"Mama ..." Maira langsung memutar tubuhnya ketika mendengar suara yang sangat tidak asing untuknya. Dadanya berdebar hebat. "Ratu ..., anak Mama!" Maira langsung memeluk Ratu yang sejak tadi ia cari-cari. Tangisan mereka pun pecah beberapa saat. Ketika menyadari bahwa mereka berada di tempat yang mungkin saja akan banyak orang melihat, Ratu pun buru-buru melepas pelukan. "Ayo, Ma, ikut aku!" Ratu membawa Maira ke ruangan yang sejak pagi tadi telah menjadi kamarnya. Ratu menutup pintu dan kembali memeluk Maira dengan manja. "Aku kangen, Maa ...!" Mereka kembali saling bertangisan dengan rasa haru yang tak terkatakan. Ratu kembali merenggangkan pelukan dan membawa Maira duduk di ranjang. "Aku ... aku minta maaf, Ma. Aku banyak sekali berbuat salah sama Mama, Daddy, terutama pada Analea. Aku sudah memfitnah Analea, aku sudah jahat sama dia, Maaa." Ratu terus meracau di sela-sela isak tangisnya. "Aku sangat menyesali semuanya, Ma. Apapun akan aku lakukan demi mendapatkan maaf dari
"Apaa? Jadi kita tidur satu kamar?" "Memangnya kenapa? Kita sudah suami istri. Nggak ada salahnya, kan?" sahut Raihan santai tanpa bangkit dari sofa yang ia duduki. "Jadi, kamu mau manfaatin status suami istri kita ini buat ngapa-ngapain aku? Begitu?" Suara Ratu meninggi. "Sepertinya kamu memang mengharapkan aku apa-apain kamu, ya? Maaf ya, aku nggak selera!" Raihan tertawa mengejek. "Raihan!" Ratu melotot karena kesal, lalu kembali masuk ke kamar meninggalkan Raihan yang masih mentertawakannya. Sebelum mandi ia mencari pakaiannya di koper, lalu membawanya ke dalam kamar mandi." Di depan cermin kamar mandi yang cukup besar, Ratu berdiri sambil memperhatikan wajahnya. "Aku memang jelek banget, ya? Sampai Raihan bilang nggak selera sama aku." Ratu mendekatkan wajahnya ke cermin, lalu meraba-raba wajahnya sendiri. "Rasanya aku nggak seburuk itu. Wajah dan kulitku semuanya mulus, rambut dan alisku tebal. BIbirku tipis. Hidungku memang nggak semancung Analea. Wajahku juga nggak sec
Mata Ratu mengerjap. Ia menoleh ke sekitar ruangan yang kini ia tempati. "Astaga! Kenapa aku ada di kamar ini?" Ratu yang baru saja terjaga, langsung bangkit dan duduk di atas ranjang. Lagi-lagi Raihan memindahkannya ke kamar. Ratu bergidik membayangkan Raihan mengangkat tubuhnya ke kamar ini. Ratu bernapas lega karena pakaian yang ia kenakan masih lengkap. Setelah ia sadari bahwa semua tubuhnya masih aman, ia bergegas turun lalu keluar dari kamar. "Raihan ..." Ratu terhenyak melihat Raihan tertidur pulas di sofa dengan posisi meringkuk. Tubuh besarnya tidak bisa ditampung secara keseluruhan oleh sofa yang ia tiduri. Ratu jadi merasa iba. Ia mendekat, lalu membetulkan letak selimut Raihan yang tadi hampir jatuh. Sesaat ia sempatkan untuk memandang wajah tampan itu lagi. Hatinya kembali berdebar. Namun, ia tidak berani berlama-lama memandangi wajah Raihan. Jangan sampai ketahuan seperti kemarin. Netra Ratu beralih pada jam dinding di ruangan itu. Ia bergegas ke dapur untuk membuat
"Bagus, ya! Izin seenaknya, datang terlambat! Kamu pikir ini perusahaan bapakmu, hah?" "Pagi, Bu Sonia." Ratu tetap mengangguk ramah meski Sonia memandang tajam ke arahnya. "Setelah ini aku tunggu kamu di ruanganku!" Sonia memutar badannya dan melangkah pergi meninggalkan Ratu di ruang absen. "Makin lama perempuan itu makin kurang ajar! Sebenarnya dia itu siapa, sih? Kenapa Pak Raihan terus membela dia? Rasanya tidak mungkin Pak Raihan suka dengan perempuan bar-bar seperti dia. Lagi pula aku jauh lebih cantik." Sonia terus bicara dalam hati hingga tiba di ruangannya. Ia duduk di kursi kebesarannya sambil menunggu kedatangan Ratu. Kalau saja ia tidak ingat ancaman Raihan waktu itu, rasanya ia ingin sekali memaki-maki Ratu, bahkan memecatnya dari perusahaan. Sayangnya ia masih takut dengan ancaman Raihan yang bisa menjatuhkan karirnya. Suara ketukan terdengar dari luar. Tanpa aba-aba darinya, pintu itu langsung terbuka. Emosi Sonia semakin memuncak melihat raut wajah Ratu yang da
