Mobil yang membawa Analea dan Kaisar telah memasuki area rumah sakit tentara. Keduanya turun di lobby dan langsung menuju kamar rawat Ratu. Maira yang sedang duduk di kursi ruang tunggù, seketika berdiri saat melihat kedatangan Maira dan Kaisar. "Hai Ana, apa kabar, Sayang?" Maira memeluk Analea dan mencium kedua pipinya. Kaisar tertegun melihat sikap mamanya pada Analea. "Baik, Bu Maira," sahut Analea dengan lembut. "Ayo, sini! Duduk dulu. Kita bincang-bincang." Analea duduk di samping Maira yang sangat antusias dan bahagia dengan kedatangan Analea. Sedangkan Kaisar meneruskan langkahnya masuk ke ruang rawat Ratu. "Selamat, Ana. Sekarang kamu sudah menjadi asisten pribadi seorang Presiden direktur Eternal Group. Jadi, mulai sekarang sikap kamu juga harus berbeda. Kamu bukan orang sembarangan lagi di Eternal Group. Kamu adalah salah satu orang penting di perusahaan kami." Maira bicara dengan tatapan penuh bangga pada Analea. "Sikap yang berbeda? Maksudnya bagaimana, Bu?" Analea
Sejak tadi Sumi duduk di sudut ruangan sambil mendengarkan pembicaraan keluarga majikannya. Namun sampai lebih dari satu jam, ia sama sekali tidak mendengar ada yang membicarakan tentang test DNA. Sementara Analea sejak tadi memperhatikan gerak gerik Sumi yang menurutnya cukup mencurigakan. "Jika test DNA itu menyatakan bahwa aku adalah anak dari Ibu Maira, wanita bernama Sumi itu adalah orang yang pertama kali yang aku curigai sebagai penyebab tertukarnya aku dan Ratu." Analea terus berpikir dalam hati. Sekali lagi ia mengintip foto usang yang ada dalam tasnya dan memastikan bahwa itu memang adalah foto Sumi diwaktu muda. "Rein, Analea ini sudah diangkat Kaisar sebagai asisten pribadinya. Aku yakin, Eternal Group akan semakin berkembang di tangan mereka berdua. "Hmmm ... mulai kapan?" tanya Rein tanpa ekspresi. "Sudah berjalan, Dad. Tapi akan aku resmikan saat rapat direksi nanti. Aku minta Dad dan Mama hadir." Kaisar bicara sangat bersemangat. Mereka tidak menyadari, dari ranj
Sepanjang jalan menuju rumah sakit Maira terus berdebar dan gelisah, walaupun ia sangat yakin bahwa Analea benar adalah anak kandungnya. Namun, ia sangat khawatir jika terjadi sesuatu pada test DNA tersebut. Oleh karena itu, Maira telah antisipasi sejak awal. Wanita cerdas pemilik netra teduh itu telah membayar orang-orang kepercayaannya untuk mengawal prosesnya tes DNA itu. Seperti saat ini, Rein sedang menyetir di sampingnya, Maira justru sibuk dengan ponselnya. Ia mengirim pesan pada semua orang kepercayaannya untuk memastikan keamanan jalannya tes DNA. Ia khawatir Alif dan Sumi merencanakan sesuatu di belakangnya. Bagaimanapun juga, sejak awal Maira memang mencurigai mereka berdua. Sebuah pesan balasan masuk dari seseorang pada ponsel Maira. [ Aman, Bu Maira. Semua beres ] [ Pastikan orang yang bernama Alif dengan ciri-ciri rambut gondrong, tidak memasuki area rumah sakit. Aku yakin dia dan istrinya ingin menghalangi tes DNA ini] [ Siap, Bu ]Maira bernafas lega. "Semoga s
