Tunggu Bab berikutnya siang ini!
"Maafkan Tante! Pernikahan ini bukan seperti yang kamu idam-idamkan. Tante janji, setelah Om Yuda sembuh, kita akan buat pesta semewah mungkin untukmu." Salma mengusap lembut pipi Ratu. Wanita paruh baya itu merasa tidak enak hati pada calon menantunya. "Tidak apa-apa, Tante. Saya tidak menginginkan pesta mewah. Tante tidak perlu memikirkan hal itu." Raihan mencibir mendengar jawaban Ratu. Ia tidak percaya Ratu tidak menginginkan pesta mewah. Karena menurutnya, semua wanita pasti ingin menjadi tuan putri sehari di pesta pernikahannya. "Kamu memang anak baik. Ya sudah! Kamu siap-siap, perias pengantin sedang menuju ke sini." "Perias pengantin?" bathin Ratu. Lagi-lagi ia masih tidak percaya dengan semua ini. "Baik Tante." Ratu mengangguk, lalu bergegas kembali ke kamarnya. Raihan sejak tadi terus memperhatikan Ratu hingga wanita itu pergi ke kamarnya. "Bun, aku masih nggak percaya Ratu akan sekuat ini. Aku pikir dia akan marah atau mengamuk setelah mendengar dia lahir di luar ni
"Mari kita mulai saja!' Intruksi dari seorang pria berpeci yang ternyata seorang penghulu membuat semuanya ikut bersiap-siap. Salah satu asisten Yuda mulai memberi arahan. Dua orang saksi dan satu wali hakim telah duduk pada kursi yang disiapkan. Akad nikah kali ini dilakukan dengan simple, hanya melakukan intinya saja untuk memenuhi syarat sah pernikahan. "Nooon, Non Ratu. Ini beneran Non Ratu? Non cantik sekali!" Ratu langsung menoleh ke layar ketika mendengar suara Sumi yang sangat ia kenali.Ia juga melihat Alif yang berada di sebelah Sumi. Samar-samar terdengar juga suara Elkan yang sedang memberi pengarahan pada Alif. Ratu tersenyum haru melihat wajah Sumi begitu bahagia. Sedangkan Alif tampak hanya memasang wajah datar. Tiba-tiba Raihan berdiri menghadap kamera dan berbicara. "Bapak Alif, Ibu Sumi, saya minta izin untuk menikahi Ratu hari ini. Saya berjanji akan membahagiakan putri Bapak dan Ibu." Dari layar tampak Sumi mengangguk sambil menangis haru. Sedangkan Alif masi
"Khairatun! Ngapain kamu di sini?" Ratu spontan menoleh pada arah suara di belakangnya. Ia sangat mengenali suara itu. "Kamu bilang izin satu minggu tidak bekerja. Tapi tau-tau ada di sini." Wanita gemuk yang menyapanya itu ternyata Susi. Kepala OB itu pun bergegas menghampirinya "Maaf, Mbak Susi. Saya ... saya ..." Ratu masih berpikir mencari alasan pada Susi. Saat ini otaknya tidak bisa berpikir cepat. Semuanya serba mendadak dan tiba-tiba. Ia bahkan belum sempat memikirkan hal ini sebelumnya. Ratu baru menyadari bahwa pintu belakang rumah Raihan terhubung dengan halaman belakang yang juga digunakan sebagai area parkir. Halaman itu menyatu dengan halaman luas yang berada di samping rumah kost. Mungkin Susi baru saja datang dan memarkir motornya di sana. "Khairatun! Bicara yang jelas! Kamu ini kenapa, sih? Kemarin tiba-tiba aja kamu kirim pesan bahwa kamu mau izin kerja satu minggu tanpa alasan. Habis itu hape kamu langsung nggak aktif." Susi menarik Ratu ke tempat agak sepi dan
"Mama ..." Maira langsung memutar tubuhnya ketika mendengar suara yang sangat tidak asing untuknya. Dadanya berdebar hebat. "Ratu ..., anak Mama!" Maira langsung memeluk Ratu yang sejak tadi ia cari-cari. Tangisan mereka pun pecah beberapa saat. Ketika menyadari bahwa mereka berada di tempat yang mungkin saja akan banyak orang melihat, Ratu pun buru-buru melepas pelukan. "Ayo, Ma, ikut aku!" Ratu membawa Maira ke ruangan yang sejak pagi tadi telah menjadi kamarnya. Ratu menutup pintu dan kembali memeluk Maira dengan manja. "Aku kangen, Maa ...!" Mereka kembali saling bertangisan dengan rasa haru yang tak terkatakan. Ratu kembali merenggangkan pelukan dan membawa Maira duduk di ranjang. "Aku ... aku minta maaf, Ma. Aku banyak sekali berbuat salah sama Mama, Daddy, terutama pada Analea. Aku sudah memfitnah Analea, aku sudah jahat sama dia, Maaa." Ratu terus meracau di sela-sela isak tangisnya. "Aku sangat menyesali semuanya, Ma. Apapun akan aku lakukan demi mendapatkan maaf dari
