"Kursi kebesaran ini akan menjadi tempat saya nantinya. Ruangan ini juga akan menjadi ruangan saya. Bagaimana menurut kamu, Nang? Saya pantas, bukan?" Sonia memandang ke seluruh sudut ruang CEO sambil duduk memutar-mutar kursi kebesaran itu. " Ya jelas pantas, dong, Bu Sonia. Tapi, Bu Sonia bukan CEO, mana bisa ruangan ini jadi milik ibu?" "Jelas bisa. Saya yakin, Pak Raihan akan tertarik pada saya. Dia nggak mungkin mau sama office girl. Si Khairatun itu cocoknya sama kamu. Satu profesi." Sonia tertawa lepas tanpa perasaan. Ia dan Nanang tidak menyadari bahwa pintu ruang CEO itu tidak tertutup rapat. "Maaf, tapi ... apa ibu yakin?" tanya Nanang hati-hati "Kamu meragukan saya, Nang?" Sonia menyipitkan matanya seraya melipat tangan di depan dada. Ia menatap sinis pada Nanang. "Bu-bukan begitu, Bu. Sepertinya Pak Raihan perhatian sekali pada Khairatun. Dia selalu marah setiap saya berada dekat-dekat Khairatun." Sonia menghempas napas kasar. Sebenarnya dia pun merasakan hal yang sa
"Ratu tunggu, ayolah ikut denganku!" Nanang tergopoh-gopoh menyusul Ratu yang semakin mempercepat langkahnya. Ia memutuskan untuk tidak menghiraukan Nanang dan segera menuju restoran yang ada di seberang kantor. Ia tidak mau Raihan lama menunggunya "Maaf, Nang. Aku buru-buru!" Ratu sama sekali tak menoleh pada pria berkulit putih itu. Akan tetapi, Nanang tidak mau menyerah. Ia terus mengikuti Ratu sampai ke depan gerbang utama. Hal ini membuat Ratu geram dan menghentikan langkahnya. "Ngapain masih ikutin aku? Kamu nggak dengar aku ngomong?" Suara Ratu meninggi sampai beberapa orang di sekitarnya menoleh padanya. "Jangan pulang sendiri. Ayo aku antar!. Terserah kamu mau naik apa. Kita naik taksi online saja!" Nanang semakin mendekat. Dengan berani ia meraih tangan Ratu dan membawanya menuju halte. "Jangan kurang ajar, ya!" Ratu menghempaskan tangan Nanang dan bergerak menjauhkan diri dari tempat itu. Ia lega Nanang tak lagi mengejarnya. Sepertinya pria itu ragu karena banyak mata
"Brengsek!" Raihan mengumpat dalam hati. Hampir saja ia berbuat sesuatu di restoran itu. Andai saja ia tidak berpikir panjang, mungkin sudah terjadi keributan di sana. "Ehm ... maaf aku terlambat!" Raihan sengaja sedikit mengeraskan suaranya hingga Ratu spontan melepaskan pelukannya pada James. "Rai ... eh ini, kenalkan James! Dan James, kenalkan ini Raihan." Ratu melirik Raihan dengan takut-takut. Jantungnya berdebar cemas melihat wajah Raihan yang tak bersahabat. "Hai, Raihan!" sapa James. "Hmm ...!" Raihan hanya mengangguk samar lalu berdiri di samping Ratu. "Sudah? Ayo kita pulang!" Raihan meraih tangan Ratu dan menggenggam jemarinya. "Pacar kamu, Ratu?" bisik James yang terdengar jelas oleh Raihan. Raihan melirik pada istrinya, ia ingin tau jawaban Ratu. "Hmmm ... bukan. Kami duluan, James!" Ratu pamit lalu melangkahkan kakinya keluar dari restoran. Ia melirik jemarinya yang msh berada dalam genggaman Raihan. Ia merasakan pria itu semakin kuat meremas ta
"Untuk apa dia menghubungi istriku?" Tanpa sadar Raihan mengepalkan tangannya melihat nama James pada layar ponsel Ratu. Rasa sakit dan marah itu kembali muncul. Ia membiarkan ponsel itu berdering hingga berhenti sendiri. "Kenapa rasanya sesakit ini melihat ada pria yang mendekati dia. Apakah aku sudah mulai jatuh cinta padanya? Ya Tuhan!" Raihan menutup wajahnya lalu mengusap kasar. Perasaannya pada Ratu benar-benar telah berubah. Lalu bagaiman dengan Ratu sendiri? Apa dia juga mencintai dirinya? Raihan merasa dirinya tersiksa saat ini. Mencintai istrinya sendiri, tapi ia merasa sulit untuk megungkapkan. Bagaimana jika Ratu tidak membalas cintanya? Bagaimana jika Ratu malah mencintai pria lain? Bagaiman jika Ratu justru akan mentertawakn dirinya? Lagi-lagi Raihan merasa frustasi hingga meremas rambutnya sendiri. "Kamu kenapa? Kok acak-acakan gitu? Jangan bilang kamu habis menghayalkan sesuatu yang tidak-tidak!" Ratu tertawa mengejek suaminya . Raihan terkejut karena tidak menyad