"Dari hasil yang sudah saya terima dan saya pelajari, hasil dari tes DNA ini menyatakan bahwa adanya kecocokan sebanyak 99% dari saudari Analea dengan Ibu Maira dan Bapak Reinhard. Jadi ..., berdasarkan hasil ini saya nyatakan bahwa saudari Analea adalah benar anak kandung dari Ibu Maira dan Bapak Reinhard." Maira spontan bernafas lega dan langsung memeluk Rein dengan erat. Ada bulir bening seketika luruh dari kedua netranya. Air mata bahagia yang tak terkira terus mengalir. Akhirnya terjawab sudah kegelisahannya selama ini. Dua puluh empat tahun ia berada dalam kebimbangan. Tuhan mengirimkan Analea ke hadapannya siang itu, di depan sebuah minimarket. Tanpa sengaja ia melihat tanda hitam di balik telinga itu, hingga hari ini Tuhan pun telah menjawab doa-doanya selama ini. Maira kemudian menoleh pada Analea yang masih tertegun memandang kosong pada lantai. Ia melihat satu keraguan pada wajah Analea. Setelah melepaskan pelukannya dari Rein, Maira pun mendekati wanita yang memiliki n
Perlahan Alif membuka pintu ruang rawat Ratu. Ia melihat Ratu sedang memarahi Sumi yang berdiri di samping ranjang. Tampak Sumi sedang tertunduk dengan wajah pucat dan air mata yang menetes. Melihat itu Alif langsung bergegas masuk dan menghampiri Ratu. "Hei, ada apa? Kenapa kamu marah-marah seperti itu?" Alif melirik Sumi yang sedang sibuk menghapus air matanya. Ratu terkejut melihat kedatangan Alif yang menyerobot masuk ke dalam ruangannya. "Ngapain masuk-masuk sembarangan? Nggak bisa ketuk pintu dulu? Siapa sih lo sebenarnya?" Ratu menatap nyalang pada Alif. Mendengar pertanyaan Ratu, Alif menyeringai. "Ratu, dengar dulu penjelasan saya!" pinta Alif. "Apalagi sih? Pergi lo!" Ratu membuang pandangannya. "Ratu dengar dulu!" Alif mulai emosi melihat sikap Ratu yang sama sekali tidak menghargai dirinya. "Kamu tahu nggak apa yang terjadi sekarang ini? Maira dan Rein sudah tahu siapa anak kandung mereka sebenarnya." Ratu tersentak mendengar ucapan Alif. Namun ia memilih untuk t
"Maafin Mama, Sayang. Maafin Mama ...!" Maira tak mampu lagi bicara. Tenggorokannya tercekat, dadanya begitu sesak, hingga ia merasakan nyeri yang luar biasa di hatinya. Wanita bermata teduh itu kini semakin menyadari, ternyata putrinya cukup menderita selama ini. Sedangkan ia dan keluarganya merasakan hidup senang dengan serba berkecukupan. Maira menangis tergugu hingga Analea tersadar bahwa ia telah membuat Maira sedih tanpa ia sengaja. Sementara itu Rein tak mampu menahan butiran bening yang menggantung di dua kelopak matanya. Tanpa ragu ia mengusap kedua matanya dengan jari telunjuk. Ia pun ingin sekali memeluk Analea. Namun, entah kenapa tubuhnya kaku dan mematung. Pria bule itu hanya berdiri dan terpaku melihat dua wanita yang sangat ia cintai sedang berpelukan di hadapannya. Dalam hatinya ia merasakan penyesalan yang sangat dalam. Kenapa sejak dulu ia tidak pernah menghiraukan perkataanMaira yang merasakan bayi Mereka tertukar. Padahal Maira sejak lama mencurigai hal itu, dan
"Mama harap, setelah Ratu pulang ke rumah, kamu juga mau pulang ke rumah ini, Ana." Maira masih sangat berharap pada Analea. Analea hanya tersenyum. Kemudian ia melirik pada Fabian dan memberi kode dengan mengangguk. Fabian pun seakan mengerti dan langsung berdiri. Pria bercambang lebat itu kembali bicara. "Kami permisi pulang dulu. Lain kali saya akan datang kembali untuk membicarakan beberapa hal penting, Pak Rein." ujar Fabian. "Hmm ..." Rein hanya mengangguk samar. "Aku pulang dulu, Ma," pamit Analea. Lalu wanita itu menoleh pada Rein. ia ingin sekali pamit pada pria dingin itu. Namun langkahnya seakan terhalang, karena Rein tampak tak acuh padanya. "Rein ...!" bisik Maira pada suaminya dengan netranya mengerling pada Analea. " Ehmm ... ya? Kalian mau pulang? Hati-hati ...!" Rein tampak salah tingkah. Sesaat ia pun melrik pada Analea yang sedang menghampirinya. "Mmm ... Pak Rein, sa ... ya ... pulang dulu." Analea pamit dengan menganggukkan kepala di depan Rein. "Kamu pan
