"Terima kasih, Ratu. Kamu memang anak yang baik. Ternyata orang-orang sudah salah menilaimu." Salma membelai pipi Ratu yang wajahnya masih tampak bingung. Ia masih menunggu apa yang akan disampaikan oleh Salma. "Begini, Sayang. Om Yuda ingin melihat Raihan menikah sebelum ia pergi. Jadi, kami ingin Raihan segera menikahimu. Kamu mau, kan?" Salma menatap Ratu penuh harap. Kedua tangannya menangkup wajah Ratu dengan rasa kasih sayang. Netranya menatap intens pada wajah Ratu yang sebenarnya cantik. Ratu tersentak sesaat. Tetapi ia tak bisa melihat Salma masih menangis. Dengan rasa yang tidak bisa ia ungkapkan, akhirnya Ratu mengangguk. Raihan akhirnya bisa bernapas lega setelah menahannya beberapa detik. Jawaban Ratu berupa sebuah anggukan membuatnya seakan ingin melompat. Tanpa ia sadari seulas senyum telah terbit pada wajah tampannya. "Baik, Tante. Demi tante dan Om Yuda, aku mau melakukan apa saja." Ratu melirik sekilas saat menyadari keberadaan Raihan di dekatnya. "Teri
"Aku harus bicara sekarang dengan ibu dan ayah kandungmu!" Raihan masih menunggu reaksi Ratu yang tampak berpikir. "Sepertinya tidak perlu. Cukup Mama dan Daddy saja," jawab Ratu pelan. "Tidak bisa begitu. Aku bukan pencuri anak gadis orang. Aku harus minta izin pada mereka." tegas Raihan sambil menoleh pada Sumi. "Ck! Ya sudah. Aku hubungi Sumi dulu." Ratu meraih ponselnya dari dalam tas, kemudian mulai mencari nomor Sumi. Setelah beberapa menit mencoba menghubungi, Sumi tidak menjawab. "Kenapa? Tidak diangkat?" tanya Raihan melihat Ratu gelisah. Belum sempat Ratu menjawab, ponselnya pun berbunyi. Ia bergegas mengangkatnya. "Kenapa nggak diangkat, sih? Kamu kemana?" Ratu tampak kesal dan cemberut. Raihan yang sejak tadi memperhatikan Ratu, geleng-geleng kepala. "Raihan mau bicara." Ratu menyodorkan ponselnya pada Sumi. "Ha-halo, Bu. Saya ingin membicarakan sesuatu. Saya ... minta izin akan menikahi Ratu." Raihan terdiam sejenak. "Kapan Tuan akan menikahinya?" Suar
"Maafkan Tante! Pernikahan ini bukan seperti yang kamu idam-idamkan. Tante janji, setelah Om Yuda sembuh, kita akan buat pesta semewah mungkin untukmu." Salma mengusap lembut pipi Ratu. Wanita paruh baya itu merasa tidak enak hati pada calon menantunya. "Tidak apa-apa, Tante. Saya tidak menginginkan pesta mewah. Tante tidak perlu memikirkan hal itu." Raihan mencibir mendengar jawaban Ratu. Ia tidak percaya Ratu tidak menginginkan pesta mewah. Karena menurutnya, semua wanita pasti ingin menjadi tuan putri sehari di pesta pernikahannya. "Kamu memang anak baik. Ya sudah! Kamu siap-siap, perias pengantin sedang menuju ke sini." "Perias pengantin?" bathin Ratu. Lagi-lagi ia masih tidak percaya dengan semua ini. "Baik Tante." Ratu mengangguk, lalu bergegas kembali ke kamarnya. Raihan sejak tadi terus memperhatikan Ratu hingga wanita itu pergi ke kamarnya. "Bun, aku masih nggak percaya Ratu akan sekuat ini. Aku pikir dia akan marah atau mengamuk setelah mendengar dia lahir di luar ni
