"Dad, aku boleh ikut ke rumah Tante Salma?" Analea yang menginap di rumah Maira sejak semalam, menggandeng lengan Rein yang sedang berjalan di sisi taman belakang. "Boleh. Sudah izin dengan suamimu? Bagaimana kondisi kehamilanmu?" Rein tersenyum melirik pada Analea yang sebentar lagi akan memberinya cucu. "Sudah. Tadi pagi-pagi sekali aku sudah telpon Kak Bian. Pesawatnya baru mendarat di tokyo empat jam yang lalu." "Jadi ... selama Bian ada di luar negeri, kamu tinggal di sini, kan?" Rein membawa Analea masuk ke dalam rumah. "Iya, Dad. Kak Bian melarangku tinggal sendirian di rumah. Biarpun ada banyak pelayan, tapi dia lebih tenang kalau aku di sini." "Baguslah. Daddy juga ingin menjagamu dan calon cucu Daddy di sini." Rein menjawil hidung Analea yang sangat mancung seperti miliknya. "Rein, ayo kita bersiap-siap. Acara pengajiannya setelah dzuhur. Analea, mandi sana! Oh ya, kaisar mana? Dari tadi tidak kelihatan?" Tiba-tiba Maira muncul keluar dari kamarnya. "Kak kaisar tadi k
"Daddy ...?" Rein spontan menoleh pada arah suara yang memanggilnya. Ia melihat Ratu berdiri mematung tak jauh dari tempatnya sekarang. Perlahan pria paruh baya yang masih berparas gagah itu berdiri. "Ehm ... apa kabar, Ratu?" Suara Rein terdengar datar dan dingin di telinga Ratu. Rein hanya menatapnya sekilas-sekilas, lalu pandangannya beralih ke arah lain. Dada Ratu terasa penuh dan sesak menghimpit melihat sikap sang Daddy. Air matanya telah membendung di kelopak matanya. Padahal ia ingin sekali memeluk Rein saat ini juga. Ia ingin bergelayut manja pada lengan kekar milik pria cinta pertamanya itu. "Ba-baik, D-dad!" Bibir Ratu bergetar. Ia menjawab dengan suara serak. Beberapa kali ia menarik napas panjang untuk meredam rasa sedihnya. "Hmmm ... syukurlah." Rein bergerak hendak meninggalkan Ratu dan Sumi. Namun tiba-tiba Raihan muncul dan menyapanya. "Pak Rein. Apa kabar? Boleh saya bicara sebentar?" "Oh, ya, boleh. Silakan!" Wajah Rein masih terlihat serius. Berbeda dengan
."Raihaaan!!" Ratu spontan berteriak ketika kedua tangan kekar Raihan meraih wajah Ratu dan menangkupnya. Teriakan Ratu terhenti saat tiba-tiba saja Raihan telah memagut bibrnya dengan lembut. Ratu hampir saja berhenti bernapas. Jantungnya berhenti sesaat sebelum berpacu dengan cepat. Bibir mereka masih bersatu dan saling melumat pelan. Tiba-tiba saja Ratu teringat dengan foto Analea yang ia lihat di kamar Raihan. Saat itu juga ia merasa Raihan sedang mempermainkan perasaanya. Ratu melepaskan pagutannya dan mendorong Raihan dengan paksa. "Kenapa?" lirih Raihan dengan raut wajah kecewa. "Maaf, aku belum bisa," desis Ratu sambil memalingkan wajahnya. Raihan menghela napas berat. Ia berpikir mungkin Ratu belum bisa menerimanya. Mungkin Ratu belum bisa mencintainya. Ia pun menarik napas panjang sekali lagi. "Ya sudah, nggak apa-apa. Tidurlah!" Setelah mengusap kepala Ratu, Raihan pergi keluar kamar dan meninggalkan Ratu sendirian. Ia tidak peduli Ratu mau tidur di sofa atau ranjang
"Kalau saya memang istrinya Pak Raihan, kamu mau apa?" Vina terkejut melihat reaksi Ratu yang di luar dugaannya. Ia menganggap Ratu terlalu berani sebagai seorang office girl. Apalagi pandangan semua orang yang ada di lobby itu sekarang tertuju pada mereka berdua. "Hei! Hello, Upik Abu! Kalau menghayal jangan ketinggian! Ntar jatohnya sakkittt, loh!" Vina buru-buru menutupi rasa terkejutnya dan kembali mengolok Ratu. Kedua tangannya berada di pinggang, ia berdiri di depan Ratu dengan dagu terangkat. "Oh, kamu belum percaya yang aku ini istrinya Pak Raihan, hah? Tunggu aja tanggal mainnya. Mulai sekarang kamu harus hati-hati!" Ratu tampak makin emosi. Ia tidak sadar kalau ucapannya barusan membuat banyak mata menatapnya tak percaya. Sebagian karyawan yang mendengar ucapan Ratu geleng-geleng kepala sambil tersenyum mengejek. Ada juga yang memandang Ratu dengan tatapan aneh. Ada juga yang tertawa sambil mengolok-olok. Ratu tidak peduli semua itu. Saat ini emosinya pada Vina sudah sa
"Pokoknya Bu Sonia harus tanggung jawab kalau ada apa-apa sama divisi saya!" Wanita paruh baya itu menatap Sonia dengan mata berkilat-kilat. Tangannya menunjuk-nunjuk wajah Sonia yang masih tampak tenang. "Tidak usah khawatir, Bu Bety. Semua pasti bisa diselesaikan dengan baik. Bu Bety tau kan, kalau saya ini cukup dekat dengan Pak Raihan dan keluarganya? Saya sudah sangat lama kenal dengan mereka." Sonia menyandarkan tubuhnya pada kursi kebesarannya. Wanita yang bernama Bety itu heran melihat Sonia tenang-tenang saja. "Terserah! Pokoknya saya dan divisi saya tidak mau terseret urusan ibu. Semua yang kita lakukan hanya perintah dari Bu Sonia. Kami belum lupa saat ibu mengancam kami waktu itu jika kami tidak menuruti perintah Bu Sonia. Sonia tertawa."Saya juga tidak lupa kalau kalian juga menikmati uang itu setiap bulannya. Iya, kan?" Wajah Bety memucat. Wajah wanita berumur empat puluhan itu mendadak panik. "Sudah. Sebaiknya lanjutkan saja pekerjaan kalian seperti biasanya.
