Mata Ratu mengerjap. Ia menoleh ke sekitar ruangan yang kini ia tempati. "Astaga! Kenapa aku ada di kamar ini?" Ratu yang baru saja terjaga, langsung bangkit dan duduk di atas ranjang. Lagi-lagi Raihan memindahkannya ke kamar. Ratu bergidik membayangkan Raihan mengangkat tubuhnya ke kamar ini. Ratu bernapas lega karena pakaian yang ia kenakan masih lengkap. Setelah ia sadari bahwa semua tubuhnya masih aman, ia bergegas turun lalu keluar dari kamar. "Raihan ..." Ratu terhenyak melihat Raihan tertidur pulas di sofa dengan posisi meringkuk. Tubuh besarnya tidak bisa ditampung secara keseluruhan oleh sofa yang ia tiduri. Ratu jadi merasa iba. Ia mendekat, lalu membetulkan letak selimut Raihan yang tadi hampir jatuh. Sesaat ia sempatkan untuk memandang wajah tampan itu lagi. Hatinya kembali berdebar. Namun, ia tidak berani berlama-lama memandangi wajah Raihan. Jangan sampai ketahuan seperti kemarin. Netra Ratu beralih pada jam dinding di ruangan itu. Ia bergegas ke dapur untuk membuat
"Bagus, ya! Izin seenaknya, datang terlambat! Kamu pikir ini perusahaan bapakmu, hah?" "Pagi, Bu Sonia." Ratu tetap mengangguk ramah meski Sonia memandang tajam ke arahnya. "Setelah ini aku tunggu kamu di ruanganku!" Sonia memutar badannya dan melangkah pergi meninggalkan Ratu di ruang absen. "Makin lama perempuan itu makin kurang ajar! Sebenarnya dia itu siapa, sih? Kenapa Pak Raihan terus membela dia? Rasanya tidak mungkin Pak Raihan suka dengan perempuan bar-bar seperti dia. Lagi pula aku jauh lebih cantik." Sonia terus bicara dalam hati hingga tiba di ruangannya. Ia duduk di kursi kebesarannya sambil menunggu kedatangan Ratu. Kalau saja ia tidak ingat ancaman Raihan waktu itu, rasanya ia ingin sekali memaki-maki Ratu, bahkan memecatnya dari perusahaan. Sayangnya ia masih takut dengan ancaman Raihan yang bisa menjatuhkan karirnya. Suara ketukan terdengar dari luar. Tanpa aba-aba darinya, pintu itu langsung terbuka. Emosi Sonia semakin memuncak melihat raut wajah Ratu yang da
"Bagaimana Maina, apa kamu sudah sampai di PT LikeSport?" "Sudah, Bun. Aku sedang menuju ruang direkturnya. Lagian, untuk apa Bunda minta aku keliling ke semua perusahaan Ayah? Bukannya ada Kak Raihan?" Yumaina bicara pelan di ponselnya. "Kamu besok sudah kembali ke Australia. Bunda mau, sebelum kamu pergi, kamu tau dulu kondisi semua perusahaan. Kasian kakakmu sendirian." Suara Salma masih terdengar serak dari seberang sana. "Kenapa Bunda nggak suruh Ratu aja?" tanya Yumaina berbisik. Matanya berkeliling mengitari tempat yang ia lewati. "Ratu sedang menyelesaikan kuliahnya. Dia masih harus belajar banyak. Sedangkan kamu sudah banyak memahami sejak dulu." Yumaina membalas anggukan dari para karyawan yang berpapasan dengannya. Salah satu karyawan yang mengantarnya ke ruang direktur, memberi tanda dengan tangannya secara sopan bahwa mereka telah tiba di ruang direktur. ""Bun, sudah dulu, aku sudah sampai di ruang direktur." Yumaina buru-buru menutup ponselnya dan menyim
