"Hei, kenapa malah makin sedih? Aku salah apa?" Raihan buru-buru membasuh tangannya, ia jadi bingung, karena hampir semua pengunjung yang berada di sekitarnya menoleh ke meja mereka. "Sini!" Setelah membersihkan tangannya Raihan merengkuh tubuh Ratu dan membawanya ke dalam pelukan. Hatinya lega karena Ratu tidak menolaknya. Karena itu Ia memberanikan diri mengecup puncak kepala Ratu. Berharap memberikan ketenangan pada istrinya itu. Seketika Ratu merasa nyaman berada dalam dekapan tubuh kekar Raihan. Kepalanya bersandar pada dada bidang milik Raihan yang tegap dan menggoda. Perlahan tangisnya pun reda. Raihan merenggangkan pelukannya, lalu menatap wajah Ratu. Ia meraih tisu dan mengusap lembut kedua mata dan pipi Ratu yang basah. "Maafkan aku, jika telah membuatmu sedih!" Raihan berbisik. Hembusan napasnya menyapu hangat wajah Ratu. Netra Ratu mengerjap membalas tatapan Raihan. Lalu ia menggeleng pelan. "Kamu nggak salah. Tapi, akunya aja yang baper," sahut Ratu membuat Raihan te
Berkali-kali Raihan menelan salivanya. Sungguh ia sangat gugup. Dorongan keinginan itu terus memaksanya. Hasrat kelaki-lakiannya seketika bangkit. Namun, ia masih ragu untuk melakukannya. Ia khaŵatir Ratu belum menginginkannya. Ia tak mau merusak hubungan yang sudah terjalin cukup baik malam ini. Gerakan tangan Raihan terhenti. "Astaga! Ada apa denganku? Kenapa keinginan itu begitu kuat? Walaupun dia sudah halal untukku, bukan berarti aku seenaknya saja melakukannya. Ratu pasti akan kecewa." Raihan menarik kembali tangannya. Lalu, dengan berat hati beranjak turun dari ranjang. Ia harus mandi untuk mendinginkan tubuhnya yang mulai panas. Setelah berhasil menguasai dirinya , Raihan keluar dari kamar mandi. "Rai ..." Ratu telah duduk di ranjang. Netranya menyipit. Sepertinya ia baru saja terbangun. "Kenapa bangun? Tidurlah!" Raihan yang hanya mengenakan handuk yang melilit di pinggangnya membuka lemari untuk mencari kaos tipis dan celana pendek. Pakaian tidur favoritenya. "Kamu ..
"Iya, gantikan aku!" "Kenapa harus aku? Kenapa bukan Yumaina saja?" Ratu tampak cemas. "Yumaina akan mengurus perusahaan Ayah yang ada di luar negeri. Sudahlah! Yang penting sekarang ini kamu belajar dulu." Ratu menghela napas panjang, lalu buru-buru melanjutkan makannya. Setelah selesai menghabiskan sarapannya, Raihan dan Ratu bergegas berangkat ke kantor. Mereka berjalan bersisian melewati lorong apartemen yang sudah mulai ramai oleh penghuni yang ingin bekerja. "Sini tas kamu aku yang bawa. Kelihatannya berat!" Saat menuju lift, Raihan meraih tas ransel yang ada di punggung Ratu. "Aku sekarang bawa laptop, saat istirahat aku bisa kerjakan tugas kuliah," balas Ratu sambil menyerahkan tasnya pada Raihan. "Anak pinter!" Raihan mengacak-acak rambut Ratu hingga istrinya itu cemberut dan buru-buru merapikan kembali rambutnya. Raihan terkekeh melihat Ratu mengomel. "Aku nanti turun di halte aja!" pinta Ratu saat mereka sudah berada di dalam mobil dan mulai menuju ke PT LikeSport.