"Mari kita mulai saja!' Intruksi dari seorang pria berpeci yang ternyata seorang penghulu membuat semuanya ikut bersiap-siap. Salah satu asisten Yuda mulai memberi arahan. Dua orang saksi dan satu wali hakim telah duduk pada kursi yang disiapkan. Akad nikah kali ini dilakukan dengan simple, hanya melakukan intinya saja untuk memenuhi syarat sah pernikahan. "Nooon, Non Ratu. Ini beneran Non Ratu? Non cantik sekali!" Ratu langsung menoleh ke layar ketika mendengar suara Sumi yang sangat ia kenali.Ia juga melihat Alif yang berada di sebelah Sumi. Samar-samar terdengar juga suara Elkan yang sedang memberi pengarahan pada Alif. Ratu tersenyum haru melihat wajah Sumi begitu bahagia. Sedangkan Alif tampak hanya memasang wajah datar. Tiba-tiba Raihan berdiri menghadap kamera dan berbicara. "Bapak Alif, Ibu Sumi, saya minta izin untuk menikahi Ratu hari ini. Saya berjanji akan membahagiakan putri Bapak dan Ibu." Dari layar tampak Sumi mengangguk sambil menangis haru. Sedangkan Alif masi
"Khairatun! Ngapain kamu di sini?" Ratu spontan menoleh pada arah suara di belakangnya. Ia sangat mengenali suara itu. "Kamu bilang izin satu minggu tidak bekerja. Tapi tau-tau ada di sini." Wanita gemuk yang menyapanya itu ternyata Susi. Kepala OB itu pun bergegas menghampirinya "Maaf, Mbak Susi. Saya ... saya ..." Ratu masih berpikir mencari alasan pada Susi. Saat ini otaknya tidak bisa berpikir cepat. Semuanya serba mendadak dan tiba-tiba. Ia bahkan belum sempat memikirkan hal ini sebelumnya. Ratu baru menyadari bahwa pintu belakang rumah Raihan terhubung dengan halaman belakang yang juga digunakan sebagai area parkir. Halaman itu menyatu dengan halaman luas yang berada di samping rumah kost. Mungkin Susi baru saja datang dan memarkir motornya di sana. "Khairatun! Bicara yang jelas! Kamu ini kenapa, sih? Kemarin tiba-tiba aja kamu kirim pesan bahwa kamu mau izin kerja satu minggu tanpa alasan. Habis itu hape kamu langsung nggak aktif." Susi menarik Ratu ke tempat agak sepi dan
"Mama ..." Maira langsung memutar tubuhnya ketika mendengar suara yang sangat tidak asing untuknya. Dadanya berdebar hebat. "Ratu ..., anak Mama!" Maira langsung memeluk Ratu yang sejak tadi ia cari-cari. Tangisan mereka pun pecah beberapa saat. Ketika menyadari bahwa mereka berada di tempat yang mungkin saja akan banyak orang melihat, Ratu pun buru-buru melepas pelukan. "Ayo, Ma, ikut aku!" Ratu membawa Maira ke ruangan yang sejak pagi tadi telah menjadi kamarnya. Ratu menutup pintu dan kembali memeluk Maira dengan manja. "Aku kangen, Maa ...!" Mereka kembali saling bertangisan dengan rasa haru yang tak terkatakan. Ratu kembali merenggangkan pelukan dan membawa Maira duduk di ranjang. "Aku ... aku minta maaf, Ma. Aku banyak sekali berbuat salah sama Mama, Daddy, terutama pada Analea. Aku sudah memfitnah Analea, aku sudah jahat sama dia, Maaa." Ratu terus meracau di sela-sela isak tangisnya. "Aku sangat menyesali semuanya, Ma. Apapun akan aku lakukan demi mendapatkan maaf dari
"Apaa? Jadi kita tidur satu kamar?" "Memangnya kenapa? Kita sudah suami istri. Nggak ada salahnya, kan?" sahut Raihan santai tanpa bangkit dari sofa yang ia duduki. "Jadi, kamu mau manfaatin status suami istri kita ini buat ngapa-ngapain aku? Begitu?" Suara Ratu meninggi. "Sepertinya kamu memang mengharapkan aku apa-apain kamu, ya? Maaf ya, aku nggak selera!" Raihan tertawa mengejek. "Raihan!" Ratu melotot karena kesal, lalu kembali masuk ke kamar meninggalkan Raihan yang masih mentertawakannya. Sebelum mandi ia mencari pakaiannya di koper, lalu membawanya ke dalam kamar mandi." Di depan cermin kamar mandi yang cukup besar, Ratu berdiri sambil memperhatikan wajahnya. "Aku memang jelek banget, ya? Sampai Raihan bilang nggak selera sama aku." Ratu mendekatkan wajahnya ke cermin, lalu meraba-raba wajahnya sendiri. "Rasanya aku nggak seburuk itu. Wajah dan kulitku semuanya mulus, rambut dan alisku tebal. BIbirku tipis. Hidungku memang nggak semancung Analea. Wajahku juga nggak sec