"Kamu ... di sini?" Mata Yumaina membulat melihat penampilan Ratu dari atas ke bawah. Ratu mengangguk sambil tersenyum canggung. Ia bingung mau bicara apa. Apalagi saat ini mereka sedang berada di depan Sonia. Ratu khawatir jika Yumaina membuka identitas barunya sebagai istri Raihan. Karena itu Ratu memutuskan untuk segera pergi dari sana. Setelah selesai meletakkan minuman itu, Ratu bergegas pamit untuk keluar. "Saya permisi!" Tatapan Yumaina terus tertuju pada Ratu hingga menghilang di balik pintu. Kepalanya mendadak dipenuhi oleh banyak pertanyaan yang akan ia tanyakan nanti pada Raihan dan sang bunda. Wajahnya jelas sekali diliputi rasa ingin tahu yang begitu besar. Namun ia harus simpan semua itu sementara waktu. Melihat reaksi Yumaina, diam-diam Sonia senyum penuh kemenangan. Ia menduga Yumaina akan semakin tidak suka dengan Ratu. Apalagi kini ia tahu pekerjaan Ratu yang sebenarnya. Sonia geleng-geleng kepala sambil tersenyum sinis ke arah perginya Ratu tadi. "Bu Yumaina p
"Cieee ... sudah mulai suka ternyata!" Yumaina mulai menggoda Raihan. "Pokoknya jangan lagi bentak-bentak istriku. Dia itu kakak iparmu. Walau usianya lebih muda, kamu wajib menghormatinya." Raihan mulai membuka lagi laptopnya dan meneruskan pekerjaannya. Yumaina tertawa. "Sikapku memang tidak bisa lembut, kak. Tapi hatiku selembut kapas," sanggah Yumaina. "0Ratu juga bukan wanita lembut. Tapi dia unik." Yumaina kembali tertawa, "Sudah mulai bucin rupanya." "Kalau kamu bagaimana? Mana calon suamimu?" Raihan balik menggoda. Tiba-tiba Yumaina diam dengan tatapan kosong."Aku ... belum menemukan pria seperti Om Elkan." "Astaga, Maina! Sejak kecil apa tidak ada pria lain yang kamu suka selain Om Elkan?" Yumaina menggeleng. Ia pun tidak pernah mengerti, kenapa ia sangat memuja pengacara keluarga sekaligus sahabat ayahnya itu. "Sudah, sudah! Jangn diteruskan! Aku pergi. Jangan lupa awasi Sonia, sebaiknya Kakak cari tau semua tentang dirinya!" Yumaina meraih tas yang ada di meja, la
"Stop di depan warung itu Pak!" Ratu turun dan membayar ongkos taksi. Setelah kepergian taksi yang membawanya tadi, Ratu berdiri di depan warung kopi. Ia bingung, kenapa ia pulang ke kontrakan? Bukan ke apartemen? "Non, Non Ratu! Non kapan datang?" Ratu menoleh dan melihat Sumi tergopoh-gopoh menghampirinya dari arah panti pijat. Tenggorokannya tercekat. Ia merasa bersalah. Sejak tiba di Jakarta ia tidak mengabari Sumi. Bahkan ia tidak memberitahu Sumi tentang meninggalnya Yuda. "Ke-kemarin." Ratu menjawab singkat. Lalu menyamai langkah Sumi menuju gang kecil. "Tuan Raihan mana, Non?" tanya Sumi yang masih tampak bahagia atas kepulangan Ratu.. "Masih kerja," Jawab Ratu singkat. Sumi mengangguk-angguk. Sesampainya di rumah, Sumi langsung menyiapkan makanan untuk Ratu. "Dimakan, ya, Non! Kok bisa pas, kebetulan saya masak lauk kesukaan Non hari ini." Ratu terharu dengan sikap Sumi. Wanita itu tampak sangat tulus menyayanginya. Kenapa Ratu masih belum bisa menerima kenyataan bahw
"Kenapa nggak bilang kalau mau ke sini?" Raihan akhirnya bertanya lebih dulu. "Kenapa aku harus bilang? Bukannya aku bebas kemana aja aku mau pergi?" Ratu buru-buru mengalihkan pandangannya ketika menyadari bahwa mereka baru saja saling bertatapan. "Tapi setidaknya kamu nggak bikin aku bingung, Ratu. Aku pikir kamu di apartemen. Aku bisa antar kamu jika ingin ke sini." "Loh, ada Tuan Raihan. Ayo silakan masuk, Tuan!" Perdebatan yang baru saja dimulai akhirnya terhenti oleh kedatangan Sumi. "Apa kabar, Bu Sumi!" Raihan langsung meraih tangan Sumi dan menciun punggung tangannya. Netra Sumi berkaca-kaca mendapatkan sikap Raihan yang begitu santun padanya. Ia tidak menyangka, Raihan yang merupakan seorang pengusaha kaya mau menghormati dan mencium tangannya yang hanya seorang pembantu. "Baik, Tuan. Ayo masuk! Non, sini masuk!" Sumi menepuk pelan lengan Ratu yang ia pikir sedang melamun. Ratu pun masuk dan duduk berhadapan dengan Raihan di atas karpet plastik yang sudah lusuh. "Si