"Daddy ... ben ... tak ... akuu ...?" Ratu sangat terkejut. Napas wanita itu memburu hingga air matanya keluar berdesakan. Wajahnya memucat. Ia tidak pernah melihat Rein semarah itu padanya. Rein membuang pandangannya dan menghela napas berat. Mengusap kasar wajahnya beberapa kali. Sejurus kemudian ia memutar tubuhnya dan melangkah ke pintu keluar. Rein memilih duduk di ruang tunggu untuk menenangkan pikirannya. "Astaga ...! Apa yang sudah aku lakukan? Kenapa aku sampai semarah itu?" Rein bergumam pada dirinya sendiri. Ia benar-benar tidak menyadari sikapnya barusan. Semua terlontar begitu saja. Entah kenapa ia merasa ada yang sakit di dalam dadanya, ketika mendengar hinaan untuk Analea. "Analea ... kenapa sulit sekali untuk memulai dekat dengannya. Dia benar-benar cantik seperti Mairaku. Sebenarnya ada sisi hatiku yang merasakan itu sejak melihatnya. Namun sisi hatiku yang lain berusaha untuk menepisnya. Ah, bodohnya Aku. Ayah macam apa aku ini?" Rein terus melamun. Ia kembali me
"Mengundang Raka? Apa itu perlu?" tanya Rein datar. Maira menghela napas panjang." Sayang, kita harus minta maaf pada Raka dan Kayla karena pernikahan Kaisar kemarin. Aku dengar, dia kecewa." Rein mendengkus kesal. "Bisa-bisanya dia kecewa. Seharusnya dia bisa memilih mana yang harus diprioritaskan. Lagipula, cuma gara-gara dia tidak bisa hadir, semua acara yang sudah direncanakan harus diubah begitu saja?" "Tapi dia papa kandung Kaisar, Rein!" bantah Maira. "Oh, jadi menurutmu Raka lebih berhak memutuskan semuanya daripada aku? Mengapa kamu tidak pernah mengerti, Kaisar itu lebih dari sekedar anak sambung untukku. Kami sudah bersama sejak dia baru bisa berjalan. Kamu pikir kemana Raka selama ini? Bisa-bisanya dia merasa sebagai ayah kandung yang harus diprioritaskan." Bicara Rein mulai meninggi. Hal ini membuat Maira menjadi panik. Ia tidak ingin Rein tiba-tiba sakit di hari bahagia ini. "Ya, Sayang. Sudah, ya. Maafkan aku," ucap Maira lembut. Ia langsung memeluk suaminya
Analea dan Fabian baru saja kembali dari rumah sakit setelah kelahiran anak pertama mereka. Maira dan Rein menyambut mereka dengan penuh antusias, sementara Fabian terlihat sangat hati-hati saat menggendong bayi mereka yang masih mungil. "Selamat datang kembali di rumah, sayang," ucap Maira sambil tersenyum hangat. Ia memeluk Analea dengan lembut. "Kamu luar biasa, Analea. Sekarang kamu sudah menjadi seorang ibu!" Maira membawa anak dan menantunya ke ruang tamu. Analea, meski terlihat lelah, tersenyum lebar. "Terima kasih, Ma. Rasanya aku masih nggak percaya akhirnya bayi kecil ini ada di sini," ujarnya sambil memandangi bayi perempuannya yang sedang tidur nyenyak di pelukan Fabian. Saat ini mereka sudah berada di ruang tamu rumah mewah itu. Rein yang berdiri di sebelah Maira tampak tersenyum bangga. "Ini cucu pertama kami. Rasanya seperti mimpi melihat kalian pulang dengan bayi mungil yang cantik," ucapnya sambil menepuk pelan bahu Fabian. Fabian tersenyum lega. "Kami juga merasa
