"Bagaimana? Udah nggak keasinan, kan?" tanya Ratu dengan wajah cemas. Dadanya berdebar sejak tadi. Ia menahan napas ketika suapan pertama masuk ke mulut Raihan. "Hmm ...lumayan. Kamu harus makan juga! Ini enak, beneran. Kali ini aku nggak bohong!" Ratu tersenyum. Meski tadi ia sempat mencicipi makanan itu sebelum dihidangkan, tetap saja ia khawatir jika Raihan tidak suka dengan masakannya. Tanpa ragu lagi Ratu menyendok makanan di meja dan menikmatinya. Meski masakannya tidak seenak koki di rumah Maira atau masakan Sumi di kontrakannya, Ratu cukup bangga bisa masak menu yang layak untuk dimakan. "Sudah sore. Aku mau pulang. Besok aku ke sini lagi." Ratu baru selesai membereskan meja makan dan dapur. "Kebetulan aku juga mau keluar. Kita sama-sama saja. Tunggu sebentar!" Raihan bergegas ke kamar untuk berganti pakaian dan meraih kunci mobil di meja kerjanya. Namun, gerakan Raihan terhenti melihat sebuah foto di atas meja. Foto itu sengaja ia telungkupkan beberapa waktu yang lalu.
"Raihan, kondisi ayah semakin menurun. Bunda khawatir kalau ayahmu ..." Raihan yang baru saja hendak tidur, mengurungkan niatnya karena ada panggilan telepon dari sang bunda. Ia makin panik mendengar tangisan Salma yang makin keras di ponselnya. Saat ini, Yumaina sedang dalam perjalanan menuju Singapore untuk menemani sang Bunda di sana. Itu artinya bundanya hanya sendirian saja sekarang. Mendengar kondisi Yuda tiba-tiba kritis sore tadi, Yumaina yang sedang berada di Australia langsung terbang menuju Singapore. "Bunda tenang dulu. Kita terus berdoa untuk Ayah. Yumaina akan segera tiba di sana." Raihan berusaha menenangkan Salma. "Kamu kapan ke sini?" tanya Salma lagi. "Pagi ini aku langsung berangkat, Bun. Setelah ini aku akan segera mencari tiket." "Tapi Raihan, kamu ke sini harus bersama Ratu. Bunda ingin, saat Ayahmu sadar nanti kalian sudah menikah. Ini permintaan terakhirnya padamu kemarin malam, bukan?" Raihan terdiam. "Raihan! Kamu dengar Bunda nggak, sih?" "Iy-iyya, d
"Ratu ... kamu sengaja mau menggodaku?" tanya Raihan dengan suara bergetar. "Non, ssttt, sini!" Sumi baru menyadari apa yang terjadi langsung membawa Ratu kembali ke balik tirai. "Kenapa, sih?" ketus Ratu yang masih mengantuk. "Non pakai ini dulu!" Sumi memberikan sebuah kimono pada Ratu. "Astagaa! Kenapa nggak dari tadi, sih?" Menyadari sesuatu, Ratu langsung buru-buru memakai kimono itu dan kembali menemui Raihan. "Ada apa malam-malam ke sini? Dasar mesum! Seneng ya udah lihat aku tadi!" Ratu masih bicara dengan nada ketus. "Tenang aja, aku sudah lupakan yang barusan aku lihat. Sekarang ada hal yang lebih penting dari itu." Ratu memandang intens pada Raihan yang mendadak sangat serius. Ia tidak pernah melihat wajah Raihan setegang itu. Hatinya terus bertanya-tanya. "Ada, apa, Rai?" Suara Ratu pun terdengar lebih serius. Dadanya berdetak lebih cepat. Ia menduga ada sesuatu yang telah terjadi. "Tadi ... aku sudah kirim pesan ke ponselmu ... tapi ..." Ratu bergegas m
"Ratu, maaf ... bagaimana kalau nanti ayah dan bunda minta kita ..." Raihan tampak ragu-ragu ingin melanjutkan kalimatnya. Ratu menoleh dan mengangkat alisnya. Ia menunggu Raihan kembali bicara dengan wajah datar. "Hmmm ... maksudnya begini. Bagaimana kalau nanti Bunda meminta kita untuk ..." "Untuk apa?" tanya Ratu masih sabar menunggu. Ekspresi wajahnya masih datar hingga Raihan ragu untuk melanjutkannya. "Kenapa dia nggak peka juga? Apa memang dia nggak punya perasaan sama sekali terhadapku?" bathin Raihan sambil menatap wajah Ratu lekat. Ia merasa sulit untuk menyentuh hati wanita itu. Ratu memiliki karakter yang keras dan sulit untuk ditebak. "Raihan! Kamu mau ngomong apa sih sebenarnya?" Ratu mulai tampak kesal. "Oh, ehm, begini." Raihan menghela napas panjang. Ia mencoba menenangkan diri dulu. Namun rasa ragu itu terus menghantuinya. Bagaimana jika Ratu menolak permintaan bundanya? Bagaimana jika Ratu marah dan tiba-tiba minta kembali ke Jakarta? "Bunda mint