"Kursi kebesaran ini akan menjadi tempat saya nantinya. Ruangan ini juga akan menjadi ruangan saya. Bagaimana menurut kamu, Nang? Saya pantas, bukan?" Sonia memandang ke seluruh sudut ruang CEO sambil duduk memutar-mutar kursi kebesaran itu. " Ya jelas pantas, dong, Bu Sonia. Tapi, Bu Sonia bukan CEO, mana bisa ruangan ini jadi milik ibu?" "Jelas bisa. Saya yakin, Pak Raihan akan tertarik pada saya. Dia nggak mungkin mau sama office girl. Si Khairatun itu cocoknya sama kamu. Satu profesi." Sonia tertawa lepas tanpa perasaan. Ia dan Nanang tidak menyadari bahwa pintu ruang CEO itu tidak tertutup rapat. "Maaf, tapi ... apa ibu yakin?" tanya Nanang hati-hati "Kamu meragukan saya, Nang?" Sonia menyipitkan matanya seraya melipat tangan di depan dada. Ia menatap sinis pada Nanang. "Bu-bukan begitu, Bu. Sepertinya Pak Raihan perhatian sekali pada Khairatun. Dia selalu marah setiap saya berada dekat-dekat Khairatun." Sonia menghempas napas kasar. Sebenarnya dia pun merasakan hal yang sa
"Ratu tunggu, ayolah ikut denganku!" Nanang tergopoh-gopoh menyusul Ratu yang semakin mempercepat langkahnya. Ia memutuskan untuk tidak menghiraukan Nanang dan segera menuju restoran yang ada di seberang kantor. Ia tidak mau Raihan lama menunggunya "Maaf, Nang. Aku buru-buru!" Ratu sama sekali tak menoleh pada pria berkulit putih itu. Akan tetapi, Nanang tidak mau menyerah. Ia terus mengikuti Ratu sampai ke depan gerbang utama. Hal ini membuat Ratu geram dan menghentikan langkahnya. "Ngapain masih ikutin aku? Kamu nggak dengar aku ngomong?" Suara Ratu meninggi sampai beberapa orang di sekitarnya menoleh padanya. "Jangan pulang sendiri. Ayo aku antar!. Terserah kamu mau naik apa. Kita naik taksi online saja!" Nanang semakin mendekat. Dengan berani ia meraih tangan Ratu dan membawanya menuju halte. "Jangan kurang ajar, ya!" Ratu menghempaskan tangan Nanang dan bergerak menjauhkan diri dari tempat itu. Ia lega Nanang tak lagi mengejarnya. Sepertinya pria itu ragu karena banyak mata
"Brengsek!" Raihan mengumpat dalam hati. Hampir saja ia berbuat sesuatu di restoran itu. Andai saja ia tidak berpikir panjang, mungkin sudah terjadi keributan di sana. "Ehm ... maaf aku terlambat!" Raihan sengaja sedikit mengeraskan suaranya hingga Ratu spontan melepaskan pelukannya pada James. "Rai ... eh ini, kenalkan James! Dan James, kenalkan ini Raihan." Ratu melirik Raihan dengan takut-takut. Jantungnya berdebar cemas melihat wajah Raihan yang tak bersahabat. "Hai, Raihan!" sapa James. "Hmm ...!" Raihan hanya mengangguk samar lalu berdiri di samping Ratu. "Sudah? Ayo kita pulang!" Raihan meraih tangan Ratu dan menggenggam jemarinya. "Pacar kamu, Ratu?" bisik James yang terdengar jelas oleh Raihan. Raihan melirik pada istrinya, ia ingin tau jawaban Ratu. "Hmmm ... bukan. Kami duluan, James!" Ratu pamit lalu melangkahkan kakinya keluar dari restoran. Ia melirik jemarinya yang msh berada dalam genggaman Raihan. Ia merasakan pria itu semakin kuat meremas ta
"Untuk apa dia menghubungi istriku?" Tanpa sadar Raihan mengepalkan tangannya melihat nama James pada layar ponsel Ratu. Rasa sakit dan marah itu kembali muncul. Ia membiarkan ponsel itu berdering hingga berhenti sendiri. "Kenapa rasanya sesakit ini melihat ada pria yang mendekati dia. Apakah aku sudah mulai jatuh cinta padanya? Ya Tuhan!" Raihan menutup wajahnya lalu mengusap kasar. Perasaannya pada Ratu benar-benar telah berubah. Lalu bagaiman dengan Ratu sendiri? Apa dia juga mencintai dirinya? Raihan merasa dirinya tersiksa saat ini. Mencintai istrinya sendiri, tapi ia merasa sulit untuk megungkapkan. Bagaimana jika Ratu tidak membalas cintanya? Bagaimana jika Ratu malah mencintai pria lain? Bagaiman jika Ratu justru akan mentertawakn dirinya? Lagi-lagi Raihan merasa frustasi hingga meremas rambutnya sendiri. "Kamu kenapa? Kok acak-acakan gitu? Jangan bilang kamu habis menghayalkan sesuatu yang tidak-tidak!" Ratu tertawa mengejek suaminya . Raihan terkejut karena tidak menyad