"Saya minta bukti-bukti ini secepatnya diungkap. Perusahaan mengalami kerugian yang cukup besar. Ini namanya penggelapan atau korupsi."Wajah Raihan tampak merah padam. Emosinya hampir saja meledak ketika tim audit melaporkan hasil kerjanya siang tadi. Raihan dan Yumaina memang meminta tim audit bekerja secepatnya. Mereka tidak mau memberi ruang pada Sonia untuk bisa melakukan sesuatu guna membela diri nantinya "Baik Pak. Kami akan buat laporannya segera."Asisten Raihan dan tim Audit yang ada di ruang meeting itu bergantian berbicara menjawab semua pertanyaan Raihan dan Yumaina hingga dalam waktu tiga jam rapat itu baru berakhir. "Kak Raihan kelihatan lelah sekali. Sebaiknya pulang saja!" Yumaina menatap iba pada Raihan yang sebentar-sebentar memijit pelipisnya. "Iya. Kenapa aku bodoh sekali sampai tidak tau masalah ini." Raihan tampak sangat menyesal. "Ini bukan salah Kak Raihan. Kakak baru ada di PT LikeSport tiga bulan yang lalu untuk menggantikan ayah. Itu pun tidak setiap h
"Mau kemana? Di sini saja temani aku!" Suara Raihan serak. Netranya menatap Ratu dengan tatapan memohon. Ratu membalas tatapan Raihan dengan Iba. Sebenarnya ia tidak tega meninggalkan Raihan sendirian di kamar. "Aku mohon!" pinta Raihan lagi tanpa melepaskan tangan Ratu. Sesaat pandangan mereka bertemu. Beberapa detik kemudian Ratu telah duduk di samping Raihan. "Kamu udah makan?"Akhirnya Ratu bertanya. Rasa kecewa dan ragu yang ia rasakan tadi perlahan menghilang. ""Belum." Ratu langsung berdiri." Sebentar, aku buatkan sup dulu." Raihan tak lagi menahan saat Ratu keluar meninggalkannya. Ia kembali merebahkan tubuhnya. Di dapur, Ratu sibuk bicara dengan Sumi lewat ponselnya, menanyakan cara membuat sup. Dulu, ketika ia sakit Sumi pernah membuatkannya sup yang sangat enak. "Apa suamimu sudah dikasih obat?" "Astaga! Belum. Bagaimana ini? Aku kasih obat apa? Aku nggak ngerti." Ratu mondar-mandir di dapur sambil memijit keningnya. "Selesaikan dulu masak supnya. Setelah itu cari
"KETERLALUAN! APA YANG KALIAN LAKUKAN PADA ISTRI SAYA?" Tiba-tiba Raihan masuk dan spontan berteriak melihat rambut dan wajah Ratu basah. Sementara Sonia, Bety dan Vina berdiri mengelilinginya sambil menunjuk-nunjuk wajah Ratu. Napas Raihan naik turun. Tatapan nyalangnya tertuju pada ketiga wanita yang berdiri di dekat Ratu "Raaaiii ...!" desis Ratu pelan saat melihat Raihan di depan pintu. Tatapan pria itu berkilat-kilat tertuju pada sekeliling Ratu. "Pak Raihan? Tadi Bapak bilang apa? Istri?" Sonia juga terkejut mendengar ucapan Raihan. Karena tidak begitu jelas, ia berharap yang ia dengar barusan adalah salah. Sementara Bety dan Vina langsung diam tak berkutik ketika melihat Raihan masuk dan membentak mereka. Karena sedang sibuk memaki-maki Ratu, Vina tidak mendengar begitu jelas apa yang diucapkan Raihan tadi. "Apa yang kalian lakukan padanya?" ulang Raihan dengan geram. "Maaf Pak Raihan, OB ini mencari masalah dengan kami. Dia mengintip kami dari depan pintu. Dia diam-diam