"Dari hasil yang sudah saya terima dan saya pelajari, hasil dari tes DNA ini menyatakan bahwa adanya kecocokan sebanyak 99% dari saudari Analea dengan Ibu Maira dan Bapak Reinhard. Jadi ..., berdasarkan hasil ini saya nyatakan bahwa saudari Analea adalah benar anak kandung dari Ibu Maira dan Bapak Reinhard." Maira spontan bernafas lega dan langsung memeluk Rein dengan erat. Ada bulir bening seketika luruh dari kedua netranya. Air mata bahagia yang tak terkira terus mengalir. Akhirnya terjawab sudah kegelisahannya selama ini. Dua puluh empat tahun ia berada dalam kebimbangan. Tuhan mengirimkan Analea ke hadapannya siang itu, di depan sebuah minimarket. Tanpa sengaja ia melihat tanda hitam di balik telinga itu, hingga hari ini Tuhan pun telah menjawab doa-doanya selama ini. Maira kemudian menoleh pada Analea yang masih tertegun memandang kosong pada lantai. Ia melihat satu keraguan pada wajah Analea. Setelah melepaskan pelukannya dari Rein, Maira pun mendekati wanita yang memiliki n
Perlahan Alif membuka pintu ruang rawat Ratu. Ia melihat Ratu sedang memarahi Sumi yang berdiri di samping ranjang. Tampak Sumi sedang tertunduk dengan wajah pucat dan air mata yang menetes. Melihat itu Alif langsung bergegas masuk dan menghampiri Ratu. "Hei, ada apa? Kenapa kamu marah-marah seperti itu?" Alif melirik Sumi yang sedang sibuk menghapus air matanya. Ratu terkejut melihat kedatangan Alif yang menyerobot masuk ke dalam ruangannya. "Ngapain masuk-masuk sembarangan? Nggak bisa ketuk pintu dulu? Siapa sih lo sebenarnya?" Ratu menatap nyalang pada Alif. Mendengar pertanyaan Ratu, Alif menyeringai. "Ratu, dengar dulu penjelasan saya!" pinta Alif. "Apalagi sih? Pergi lo!" Ratu membuang pandangannya. "Ratu dengar dulu!" Alif mulai emosi melihat sikap Ratu yang sama sekali tidak menghargai dirinya. "Kamu tahu nggak apa yang terjadi sekarang ini? Maira dan Rein sudah tahu siapa anak kandung mereka sebenarnya." Ratu tersentak mendengar ucapan Alif. Namun ia memilih untuk t
"Maafin Mama, Sayang. Maafin Mama ...!" Maira tak mampu lagi bicara. Tenggorokannya tercekat, dadanya begitu sesak, hingga ia merasakan nyeri yang luar biasa di hatinya. Wanita bermata teduh itu kini semakin menyadari, ternyata putrinya cukup menderita selama ini. Sedangkan ia dan keluarganya merasakan hidup senang dengan serba berkecukupan. Maira menangis tergugu hingga Analea tersadar bahwa ia telah membuat Maira sedih tanpa ia sengaja. Sementara itu Rein tak mampu menahan butiran bening yang menggantung di dua kelopak matanya. Tanpa ragu ia mengusap kedua matanya dengan jari telunjuk. Ia pun ingin sekali memeluk Analea. Namun, entah kenapa tubuhnya kaku dan mematung. Pria bule itu hanya berdiri dan terpaku melihat dua wanita yang sangat ia cintai sedang berpelukan di hadapannya. Dalam hatinya ia merasakan penyesalan yang sangat dalam. Kenapa sejak dulu ia tidak pernah menghiraukan perkataanMaira yang merasakan bayi Mereka tertukar. Padahal Maira sejak lama mencurigai hal itu, dan
"Mama harap, setelah Ratu pulang ke rumah, kamu juga mau pulang ke rumah ini, Ana." Maira masih sangat berharap pada Analea. Analea hanya tersenyum. Kemudian ia melirik pada Fabian dan memberi kode dengan mengangguk. Fabian pun seakan mengerti dan langsung berdiri. Pria bercambang lebat itu kembali bicara. "Kami permisi pulang dulu. Lain kali saya akan datang kembali untuk membicarakan beberapa hal penting, Pak Rein." ujar Fabian. "Hmm ..." Rein hanya mengangguk samar. "Aku pulang dulu, Ma," pamit Analea. Lalu wanita itu menoleh pada Rein. ia ingin sekali pamit pada pria dingin itu. Namun langkahnya seakan terhalang, karena Rein tampak tak acuh padanya. "Rein ...!" bisik Maira pada suaminya dengan netranya mengerling pada Analea. " Ehmm ... ya? Kalian mau pulang? Hati-hati ...!" Rein tampak salah tingkah. Sesaat ia pun melrik pada Analea yang sedang menghampirinya. "Mmm ... Pak Rein, sa ... ya ... pulang dulu." Analea pamit dengan menganggukkan kepala di depan Rein. "Kamu pan