"Ratu? Kamu di sini?" James lantas berdiri untuk menghampiri Ratu. Tapi tiba-tiba Raihan meraih pinggang Ratu dan merapatkan tubuh mereka. "Ehm, ya, Ratu adalah istri saya. Jadi ... dia memang termasuk anggota keluarga di rumah ini." "Apa? Istri?" James ternganga menatap Ratu tak percaya. "Ratu ini anaknya Rein, bukan?" Kini Wilson ikut bertanya setelah meminta putranya untuk duduk kembali. Salma yang sejak tadi tersenyum, mengangguk pada Wilson."Benar, mereka memang sudah kami jodohkan sejak lama." Raihan masih berdiri tanpa melepaskan lingkaran tangannya pada Ratu. "Ayo, Raihan duduklah! Temani Om Wilson dan James berbincang. Bunda ke dalam sebentar lihat persiapan makan malam kita." Salma memberi kode dengan matanya pada Raihan yang tampaknya tidak bersahabat pada James. Wanita paruh baya itu pun pergi menuju ruang makan. "Sayang, kamu nggak bantuin Bunda di dalam?" Raihan menoleh pada Ratu yang langsung melotot karena terkejut mendengar panggilan sayang untuknya. Namun wan
"Mengundang Raka? Apa itu perlu?" tanya Rein datar. Maira menghela napas panjang." Sayang, kita harus minta maaf pada Raka dan Kayla karena pernikahan Kaisar kemarin. Aku dengar, dia kecewa." Rein mendengkus kesal. "Bisa-bisanya dia kecewa. Seharusnya dia bisa memilih mana yang harus diprioritaskan. Lagipula, cuma gara-gara dia tidak bisa hadir, semua acara yang sudah direncanakan harus diubah begitu saja?" "Tapi dia papa kandung Kaisar, Rein!" bantah Maira. "Oh, jadi menurutmu Raka lebih berhak memutuskan semuanya daripada aku? Mengapa kamu tidak pernah mengerti, Kaisar itu lebih dari sekedar anak sambung untukku. Kami sudah bersama sejak dia baru bisa berjalan. Kamu pikir kemana Raka selama ini? Bisa-bisanya dia merasa sebagai ayah kandung yang harus diprioritaskan." Bicara Rein mulai meninggi. Hal ini membuat Maira menjadi panik. Ia tidak ingin Rein tiba-tiba sakit di hari bahagia ini. "Ya, Sayang. Sudah, ya. Maafkan aku," ucap Maira lembut. Ia langsung memeluk suaminya
Analea dan Fabian baru saja kembali dari rumah sakit setelah kelahiran anak pertama mereka. Maira dan Rein menyambut mereka dengan penuh antusias, sementara Fabian terlihat sangat hati-hati saat menggendong bayi mereka yang masih mungil. "Selamat datang kembali di rumah, sayang," ucap Maira sambil tersenyum hangat. Ia memeluk Analea dengan lembut. "Kamu luar biasa, Analea. Sekarang kamu sudah menjadi seorang ibu!" Maira membawa anak dan menantunya ke ruang tamu. Analea, meski terlihat lelah, tersenyum lebar. "Terima kasih, Ma. Rasanya aku masih nggak percaya akhirnya bayi kecil ini ada di sini," ujarnya sambil memandangi bayi perempuannya yang sedang tidur nyenyak di pelukan Fabian. Saat ini mereka sudah berada di ruang tamu rumah mewah itu. Rein yang berdiri di sebelah Maira tampak tersenyum bangga. "Ini cucu pertama kami. Rasanya seperti mimpi melihat kalian pulang dengan bayi mungil yang cantik," ucapnya sambil menepuk pelan bahu Fabian. Fabian tersenyum lega. "Kami juga merasa
