"Pak, Pak, tolong, Pak!" Kaisar bergegas turun dari mobil menghampiri petugas Unit Gawat Darurat. Kemudian dua petugas datang mendekat dengan membawa sebuah brankar. Dengan dibantu satu petugas, Kaisar membantu Rein untuk berbaring di atas brankar. "Ana ... !" lirih Rein yang netranya tak lepas terus memandang Analea, tatapannya seolah tak ingin Analea pergi jauh darinya. "Ya, Dad. Aku di sini!" Analea kembali menggenggam jemari kekar milik Rein, dan mengikuti brankar yang membawa Rein masuk ke ruang pemeriksaan. Sementara itu Maira menuju bagian administrasi untuk mengisi data-data yang diperlukan. Seorang dokter muda dan perawat datang menghampiri. Mereka mulai memeriksa kondisi Rein. Beberapa pertanyaan juga diajukan dokter pada Rein tentang apa yang ia rasakan saat ini.. "Tekanan darah bapak cukup tinggi. Asam lambung naik. Sepertinya bapak sedang mengalami stres yang cukup serius."Rein hanya diam tak menggubris ucapan sang dokter. Wajahnya tetap dingin dan tak banyak bicara
"Tolong angkat telponnya, Leaa ...!" Fabian terus mencoba menghubungi ponsel Analea. Tapi yang terdengar hanya nada sibuk sejak tadi. Beberapa kali ia menghela napas berat demi meredam rasa paniknya. "Cepat sedikit, Pak!" perintahnya pada sang supir. "Ya, Pak." Fabian menghubungi orang kepercayaannya agar berjaga-jaga sebelum ia datang. "Pastikan Analea baik-baik saja!" tegas Fabian. "Tapi sepertinya kamar kostnya kosong, Pak." "Apaa?" Informasi dari orang kepercayaannya membuat Fabian semakin panik. "Tetap berjaga! Sebentar lagi saya ke sana." Setelah bicara dengan orang kepercayaannya, Fabian kembali mencoba menghubungi Analea. Namun masih saja terdengar nada sibuk. Tak sampai setengah jam Fabian hampir tiba di rumah kost Analea. Ia melihat sebuah mobil fortuner baru saja berhenti persis di depan rumah kost itu. "Bukankah itu mobil Bu Maira?" Fabian bergegas turun dan menghampiri. Ia mengetuk kaca jendela. "Kak Bian?" Analea membuka kaca mobil dan terkejut melihat ada Fabi
"Kak Biaaan ...!" Ratu memekik senang melihat Fabian keluar dari mobil. Ia bangkit berdiri dan melangkah menghampiri Fabian. Ia lupa bahwa ia belum sehat betul. Langkah Fabian terhenti melihat kondisi Ratu yang nampak masih lemah dengan kepala yang masih diperban. "Kak Biaaan aku kangeen!" Ratu menghampiri dan langsung melingkarkan kedua tangannya pada tubuh pria bercambang lebat itu. Fabian gelagapan. Ia mengangkat kedua tangannya dengan gugup. Netranya melirik pada mobil Fortuner yang ia tau di dalamnya ada Analea. Namun Analea ternyata menunda untuk turun dari mobil. Hanya Maira yang sudah berdiri di dekat pintu mobilnya. "Setelah melepaskan tangannya yang tadi melingkar pada tubuh Fabian, Ratu meraih lengan kekar Fabian dan menggandeng pria itu melangkah ke dalam rumah.Fabian hanya menurut. Ia tidak tega menolak ajakan Ratu karena melihat kondisi wanita itu. "Ana, ayo turun!" Maira sedikit berteriak memanggil Analea hingga suaranya membuat langkah Ratu terhenti. Ratu menol
[ Bang, calon menantu kita orang kaya ] Sumi mengirim pesan pada Alif dengan foto Fabian dan Ratu yang baru saja ia ambil secara diam-diam. [ Pria itu punya kekasih. Jangan sampai dia menikahi wanita lain ]Sebuah balasan pesan dari Alif membuat Sumi terkejut. Siapa kekasih pria bercambang lebat itu? Seketika ia cemas jika suatu saat Fabian meninggalkan Ratu. Tentu tujuan dia dan Alif akan sulit tercapai. "Bagaimana aku akan hidup kaya raya kalau pria itu meninggalkan Ratu?" Sumi termenung sendiri hingga ada suara yang memanggilnya. "Mbak Sumi, tolong antar Analea ke kamarnya!" Suara Maira mengejutkan Sumi. "Hah? Apa?" Sumi terkejut mendengar nama Analea. Ia merasa tidak asing dengan nama itu. "Ini, Mbak Sumi, antar Ana ke kamarnya!" ulang Maira yang datang bersama Analea. "Oh, ya. Mari, Non Ana, kamarnya yang ini !" Sumi menunjuk kamar yang berada persis di sebelah kamar Ratu. Sebelum masuk ke kamar itu, netra Analea sempat bertemu dengan Fabian yang masih berdiri di depan p
