"Mama harap, setelah Ratu pulang ke rumah, kamu juga mau pulang ke rumah ini, Ana." Maira masih sangat berharap pada Analea. Analea hanya tersenyum. Kemudian ia melirik pada Fabian dan memberi kode dengan mengangguk. Fabian pun seakan mengerti dan langsung berdiri. Pria bercambang lebat itu kembali bicara. "Kami permisi pulang dulu. Lain kali saya akan datang kembali untuk membicarakan beberapa hal penting, Pak Rein." ujar Fabian. "Hmm ..." Rein hanya mengangguk samar. "Aku pulang dulu, Ma," pamit Analea. Lalu wanita itu menoleh pada Rein. ia ingin sekali pamit pada pria dingin itu. Namun langkahnya seakan terhalang, karena Rein tampak tak acuh padanya. "Rein ...!" bisik Maira pada suaminya dengan netranya mengerling pada Analea. " Ehmm ... ya? Kalian mau pulang? Hati-hati ...!" Rein tampak salah tingkah. Sesaat ia pun melrik pada Analea yang sedang menghampirinya. "Mmm ... Pak Rein, sa ... ya ... pulang dulu." Analea pamit dengan menganggukkan kepala di depan Rein. "Kamu pan
"Daddy ... ben ... tak ... akuu ...?" Ratu sangat terkejut. Napas wanita itu memburu hingga air matanya keluar berdesakan. Wajahnya memucat. Ia tidak pernah melihat Rein semarah itu padanya. Rein membuang pandangannya dan menghela napas berat. Mengusap kasar wajahnya beberapa kali. Sejurus kemudian ia memutar tubuhnya dan melangkah ke pintu keluar. Rein memilih duduk di ruang tunggu untuk menenangkan pikirannya. "Astaga ...! Apa yang sudah aku lakukan? Kenapa aku sampai semarah itu?" Rein bergumam pada dirinya sendiri. Ia benar-benar tidak menyadari sikapnya barusan. Semua terlontar begitu saja. Entah kenapa ia merasa ada yang sakit di dalam dadanya, ketika mendengar hinaan untuk Analea. "Analea ... kenapa sulit sekali untuk memulai dekat dengannya. Dia benar-benar cantik seperti Mairaku. Sebenarnya ada sisi hatiku yang merasakan itu sejak melihatnya. Namun sisi hatiku yang lain berusaha untuk menepisnya. Ah, bodohnya Aku. Ayah macam apa aku ini?" Rein terus melamun. Ia kembali me
Analea terkejut ketika seorang karyawati tiba-tiba menghampirinya dengan wajah sinis. "Maaf, ada masalah?" Analea menaikkan alisnya saat merespon karyawati itu. "Ya jelas masalah! Kamu udah kasih contoh yang nggak baik sama semua karyawan!" Wanita memakai blazer merah itu melotot pada Analea, sementara tangannya menunjuk wajah Analea. "Oh, ya? Contoh yang nggak baik mana yang anda maksud?" Analea kembali bertanya dengan melipat kedua tangannya di depan dada. "Kamu pikir datang dan pulang seenaknya itu contoh yang bener? Mentang-mentang bisa deketin bos besar, dimanfaatin deh. Jadi seenaknya kamu sekarang!" Analea tersenyum. Lalu geleng-geleng kepala. "Maaf, sepertinya pembicaraan ini nggak ada manfaatnya. Sebaiknya kalian kerja aja yang benar! Jangan sampai kalian dipecat karena sering ngerumpi di jam kerja. Permisi!" Setelah bicara dengan cukup tegas, Analea pun melangkah meninggalkan para karyawati itu menuju lift. "Heh, nggak sopan banget main pergi aja! Dasar anak magang ka