Setelah tiga hari berada di hotel, pagi itu Kaisar dan Kanaya memutuskan untuk sarapan di restoran hotel sebelum melanjutkan rencana liburan singkat mereka. Meski tubuh sedikit lelah setelah melewati malam-malam yang panjang, kebahagiaan terus terpancar dari keduanya. "Maafin aku, Sayang. Aku belum sempat membawamu berlibur ke luar kota atau ke luar negeri. Rencananya setelah proyek terakhir ini selesai, aku akan mengajakmu ke suatu tempat yang indah dan tentunya cukup jauh." Kanaya tersenyum haru."Nggak apa-apa, Mas. Selama Mas ada di dekatku, bagiku di mana aja nggak masalah. Liburan di hotel ini pun sudah bikin aku bahagia. Pokoknya asal kita selalu bersama." Kanaya menatap Kaisar dengan lekat. Mendapatkan tatapan yang berbeda dari istrinya, Kaisar jadi berdebar dan salah tingkah." Aku suka kamu tidak lagi malu-malu, Sayang." Kaisar menjawil hidung mancung Kanaya. Keduanya tertawa kecil penuh kebahagiaan. Di saat sedang menikmati momen santai itu, tiba-tiba seorang pelayan men
“Ini dari Mama,” ucap Kaisar pelan sambil mengangkat telepon. “Halo, Ma?” Suara Maira terdengar penuh semangat di ujung telepon. “Kaisar! Kamu di mana? Analea sudah melahirkan!” Kaisar langsung terkejut. “Apa? Analea sudah melahirkan? Sekarang, Ma?” “Iya! Kami sudah di rumah sakit sekarang. Ayo cepat ke sini, Kaisar. Kalian harus segera datang,” jawab Maira dengan penuh kegembiraan. Kaisar menoleh ke arah Kanaya yang sudah berdiri di belakangnya. “Analea sudah melahirkan, Naya. Kita harus ke rumah sakit sekarang.” Mata Kanaya langsung berbinar. “Beneran, Mas? Ya ampun, aku harus segera siap-siap!” Kaisar tersenyum melihat antusiasme istrinya. “Iya, beneran. Ayo cepat kita berangkat.” Tanpa menunggu lama, setelah membersihkan diri dan berpakaian, Kanaya segera mengambil tas kecilnya, sementara Kaisar sudah siap di depan pintu. Mereka berdua keluar kamar dan menuju lobi hotel dengan cepat. Di perjalanan, Kanaya tampak begitu bersemangat. “Aku masih nggak nyangka, Mas. Kak Analea
“Naya, ini malam yang kita tunggu-tunggu,” bisik Kaisar sambil menatap istrinya dengan penuh cinta. Kaisar membuka pintu kamar dengan perlahan, lalu mengajak Kanaya masuk. Kamar itu dihiasi dengan bunga-bunga mawar yang wangi dan lilin-lilin kecil yang menambah suasana romantis. Kaisar menggenggam tangan Kanaya, lalu menuntunnya untuk duduk di tepi ranjang. Kanaya tersenyum kecil, meskipun wajahnya masih terlihat sedikit gugup. “Iya, Mas. Aku masih nggak percaya ini benar-benar terjadi.” Kaisar mengusap pipi Kanaya dengan lembut, lalu mengecupnya pelan. “Kamu nggak perlu takut. Aku akan selalu ada untukmu, sekarang dan selamanya.” Kanaya merasakan debaran di dadanya semakin kencang. “Terima kasih sudah mau menjagaku, Mas. Aku juga merasa sangat bahagia malam ini.” Mereka berdua saling menatap, merasakan betapa dalam cinta yang kini mengikat mereka. "Naya ...," bisik Kaisar. Ia menggeser tubuhnya hingga nyaris tak berjarak lagi dengan Kanaya. Satu tangannya mengusap lembut bibir
Malam itu, hotel mewah tempat resepsi berlangsung dipenuhi oleh tamu-tamu dari berbagai kalangan. Lampu kristal yang bergemerlapan menambah kemewahan suasana, sementara karpet merah yang terbentang menyambut setiap tamu yang datang. Kaisar dan Kanaya sudah siap di belakang panggung, menanti giliran mereka untuk memasuki ballroom utama sebagai pasangan suami istri yang resmi. “Kamu siap, Naya?” tanya Kaisar dengan senyum lembut, sambil menggenggam tangan istrinya yang sedikit gemetar. Kanaya mengangguk pelan, meski hatinya masih berdebar-debar. “Aku siap, Mas,” jawabnya. Di ballroom utama, para tamu sudah mulai berkumpul. Banyak wajah yang familiar hadir. Para karyawan yang mengenal Kanaya dan Kaisar datang mengenakan pakaian terbaik mereka. Beberapa dari mereka tampak saling berbicara pelan, masih terkejut dengan kabar bahwa asisten pribadi bos besar mereka ternyata adalah istrinya sendiri. “Aku nggak nyangka banget, ternyata Kanaya benar-benar istri Pak Kaisar,” bisik salah satu