"Siapa wanita itu? Apa dia istri sah Bang Gondrong?" Sumi buru-buru mematikan ponselnya. Ia takut jika benar yang mengangkat panggilannya tadi adalah istri sah Alif, ia akan dicurigai. Alif pun akan marah besar padanya. "Bagaimana caranya agar aku bisa bicara dengan Bang Gondrong?" bathinnya. Tak lama kemudian, sebuah pesan masuk pada layar ponsel Sumi. [ Aku bilang jangan hubungi aku jika di rumah. Lusa temui aku, nanti aku beritahu lokasinya ] Sumi merasa lega, lalu ia menutup ponselnya dan beranjak tidur. Keesokan paginya Analea telah bangun pagi-pagi sekali karena sudah terbiasa. Wanita itu tampak segar karena baru saja mandi dan melaksanakan salat subuh. Ia pun keluar dari kamar dan menemui salah satu pelayan yang berpapasan dengannya. "M-maaf, Mbak. Dapurnya di mana, ya?" "Oh, Non Ana, ya? Lewati lorong itu aja, Non. Dapurnya pintu yang paling belakang." Pelayan itu tampak kagum melihat keramahan Analea yang jauh berbeda dengan Ratu. "Makasih, Mbak!" ucap Analea sebelum
"Hei, siapa kamu?" Ratu memandang pengemudi taksi online itu dengan penuh selidik. Tatapannya tak berhenti pada pria yang perlahan membuka topi dan kacamatanya itu. Ratu mendengkus napas kasar saat tau siapa pria yang ada di depannya sekarang. "Kamu lagi!" semburnya kesal hingga pria itu menyeringai. "Aku tau, kamu tidak pernah suka dengan kehadiranku. Tapi suatu saat, kamu pasti akan membutuhkan pertolongan kami, orang tua kandungmu, Ratu!" ujar pria gondrong yang ternyata adalah Alif. Ia bicara sambil terus menyetir mobil. "Sebenarnya apa sih mau kamu? Dengar, ya! Aku ini anak Mama Maira dan Daddy Rein. Sejak kecil mereka yang merawatku. Aku nggak kenal kalian!" ketus Ratu lagi sambil membuang pandangannya ke jendela. Alif terkekeh. "Aku sengaja menukarmu ketika bayi, agar kamu bisa hidup senang. Seharusnya kamu berterima kasih pada kami, dasar anak keras kepala!" Alif masih terkekeh melirik Ratu dari kaca spion dalam yang ada di depannya. Ia menyadari sifat Ratu sama persis d
"Apaa? Sumi belum mati? Kamu tau dari mana?" tanya Begenk ragu. Namun cara bicaranya sudah tidak sekeras tadi. Melihat Fabian yang ternyata bisa lebih menyeramkan, membuat ketiga preman itu berpikir dua kali untuk bersikap kasar seperti awal mereka datang. Fabian kembali menyeringai dan memandang ketiga preman itu dengan tatapan merendahkan. Sejak awal ia sudah muak dengan sikap para preman tua itu yang sok jagoan. Apalagi pakaian yang mereka kenakan tidak pantas dengan usia mereka yang mungkin sudah mencapai 50 tahun. Dengan kedua tangan berada dalam saku celananya, Fabian bangkit dari kursinya dan berdiri mendekat dengan salah satu pria yang bernama Begenk. "Aku bisa tau segalanya. Dengan banyak uang, apapun bisa aku lakukan," jawab Fabian dengan ekspresi dinginnya. Hingga membuat ketiga preman itu tak lagi berkutik, terutama Begenk yang mulai gemetar karena hanya berjarak satu langkah dari Fabian. Namun demi menagih uangnya, Begenk memberanikan diri untuk bertanya lebih jauh pad
Ratu agak terkejut melihat Analea yang mulai berani menantangnya. Ia pun kembali mengalihkan pandangannya pada Rein dan Maira. "Dad, Mam, aku nggak betah di rumah nggak ada kalian. Aku mau di sini aja!" Ratu duduk di samping ranjang Rein sambil mengusap lengan pria itu. "Ya sudah. Terserah kamu saja," sahut Rein pasrah. Ia pikir akan percuma berdebat dengan Ratu yang keras kepala. "Makasih, Dad!" Ratu mencium kedua pipi sang Daddy dengan hangat. "Makasih, Mom!" Ratu juga memeluk dan mencium kedua pipi Maira. "Kamu bisa istirahat di ranjang itu, Sayang!" ucap Maira sambil memeriksa luka di kepala Ratu. Ratu menoleh pada sebuah ranjang yang ada di sisi lain di kamar itu. Ia tersenyum, ternyata Maira dan Rein masih menyayanginya dan tidak berubah. Di saat bersamaan, Kaisar dan Analea bangkit berdiri dan bersiap untuk pamit. "Dad, Mom, aku dan Analea berangkat ke kantor!" pamit Kaisar. Pria itu melangkah menuju pintu keluar. Sementara Analea berjalan menghampiri Rein dan Maira, la