"Ratu? Kamu di sini?" James lantas berdiri untuk menghampiri Ratu. Tapi tiba-tiba Raihan meraih pinggang Ratu dan merapatkan tubuh mereka. "Ehm, ya, Ratu adalah istri saya. Jadi ... dia memang termasuk anggota keluarga di rumah ini." "Apa? Istri?" James ternganga menatap Ratu tak percaya. "Ratu ini anaknya Rein, bukan?" Kini Wilson ikut bertanya setelah meminta putranya untuk duduk kembali. Salma yang sejak tadi tersenyum, mengangguk pada Wilson."Benar, mereka memang sudah kami jodohkan sejak lama." Raihan masih berdiri tanpa melepaskan lingkaran tangannya pada Ratu. "Ayo, Raihan duduklah! Temani Om Wilson dan James berbincang. Bunda ke dalam sebentar lihat persiapan makan malam kita." Salma memberi kode dengan matanya pada Raihan yang tampaknya tidak bersahabat pada James. Wanita paruh baya itu pun pergi menuju ruang makan. "Sayang, kamu nggak bantuin Bunda di dalam?" Raihan menoleh pada Ratu yang langsung melotot karena terkejut mendengar panggilan sayang untuknya. Namun wan
"Apa aku bisa, Maina?" Mendengar ucapan Yumaina, Ratu bukannya senang, ia malah ragu dan tidak percaya diri. "Bisa! Kamu pasti bisa dan harus bisa! Kalau kamu mau berhasil, harus optimis dan selalu berpikir positif!" tegas Yumaina sambil menatap Ratu dengan intens. "Tapi aku ... pernah membuat kesalahan besar. Apa kamu tidak takut jika aku ..." "Bagaimana kamu bisa maju kalau pikiran kamu terus ke belakang, hah? Justru kamu harus belajar dari semua kesalahan kamu itu!" Yumaina tampak gemas mendengar keluhan Ratu. Ratu terdiam. Kata-kata Yumaina langsung membakar semangatnya. Rasa takut gagal dari dalam dirinya perlahan sirna. Adik iparnya itu benar. Ia harus belajar dari semua kesalahan di masa lalu. "Ya, kamu benar." Ratu mengangguk. Meski Yumaina tidak ramah dan terkesan keras, ia cukup kagum pada adik iparnya itu. "Nah, tunggu apa lagi? Sekarang kamu harus belajar sungguh-sungguh. Kita harus gerak cepat. Dalam waktu dekat ini semua kesalahan Sonia yang merugikan perusahaan it
"Dad, aku boleh ikut ke rumah Tante Salma?" Analea yang menginap di rumah Maira sejak semalam, menggandeng lengan Rein yang sedang berjalan di sisi taman belakang. "Boleh. Sudah izin dengan suamimu? Bagaimana kondisi kehamilanmu?" Rein tersenyum melirik pada Analea yang sebentar lagi akan memberinya cucu. "Sudah. Tadi pagi-pagi sekali aku sudah telpon Kak Bian. Pesawatnya baru mendarat di tokyo empat jam yang lalu." "Jadi ... selama Bian ada di luar negeri, kamu tinggal di sini, kan?" Rein membawa Analea masuk ke dalam rumah. "Iya, Dad. Kak Bian melarangku tinggal sendirian di rumah. Biarpun ada banyak pelayan, tapi dia lebih tenang kalau aku di sini." "Baguslah. Daddy juga ingin menjagamu dan calon cucu Daddy di sini." Rein menjawil hidung Analea yang sangat mancung seperti miliknya. "Rein, ayo kita bersiap-siap. Acara pengajiannya setelah dzuhur. Analea, mandi sana! Oh ya, kaisar mana? Dari tadi tidak kelihatan?" Tiba-tiba Maira muncul keluar dari kamarnya. "Kak kaisar tadi k
"Daddy ...?" Rein spontan menoleh pada arah suara yang memanggilnya. Ia melihat Ratu berdiri mematung tak jauh dari tempatnya sekarang. Perlahan pria paruh baya yang masih berparas gagah itu berdiri. "Ehm ... apa kabar, Ratu?" Suara Rein terdengar datar dan dingin di telinga Ratu. Rein hanya menatapnya sekilas-sekilas, lalu pandangannya beralih ke arah lain. Dada Ratu terasa penuh dan sesak menghimpit melihat sikap sang Daddy. Air matanya telah membendung di kelopak matanya. Padahal ia ingin sekali memeluk Rein saat ini juga. Ia ingin bergelayut manja pada lengan kekar milik pria cinta pertamanya itu. "Ba-baik, D-dad!" Bibir Ratu bergetar. Ia menjawab dengan suara serak. Beberapa kali ia menarik napas panjang untuk meredam rasa sedihnya. "Hmmm ... syukurlah." Rein bergerak hendak meninggalkan Ratu dan Sumi. Namun tiba-tiba Raihan muncul dan menyapanya. "Pak Rein. Apa kabar? Boleh saya bicara sebentar?" "Oh, ya, boleh. Silakan!" Wajah Rein masih terlihat serius. Berbeda dengan