah sadar. "Silakan, Pak. Sepertinya ada yang ingin disampaikan oleh pasien." Kaisar dan Permadi bergegas masuk, lalu menghampiri Permana yang terbaring lemah. "Kang, Kang Permana ...!" Permadi tampak cemas dan khawatir. Sedangkan Kaisar berdiri mematung melihat kondisi Permana yang sangat lemah. Pria tua itu memang sudah sadar, tapi ia tampak sangat sulit bernapas dan wajahnya sangat pucat. Selang oksigen terpasang pada mulutnya. "Kang, ini Pak Kaisar yang nabrak Akang. Tapi dia nggak sengaja dan mau bertanggung jawab." Permadi bicara pelan dengan mendekatkan wajahnya pada Permana "T-tolong titip Na-ya!" lirih Permana dengan susah payah. Sudut matanya melirik pada Kaisar. Karena bingung, Kaisar menoleh pada Permadi dengan alis terangkat, seakan minta penjelasan. "Naya atau Kanaya adalah putri Kang Permana. Dia sedang kuliah di Jakarta." Kaisar yang langsung memahami pun menjawab