Hembusan napas keduanya saling memburu. Suara erangan halus pun terdengar saling bersahutan. Satu tangan kekar Raihan sudah menggenggam leher bagian belakang Ratu yang jenjang. Rambut Ratu yang tidak begitu panjang memudahkan Raihan untuk meraihnya. Sesuatu yang mendorong Raihan sejak Ratu berada di apartemennya seakan menuntut penyelesaian. Apalagi kini Ratu sama sekali tidak menolak setiap sentuhannya. Ratu pun terbuai oleh aroma khas maskulin milik Raihan yang sejak awal nyaris menghipnotisnya. Pesona pria tampan itu berhasil menghilangkan akal sehatnya malam itu. Padahal mereka tau di luar sana warung kopi masih ramai oleh pengunjung. Tiba-tiba saja Ratu tersentak oleh suara tawa para pengunjung warung kopi yang semakin ramai. Seketika itu juga ia mendorong tubuh Raihan yang sedang tak siap. Hingga punggung Raihan terdesak ke pintu mobil."Cari-cari kesempatan terus!" ketus Ratu sambil meraih tisu dan mengusap bibirnya. "Aduh, kamu apa-apaan, sih! Sakit, tau!" umpat Raihan kes
"Mengundang Raka? Apa itu perlu?" tanya Rein datar. Maira menghela napas panjang." Sayang, kita harus minta maaf pada Raka dan Kayla karena pernikahan Kaisar kemarin. Aku dengar, dia kecewa." Rein mendengkus kesal. "Bisa-bisanya dia kecewa. Seharusnya dia bisa memilih mana yang harus diprioritaskan. Lagipula, cuma gara-gara dia tidak bisa hadir, semua acara yang sudah direncanakan harus diubah begitu saja?" "Tapi dia papa kandung Kaisar, Rein!" bantah Maira. "Oh, jadi menurutmu Raka lebih berhak memutuskan semuanya daripada aku? Mengapa kamu tidak pernah mengerti, Kaisar itu lebih dari sekedar anak sambung untukku. Kami sudah bersama sejak dia baru bisa berjalan. Kamu pikir kemana Raka selama ini? Bisa-bisanya dia merasa sebagai ayah kandung yang harus diprioritaskan." Bicara Rein mulai meninggi. Hal ini membuat Maira menjadi panik. Ia tidak ingin Rein tiba-tiba sakit di hari bahagia ini. "Ya, Sayang. Sudah, ya. Maafkan aku," ucap Maira lembut. Ia langsung memeluk suaminya
Analea dan Fabian baru saja kembali dari rumah sakit setelah kelahiran anak pertama mereka. Maira dan Rein menyambut mereka dengan penuh antusias, sementara Fabian terlihat sangat hati-hati saat menggendong bayi mereka yang masih mungil. "Selamat datang kembali di rumah, sayang," ucap Maira sambil tersenyum hangat. Ia memeluk Analea dengan lembut. "Kamu luar biasa, Analea. Sekarang kamu sudah menjadi seorang ibu!" Maira membawa anak dan menantunya ke ruang tamu. Analea, meski terlihat lelah, tersenyum lebar. "Terima kasih, Ma. Rasanya aku masih nggak percaya akhirnya bayi kecil ini ada di sini," ujarnya sambil memandangi bayi perempuannya yang sedang tidur nyenyak di pelukan Fabian. Saat ini mereka sudah berada di ruang tamu rumah mewah itu. Rein yang berdiri di sebelah Maira tampak tersenyum bangga. "Ini cucu pertama kami. Rasanya seperti mimpi melihat kalian pulang dengan bayi mungil yang cantik," ucapnya sambil menepuk pelan bahu Fabian. Fabian tersenyum lega. "Kami juga merasa