"Daddy ... ben ... tak ... akuu ...?" Ratu sangat terkejut. Napas wanita itu memburu hingga air matanya keluar berdesakan. Wajahnya memucat. Ia tidak pernah melihat Rein semarah itu padanya. Rein membuang pandangannya dan menghela napas berat. Mengusap kasar wajahnya beberapa kali. Sejurus kemudian ia memutar tubuhnya dan melangkah ke pintu keluar. Rein memilih duduk di ruang tunggu untuk menenangkan pikirannya. "Astaga ...! Apa yang sudah aku lakukan? Kenapa aku sampai semarah itu?" Rein bergumam pada dirinya sendiri. Ia benar-benar tidak menyadari sikapnya barusan. Semua terlontar begitu saja. Entah kenapa ia merasa ada yang sakit di dalam dadanya, ketika mendengar hinaan untuk Analea. "Analea ... kenapa sulit sekali untuk memulai dekat dengannya. Dia benar-benar cantik seperti Mairaku. Sebenarnya ada sisi hatiku yang merasakan itu sejak melihatnya. Namun sisi hatiku yang lain berusaha untuk menepisnya. Ah, bodohnya Aku. Ayah macam apa aku ini?" Rein terus melamun. Ia kembali me
Analea terkejut ketika seorang karyawati tiba-tiba menghampirinya dengan wajah sinis. "Maaf, ada masalah?" Analea menaikkan alisnya saat merespon karyawati itu. "Ya jelas masalah! Kamu udah kasih contoh yang nggak baik sama semua karyawan!" Wanita memakai blazer merah itu melotot pada Analea, sementara tangannya menunjuk wajah Analea. "Oh, ya? Contoh yang nggak baik mana yang anda maksud?" Analea kembali bertanya dengan melipat kedua tangannya di depan dada. "Kamu pikir datang dan pulang seenaknya itu contoh yang bener? Mentang-mentang bisa deketin bos besar, dimanfaatin deh. Jadi seenaknya kamu sekarang!" Analea tersenyum. Lalu geleng-geleng kepala. "Maaf, sepertinya pembicaraan ini nggak ada manfaatnya. Sebaiknya kalian kerja aja yang benar! Jangan sampai kalian dipecat karena sering ngerumpi di jam kerja. Permisi!" Setelah bicara dengan cukup tegas, Analea pun melangkah meninggalkan para karyawati itu menuju lift. "Heh, nggak sopan banget main pergi aja! Dasar anak magang ka
"Apaa? Orang kedua di Eternal Group?" "Orang kedua? Maksudnya apa?" "Sekretaris itu jadi orang penting di Eternal Group?" Terdengar berbagai pertanyaan dari orang-orang yang ada di dalam ruangan itu. Tak hanya para direksi dan orang-orang penting di Eternal Group, Desi pun ikut ternganga dan tak percaya mendengar pengumuman itu. Awalnya ia pikir Analea akan berhenti atau dipindahkan ke kantor cabang, oleh sebab itu dia direkomendasikan untuk menggantikan. Awalnya ia merasa menang karena bisa menggantikan posisi Analea yang memang ia tidak sukai sejak awal. Namun kini ia justru terkejut karena Analea justru naik jabatan. Mendengar banyaknya pertanyaan, Maira melanjutkan kalimatnya. "Ya, benar. Analea sekarang tidak hanya sebagai asisten pribadi dari Kaisar putra saya, tetapi Analea juga memiliki peran penting dalam memajukan perusahaan ini. Terbukti sejak ia bergabung dan membantu beberapa proyek perusahaan kita, Analea cukup kompeten dan memiliki beberapa pencapaian yang luar bi
Rein buru-buru mengusap buliran bening yang nyaris terjatuh dari kelopak matanya. Tenggorokannya tercekat hingga ia kesulitan menelan salivanya. Ia berusaha menguasai diri yang mulai merasakan sesak, dengan menarik napas panjang beberapa kali. "Rein, Analea mana?" Rein nyaris terlonjak ketika Maira tiba-tiba saja masuk dan menanyakan Analea. "Sud-sudah kembali ke ruangannya. Bagaimana? Apa kamu sudah selesai?" Rein berusaha terlihat biasa saja. Meski hati dan pikirannya masih tertuju pada Analea. Maira melihat ada sikap Rein yang sedikit aneh. Namun ia tidak ingin bertanya sekarang ini. "Ya, aku sudah selesai," sahut Maira sambil netranya masih memperhatikan wajah Rein yang sedikit murung. "Kalau begitu kita ke rumah sakit sekarang." Rein bergerak melangkah menuju pintu. "Aku tunggu di lobby!" lanjut pria bule itu lagi tanpa menoleh pada Maira. "Ada apa dengan Rein? Apa terjadi sesuatu antara Rein dan Analea?" gumam Maira pelan. Lalu ia memutuskan untuk mengirim pesan pada Kai