Mata Ratu mengerjap. Ia menoleh ke sekitar ruangan yang kini ia tempati. "Astaga! Kenapa aku ada di kamar ini?" Ratu yang baru saja terjaga, langsung bangkit dan duduk di atas ranjang. Lagi-lagi Raihan memindahkannya ke kamar. Ratu bergidik membayangkan Raihan mengangkat tubuhnya ke kamar ini. Ratu bernapas lega karena pakaian yang ia kenakan masih lengkap. Setelah ia sadari bahwa semua tubuhnya masih aman, ia bergegas turun lalu keluar dari kamar. "Raihan ..." Ratu terhenyak melihat Raihan tertidur pulas di sofa dengan posisi meringkuk. Tubuh besarnya tidak bisa ditampung secara keseluruhan oleh sofa yang ia tiduri. Ratu jadi merasa iba. Ia mendekat, lalu membetulkan letak selimut Raihan yang tadi hampir jatuh. Sesaat ia sempatkan untuk memandang wajah tampan itu lagi. Hatinya kembali berdebar. Namun, ia tidak berani berlama-lama memandangi wajah Raihan. Jangan sampai ketahuan seperti kemarin. Netra Ratu beralih pada jam dinding di ruangan itu. Ia bergegas ke dapur untuk membuat
"Mengundang Raka? Apa itu perlu?" tanya Rein datar. Maira menghela napas panjang." Sayang, kita harus minta maaf pada Raka dan Kayla karena pernikahan Kaisar kemarin. Aku dengar, dia kecewa." Rein mendengkus kesal. "Bisa-bisanya dia kecewa. Seharusnya dia bisa memilih mana yang harus diprioritaskan. Lagipula, cuma gara-gara dia tidak bisa hadir, semua acara yang sudah direncanakan harus diubah begitu saja?" "Tapi dia papa kandung Kaisar, Rein!" bantah Maira. "Oh, jadi menurutmu Raka lebih berhak memutuskan semuanya daripada aku? Mengapa kamu tidak pernah mengerti, Kaisar itu lebih dari sekedar anak sambung untukku. Kami sudah bersama sejak dia baru bisa berjalan. Kamu pikir kemana Raka selama ini? Bisa-bisanya dia merasa sebagai ayah kandung yang harus diprioritaskan." Bicara Rein mulai meninggi. Hal ini membuat Maira menjadi panik. Ia tidak ingin Rein tiba-tiba sakit di hari bahagia ini. "Ya, Sayang. Sudah, ya. Maafkan aku," ucap Maira lembut. Ia langsung memeluk suaminya
Analea dan Fabian baru saja kembali dari rumah sakit setelah kelahiran anak pertama mereka. Maira dan Rein menyambut mereka dengan penuh antusias, sementara Fabian terlihat sangat hati-hati saat menggendong bayi mereka yang masih mungil. "Selamat datang kembali di rumah, sayang," ucap Maira sambil tersenyum hangat. Ia memeluk Analea dengan lembut. "Kamu luar biasa, Analea. Sekarang kamu sudah menjadi seorang ibu!" Maira membawa anak dan menantunya ke ruang tamu. Analea, meski terlihat lelah, tersenyum lebar. "Terima kasih, Ma. Rasanya aku masih nggak percaya akhirnya bayi kecil ini ada di sini," ujarnya sambil memandangi bayi perempuannya yang sedang tidur nyenyak di pelukan Fabian. Saat ini mereka sudah berada di ruang tamu rumah mewah itu. Rein yang berdiri di sebelah Maira tampak tersenyum bangga. "Ini cucu pertama kami. Rasanya seperti mimpi melihat kalian pulang dengan bayi mungil yang cantik," ucapnya sambil menepuk pelan bahu Fabian. Fabian tersenyum lega. "Kami juga merasa