"Apaa? Jadi kita tidur satu kamar?" "Memangnya kenapa? Kita sudah suami istri. Nggak ada salahnya, kan?" sahut Raihan santai tanpa bangkit dari sofa yang ia duduki. "Jadi, kamu mau manfaatin status suami istri kita ini buat ngapa-ngapain aku? Begitu?" Suara Ratu meninggi. "Sepertinya kamu memang mengharapkan aku apa-apain kamu, ya? Maaf ya, aku nggak selera!" Raihan tertawa mengejek. "Raihan!" Ratu melotot karena kesal, lalu kembali masuk ke kamar meninggalkan Raihan yang masih mentertawakannya. Sebelum mandi ia mencari pakaiannya di koper, lalu membawanya ke dalam kamar mandi." Di depan cermin kamar mandi yang cukup besar, Ratu berdiri sambil memperhatikan wajahnya. "Aku memang jelek banget, ya? Sampai Raihan bilang nggak selera sama aku." Ratu mendekatkan wajahnya ke cermin, lalu meraba-raba wajahnya sendiri. "Rasanya aku nggak seburuk itu. Wajah dan kulitku semuanya mulus, rambut dan alisku tebal. BIbirku tipis. Hidungku memang nggak semancung Analea. Wajahku juga nggak sec
Mata Ratu mengerjap. Ia menoleh ke sekitar ruangan yang kini ia tempati. "Astaga! Kenapa aku ada di kamar ini?" Ratu yang baru saja terjaga, langsung bangkit dan duduk di atas ranjang. Lagi-lagi Raihan memindahkannya ke kamar. Ratu bergidik membayangkan Raihan mengangkat tubuhnya ke kamar ini. Ratu bernapas lega karena pakaian yang ia kenakan masih lengkap. Setelah ia sadari bahwa semua tubuhnya masih aman, ia bergegas turun lalu keluar dari kamar. "Raihan ..." Ratu terhenyak melihat Raihan tertidur pulas di sofa dengan posisi meringkuk. Tubuh besarnya tidak bisa ditampung secara keseluruhan oleh sofa yang ia tiduri. Ratu jadi merasa iba. Ia mendekat, lalu membetulkan letak selimut Raihan yang tadi hampir jatuh. Sesaat ia sempatkan untuk memandang wajah tampan itu lagi. Hatinya kembali berdebar. Namun, ia tidak berani berlama-lama memandangi wajah Raihan. Jangan sampai ketahuan seperti kemarin. Netra Ratu beralih pada jam dinding di ruangan itu. Ia bergegas ke dapur untuk membuat
"Bagus, ya! Izin seenaknya, datang terlambat! Kamu pikir ini perusahaan bapakmu, hah?" "Pagi, Bu Sonia." Ratu tetap mengangguk ramah meski Sonia memandang tajam ke arahnya. "Setelah ini aku tunggu kamu di ruanganku!" Sonia memutar badannya dan melangkah pergi meninggalkan Ratu di ruang absen. "Makin lama perempuan itu makin kurang ajar! Sebenarnya dia itu siapa, sih? Kenapa Pak Raihan terus membela dia? Rasanya tidak mungkin Pak Raihan suka dengan perempuan bar-bar seperti dia. Lagi pula aku jauh lebih cantik." Sonia terus bicara dalam hati hingga tiba di ruangannya. Ia duduk di kursi kebesarannya sambil menunggu kedatangan Ratu. Kalau saja ia tidak ingat ancaman Raihan waktu itu, rasanya ia ingin sekali memaki-maki Ratu, bahkan memecatnya dari perusahaan. Sayangnya ia masih takut dengan ancaman Raihan yang bisa menjatuhkan karirnya. Suara ketukan terdengar dari luar. Tanpa aba-aba darinya, pintu itu langsung terbuka. Emosi Sonia semakin memuncak melihat raut wajah Ratu yang da
"Bagaimana Maina, apa kamu sudah sampai di PT LikeSport?" "Sudah, Bun. Aku sedang menuju ruang direkturnya. Lagian, untuk apa Bunda minta aku keliling ke semua perusahaan Ayah? Bukannya ada Kak Raihan?" Yumaina bicara pelan di ponselnya. "Kamu besok sudah kembali ke Australia. Bunda mau, sebelum kamu pergi, kamu tau dulu kondisi semua perusahaan. Kasian kakakmu sendirian." Suara Salma masih terdengar serak dari seberang sana. "Kenapa Bunda nggak suruh Ratu aja?" tanya Yumaina berbisik. Matanya berkeliling mengitari tempat yang ia lewati. "Ratu sedang menyelesaikan kuliahnya. Dia masih harus belajar banyak. Sedangkan kamu sudah banyak memahami sejak dulu." Yumaina membalas anggukan dari para karyawan yang berpapasan dengannya. Salah satu karyawan yang mengantarnya ke ruang direktur, memberi tanda dengan tangannya secara sopan bahwa mereka telah tiba di ruang direktur. ""Bun, sudah dulu, aku sudah sampai di ruang direktur." Yumaina buru-buru menutup ponselnya dan menyim