"Apaa? Orang kedua di Eternal Group?" "Orang kedua? Maksudnya apa?" "Sekretaris itu jadi orang penting di Eternal Group?" Terdengar berbagai pertanyaan dari orang-orang yang ada di dalam ruangan itu. Tak hanya para direksi dan orang-orang penting di Eternal Group, Desi pun ikut ternganga dan tak percaya mendengar pengumuman itu. Awalnya ia pikir Analea akan berhenti atau dipindahkan ke kantor cabang, oleh sebab itu dia direkomendasikan untuk menggantikan. Awalnya ia merasa menang karena bisa menggantikan posisi Analea yang memang ia tidak sukai sejak awal. Namun kini ia justru terkejut karena Analea justru naik jabatan. Mendengar banyaknya pertanyaan, Maira melanjutkan kalimatnya. "Ya, benar. Analea sekarang tidak hanya sebagai asisten pribadi dari Kaisar putra saya, tetapi Analea juga memiliki peran penting dalam memajukan perusahaan ini. Terbukti sejak ia bergabung dan membantu beberapa proyek perusahaan kita, Analea cukup kompeten dan memiliki beberapa pencapaian yang luar bi
Rein buru-buru mengusap buliran bening yang nyaris terjatuh dari kelopak matanya. Tenggorokannya tercekat hingga ia kesulitan menelan salivanya. Ia berusaha menguasai diri yang mulai merasakan sesak, dengan menarik napas panjang beberapa kali. "Rein, Analea mana?" Rein nyaris terlonjak ketika Maira tiba-tiba saja masuk dan menanyakan Analea. "Sud-sudah kembali ke ruangannya. Bagaimana? Apa kamu sudah selesai?" Rein berusaha terlihat biasa saja. Meski hati dan pikirannya masih tertuju pada Analea. Maira melihat ada sikap Rein yang sedikit aneh. Namun ia tidak ingin bertanya sekarang ini. "Ya, aku sudah selesai," sahut Maira sambil netranya masih memperhatikan wajah Rein yang sedikit murung. "Kalau begitu kita ke rumah sakit sekarang." Rein bergerak melangkah menuju pintu. "Aku tunggu di lobby!" lanjut pria bule itu lagi tanpa menoleh pada Maira. "Ada apa dengan Rein? Apa terjadi sesuatu antara Rein dan Analea?" gumam Maira pelan. Lalu ia memutuskan untuk mengirim pesan pada Kai
"Daaad ...!" Analea mencoba menahan tubuh Rein yang akan ambruk, dengan cara memeluk tubuh pria itu. Kaisar yang juga berada di ruangan itu spontan juga melompat dan menghampiri Analea. "Daad ..., awaaas!" Kaisar pun berteriak. Ia berhasil membantu Analea menahan tubuh sang Daddy. Perlahan Kaisar dan Analea memapah Rein ke sofa, lalu merebahkannya di sana. "Rein, Rein ... kamu kenapaa?" Maira pun tak kalah panik. Ia mencoba memijit tangan dan kaki Rein. "Hei, minggir! Ini Daddy aku. Kamu itu bukan siapa-siapa di sini!" Tiba-tiba Ratu bangkit dari kursi rodanya dan melangkah menghampiri Analea. Analea yang masih berada di samping Rein hendak bangkit berdiri. Namun ia terkejut karena lengannya dicekal oleh sebuah tangan besar dan lebar. Ia menoleh, ternyata Rein sedang memandangnya dengan tatapan memohon. Wajah pria yang merupakan ayah kandungnya itu sangat pucat dan mengeluarkan keringat dingin. Pandangan mereka pun bertemu selama beberapa detik."Daddy ... wajah Daddy pucat sekal
"Pak, Pak, tolong, Pak!" Kaisar bergegas turun dari mobil menghampiri petugas Unit Gawat Darurat. Kemudian dua petugas datang mendekat dengan membawa sebuah brankar. Dengan dibantu satu petugas, Kaisar membantu Rein untuk berbaring di atas brankar. "Ana ... !" lirih Rein yang netranya tak lepas terus memandang Analea, tatapannya seolah tak ingin Analea pergi jauh darinya. "Ya, Dad. Aku di sini!" Analea kembali menggenggam jemari kekar milik Rein, dan mengikuti brankar yang membawa Rein masuk ke ruang pemeriksaan. Sementara itu Maira menuju bagian administrasi untuk mengisi data-data yang diperlukan. Seorang dokter muda dan perawat datang menghampiri. Mereka mulai memeriksa kondisi Rein. Beberapa pertanyaan juga diajukan dokter pada Rein tentang apa yang ia rasakan saat ini.. "Tekanan darah bapak cukup tinggi. Asam lambung naik. Sepertinya bapak sedang mengalami stres yang cukup serius."Rein hanya diam tak menggubris ucapan sang dokter. Wajahnya tetap dingin dan tak banyak bicara