Setelah tiga hari berada di hotel, pagi itu Kaisar dan Kanaya memutuskan untuk sarapan di restoran hotel sebelum melanjutkan rencana liburan singkat mereka. Meski tubuh sedikit lelah setelah melewati malam-malam yang panjang, kebahagiaan terus terpancar dari keduanya. "Maafin aku, Sayang. Aku belum sempat membawamu berlibur ke luar kota atau ke luar negeri. Rencananya setelah proyek terakhir ini selesai, aku akan mengajakmu ke suatu tempat yang indah dan tentunya cukup jauh." Kanaya tersenyum haru."Nggak apa-apa, Mas. Selama Mas ada di dekatku, bagiku di mana aja nggak masalah. Liburan di hotel ini pun sudah bikin aku bahagia. Pokoknya asal kita selalu bersama." Kanaya menatap Kaisar dengan lekat. Mendapatkan tatapan yang berbeda dari istrinya, Kaisar jadi berdebar dan salah tingkah." Aku suka kamu tidak lagi malu-malu, Sayang." Kaisar menjawil hidung mancung Kanaya. Keduanya tertawa kecil penuh kebahagiaan. Di saat sedang menikmati momen santai itu, tiba-tiba seorang pelayan men
“Ini dari Mama,” ucap Kaisar pelan sambil mengangkat telepon. “Halo, Ma?” Suara Maira terdengar penuh semangat di ujung telepon. “Kaisar! Kamu di mana? Analea sudah melahirkan!” Kaisar langsung terkejut. “Apa? Analea sudah melahirkan? Sekarang, Ma?” “Iya! Kami sudah di rumah sakit sekarang. Ayo cepat ke sini, Kaisar. Kalian harus segera datang,” jawab Maira dengan penuh kegembiraan. Kaisar menoleh ke arah Kanaya yang sudah berdiri di belakangnya. “Analea sudah melahirkan, Naya. Kita harus ke rumah sakit sekarang.” Mata Kanaya langsung berbinar. “Beneran, Mas? Ya ampun, aku harus segera siap-siap!” Kaisar tersenyum melihat antusiasme istrinya. “Iya, beneran. Ayo cepat kita berangkat.” Tanpa menunggu lama, setelah membersihkan diri dan berpakaian, Kanaya segera mengambil tas kecilnya, sementara Kaisar sudah siap di depan pintu. Mereka berdua keluar kamar dan menuju lobi hotel dengan cepat. Di perjalanan, Kanaya tampak begitu bersemangat. “Aku masih nggak nyangka, Mas. Kak Analea
“Naya, ini malam yang kita tunggu-tunggu,” bisik Kaisar sambil menatap istrinya dengan penuh cinta. Kaisar membuka pintu kamar dengan perlahan, lalu mengajak Kanaya masuk. Kamar itu dihiasi dengan bunga-bunga mawar yang wangi dan lilin-lilin kecil yang menambah suasana romantis. Kaisar menggenggam tangan Kanaya, lalu menuntunnya untuk duduk di tepi ranjang. Kanaya tersenyum kecil, meskipun wajahnya masih terlihat sedikit gugup. “Iya, Mas. Aku masih nggak percaya ini benar-benar terjadi.” Kaisar mengusap pipi Kanaya dengan lembut, lalu mengecupnya pelan. “Kamu nggak perlu takut. Aku akan selalu ada untukmu, sekarang dan selamanya.” Kanaya merasakan debaran di dadanya semakin kencang. “Terima kasih sudah mau menjagaku, Mas. Aku juga merasa sangat bahagia malam ini.” Mereka berdua saling menatap, merasakan betapa dalam cinta yang kini mengikat mereka. "Naya ...," bisik Kaisar. Ia menggeser tubuhnya hingga nyaris tak berjarak lagi dengan Kanaya. Satu tangannya mengusap lembut bibir
Malam itu, hotel mewah tempat resepsi berlangsung dipenuhi oleh tamu-tamu dari berbagai kalangan. Lampu kristal yang bergemerlapan menambah kemewahan suasana, sementara karpet merah yang terbentang menyambut setiap tamu yang datang. Kaisar dan Kanaya sudah siap di belakang panggung, menanti giliran mereka untuk memasuki ballroom utama sebagai pasangan suami istri yang resmi. “Kamu siap, Naya?” tanya Kaisar dengan senyum lembut, sambil menggenggam tangan istrinya yang sedikit gemetar. Kanaya mengangguk pelan, meski hatinya masih berdebar-debar. “Aku siap, Mas,” jawabnya. Di ballroom utama, para tamu sudah mulai berkumpul. Banyak wajah yang familiar hadir. Para karyawan yang mengenal Kanaya dan Kaisar datang mengenakan pakaian terbaik mereka. Beberapa dari mereka tampak saling berbicara pelan, masih terkejut dengan kabar bahwa asisten pribadi bos besar mereka ternyata adalah istrinya sendiri. “Aku nggak nyangka banget, ternyata Kanaya benar-benar istri Pak Kaisar,” bisik salah satu