Setelah tiga hari berada di hotel, pagi itu Kaisar dan Kanaya memutuskan untuk sarapan di restoran hotel sebelum melanjutkan rencana liburan singkat mereka. Meski tubuh sedikit lelah setelah melewati malam-malam yang panjang, kebahagiaan terus terpancar dari keduanya. "Maafin aku, Sayang. Aku belum sempat membawamu berlibur ke luar kota atau ke luar negeri. Rencananya setelah proyek terakhir ini selesai, aku akan mengajakmu ke suatu tempat yang indah dan tentunya cukup jauh." Kanaya tersenyum haru."Nggak apa-apa, Mas. Selama Mas ada di dekatku, bagiku di mana aja nggak masalah. Liburan di hotel ini pun sudah bikin aku bahagia. Pokoknya asal kita selalu bersama." Kanaya menatap Kaisar dengan lekat. Mendapatkan tatapan yang berbeda dari istrinya, Kaisar jadi berdebar dan salah tingkah." Aku suka kamu tidak lagi malu-malu, Sayang." Kaisar menjawil hidung mancung Kanaya. Keduanya tertawa kecil penuh kebahagiaan. Di saat sedang menikmati momen santai itu, tiba-tiba seorang pelayan men
“Ini dari Mama,” ucap Kaisar pelan sambil mengangkat telepon. “Halo, Ma?” Suara Maira terdengar penuh semangat di ujung telepon. “Kaisar! Kamu di mana? Analea sudah melahirkan!” Kaisar langsung terkejut. “Apa? Analea sudah melahirkan? Sekarang, Ma?” “Iya! Kami sudah di rumah sakit sekarang. Ayo cepat ke sini, Kaisar. Kalian harus segera datang,” jawab Maira dengan penuh kegembiraan. Kaisar menoleh ke arah Kanaya yang sudah berdiri di belakangnya. “Analea sudah melahirkan, Naya. Kita harus ke rumah sakit sekarang.” Mata Kanaya langsung berbinar. “Beneran, Mas? Ya ampun, aku harus segera siap-siap!” Kaisar tersenyum melihat antusiasme istrinya. “Iya, beneran. Ayo cepat kita berangkat.” Tanpa menunggu lama, setelah membersihkan diri dan berpakaian, Kanaya segera mengambil tas kecilnya, sementara Kaisar sudah siap di depan pintu. Mereka berdua keluar kamar dan menuju lobi hotel dengan cepat. Di perjalanan, Kanaya tampak begitu bersemangat. “Aku masih nggak nyangka, Mas. Kak Analea
“Naya, ini malam yang kita tunggu-tunggu,” bisik Kaisar sambil menatap istrinya dengan penuh cinta. Kaisar membuka pintu kamar dengan perlahan, lalu mengajak Kanaya masuk. Kamar itu dihiasi dengan bunga-bunga mawar yang wangi dan lilin-lilin kecil yang menambah suasana romantis. Kaisar menggenggam tangan Kanaya, lalu menuntunnya untuk duduk di tepi ranjang. Kanaya tersenyum kecil, meskipun wajahnya masih terlihat sedikit gugup. “Iya, Mas. Aku masih nggak percaya ini benar-benar terjadi.” Kaisar mengusap pipi Kanaya dengan lembut, lalu mengecupnya pelan. “Kamu nggak perlu takut. Aku akan selalu ada untukmu, sekarang dan selamanya.” Kanaya merasakan debaran di dadanya semakin kencang. “Terima kasih sudah mau menjagaku, Mas. Aku juga merasa sangat bahagia malam ini.” Mereka berdua saling menatap, merasakan betapa dalam cinta yang kini mengikat mereka. "Naya ...," bisik Kaisar. Ia menggeser tubuhnya hingga nyaris tak berjarak lagi dengan Kanaya. Satu tangannya mengusap lembut bibir
Malam itu, hotel mewah tempat resepsi berlangsung dipenuhi oleh tamu-tamu dari berbagai kalangan. Lampu kristal yang bergemerlapan menambah kemewahan suasana, sementara karpet merah yang terbentang menyambut setiap tamu yang datang. Kaisar dan Kanaya sudah siap di belakang panggung, menanti giliran mereka untuk memasuki ballroom utama sebagai pasangan suami istri yang resmi. “Kamu siap, Naya?” tanya Kaisar dengan senyum lembut, sambil menggenggam tangan istrinya yang sedikit gemetar. Kanaya mengangguk pelan, meski hatinya masih berdebar-debar. “Aku siap, Mas,” jawabnya. Di ballroom utama, para tamu sudah mulai berkumpul. Banyak wajah yang familiar hadir. Para karyawan yang mengenal Kanaya dan Kaisar datang mengenakan pakaian terbaik mereka. Beberapa dari mereka tampak saling berbicara pelan, masih terkejut dengan kabar bahwa asisten pribadi bos besar mereka ternyata adalah istrinya sendiri. “Aku nggak nyangka banget, ternyata Kanaya benar-benar istri Pak Kaisar,” bisik salah satu