Setelah beberapa saat mencari, Kaisar akhirnya melihatnya. Di sana, di depan makam ayahnya, Kanaya duduk sambil memeluk lututnya. Tubuhnya tampak gemetar, sementara isak tangisnya terdengar pelan di antara keheningan. Kaisar berjalan mendekat dengan hati-hati, tidak ingin mengejutkan istrinya yang sedang larut dalam kesedihan. “Naya ...,” panggilnya pelan, suaranya penuh rasa bersalah. Tapi rasa sayang itu terasa makin mendalam. Kanaya tersentak. Gadis itu terdiam sejenak, sebelum menoleh ke arah suara itu. Matanya yang bengkak menunjukkan betapa berat beban yang ia rasakan saat ini. "Mas ... kenapa menyusulku? Kenapa Mas tinggalin Intan di sana?" Suara Kanaya terdengar parau. Sisa air mata masih membasahi wajah manisnya. Kaisar perlahan lebih mendekat. Ia berlutut di samping Kanaya, menatap mata Kanaya dengan penuh penyesalan. “Naya, aku minta maaf. Aku benar-benar tidak bermaksud membuatmu terluka. Intan muncul tiba-tiba, dan aku terlalu terkejut hingga tidak tau harus melakukan
Kaisar memutar tubuhnya hendak memanggil Kanaya. Di tengah kebingungannya, ia ingin segera memperkenalkan Kanaya pada Intan dan memastikan bahwa tidak ada salah paham yang terjadi. Namun, begitu ia melihat sekeliling, ia tidak menemukan Kanaya di sana. "Kanaya?" panggilnya, memandang ke berbagai arah. Tidak ada jawaban. Kaisar mulai merasa panik. Ia mencoba mencari ke ruangan lain, berharap menemukan Kanaya sedang sibuk dengan sesuatu. Tapi setelah mencari ke dapur, ruang tengah, bahkan ke ruang persiapan, Kanaya tetap tidak terlihat. Kaisar semakin gelisah. "Kemana dia pergi?" gumamnya pelan, sambil mencoba menelepon Kanaya. Namun, tidak ada jawaban dari panggilan itu. Perasaannya mulai tak karuan, seolah ada yang menindih dadanya. Di tengah kegelisahannya, Kaisar melihat Maira dan Rein mendekat. Wajah Maira tampak khawatir, sementara Rein berusaha tetap tenang. “Ada apa, Kaisar? Kenapa wajahmu tegang begitu?” tanya Maira dengan nada cemas. Kaisar menghela napas, mencoba menaha
Bab 26: Kedatangan yang Tak Terduga Rumah besar dan mewah milik Maira dan Rein dipenuhi dengan aktivitas sejak pagi itu. Persiapan resepsi pernikahan Kanaya dan Kaisar yang akan digelar malam ini tengah berlangsung dengan penuh semangat. Maira berkeliling memastikan semua detail dipersiapkan dengan sempurna, sementara Kaisar dan Kanaya membantu semampu mereka. Analea dan Ratu pun ikut membantu Maira. “Kaisar, nanti jangan lupa ke ruang ganti untuk cek lagi setelan jasnya, ya,” ujar Maira sambil memeriksa daftar tamu undangan. Meski mereka memakai jasa WO, Maira tak ingin ada hal sekecil apapun yang terlewat. “Iya, Ma,” jawab Kaisar sambil tersenyum, lalu beralih ke Kanaya yang tampak sibuk dengan telepon genggamnya, memastikan tamu dari pihaknya juga sudah menerima undangan. Ia juga menyiapkan transportasi untuk para keluarganya dari Bogor.Setelah kembali dari ruang ganti, Kaisar kembali menemani Kanaya yang masih mendata para tamunya di ruang tamu. Mereka yang sedang duduk di sof