Setelah beberapa saat mencari, Kaisar akhirnya melihatnya. Di sana, di depan makam ayahnya, Kanaya duduk sambil memeluk lututnya. Tubuhnya tampak gemetar, sementara isak tangisnya terdengar pelan di antara keheningan. Kaisar berjalan mendekat dengan hati-hati, tidak ingin mengejutkan istrinya yang sedang larut dalam kesedihan. “Naya ...,” panggilnya pelan, suaranya penuh rasa bersalah. Tapi rasa sayang itu terasa makin mendalam. Kanaya tersentak. Gadis itu terdiam sejenak, sebelum menoleh ke arah suara itu. Matanya yang bengkak menunjukkan betapa berat beban yang ia rasakan saat ini. "Mas ... kenapa menyusulku? Kenapa Mas tinggalin Intan di sana?" Suara Kanaya terdengar parau. Sisa air mata masih membasahi wajah manisnya. Kaisar perlahan lebih mendekat. Ia berlutut di samping Kanaya, menatap mata Kanaya dengan penuh penyesalan. “Naya, aku minta maaf. Aku benar-benar tidak bermaksud membuatmu terluka. Intan muncul tiba-tiba, dan aku terlalu terkejut hingga tidak tau harus melakukan
Kaisar memutar tubuhnya hendak memanggil Kanaya. Di tengah kebingungannya, ia ingin segera memperkenalkan Kanaya pada Intan dan memastikan bahwa tidak ada salah paham yang terjadi. Namun, begitu ia melihat sekeliling, ia tidak menemukan Kanaya di sana. "Kanaya?" panggilnya, memandang ke berbagai arah. Tidak ada jawaban. Kaisar mulai merasa panik. Ia mencoba mencari ke ruangan lain, berharap menemukan Kanaya sedang sibuk dengan sesuatu. Tapi setelah mencari ke dapur, ruang tengah, bahkan ke ruang persiapan, Kanaya tetap tidak terlihat. Kaisar semakin gelisah. "Kemana dia pergi?" gumamnya pelan, sambil mencoba menelepon Kanaya. Namun, tidak ada jawaban dari panggilan itu. Perasaannya mulai tak karuan, seolah ada yang menindih dadanya. Di tengah kegelisahannya, Kaisar melihat Maira dan Rein mendekat. Wajah Maira tampak khawatir, sementara Rein berusaha tetap tenang. “Ada apa, Kaisar? Kenapa wajahmu tegang begitu?” tanya Maira dengan nada cemas. Kaisar menghela napas, mencoba menaha
Bab 26: Kedatangan yang Tak Terduga Rumah besar dan mewah milik Maira dan Rein dipenuhi dengan aktivitas sejak pagi itu. Persiapan resepsi pernikahan Kanaya dan Kaisar yang akan digelar malam ini tengah berlangsung dengan penuh semangat. Maira berkeliling memastikan semua detail dipersiapkan dengan sempurna, sementara Kaisar dan Kanaya membantu semampu mereka. Analea dan Ratu pun ikut membantu Maira. “Kaisar, nanti jangan lupa ke ruang ganti untuk cek lagi setelan jasnya, ya,” ujar Maira sambil memeriksa daftar tamu undangan. Meski mereka memakai jasa WO, Maira tak ingin ada hal sekecil apapun yang terlewat. “Iya, Ma,” jawab Kaisar sambil tersenyum, lalu beralih ke Kanaya yang tampak sibuk dengan telepon genggamnya, memastikan tamu dari pihaknya juga sudah menerima undangan. Ia juga menyiapkan transportasi untuk para keluarganya dari Bogor.Setelah kembali dari ruang ganti, Kaisar kembali menemani Kanaya yang masih mendata para tamunya di ruang tamu. Mereka yang sedang duduk di sof