"Tolong angkat telponnya, Leaa ...!" Fabian terus mencoba menghubungi ponsel Analea. Tapi yang terdengar hanya nada sibuk sejak tadi. Beberapa kali ia menghela napas berat demi meredam rasa paniknya. "Cepat sedikit, Pak!" perintahnya pada sang supir. "Ya, Pak." Fabian menghubungi orang kepercayaannya agar berjaga-jaga sebelum ia datang. "Pastikan Analea baik-baik saja!" tegas Fabian. "Tapi sepertinya kamar kostnya kosong, Pak." "Apaa?" Informasi dari orang kepercayaannya membuat Fabian semakin panik. "Tetap berjaga! Sebentar lagi saya ke sana." Setelah bicara dengan orang kepercayaannya, Fabian kembali mencoba menghubungi Analea. Namun masih saja terdengar nada sibuk. Tak sampai setengah jam Fabian hampir tiba di rumah kost Analea. Ia melihat sebuah mobil fortuner baru saja berhenti persis di depan rumah kost itu. "Bukankah itu mobil Bu Maira?" Fabian bergegas turun dan menghampiri. Ia mengetuk kaca jendela. "Kak Bian?" Analea membuka kaca mobil dan terkejut melihat ada Fabi
"Mengundang Raka? Apa itu perlu?" tanya Rein datar. Maira menghela napas panjang." Sayang, kita harus minta maaf pada Raka dan Kayla karena pernikahan Kaisar kemarin. Aku dengar, dia kecewa." Rein mendengkus kesal. "Bisa-bisanya dia kecewa. Seharusnya dia bisa memilih mana yang harus diprioritaskan. Lagipula, cuma gara-gara dia tidak bisa hadir, semua acara yang sudah direncanakan harus diubah begitu saja?" "Tapi dia papa kandung Kaisar, Rein!" bantah Maira. "Oh, jadi menurutmu Raka lebih berhak memutuskan semuanya daripada aku? Mengapa kamu tidak pernah mengerti, Kaisar itu lebih dari sekedar anak sambung untukku. Kami sudah bersama sejak dia baru bisa berjalan. Kamu pikir kemana Raka selama ini? Bisa-bisanya dia merasa sebagai ayah kandung yang harus diprioritaskan." Bicara Rein mulai meninggi. Hal ini membuat Maira menjadi panik. Ia tidak ingin Rein tiba-tiba sakit di hari bahagia ini. "Ya, Sayang. Sudah, ya. Maafkan aku," ucap Maira lembut. Ia langsung memeluk suaminya
Analea dan Fabian baru saja kembali dari rumah sakit setelah kelahiran anak pertama mereka. Maira dan Rein menyambut mereka dengan penuh antusias, sementara Fabian terlihat sangat hati-hati saat menggendong bayi mereka yang masih mungil. "Selamat datang kembali di rumah, sayang," ucap Maira sambil tersenyum hangat. Ia memeluk Analea dengan lembut. "Kamu luar biasa, Analea. Sekarang kamu sudah menjadi seorang ibu!" Maira membawa anak dan menantunya ke ruang tamu. Analea, meski terlihat lelah, tersenyum lebar. "Terima kasih, Ma. Rasanya aku masih nggak percaya akhirnya bayi kecil ini ada di sini," ujarnya sambil memandangi bayi perempuannya yang sedang tidur nyenyak di pelukan Fabian. Saat ini mereka sudah berada di ruang tamu rumah mewah itu. Rein yang berdiri di sebelah Maira tampak tersenyum bangga. "Ini cucu pertama kami. Rasanya seperti mimpi melihat kalian pulang dengan bayi mungil yang cantik," ucapnya sambil menepuk pelan bahu Fabian. Fabian tersenyum lega. "Kami juga merasa