Setelah tiga hari berada di hotel, pagi itu Kaisar dan Kanaya memutuskan untuk sarapan di restoran hotel sebelum melanjutkan rencana liburan singkat mereka. Meski tubuh sedikit lelah setelah melewati malam-malam yang panjang, kebahagiaan terus terpancar dari keduanya. "Maafin aku, Sayang. Aku belum sempat membawamu berlibur ke luar kota atau ke luar negeri. Rencananya setelah proyek terakhir ini selesai, aku akan mengajakmu ke suatu tempat yang indah dan tentunya cukup jauh." Kanaya tersenyum haru."Nggak apa-apa, Mas. Selama Mas ada di dekatku, bagiku di mana aja nggak masalah. Liburan di hotel ini pun sudah bikin aku bahagia. Pokoknya asal kita selalu bersama." Kanaya menatap Kaisar dengan lekat. Mendapatkan tatapan yang berbeda dari istrinya, Kaisar jadi berdebar dan salah tingkah." Aku suka kamu tidak lagi malu-malu, Sayang." Kaisar menjawil hidung mancung Kanaya. Keduanya tertawa kecil penuh kebahagiaan. Di saat sedang menikmati momen santai itu, tiba-tiba seorang pelayan men
“Ini dari Mama,” ucap Kaisar pelan sambil mengangkat telepon. “Halo, Ma?” Suara Maira terdengar penuh semangat di ujung telepon. “Kaisar! Kamu di mana? Analea sudah melahirkan!” Kaisar langsung terkejut. “Apa? Analea sudah melahirkan? Sekarang, Ma?” “Iya! Kami sudah di rumah sakit sekarang. Ayo cepat ke sini, Kaisar. Kalian harus segera datang,” jawab Maira dengan penuh kegembiraan. Kaisar menoleh ke arah Kanaya yang sudah berdiri di belakangnya. “Analea sudah melahirkan, Naya. Kita harus ke rumah sakit sekarang.” Mata Kanaya langsung berbinar. “Beneran, Mas? Ya ampun, aku harus segera siap-siap!” Kaisar tersenyum melihat antusiasme istrinya. “Iya, beneran. Ayo cepat kita berangkat.” Tanpa menunggu lama, setelah membersihkan diri dan berpakaian, Kanaya segera mengambil tas kecilnya, sementara Kaisar sudah siap di depan pintu. Mereka berdua keluar kamar dan menuju lobi hotel dengan cepat. Di perjalanan, Kanaya tampak begitu bersemangat. “Aku masih nggak nyangka, Mas. Kak Analea
“Naya, ini malam yang kita tunggu-tunggu,” bisik Kaisar sambil menatap istrinya dengan penuh cinta. Kaisar membuka pintu kamar dengan perlahan, lalu mengajak Kanaya masuk. Kamar itu dihiasi dengan bunga-bunga mawar yang wangi dan lilin-lilin kecil yang menambah suasana romantis. Kaisar menggenggam tangan Kanaya, lalu menuntunnya untuk duduk di tepi ranjang. Kanaya tersenyum kecil, meskipun wajahnya masih terlihat sedikit gugup. “Iya, Mas. Aku masih nggak percaya ini benar-benar terjadi.” Kaisar mengusap pipi Kanaya dengan lembut, lalu mengecupnya pelan. “Kamu nggak perlu takut. Aku akan selalu ada untukmu, sekarang dan selamanya.” Kanaya merasakan debaran di dadanya semakin kencang. “Terima kasih sudah mau menjagaku, Mas. Aku juga merasa sangat bahagia malam ini.” Mereka berdua saling menatap, merasakan betapa dalam cinta yang kini mengikat mereka. "Naya ...," bisik Kaisar. Ia menggeser tubuhnya hingga nyaris tak berjarak lagi dengan Kanaya. Satu tangannya mengusap lembut bibir
Malam itu, hotel mewah tempat resepsi berlangsung dipenuhi oleh tamu-tamu dari berbagai kalangan. Lampu kristal yang bergemerlapan menambah kemewahan suasana, sementara karpet merah yang terbentang menyambut setiap tamu yang datang. Kaisar dan Kanaya sudah siap di belakang panggung, menanti giliran mereka untuk memasuki ballroom utama sebagai pasangan suami istri yang resmi. “Kamu siap, Naya?” tanya Kaisar dengan senyum lembut, sambil menggenggam tangan istrinya yang sedikit gemetar. Kanaya mengangguk pelan, meski hatinya masih berdebar-debar. “Aku siap, Mas,” jawabnya. Di ballroom utama, para tamu sudah mulai berkumpul. Banyak wajah yang familiar hadir. Para karyawan yang mengenal Kanaya dan Kaisar datang mengenakan pakaian terbaik mereka. Beberapa dari mereka tampak saling berbicara pelan, masih terkejut dengan kabar bahwa asisten pribadi bos besar mereka ternyata adalah istrinya sendiri. “Aku nggak nyangka banget, ternyata Kanaya benar-benar istri Pak Kaisar,” bisik salah satu