Setelah beberapa saat mencari, Kaisar akhirnya melihatnya. Di sana, di depan makam ayahnya, Kanaya duduk sambil memeluk lututnya. Tubuhnya tampak gemetar, sementara isak tangisnya terdengar pelan di antara keheningan. Kaisar berjalan mendekat dengan hati-hati, tidak ingin mengejutkan istrinya yang sedang larut dalam kesedihan. “Naya ...,” panggilnya pelan, suaranya penuh rasa bersalah. Tapi rasa sayang itu terasa makin mendalam. Kanaya tersentak. Gadis itu terdiam sejenak, sebelum menoleh ke arah suara itu. Matanya yang bengkak menunjukkan betapa berat beban yang ia rasakan saat ini. "Mas ... kenapa menyusulku? Kenapa Mas tinggalin Intan di sana?" Suara Kanaya terdengar parau. Sisa air mata masih membasahi wajah manisnya. Kaisar perlahan lebih mendekat. Ia berlutut di samping Kanaya, menatap mata Kanaya dengan penuh penyesalan. “Naya, aku minta maaf. Aku benar-benar tidak bermaksud membuatmu terluka. Intan muncul tiba-tiba, dan aku terlalu terkejut hingga tidak tau harus melakukan
Kaisar memutar tubuhnya hendak memanggil Kanaya. Di tengah kebingungannya, ia ingin segera memperkenalkan Kanaya pada Intan dan memastikan bahwa tidak ada salah paham yang terjadi. Namun, begitu ia melihat sekeliling, ia tidak menemukan Kanaya di sana. "Kanaya?" panggilnya, memandang ke berbagai arah. Tidak ada jawaban. Kaisar mulai merasa panik. Ia mencoba mencari ke ruangan lain, berharap menemukan Kanaya sedang sibuk dengan sesuatu. Tapi setelah mencari ke dapur, ruang tengah, bahkan ke ruang persiapan, Kanaya tetap tidak terlihat. Kaisar semakin gelisah. "Kemana dia pergi?" gumamnya pelan, sambil mencoba menelepon Kanaya. Namun, tidak ada jawaban dari panggilan itu. Perasaannya mulai tak karuan, seolah ada yang menindih dadanya. Di tengah kegelisahannya, Kaisar melihat Maira dan Rein mendekat. Wajah Maira tampak khawatir, sementara Rein berusaha tetap tenang. “Ada apa, Kaisar? Kenapa wajahmu tegang begitu?” tanya Maira dengan nada cemas. Kaisar menghela napas, mencoba menaha
Bab 26: Kedatangan yang Tak Terduga Rumah besar dan mewah milik Maira dan Rein dipenuhi dengan aktivitas sejak pagi itu. Persiapan resepsi pernikahan Kanaya dan Kaisar yang akan digelar malam ini tengah berlangsung dengan penuh semangat. Maira berkeliling memastikan semua detail dipersiapkan dengan sempurna, sementara Kaisar dan Kanaya membantu semampu mereka. Analea dan Ratu pun ikut membantu Maira. “Kaisar, nanti jangan lupa ke ruang ganti untuk cek lagi setelan jasnya, ya,” ujar Maira sambil memeriksa daftar tamu undangan. Meski mereka memakai jasa WO, Maira tak ingin ada hal sekecil apapun yang terlewat. “Iya, Ma,” jawab Kaisar sambil tersenyum, lalu beralih ke Kanaya yang tampak sibuk dengan telepon genggamnya, memastikan tamu dari pihaknya juga sudah menerima undangan. Ia juga menyiapkan transportasi untuk para keluarganya dari Bogor.Setelah kembali dari ruang ganti, Kaisar kembali menemani Kanaya yang masih mendata para tamunya di ruang tamu. Mereka yang sedang duduk di sof