Setelah tiga hari berada di hotel, pagi itu Kaisar dan Kanaya memutuskan untuk sarapan di restoran hotel sebelum melanjutkan rencana liburan singkat mereka. Meski tubuh sedikit lelah setelah melewati malam-malam yang panjang, kebahagiaan terus terpancar dari keduanya. "Maafin aku, Sayang. Aku belum sempat membawamu berlibur ke luar kota atau ke luar negeri. Rencananya setelah proyek terakhir ini selesai, aku akan mengajakmu ke suatu tempat yang indah dan tentunya cukup jauh." Kanaya tersenyum haru."Nggak apa-apa, Mas. Selama Mas ada di dekatku, bagiku di mana aja nggak masalah. Liburan di hotel ini pun sudah bikin aku bahagia. Pokoknya asal kita selalu bersama." Kanaya menatap Kaisar dengan lekat. Mendapatkan tatapan yang berbeda dari istrinya, Kaisar jadi berdebar dan salah tingkah." Aku suka kamu tidak lagi malu-malu, Sayang." Kaisar menjawil hidung mancung Kanaya. Keduanya tertawa kecil penuh kebahagiaan. Di saat sedang menikmati momen santai itu, tiba-tiba seorang pelayan men
“Ini dari Mama,” ucap Kaisar pelan sambil mengangkat telepon. “Halo, Ma?” Suara Maira terdengar penuh semangat di ujung telepon. “Kaisar! Kamu di mana? Analea sudah melahirkan!” Kaisar langsung terkejut. “Apa? Analea sudah melahirkan? Sekarang, Ma?” “Iya! Kami sudah di rumah sakit sekarang. Ayo cepat ke sini, Kaisar. Kalian harus segera datang,” jawab Maira dengan penuh kegembiraan. Kaisar menoleh ke arah Kanaya yang sudah berdiri di belakangnya. “Analea sudah melahirkan, Naya. Kita harus ke rumah sakit sekarang.” Mata Kanaya langsung berbinar. “Beneran, Mas? Ya ampun, aku harus segera siap-siap!” Kaisar tersenyum melihat antusiasme istrinya. “Iya, beneran. Ayo cepat kita berangkat.” Tanpa menunggu lama, setelah membersihkan diri dan berpakaian, Kanaya segera mengambil tas kecilnya, sementara Kaisar sudah siap di depan pintu. Mereka berdua keluar kamar dan menuju lobi hotel dengan cepat. Di perjalanan, Kanaya tampak begitu bersemangat. “Aku masih nggak nyangka, Mas. Kak Analea
“Naya, ini malam yang kita tunggu-tunggu,” bisik Kaisar sambil menatap istrinya dengan penuh cinta. Kaisar membuka pintu kamar dengan perlahan, lalu mengajak Kanaya masuk. Kamar itu dihiasi dengan bunga-bunga mawar yang wangi dan lilin-lilin kecil yang menambah suasana romantis. Kaisar menggenggam tangan Kanaya, lalu menuntunnya untuk duduk di tepi ranjang. Kanaya tersenyum kecil, meskipun wajahnya masih terlihat sedikit gugup. “Iya, Mas. Aku masih nggak percaya ini benar-benar terjadi.” Kaisar mengusap pipi Kanaya dengan lembut, lalu mengecupnya pelan. “Kamu nggak perlu takut. Aku akan selalu ada untukmu, sekarang dan selamanya.” Kanaya merasakan debaran di dadanya semakin kencang. “Terima kasih sudah mau menjagaku, Mas. Aku juga merasa sangat bahagia malam ini.” Mereka berdua saling menatap, merasakan betapa dalam cinta yang kini mengikat mereka. "Naya ...," bisik Kaisar. Ia menggeser tubuhnya hingga nyaris tak berjarak lagi dengan Kanaya. Satu tangannya mengusap lembut bibir
Malam itu, hotel mewah tempat resepsi berlangsung dipenuhi oleh tamu-tamu dari berbagai kalangan. Lampu kristal yang bergemerlapan menambah kemewahan suasana, sementara karpet merah yang terbentang menyambut setiap tamu yang datang. Kaisar dan Kanaya sudah siap di belakang panggung, menanti giliran mereka untuk memasuki ballroom utama sebagai pasangan suami istri yang resmi. “Kamu siap, Naya?” tanya Kaisar dengan senyum lembut, sambil menggenggam tangan istrinya yang sedikit gemetar. Kanaya mengangguk pelan, meski hatinya masih berdebar-debar. “Aku siap, Mas,” jawabnya. Di ballroom utama, para tamu sudah mulai berkumpul. Banyak wajah yang familiar hadir. Para karyawan yang mengenal Kanaya dan Kaisar datang mengenakan pakaian terbaik mereka. Beberapa dari mereka tampak saling berbicara pelan, masih terkejut dengan kabar bahwa asisten pribadi bos besar mereka ternyata adalah istrinya sendiri. “Aku nggak nyangka banget, ternyata Kanaya benar-benar istri Pak Kaisar,” bisik salah satu