"Terima kasih, Ratu. Kamu memang anak yang baik. Ternyata orang-orang sudah salah menilaimu." Salma membelai pipi Ratu yang wajahnya masih tampak bingung. Ia masih menunggu apa yang akan disampaikan oleh Salma. "Begini, Sayang. Om Yuda ingin melihat Raihan menikah sebelum ia pergi. Jadi, kami ingin Raihan segera menikahimu. Kamu mau, kan?" Salma menatap Ratu penuh harap. Kedua tangannya menangkup wajah Ratu dengan rasa kasih sayang. Netranya menatap intens pada wajah Ratu yang sebenarnya cantik. Ratu tersentak sesaat. Tetapi ia tak bisa melihat Salma masih menangis. Dengan rasa yang tidak bisa ia ungkapkan, akhirnya Ratu mengangguk. Raihan akhirnya bisa bernapas lega setelah menahannya beberapa detik. Jawaban Ratu berupa sebuah anggukan membuatnya seakan ingin melompat. Tanpa ia sadari seulas senyum telah terbit pada wajah tampannya. "Baik, Tante. Demi tante dan Om Yuda, aku mau melakukan apa saja." Ratu melirik sekilas saat menyadari keberadaan Raihan di dekatnya. "Teri
"Aku harus bicara sekarang dengan ibu dan ayah kandungmu!" Raihan masih menunggu reaksi Ratu yang tampak berpikir. "Sepertinya tidak perlu. Cukup Mama dan Daddy saja," jawab Ratu pelan. "Tidak bisa begitu. Aku bukan pencuri anak gadis orang. Aku harus minta izin pada mereka." tegas Raihan sambil menoleh pada Sumi. "Ck! Ya sudah. Aku hubungi Sumi dulu." Ratu meraih ponselnya dari dalam tas, kemudian mulai mencari nomor Sumi. Setelah beberapa menit mencoba menghubungi, Sumi tidak menjawab. "Kenapa? Tidak diangkat?" tanya Raihan melihat Ratu gelisah. Belum sempat Ratu menjawab, ponselnya pun berbunyi. Ia bergegas mengangkatnya. "Kenapa nggak diangkat, sih? Kamu kemana?" Ratu tampak kesal dan cemberut. Raihan yang sejak tadi memperhatikan Ratu, geleng-geleng kepala. "Raihan mau bicara." Ratu menyodorkan ponselnya pada Sumi. "Ha-halo, Bu. Saya ingin membicarakan sesuatu. Saya ... minta izin akan menikahi Ratu." Raihan terdiam sejenak. "Kapan Tuan akan menikahinya?" Suar
"Maafkan Tante! Pernikahan ini bukan seperti yang kamu idam-idamkan. Tante janji, setelah Om Yuda sembuh, kita akan buat pesta semewah mungkin untukmu." Salma mengusap lembut pipi Ratu. Wanita paruh baya itu merasa tidak enak hati pada calon menantunya. "Tidak apa-apa, Tante. Saya tidak menginginkan pesta mewah. Tante tidak perlu memikirkan hal itu." Raihan mencibir mendengar jawaban Ratu. Ia tidak percaya Ratu tidak menginginkan pesta mewah. Karena menurutnya, semua wanita pasti ingin menjadi tuan putri sehari di pesta pernikahannya. "Kamu memang anak baik. Ya sudah! Kamu siap-siap, perias pengantin sedang menuju ke sini." "Perias pengantin?" bathin Ratu. Lagi-lagi ia masih tidak percaya dengan semua ini. "Baik Tante." Ratu mengangguk, lalu bergegas kembali ke kamarnya. Raihan sejak tadi terus memperhatikan Ratu hingga wanita itu pergi ke kamarnya. "Bun, aku masih nggak percaya Ratu akan sekuat ini. Aku pikir dia akan marah atau mengamuk setelah mendengar dia lahir di luar ni
"Mari kita mulai saja!' Intruksi dari seorang pria berpeci yang ternyata seorang penghulu membuat semuanya ikut bersiap-siap. Salah satu asisten Yuda mulai memberi arahan. Dua orang saksi dan satu wali hakim telah duduk pada kursi yang disiapkan. Akad nikah kali ini dilakukan dengan simple, hanya melakukan intinya saja untuk memenuhi syarat sah pernikahan. "Nooon, Non Ratu. Ini beneran Non Ratu? Non cantik sekali!" Ratu langsung menoleh ke layar ketika mendengar suara Sumi yang sangat ia kenali.Ia juga melihat Alif yang berada di sebelah Sumi. Samar-samar terdengar juga suara Elkan yang sedang memberi pengarahan pada Alif. Ratu tersenyum haru melihat wajah Sumi begitu bahagia. Sedangkan Alif tampak hanya memasang wajah datar. Tiba-tiba Raihan berdiri menghadap kamera dan berbicara. "Bapak Alif, Ibu Sumi, saya minta izin untuk menikahi Ratu hari ini. Saya berjanji akan membahagiakan putri Bapak dan Ibu." Dari layar tampak Sumi mengangguk sambil menangis haru. Sedangkan Alif masi