Setelah beberapa saat mencari, Kaisar akhirnya melihatnya. Di sana, di depan makam ayahnya, Kanaya duduk sambil memeluk lututnya. Tubuhnya tampak gemetar, sementara isak tangisnya terdengar pelan di antara keheningan. Kaisar berjalan mendekat dengan hati-hati, tidak ingin mengejutkan istrinya yang sedang larut dalam kesedihan. “Naya ...,” panggilnya pelan, suaranya penuh rasa bersalah. Tapi rasa sayang itu terasa makin mendalam. Kanaya tersentak. Gadis itu terdiam sejenak, sebelum menoleh ke arah suara itu. Matanya yang bengkak menunjukkan betapa berat beban yang ia rasakan saat ini. "Mas ... kenapa menyusulku? Kenapa Mas tinggalin Intan di sana?" Suara Kanaya terdengar parau. Sisa air mata masih membasahi wajah manisnya. Kaisar perlahan lebih mendekat. Ia berlutut di samping Kanaya, menatap mata Kanaya dengan penuh penyesalan. “Naya, aku minta maaf. Aku benar-benar tidak bermaksud membuatmu terluka. Intan muncul tiba-tiba, dan aku terlalu terkejut hingga tidak tau harus melakukan
Kaisar memutar tubuhnya hendak memanggil Kanaya. Di tengah kebingungannya, ia ingin segera memperkenalkan Kanaya pada Intan dan memastikan bahwa tidak ada salah paham yang terjadi. Namun, begitu ia melihat sekeliling, ia tidak menemukan Kanaya di sana. "Kanaya?" panggilnya, memandang ke berbagai arah. Tidak ada jawaban. Kaisar mulai merasa panik. Ia mencoba mencari ke ruangan lain, berharap menemukan Kanaya sedang sibuk dengan sesuatu. Tapi setelah mencari ke dapur, ruang tengah, bahkan ke ruang persiapan, Kanaya tetap tidak terlihat. Kaisar semakin gelisah. "Kemana dia pergi?" gumamnya pelan, sambil mencoba menelepon Kanaya. Namun, tidak ada jawaban dari panggilan itu. Perasaannya mulai tak karuan, seolah ada yang menindih dadanya. Di tengah kegelisahannya, Kaisar melihat Maira dan Rein mendekat. Wajah Maira tampak khawatir, sementara Rein berusaha tetap tenang. “Ada apa, Kaisar? Kenapa wajahmu tegang begitu?” tanya Maira dengan nada cemas. Kaisar menghela napas, mencoba menaha
Bab 26: Kedatangan yang Tak Terduga Rumah besar dan mewah milik Maira dan Rein dipenuhi dengan aktivitas sejak pagi itu. Persiapan resepsi pernikahan Kanaya dan Kaisar yang akan digelar malam ini tengah berlangsung dengan penuh semangat. Maira berkeliling memastikan semua detail dipersiapkan dengan sempurna, sementara Kaisar dan Kanaya membantu semampu mereka. Analea dan Ratu pun ikut membantu Maira. “Kaisar, nanti jangan lupa ke ruang ganti untuk cek lagi setelan jasnya, ya,” ujar Maira sambil memeriksa daftar tamu undangan. Meski mereka memakai jasa WO, Maira tak ingin ada hal sekecil apapun yang terlewat. “Iya, Ma,” jawab Kaisar sambil tersenyum, lalu beralih ke Kanaya yang tampak sibuk dengan telepon genggamnya, memastikan tamu dari pihaknya juga sudah menerima undangan. Ia juga menyiapkan transportasi untuk para keluarganya dari Bogor.Setelah kembali dari ruang ganti, Kaisar kembali menemani Kanaya yang masih mendata para tamunya di ruang tamu. Mereka yang sedang duduk di sof