Setelah beberapa saat mencari, Kaisar akhirnya melihatnya. Di sana, di depan makam ayahnya, Kanaya duduk sambil memeluk lututnya. Tubuhnya tampak gemetar, sementara isak tangisnya terdengar pelan di antara keheningan. Kaisar berjalan mendekat dengan hati-hati, tidak ingin mengejutkan istrinya yang sedang larut dalam kesedihan. “Naya ...,” panggilnya pelan, suaranya penuh rasa bersalah. Tapi rasa sayang itu terasa makin mendalam. Kanaya tersentak. Gadis itu terdiam sejenak, sebelum menoleh ke arah suara itu. Matanya yang bengkak menunjukkan betapa berat beban yang ia rasakan saat ini. "Mas ... kenapa menyusulku? Kenapa Mas tinggalin Intan di sana?" Suara Kanaya terdengar parau. Sisa air mata masih membasahi wajah manisnya. Kaisar perlahan lebih mendekat. Ia berlutut di samping Kanaya, menatap mata Kanaya dengan penuh penyesalan. “Naya, aku minta maaf. Aku benar-benar tidak bermaksud membuatmu terluka. Intan muncul tiba-tiba, dan aku terlalu terkejut hingga tidak tau harus melakukan
Kaisar memutar tubuhnya hendak memanggil Kanaya. Di tengah kebingungannya, ia ingin segera memperkenalkan Kanaya pada Intan dan memastikan bahwa tidak ada salah paham yang terjadi. Namun, begitu ia melihat sekeliling, ia tidak menemukan Kanaya di sana. "Kanaya?" panggilnya, memandang ke berbagai arah. Tidak ada jawaban. Kaisar mulai merasa panik. Ia mencoba mencari ke ruangan lain, berharap menemukan Kanaya sedang sibuk dengan sesuatu. Tapi setelah mencari ke dapur, ruang tengah, bahkan ke ruang persiapan, Kanaya tetap tidak terlihat. Kaisar semakin gelisah. "Kemana dia pergi?" gumamnya pelan, sambil mencoba menelepon Kanaya. Namun, tidak ada jawaban dari panggilan itu. Perasaannya mulai tak karuan, seolah ada yang menindih dadanya. Di tengah kegelisahannya, Kaisar melihat Maira dan Rein mendekat. Wajah Maira tampak khawatir, sementara Rein berusaha tetap tenang. “Ada apa, Kaisar? Kenapa wajahmu tegang begitu?” tanya Maira dengan nada cemas. Kaisar menghela napas, mencoba menaha
Bab 26: Kedatangan yang Tak Terduga Rumah besar dan mewah milik Maira dan Rein dipenuhi dengan aktivitas sejak pagi itu. Persiapan resepsi pernikahan Kanaya dan Kaisar yang akan digelar malam ini tengah berlangsung dengan penuh semangat. Maira berkeliling memastikan semua detail dipersiapkan dengan sempurna, sementara Kaisar dan Kanaya membantu semampu mereka. Analea dan Ratu pun ikut membantu Maira. “Kaisar, nanti jangan lupa ke ruang ganti untuk cek lagi setelan jasnya, ya,” ujar Maira sambil memeriksa daftar tamu undangan. Meski mereka memakai jasa WO, Maira tak ingin ada hal sekecil apapun yang terlewat. “Iya, Ma,” jawab Kaisar sambil tersenyum, lalu beralih ke Kanaya yang tampak sibuk dengan telepon genggamnya, memastikan tamu dari pihaknya juga sudah menerima undangan. Ia juga menyiapkan transportasi untuk para keluarganya dari Bogor.Setelah kembali dari ruang ganti, Kaisar kembali menemani Kanaya yang masih mendata para tamunya di ruang tamu. Mereka yang sedang duduk di sof