"Bagaimana Maina, apa kamu sudah sampai di PT LikeSport?" "Sudah, Bun. Aku sedang menuju ruang direkturnya. Lagian, untuk apa Bunda minta aku keliling ke semua perusahaan Ayah? Bukannya ada Kak Raihan?" Yumaina bicara pelan di ponselnya. "Kamu besok sudah kembali ke Australia. Bunda mau, sebelum kamu pergi, kamu tau dulu kondisi semua perusahaan. Kasian kakakmu sendirian." Suara Salma masih terdengar serak dari seberang sana. "Kenapa Bunda nggak suruh Ratu aja?" tanya Yumaina berbisik. Matanya berkeliling mengitari tempat yang ia lewati. "Ratu sedang menyelesaikan kuliahnya. Dia masih harus belajar banyak. Sedangkan kamu sudah banyak memahami sejak dulu." Yumaina membalas anggukan dari para karyawan yang berpapasan dengannya. Salah satu karyawan yang mengantarnya ke ruang direktur, memberi tanda dengan tangannya secara sopan bahwa mereka telah tiba di ruang direktur. ""Bun, sudah dulu, aku sudah sampai di ruang direktur." Yumaina buru-buru menutup ponselnya dan menyim
"Kamu ... di sini?" Mata Yumaina membulat melihat penampilan Ratu dari atas ke bawah. Ratu mengangguk sambil tersenyum canggung. Ia bingung mau bicara apa. Apalagi saat ini mereka sedang berada di depan Sonia. Ratu khawatir jika Yumaina membuka identitas barunya sebagai istri Raihan. Karena itu Ratu memutuskan untuk segera pergi dari sana. Setelah selesai meletakkan minuman itu, Ratu bergegas pamit untuk keluar. "Saya permisi!" Tatapan Yumaina terus tertuju pada Ratu hingga menghilang di balik pintu. Kepalanya mendadak dipenuhi oleh banyak pertanyaan yang akan ia tanyakan nanti pada Raihan dan sang bunda. Wajahnya jelas sekali diliputi rasa ingin tahu yang begitu besar. Namun ia harus simpan semua itu sementara waktu. Melihat reaksi Yumaina, diam-diam Sonia senyum penuh kemenangan. Ia menduga Yumaina akan semakin tidak suka dengan Ratu. Apalagi kini ia tahu pekerjaan Ratu yang sebenarnya. Sonia geleng-geleng kepala sambil tersenyum sinis ke arah perginya Ratu tadi. "Bu Yumaina p
"Cieee ... sudah mulai suka ternyata!" Yumaina mulai menggoda Raihan. "Pokoknya jangan lagi bentak-bentak istriku. Dia itu kakak iparmu. Walau usianya lebih muda, kamu wajib menghormatinya." Raihan mulai membuka lagi laptopnya dan meneruskan pekerjaannya. Yumaina tertawa. "Sikapku memang tidak bisa lembut, kak. Tapi hatiku selembut kapas," sanggah Yumaina. "0Ratu juga bukan wanita lembut. Tapi dia unik." Yumaina kembali tertawa, "Sudah mulai bucin rupanya." "Kalau kamu bagaimana? Mana calon suamimu?" Raihan balik menggoda. Tiba-tiba Yumaina diam dengan tatapan kosong."Aku ... belum menemukan pria seperti Om Elkan." "Astaga, Maina! Sejak kecil apa tidak ada pria lain yang kamu suka selain Om Elkan?" Yumaina menggeleng. Ia pun tidak pernah mengerti, kenapa ia sangat memuja pengacara keluarga sekaligus sahabat ayahnya itu. "Sudah, sudah! Jangn diteruskan! Aku pergi. Jangan lupa awasi Sonia, sebaiknya Kakak cari tau semua tentang dirinya!" Yumaina meraih tas yang ada di meja, la
"Stop di depan warung itu Pak!" Ratu turun dan membayar ongkos taksi. Setelah kepergian taksi yang membawanya tadi, Ratu berdiri di depan warung kopi. Ia bingung, kenapa ia pulang ke kontrakan? Bukan ke apartemen? "Non, Non Ratu! Non kapan datang?" Ratu menoleh dan melihat Sumi tergopoh-gopoh menghampirinya dari arah panti pijat. Tenggorokannya tercekat. Ia merasa bersalah. Sejak tiba di Jakarta ia tidak mengabari Sumi. Bahkan ia tidak memberitahu Sumi tentang meninggalnya Yuda. "Ke-kemarin." Ratu menjawab singkat. Lalu menyamai langkah Sumi menuju gang kecil. "Tuan Raihan mana, Non?" tanya Sumi yang masih tampak bahagia atas kepulangan Ratu.. "Masih kerja," Jawab Ratu singkat. Sumi mengangguk-angguk. Sesampainya di rumah, Sumi langsung menyiapkan makanan untuk Ratu. "Dimakan, ya, Non! Kok bisa pas, kebetulan saya masak lauk kesukaan Non hari ini." Ratu terharu dengan sikap Sumi. Wanita itu tampak sangat tulus menyayanginya. Kenapa Ratu masih belum bisa menerima kenyataan bahw